Pengelolaan Madrasah - Bag. 4-2/8



 
[Sambungan dari Bag. 4-1 ]


1.      Mu’id ( المعيد )
Mu’id artinya: orang yang mengulangi, dan nama ini mencerminkan tugasnya. Biasanya, mu’id adalah murid yang paling senior (faqih) dan cakap dari seorang syaikh di suatu Madrasah.

Mu’id bertugas mengulangi kembali pelajaran yang diberikan syaikh dalam tatap muka reguler agar dapat dipahami secara lebih baik oleh seluruh murid. Hal ini diperlukan karena kemampuan dan penguasaan murid yang berbeda-beda terhadap materi yang disampaikan syaikh. Menurut Mehdi Nakosteen, mu’id memiliki julukan profesional: mudarris (guru), untuk membedakannya dengan syaikh.
Seorang mu’id ditunjuk oleh pewakaf, yang bertujuan memastikan seluruh murid di Madrasahnya mengalami kemajuan yang diharapkan dalam proses pendidikannya, walaupun mereka memiliki intake yang beragam dan diajar oleh seorang syaikh serta metode yang sama. Namun, kualifikasinya ditentukan oleh syaikh. Ia pada dasarnya adalah murid yang masih mengikuti pembelajaran secara reguler – yakni, belum lulus – dan tugasnya itu ia jalankan di luar jadwal pembelajaran reguler sebagai tambahan beban atas studinya sendiri.
Dengan kata lain, mu’id adalah murid yang memiliki pengetahuan lebih tinggi dibanding adik-adik kelasnya, karena ia telah lebih lama belajar kepada syaikh-nya, sehingga memiliki kemampuan memberikan pemahaman, menyalurkan manfaat dan menjalankan tugas “pengulangan” tsb. Tanpa itu, menurut as-Subky, ia sebenarnya hanyalah seorang faqih biasa. Artinya, pada saat bersamaan akan terdapat banyak sekali faqih atau pelajar level muntahi dalam suatu Madrasah, namun tidak semuanya ditunjuk menjadi mu’id. Ada prasyarat cukup ketat yang harus mereka penuhi.
Jabatan mu’id ini terkadang terpaksa diadakan akibat kurangnya tenaga yang layak memangku jabatan syaikh, sehingga pernah selama 30 tahun Madrasah an-Nashiriyah ats-Tsaniyah (Mesir) hanya ditangani oleh 10 orang mu’id, tanpa seorang syaikh pun. Namun, bukan berarti seorang mu’id akan terus mengemban tugasnya seumur hidup. Justru, banyak syaikh yang mengawali karir ilmiahnya sebagai mu’id dari syaikh tertentu sebelum akhirnya membuka halaqah-nya sendiri.
Ketika gurunya mengajar, mu’id bertugas memperhatikan dan mencatat siapa saja yang hadir dalam halaqah, atau membantu menertibkan hadirin. Terkadang, jumlah mu’id dari seorang guru lebih dari satu. Pencatatan ini berhubungan dengan hak ijazah (lisensi) yang kelak diberikan di akhir pembacaan kitab. Maka, sebagian ulama’ kadang mengakui membaca atau mendengar bagian-bagian kitab hadits tertentu dari guru yang berbeda-beda. Misalnya, seluruh kitab Shahih al-Bukhari ia dengar bacaannya dari guru A, kecuali bab ke-sekian yang ia dengar dari guru B, karena ia pernah absen dari majlis pembacaan guru A diatas.
Perlu diperhatikan pula, bahwa ada atau tidaknya mu’id tergantung inisiatif waqif dan nazhir, dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi tsb dimuka yang diselaraskan dengan dokumen wakaf maupun kelayakan mengajar. Maka, mu’id tidak bisa dengan sendirinya naik menjadi syaikh walaupun telah lama memangku jabatan ini, kecuali jika terpaksa akibat ketiadaan figur lain yang layak menduduki kursi syaikh, dengan tetap memperhatikan dokumen wakafnya.
Sebagai misal, sebelum diangkat sebagai syaikh di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, Hujjatul Islam al-Ghazali adalah mu’id bagi gurunya, Imam al-Haramain al-Juwaini di Nisabur. Imam Ibnul Jauzi pernah menjadi mu’id bagi gurunya, Syekh an-Nahrawani, setelah sebelumnya menjadi mufid. Setelah an-Nahrawani wafat, Ibnul Jawzi diangkat menggantikan posisi gurunya. Tampaknya, menjadi mufid, mu’id dan na’ib adalah jalur yang biasa – meski tidak selalu begitu – bagi seorang murid sebelum akhirnya menduduki puncak hirarki akademis.
Pengangkatan seorang mu’id – serupa dengan syaikh – didahului dengan pidato pengukuhan di hadapan seluruh pelajar Madrasah. Terkadang, pidato ini mengundang perdebatan berlarut-larut diantara pelajar, karena beberapa pandangannya yang dinilai kontroversial, sebelum akhirnya syaikh Madrarah sendiri yang turun tangan menengahinya.

2.      <.span>Mufid ( المفيد )
Mufid berarti: orang yang memberikan faidah, dan memang itulah tugas utamanya. Biasanya, ia merupakan murid senior, namun secara hirarkis masih sedikit berada di bawah mu’id. Ia bertugas membantu murid-murid pemula yang mendapat kesulitan dalam pelajarannya, atau semacam tutor.
Menurut as-Subkiy, mufid – karena ia sebenarnya adalah pelajar yang masih menempuh studi – harus melakukan riset ekstra, lebih dari pelajar lain pada umumnya, lalu memanfaatkan hasil risetnya ini untuk membantu yang lain. Hanya dengan memberikan faidah kepada orang lain inilah ia layak disebut sebagai mufid. Menurut beliau, tanpa riset ekstra dan memberikan faidah ini, maka haram baginya untuk mengambil kompensasi dari Madrasah. Dengan kata lain, seorang mufid menerima sejumlah “tunjangan” atas jabatan dan tugas ekstranya ini. Tunjangan serupa – tentunya – juga diberikan kepada mu’id. Besarnya sesuai kemampuan Madrasah, sebagaimana telah ditentukan dalam dokumen wakafnya. Contoh-contoh lebih detail untuk penggajian dapat di lihat pada bab lain tentang manajemen keuangan.
Kadang, jabatan mu’id dan mufid ini tidak dibedakan, alias identik. Maka, kriteria, tugas dan mekanisme pengangkatannya pun tidak jauh berbeda.
Tampaknya, ada korelasi diantara ketiga jenjang “fungsional” ini (mufid, mu’id dan na’ib) dengan tiga jenjang akademis yang harus dilalui seseorang dalam sistem Madrasah. (Silakan lihat bagian tentang pelajar, di bawah).

3.      Katib al-ghaibah ( كاتب الغيبة  )
As-Subky menyebutkan dua jenis jabatan katib (pencatat) di dalam bukunya. Pertama, katib al-ghaibah ‘ala al,fuqaha’, yang secara harfiah berarti pencatat ketidakhadiran fuqaha’, semacam juru absen yang mengawasi keaktifan para pelajar tingkat lanjut dalam mengikuti pembelajaran. Menurut beliau tugasnya adalah: “Ia harus berpegang pada kebenaran. Tidak boleh mencatat orang-orang yang tidak hadir, akan tetapi ia harus berempati kepada penyebab ketidakhadirannya. Jika dia memang memiliki alasan (yang bisa diterima), ia harus menjelaskannya. Jika dia mencatat tanpa didasari suatu bukti dan pengetahuan, maka dia telah menzhalimi haknya. Namun, jika dia bersikap toleran semata-mata dikarenakan hal-hal remeh yang dia nikmati dari seorang faqih (pelajar), maka dia telah (berdiri) di tepi jurang neraka Jahannam.”
Tampaknya, kasus presensi pelajar yang tidak valid atau – dalam istilah sekarang – sekedar “titip absen” sudah ada sejak dulu, sehingga As-Subky merasa perlu mengingatkannya secara khusus. Lebih jauh, beliau bahkan memperingatkan indikasi “suap” oleh para pelajar kepada juru absen itu, sehingga tetap dicatat “hadir” walau sebetulnya tidak.
Tentang siapa yang mengemban tugas ini, kami belum menemukan teks eksplisit. Namun, dalam Adab al-‘Ulama’ wal Muta’allimin karya Maulana ‘Alamul Hajar al-Yamani, terdapat isyarat bahwa ia ditangani oleh para asisten atau pembantu guru utama. Mungkin, dia adalah Na’ib atau Mu’id dari seorang Syaikh.
Kami juga belum tahu persis apa fungsi lebih jauh dari catatan kehadiran pelajar ini. Namun, karena sistem pembelajaran klasik tidak mengenal ujian massal dan periodik, maka ia tidak ada hubungannya dengan syarat minimal kehadiran pelajar agar boleh mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS) seperti dalam sistem perkuliahan modern. Kami menduga pencatatan ini bdrhubungan secara langsung dengan dokumen wakaf (syuruthu al-waqfi), dimana setiap pelajar di dalam sebuah Madrasah akan berhak mendapat bagian dari harta wakaf (yakni, beasiswa) jika mereka memenuhi standar perilaku dan aktifitas harian tertentu, diantaranya adalah berapa kali dia harus mengikuti halaqah atau membaca literatur yang ditentukan oleh Syaikh. Jika ia tercatat sering membolos atau malas memenuhi kewajibannya, maka beasiswanya akan dicabut dan dia dipersilakan meninggalkan Madrasah.
Kedua, katib ghaibati as-sami’in, yakni pencatat ketidakhadiran pendengar. Jabatan ini beliau hubungkan dengan periwayatan hadits atau kitab oleh syaikhu ar-riwayah. Sepertinya, ia berkorelasi dengan sistem ijazah dan isnad, yaitu untuk menghindari pemalsuan keduanya oleh orang yang tidak pernah hadir dalam suatu majlis pembacaan kitab. Oleh karenanya, kita bisa mendapati bahwa sebagian ulama’ mengaku mendengar sebagian isi kitab secara langsung dari guru tertentu, sedangkan selebihnya melalui ijazah atau dari guru lain. Misalnya, Yahya bin Yahya al-Laitsi diketahui mendengar seluruh kitab al-Muwatha’ dari pengarangnya sendiri, Imam Malik bin Anas, kecuali sebagian kecil darinya. Konon, karena ragu pada sebagian teks, beliau mencari guru lain dan mendengarkan pembacaan kitab itu darinya, sebab saat itu Imam Malik sendiri sudah wafat. Meski kisah ini mungkin tidak terhubung dengan sebuah Madrasah secara langsung, namun – paling tidak – mencerminkan dasar-dasar dari tradisi dimaksud.
Untuk diketahui pula, ijazah – dalam terminologi Ahli Hadits – adalah izin meriwayatkan meskipun tidak melalui pembacaan terlebih dahulu. Biasanya diberikan oleh seorang guru kepada orang-orang yang ia percaya dan telah teruji kelayakannya.
Sehubungan dengan katib ghaibati as-sami’in ini, as-Subki menulis: “hendaknya ia memastikan nama-nama orang yang hadir dan turut mendengarkan, mengawari secara teliti siapa saja yang mendengarkan atau tidak. Jangan sampai ia berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan menyatakan: ‘sungguh si fulan mendengarkan’, padahal sebenarnya tidak. Jika ia bersikap sembrono dalam hal ini, maka silakan ambil tempat duduknya di neraka.”

4.      Imam ( الإمام )
Yakni, imam masjid di kompleks Madrasah. Biasanya, ia hafizh yang menguasai beberapa qira’at, dan memimpin shalat dengan qira’at tsb secara bergantian. Islam memandang adanya hubungan yang sangat erat antara shalat, bacaan Al-Qur’an dan proses pendidikan, sehingga perlu ada pejabat khusus yang menjalankan fungsinya.
Menurut Ibnul Ukhuwwah, seorang imam harus memenuhi kriteria, sbb: “laki-laki, berakal sehat, qari’, faqih, tidak bersuara buruk atau berlidah berat dalam mengucapkan lafal-lafal Al-Qur’an.” Anak kecil, budak, atau orang fasik sah untuk menjadi imam shalat, akan tetapi mereka tidak layak diangkat sebagai imam resmi sebuah masjid.
Jika ada dua calon imam, yang pertama faqih akan tetapi bukan qari’, sedang lainnya qari’ tetapi bukan faqih, maka yang diutamakan adalah yang faqih jika ia bisa membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Sebab, dalam memimpin shalat, bagian Al-Qur’an yang wajib dibaca pada dasarnya bersifat terbatas, dalam arti tidak harus semuanya; sementara persoalan-persoalan yang memerlukan kecakapan intelektual atau kefaqihan bersifat tidak terbatas, dalam arti sangat banyak, beragam, kompleks, dan terus berkembang.
Diantara hal yang penting diperhatikan oleh imam adalah momentum shalat Jum’at, dimana ia merupakan hari istimewa dan memiliki saat-saat mustajabah. Seharusnya imam menyuruh jamaah berdoa pada saat-saat tsb, agar dikabulkan. Ia menyeru jamaah bersegera ke masjid, mengawasi tempat-tempat “penyendat” saat adzan berkumandang, seperti pasar.
Seorang imam boleh ditegur – oleh pejabat berwenang – jika terlalu memanjangkan shalat tanpa memperhatikan kondisi jamaah, kecuali jika sudah disepakati dan dimaklumi bersama.
Imam resmi sebuah masjid lebih berhak dibanding siapapun, walau ada yang lebih utama dan ‘alim, kecuali atas izinnya. Tak seorang pun berhak maju menjadi imam selama ia hadir. Jika ia berhalangan dan telah menunjuk pengganti, maka penggantinya ini lebih berhak dibanding siapa pun. Jika ia berhalangan tanpa menunjuk pengganti, maka dimintakan izin kepada pihak berwenang perihal siapa yang pantas maju sebagai imam. Jika kesulitan untuk minta izin, maka jamaah dipersilakan memilih sendiri siapa diantara mereka yang disukainya untuk menjadi imam, agar shalat berjamaah tidak berantakan.
Jika imam resmi masjid telah selesai memimpin shalat berjamaah, lalu ada sekelompok orang yang terlambat dan tak sempat menjumpai shalat berjamaah, maka mereka shalat sendiri-sendiri, tak perlu berjamaah bersama lainnya, agar tak terkesan memisahkan diri dari jamaah, menyelisihi imam, atau sekedar tampil beda dan bisa dituduh ingin menonjolkan diri. Demikianlah sunnah.
Ada saat-saat tertentu dimana ibadah berjamaah sangat dianjurkan dan berpahala besar sehingga kaum muslimin berbondong-bondong ke masjid atau mushalla, seperti di malam-malam Ramadhan dan Hari Raya. Namun, di saat itu seringkali ada orang-orang fasik yang niatnya hanya melihat gadis-gadis dan menyapa orang-orang yang ditaksirnya. Maka, sdharusnya disiapkan sanksi dan hukuman yang membikin mereka jera. Demikian menurut Ibnul Ukhuwwah.
Menurut as-Subki, seorang imam berkewajiban, sbb: “ikhlas dalam shalatnya, mengeraskan suara dalam doa, dan bersikap penuh ketundukan dalam memohon. Hendaklah ia membaguskan thaharah dan bacaannya, serta datang ke masjid di awal waktu. Jika jamaah telah berkumpul, ia segera memulai shalat. Jika belum, ia menunggu berkumpulnya mereka asalkan masa menunggu itu thdak keterlaluan (lamanya). Secara umum, hendaklah ia mengerjakan shalat dengan sebaik-baik keadaan yang dimampuinya. Diantara kerusakan yang umum terjadi adalah seorang imam masjid yang meminta orang lain menggantikannya tanpa ada alasan….”
Contoh imam resmi masjid Madras`h adalah Abu Ishaq Ibrahim al-Mazini al-muqri’ asy-Syafi’i adh-dharir (w. 639 H) di Madrasah al-Fadhiliyah, atau Abul Muhannad Husam bin Murhif bin Isma’il al-Fazari asy-Syafi’i (w. 613 H) di Madrasah yang sama. Tentu saja tugas mereka sebatas mengimami jamaah yang bermukim di Madrasah ybs.

5.      Qari’ (  القارئ) atau Muqri’ ( المقرئ )
Secara harfiah, qari’ artinya pembaca. Imam as-Subky dalam Mu’idun Ni’am menyebutkan 3 jabatan yang mirip, yaitu qari’ al-‘asyr, al-qurra’, dan qari’ al-kursi. Sementara itu, Imam al-Ghazali dalam al-Adab fi ad-Din, secara jelas membedakan antara muqri’ dengan qari’.
Qari’ al-‘asyr adalah seseorang yang menguasai qira’at ‘asyrah (sepuluh macam riwayat bacaan Al-Qur’an yang diakui validitasnya), dan ia bertugas membacakan sebagian ayat Al-Qur’an sebelum setiap pelajaran dimulai (di akhir pagi hari), atau sesaat setelah berakhirnya tiap seperempat jam studi. Ini berhubungan dengan pola pembelajaran Madrasah dalam halaqah besar oleh syaikh sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya. Seorang qari’ akan terus mendampingi syaikh dalam proses pembelajaran.
Qari’ – jamaknya: qurra’ – adalah seseorang yang membacakan Al-Qur’an dengan irama dan lagu tertentu, yakni menyampaikan firman Allah dengan jelas dan terang. Demikian menurut as-Subki. Al-Ghazali menyebutnya muqri’. Dengan kata lain, ia adalah guru baca Al-Qur’an yang menguasai qira’at-nya dengan baik. Tampaknya, ini lebih tepat, dan para ulama’ yang bergelar al-muqri’ biasanya terdiri dari para Ahli Al-Qur’an. Al-Ghazali menyatakan bagaimana seharusnya seorang muqri’ bersikap: “ia duduk selayaknya orang yang takut (kepada Allah), menyimak baik-baik perintah (dalam Al-Qur’an), memusatkan pemahaman, menunggu-nunggu turunnya rahmat, memperhatikan bagian yang mutasyabih dan tanda-tanda waqaf, memberitahu dimana memulai (ibtida’), memperjelas hamzah, mengajarkan jumlah (ayat dalam suatu surah), men-tajwid pengucapan huruf, memberi informasi tambahan (faidah) kepada pelajar yang telah menyelesaikan bacaannya, bersikap lemah-lembut kepada pelajar pemula, menanyakan jika ada pelajar yang absen, memotivasinya jika ia hadir, meninggalkan bercakap-cakap, hendaklah ia memulai dengan men-talqin (menuntun bacaan secara lisan agar dihafal) bagian yang bisa dipergunakan untuk bacaan shalat pelajar ybs, atau yang ia butuhkan untuk mengimami orang lain.”
Kemungkinan ketiga, ia adalah pembaca diatas kursi, dalam arti membacakan tafsir atau hadits di hadapan banyak orang. Pembacaan disini benar-benar secara verbal dan literal, tidak melibatkan penjelasan atau analisis. Jika merujuk pada uraian Imam Al-Ghazali dalam ad-Adab fi ad-Din, kemungkinan terakhir ini lebih tepat. Artinya, qari’ bertugas membacakan kitab tertentu dalam majlis halaqah, dimana disitu ada syaikh yang menyimak (juga mengoreksi, jika ada kesalahan) dan para pelajar yang mencocokkan salinan naskahnya. Al-Ghazali sendiri membedakan antara qari’ dengan muqri’.
Contoh figur yang pernah menjadi qari’ ini adalah ash-Shalih Abu ar-Rabi’ Sulaiman Abu ‘Abdillah bin Yusuf al-Hawari (w. 612 H) di Madrasah ash-Shahibiyyah.

6.      Mu’adzin ( المؤذن )
Menarik bahwa dalam Madrasah ada pejabat yang bukan guru atau petugas teknis, yaitu mu’adzin. Ia bertugas mengumandangkan adzan pada waktu-waktu shalat tiba.
Menurut Ibnul Ukhuwwah: “tidak boleh menyerukan adzan diatas menara kecuali orang yang ‘adil, tsiqah, amanah, dan mengerti kapan tibanya waktu-waktu shalat.” Istilah ‘adil artinya ia adalah muslim, laki-laki, baligh, berakal dan bukan ahli maksiat. Maka adzan tidak sah diserukan oleh orang kafir, wanita, orang gila atau mabuk. Adzan anak kecil adalah sah.
Dalam kalimat as-Subki, seorang mu’adzin: “seharusnya ia mengerti waktu, dan mengeraskan suara. Ia mengumandangkan adzan untuk shalat subuh sejak pertengahan malam, dan pada saat telah masuknya waktu shalat. Oleh karenanya, disunnahkan adanya dua orang mu’adzin untuk shalat subuh.”
Seorang mu’adzin harus teruji kemampuannya untuk mengetahui dan membedakan waktu shalat. Jika tidak, maka ia bisa menimbulkan banyak mafsadah, misalnya membuat orang berbuka puasa atau mengerjakan shalat sebelum waktunya, sehingga puasanya rusak dan shalatnya tidak sah. Ia harus sudah mempelajari dan menguasai bab adzan dan iqamah dalam fiqh.
Seyognyanyalah ia bersuara bagus, namun ia tidak boleh memanjangkan suara berlebihan atau melenggak-lenggokkan nada adzannya sedemikian rupa. Semua itu tercela dan tidak pantas. Adzan adalah panggilan ibadah, bukan nyanyian untuk dinikmati kemerduannya.
Selayaknya, seorang mu’adzin mengenal dengan baik kedudukan-kedudukan rembulan dan rasi-rasi bintang, agar bisa memahami dengan baik perbedaan dan pergeseran waktu malam. Demikian juga teknik pengenalan waktu dengan panjang bayangan benda di bawah sinar matahari pada waktu siang. Atau, bagaimana cara menentukan waktu shalat di saat langit diselimuti awan gelap. Di zaman modern, mungkin tugas ini bisa diperingan dengan bantuan aneka peralatan, walau tetap harus diwaspadai karena ia bisa rusak, mengalami gangguan teknis, atau bergeser tanpa disadari oleh penggunanya.
Adzan sebaiknya diserukan dalam keadaan suci, walau tetap sah tanpanya. Namun, orang yang junub makruh melakukannya. Ia menghadap kiblat ketika beradzan.
Mengeraskan suara adzan adalah “rukun”, maka adzan tidak sah tanpanya. Pelafalan kalimat adzan secara urut adalah “syarat”, maka jika dibalik-balik adzannya rusak. Jika ia sengaja membolak-balik adzan karena main-main atau melecehkan, ia layak dijatuhi sanksi.
Penting diingat, adzan shalat adalah bagian dari ibadah dan seruan ruhiyah, bukan permainan dan latihan. Walaupun adzan anak kecil sah, namun sebaiknya tidak dilakukan. Selama hidupnya, Rasulullah hanya memiliki dua mu’adzin di Madinah (Bilal bin Rabah dan Ibnu Ummi Maktum), sementara di Makkah beliau menunjuk orang lain. Artinya, di masa hidup beliau, tidak sembarang orang bisa naik menyerukan adzan, dan demikianlah tradisi yang diamalkan kaum salaf. Hendaknya kita merenungkan hal ini dan menemukan hikmah di baliknya.
Diantara orang yang tercatat sebagai mu’adzin adalah Abul Qasim Naja bin ‘Ali bin Hasan ar-Ramli al-mu’adzin, seorang kakek yang shalih, bersuara lantang dan sangat konsisten. Semula ia menjadi mu’adzin di Darul Faqih ath-Thurthusi (Iskandariyah) dan kemudian berpindah ke Madrasah al-Hafizh as-Silafi. Figur lain adalah Abul Hasan ‘Ali al-Lakhmi, seorang mu’adzin di Madrasah ash-Shahibiyah di Kairo, yang tetap menjalankan tugasnya sampai wafat tahun 639 H.

7.      Wa’izh ( الواعظ ), Mudzakkir ( المذكّر ) dan Qash ( القاصّ )
Wa’izh berarti “pemberi wejangan atau nasihat”, dan biasanya berisi targhib (motivasi) ke arah kebajikan dan takwa, serta tarhib (ancaman) dari kemaksiatan dan dosa. Materi nasihatnya disebut mau’izhah (wejangan). Ia kadang disebut juga sebagai mudzakkir (pemberi peringatan), sebab tugas dan materi ceramahnya yang banyak memuat peringatan. Sementara itu, qash (dengan alif dan shad ber-tasydid) adalah “penutur kisah dan cerita”, yang pada intinya sama dengan wa’izh. Ia menuturkan kisah-kisah yang berhubungan dengan targhib dan tarhib juga. Materinya disebut dengan qishshah (cerita). Acapkali, keduanya adalah profesional, dalam arti dijalani sebagai pekerjaan. Mungkin, mirip penceramah, motivator atau trainer di zaman modern.
Perbedaan antara wa’izh dengan qash adalah tempatnya berbicara. Para wa’izh berbicara di dalam masjid atau majlis lain yang resmi, dan terkadang dihadiri para pejabat penting atau tokoh-tokoh berpengaruh lainnya. Ia duduk di kursi yang khusus disedikan untuk itu, atau berdiri di mimbar. Sedangkan qash akan berbicara di pinggir-pinggir jalan.
Maka, di masa silam, konotasi wa’izh selalu positif dan bergengsi; disandang para ulama’ berpengaruh dan memiliki kharisma luar biasa. Imam Abul Faraj Ibnul Jauzi, misalnya, memiliki majlis khusus di halaman istana khalifah karena keluarga kerajaan pun ingin ikut mendengarkan ceramahnya, walau dari tempat terpisah. Posisi dan wibawa serupa diwarisi oleh cucunya, yaitu Sibth Ibnil Jawzi. Contoh lain, Syekh ‘Abdul Qadir Al-Jilani yang nasihat-nasihatnya dicatat dan dibukukan oleh murid-muridnya dalam al-Fath ar-Rabbani wa al-Faydh ar-Rahmani. Catatan ini sangat detail, karena juga memuat hari, tanggal, waktu dan tempat penyampaiannya.
Akan tetapi, para qash umumnya dipandang rendah karena kualitas ceramahnya yang kadang tak bisa dipertanggungjawabkan, seperti berlebihan, palsu, dibuat-buat, atau tidak ada dasarnya samasekali. Belakangan, para wa’izh dan mudzakkir pun terjangkiti penyakit serupa. Oleh karenanya, Imam Al-Ghazali pernah menyarankan muridnya agar menjauhi profesi wa’izh atau mudzakkir ini, yang mungkin berkaitan dengan kenyataan buruk para pelakunya di masyarakat masa itu. Dalam Ayyuhal Walad, beliau menulis: “…hendaknya engkau mewaspadai dan menjaga diri jangan sampai menjadi wa’izh atau mudzakkir, karena bencana dan kerusakannya sangatlah banyak. Kecuali, jika engkau terlebih dahulu mengamalkan apa yang engkau katakan, baru kemudian menasihati orang lain.” Beliau kemudian menuliskan saran dan tips-tips penting jika saja seseorang tidak bisa menghindar dan harus tampil sebagai wa’izh. Silakan merujuknya kesana.
Tentang wa’izh ini, Ibnul Ukhuwwah menulis ulasan cukup panjang:
“…tidak seorang pun didudukkan pada posisi ini kecuali ia dikenal luas sebagai orang yang taat beragama, ahli berbuat baik dan keutamaan di tengah-tengah manusia. Hendaklah ia menguasai ilmu-ilmu syari’ah, ilmu adab, menghafal Kitabullah, hadits-hadits Nabi, kisah orang-orang shalih dan cerita umat-umat terdahulu. Ia bisa diuji dengan cara ditanyai perihal masalah-masalah dalam bidang tersebut. Jika ia bisa menjawab (maka dipilih), jika tidak maka harus dilarang dari menduduki posisi itu; sebagaimana Imam ‘Ali bin Abi Thalib yang menguji al-Hasan al-Bashri – pada saat al-Hasan berbicara di hadapan manusia – maka beliau bertanya, “Apakah pilar agama itu?” Dijawab, “Sikap wara’.” Ditanya lagi, “Lalu, apa penyakit yang merusaknya?” Dijawab, “Kerakusan (thama’).” Maka, Imam ‘Ali berkata, “Sekarang, berbicaralah sekehendakmu!”
Jika ada orang yang dalam dirinya terpenuhi syarat-syarat ini, maka ia ditetapkan untuk duduk diatas mimbar di Masjid Jami’ dan masjid-masjid lain di wilayah manapun yang diinginkannya. Akan tetapi, siapa saja yang tidak mengerti dan jahil dari (syarat-syarat) tersebut, ia harus dicegah berbicara. Jika ia tetap membandel dan terus berbicara, maka ia harus diberi sanksi. Adapun orang yang mengerti barang sedikit dari kata-kata para wa’izh (lainnya), telah menghafal hadits, dan kisah orang-orang shalih, lalu ingin berbicara untuk mendapatkan penghasilan dan menolong dirinya sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, maka ia diizinkan dengan catatan tidak boleh naik ke atas mimbar, akan tetapi cukup berdiri diatas kedua kakinya sendiri. Sebab, naik ke atas mimbar adalah posisi yang sangat mulia, dan tidak boleh naik ke atasnya kecuali orang-orang yang dikenal luas memiliki karakteristik yang telah kami sebutkan. Cukuplah naik ke atas mimbar itu sebagai keluhuran dan ketinggian (derajat). Sebab, Nabi pun naik mimbar, juga para Khulafa’ Rasyidin sepeninggal beliau, dan para imam. Dulu, di masa-masa awal Islam, tidak seorang pun yang naik mimbar kecuali satu dari dua jenis manusia: khathib di Masjid Jami’ pada hari Jum’at atau Hari Raya, atau seseorang yang sangat dihormati dan berwibawa yang menasihati manusia, mengingatkan, memperingatkan, mewanti-wanti, dan mempertakuti mereka terhadap akhirat; serta mendorong mereka untuk beramal shalih. Dengan itulah manusia memperoleh manfaat yang sangat besar. Namun, di zaman kita sekarang ini, seorang wa’izh tidak diminta berbicara kecuali saat genap sebulan sesudah kematian seseorang, atau dalam rangka akad nikah, atau untuk perkumpulan orang-orang yang “mengigau” tidak jelas arah tujuannya. Orang-orang pun tidak berkumpul di sekitar wa’izh dengan tujuan mendengar nasihat atau menarik faidah tertentu, akan tetapi ceramah wa’izh sekedar bagian dari bersenang-senang, permainan, dan kumpul-kumpul saja. Selain itu, di majlis mau’izhah sering berlangsung perkara-perkara yang tidak pantas, seperti berkumpulnya kaum pria dan wanita, dimana mereka bisa saling melihat satu sama lain, juga hal-hal lain yang bahkan tidak pantas dituturkan disini. Ini termasuk bid’ah yang menyesatkan. Jauh lebih baik untuk menyegel pintu yang mengarah kesana dan mencegahnya. Jika tidak mungkin dicegah, maka yang didudukkan (sebagai wa’izh) pada majlis semacam itu haruslah seorang tokoh yang dikenal luas taat beragama, ahli berbuat baik dan keutamaan, sebagaimana kami singgung sebelum ini….
Diantara syarat lainnya adalah: dia harus orang yang beramal semata-mata karena Allah, penuh kesungguhan dalam amalnya, banyak berbicara (yakni, bukan pendiam) sekaligus banyak berbuat (yakni, ia juga mengamalkan sendiri isi nasihatnya).
Diantara syaratnya lagi adalah ia harus mengerti Kitabullah dan Sunnah, lurus lisannya (yakni, fasih kata-katanya), bagus logika dan sistematika pembicaraannya….
Diantara syaratnya lagi adalah ia harus orang yang pandai mengemukak`n isyarat dan metafora. Sebab, ada dikatakan: “Betapa sering isyarat itu lebih mengena dibanding ungkapan langsung; betapa sering pula performa (yang diperlihatkan) itu lebih mengena dibanding pernyataan lisan.”…..
Apabila wa’izh itu seorang yang masih muda, bersolek untuk menarik kaum wanita dengan pakaian dan tindak-tanduknya, banyak mempertontonkan tampilan, isyarat dan gerakan, sementara disana ada para wanita yang menghadiri majlisnya, maka ini adalah perbuatan munkar dan harus dicegah. Sungguh, kerusakannya lebih banyak dibanding kebaikannya, dan hal itu bisa dilihat secara jelas dari indikator-indikator yang menyertai tindakannya. Bahkan, seyogyanyalah tugas menyampaikan mau’izah ini tidak boleh diserahkan kecuali kepada orang yang secara penampilan lahirnya memperlihatkan sikap wara’, tenang tindak-tanduknya, berwibawa, dan penampilannya adalah penampilan umumnya orang-nrang shalih. Sebab, jika tidak, maka ia hanya akan membuat manusia semakin terbenam dalam kesesatannya.”
Serupa dengan ini, Syekh Waliyullah ad-Dahlawi menulis tentang wa’izh atau mudzakkir:
“Seharusnya dia adalah sosok yang mukallaf dan ‘adil, sebagaimana yang dipersyaratkan oleh para ulama’ terhadap para perawi hadits dan saksi. Selain itu, dia juga mesti ahli hadits (muhaddits), ahli tafsir (mufassir), serta mengetahui sejumlah besar kisah dan riwayat hidup generasi salaf yang shalih. Yang kami maksud dengan ‘ahli hadits’ adalah mereka yang banyak menelaah kitab-kitab hadits, dimana dia bisa memb`ca lafazhnya dan memahami maknanya, mengerti mana yang shahih dan yang cacat meskipun melalui kajian dari seorang hafizh atau penelitian oleh seorang faqih yang lain. Demikian pula yang kami maksud dengan ‘ahli tafsir’ adalah orang yang banyak mengkaji penjelasan mengenai kata-kata yang gharib (asing) dari Al-Qur’an, arah yang tepat dalam memahami apa yang musykil (sukar dimengerti) di dalamnya, juga riwayat dari generasi salaf yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir mereka. Selain itu, sudah selayaknya dia adalah pribadi yang cakap dan cerdik dalam berbicara (fashih), dimana dia bisa berbicara sesuai kadar pemahaman para pendengarnya. Seyogyanya dia juga seseorang yang lembut, terpandang dan dikenal bersih kehidupannya.”
Dalam Zaghlu al-‘Ilmi, Imam adz-Dzahabi menulis, “Menyampaikan nasihat adalah disiplin ilmu tersendiri, yang memerlukan penguasaan ilmu-ilmu lain bersamanya, mengharuskan pengetahuan yang cukup baik terhadap tafsir, dan memperbanyak kisah orang-orang fakir dan zahid. Bekal menjadi wa’izh adalah takwa dan kezuhudan. Maka, jika engkau melihat seorang wa’izh yang gila dunia, sedikit sekali ketaatan beragamanya, ketahuilah bahwa nasihat yang disampaikannya hanya akan sampai ke telinga. Betapa banyak wa’izh yang begitu mengesankan kalimat-kalimatnya, mampu membuat para pendengarnya menangis dan terpengaruh pada saat itu, kemudian mereka bangkit dari majlisnya sebagaimana mereka duduk – yakni, tidak ada perubahan samasekali. Jika saja ada wa’izh seperti al-Husain dan Syekh ‘Abdul Qadir al-Jilani, semoga Allah merahmati mereka, maka manusia akan bisa mengambil manfaat darinya.”
Sementara itu, as-Subki menulis tentang wa’izh, sbb: ‘hendaklah ia mengingatkan (pendengar) terhadap hari-hari turunnya bencana Allah, mempertakuti pendengar terhadap Allah, menceritakan kisah-kisah generasi salaf yang shalih, juga jalan hidup mereka. Ayat terpenting yang – bagi khatib dan wa’izh – seyogyanya ia bacakan pada dirinya sendiri adalah, “Apakah kalian memerintahkan orang lain berbuat kebajikan sementara kalian melupakan diri kalian sendiri” (Qs. ). Hendaklah ia selalu mengingat kata-kata penyair, “Jangan engkau melarang sebuah perilaku, sedangkan engkau sendiri melaktkannya. Jika engkau lakukan, maka cela besar atas dirimu.” Ketahuilah, jika suatu perkataan tidak keluar dari hati, ia tidak akan sampai ke hati. Setiap khatib dan wa’izh yang tidak tampak padanya tanda-tanda keshalihan, maka jarang sekali Allah akan menjadikannya bermanfaat (bagi orang lain).”

8.      Mutawalli Al-Kutub ( متولّي الكتب )
Dia adalah pustakawan utama, membawahi para muwazhzhaf maktabah (pegawai perpustakaan) yang merupakan petugas administratif dan teknis dalam mengelola perpustakaan, memelihara koleksi buku, dan mengawasi arus peminjaman.
Mutawalli al-kutub (pengelola literatur) adalah jabatan cukup bergengsi dan memerlukan prasyarat lumayan tinggi, karena ia harus seorang sarjana yang menguasai berbagai literatur sehingga mampu memberikan layanan konsultatif dan bimbingan kepada para pelajar yang membutuhkan materi-materi tertentu.
As-Subki menyebut jabatan ini dengan khazin al-kutub (penyimpan literatur), yang mungkin bersifat tunggal dan tidak memiliki tim. Beliau menulis: “hendaklah ia menjaga buku-bukunya, merapikan yang berantakan, atau mengikat (bendelan) jika diperlukan untuk itu. Jangan menyerahkannya kepada orang yang bukan ahlinya, akan tetapi serahkan kepada orang yang memang membutuhkannya. Dalam peminjaman hendaklah ia mendahulukan pelajar fakir yang kesulitan memperoleh litertur, mengakhirkan pelajar yang kaya. Seringkali pewakaf mensyaratkan bahwa buku-buku tidak boleh dikeluarkan kecuali dengan disertai jaminan yang senilai harganya, dan ini adalah syarat yang shahih dan bisa diterima. Bila demikian, maka pengawas perpustakaan tidak boleh meminjamkannya kecuali disertai jaminan.”

9.      Munsyid ( المنشد )
Kami sedikit merasa heran dengan jabatan ini, dan sepertinya bukan secara resmi harus ada dalam Madrasah. Mungkin, terkadang ia dihadirkan untuk menyegarkan suasana. Jelas, munsyid mirip dengan penghibur dan penyanyi di zaman modern. Namun, bedanya – seperti dikatakan as-Subki – ia melantunkan: “syair-syair yang jelas kata-katanya, benar maknanya, berisi puji-pujian kepada Nabi, mengingat Allah berikut segala kenikmatan dan keagungan-Nya, membangkitkan rasa takut kepada murka dan kebencian-Nya, mengingatkan kematian dan yang akan datang sesudahnya. Semua itu bagus, namun yang terpenting adalah puji-pujian kepada Nabi, sebab inilah konotasi umum dari istilah munsyid. Jika ia hanya mencukupkan diri dengan melantunkan bait-bait rayuan cinta atau pembangkit semangat, maka ia telah melakukan suatu kesalahan; terlebih-lebih lagi jika itu terjadi dalam forum-forum ilmiah.”
Bila kita cermati bertaburannya ribuan bait syair yang sarat makna dalam kitab-kitab karya para ulama’, atau sebagian ulama’ yang dikenal luas memiliki kemampuan plus sebagai penyair seperti Imam Syafi’i, maka majelis ilmu saat itu tentulah sangat menarik dan tidak membosankan. Kita sering menemukan kalimat “wa ansyadana….” (dan beliau melantunkan syair untuk kami) dalam berbagai kitab, yang dikutip seorang murid dari gurunya, atau orang lain, yang sekaligus menunjukkan bahwa kalimat itu mereka dengar dari sebuah forum ilmiah atau lainnya. Untuk sekedar contoh, kita bisa periksa dalam Mukhtashar Syu’abul Iman karya Imam al-Qazwini.

10. Khadam ( الخدم )
Artinya “para pelayan”, bentuk jamak dari khadim. Pekerjaan ini bersifat teknis yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dan memudahkan kehidupan warga Madrasah. Tugas mereka misalnya mengurusi penerangan, air minum, pemandian, penyediaan makanan, dll.
Tentang khadim ini, as-Subki menulis: “diantara kewajibannya adalah memperbanyak (penggunaan) waktu untuk beribadah. Sebab, ia sebenarnya selalu dalam kondisi beribadah selama ia menolong mereka (yakni, warga Madrasah) untuk beribadah, dengan niat ini. Hendaklah ia berusaha keras untuk mencapai segala sesuatu yang bisa menjadi jalan kesana. Hendaklah ia mengelola dan memperhatikan kelebihan atau sisa-sisa makanan mereka, dan menyalurkannya kepada yang berhak, seperti orang miskin, kucing, atau yang semisalnya. Jangan sampai membuangnya, sebab tidak termasuk adat kebiasaan mereka untuk membuang makanan. Hendaklah (bagian) wakaf untuk (gaji) mereka dipisahkan secara khusus…..”
Uraian tugas diatas sebenarnya mengacu kepada khadim al-khanqah, yakni lembaga khusus para Sufi. Namun, karena dalam beberapa hal sifat dan fungsi khanqah serupa dengan Madrasah, maka tidaklah keliru jika tugas para khadim di dalamnya pun diasumsikan sebagai serupa. Wallahu a’lam.

[*]

Bersambung....

Bagian 1, klik DISINI.
Bagian 2, klik DISINI.
Bagian 3, klik DISINI.
Bagian 4-1, klik DISINI.
Bagian 4-2.
Bagian 5, klik DISINI
Bagian 6-1, klik DISINI
Bagian 6-2, klik DISINI
Bagian 7, klik DISINI
Bagian 8, klik DISINI

Untuk mendapatkan naskah lengkapnya dalam format PDF, silakan cek laman DOWNLOAD, atau klik DISINI