[ Sambungan dari Bag. 6-1 ]
1.
Hari libur dan hari efektif belajar
Pada kenyataannya,
hari efektif dan libur tidak sama persis dengan praktik kita sekarang. Sistem
liburan resmi memang ada, namun pemanfaatannya yang berbeda. Libur yang umum
misalnya adalah pada hari raya. Akan tetapi, bagi pelajar waktu itu, pulang ke
kampung halaman pada masa liburan bukan keharusan atau tradisi.
Tidak adanya keharusan
hari libur bisa dipahami dari kenyataan bahwa Madrasah tidak mengenal
periodisasi waktu atau sistem Tahun Ajaran seperti saat ini, yang biasanya dibatasi
oleh ujian-ujian. Sebagaimana diketahui, ujian massal dan periodik tidak ada
dalam sistem Madrasah, sehingga libur bersama dan periodik seperti sekarang pun
menjadi tidak mungkin diterapkan.
Menurut Stanton, bisa
saja setiap hari ada jadwal pertemuan dengan syaikh, namun umumnya murid
diberi tiga hari (Selasa, Jum’at dan Sabtu) untuk belajar mandiri dan melakukan
kegiatan pribadi. Mungkin, ini dilatari kenyataan bahwa sebagai syaikh mengajar
pada lebih dari satu Madrasah atau merangkap jabatan di pemerintahan. Hari
Jum’at, hari-hari besar Islam, biasanya diisi debat khusus diantara staf dan
pelajar Madrasah, atau ceramah-ceramah ilmiah. Pertemuan formal diliburkan
sepanjang bulan Ramadhan, dan sepenuhnya diisi peribadatan pribadi.
Pemanfaatan hari-hari
libur tidaklah sesemarak sekarang. Sebagaimana diketahui, para pelajar waktu
itu umumnya meninggalkan negerinya untuk mengembara mencari ilmu ke
negeri-negeri yang jauh, dalam rentang waktu belasan sampai puluhan tahun.
Banyak diantara mereka tidak pernah kembali lagi ke tanah airnya semula.
Mungkin, selain mempertimbangkan biaya dan sukarnya perjalanan di masa itu,
liburan yang – dewasa ini – biasa dimanfaatkan para pelajar untuk pulang
menemui keluarga dipandang tidak efektif dan boros, selain merusak konsentrasi.
Para pemuda sering
dianjurkan mengembara meninggalkan kampung halamannya, demi mencari ilmu dari
ulama’ lain dan membuka cakrawala wawasan seluas-luasnya, setelah selesai
belajar dari ulama’ setempat. Perkecualian tentu saja ada, misalnya bagi
pelajar yang telah menikah dan istrinya tinggal di kota yang sama dengan
tempatnya belajar, atau ia adalah pelajar lokal. Namun, biasanya orang yang
tidak pernah mengembara cenderung dianggap “tidak berbobot” secara ilmiah,
karena sanad keilmuan yang dimilikinya lebih rendah. Tentu saja begitu,
sebab ia hanya mendengar ilmu dari seseorang yang ada di kotanya, padahal
semestinya ia bisa mendatangi guru dari gurunya itu di kota lain yang mungkin
masih hidup, atau bahkan ulama’ lain yang lebih tinggi lagi jalur sanad-nya,
sehingga otoritas ilmiahnya lebih kuat.
2. Pengelolaan wakaf dan sistem penggajian
Medi Nakosteen
menulis resume menarik di akhir Bab III dalam buku monumentalnya, setelah
mengulas panjang lebar seputar sifat dan ruang lingkup pendidikan muslim. Sebagian
darinya adalah, sbb: “…Sekolah tinggi dalam abad-abad kreatifnya telah
dibuka untuk orang kaya maupun miskin, dan mereka memiliki kesempatan yang
sama, syaratnya hanya memiliki kemampuan dan ambisi. Menghormati guru dan buku,
terutama dalam pendidikan yang lebih tinggi. Guru, buku, kuliah, diskusi –
adalah pusat urat syaraf sistem pendidikannya.”
Terbukanya kesempatan
bagi kaum kaya dan miskin secara sama tentu saja dilandasi kenyataan bahwa
pendidikan bersifat gratis. Pelajar samasekali tidak dipungut biaya, dan justru
memperoleh beasiswa dengan syarat bersedia tunduk pada disiplin ketat sistem
Madrasah yang diatur dalam dokumen wakaf maupun kitab-kitab adab. Oleh
karenanya, pelajar Madrasah jumlahnya terbatas, dan itu memastikan bahwa hanya anak
yang benar-benar mampu dan bersemangat sajalah yang berada di dalamnya.
Anak-anak yang tidak berbakat atau malas, akan gagal pada penyaringan awal atau
terdepak pada tahap selanjutnya. Sifat ini tentunya beerlaku hanya untuk
pendidikan menengah dan tinggi, sebab untuk level dasar biasanya terbuka bagi siapa
saja.
Pembiayaan pendidikan
diyakini merupakan kewajiban kolektif umat, atau fardhu kifayah, yang
berfungsi memastikan lestarinya lapisan ulama’ dan cendekiawan sehingga agama
tetap terpelihara. Sistem wakaf memungkinkan terlaksananya proyek ini, mengingat
menyelenggarakan lembaga pendidikan tidaklah murah. Tentu saja, hanya para
hartawan dan pejabat yang mampu menjadi patron utama di baliknya. Namun, secara
politik, sistem wakaf memastikan bahwa Madrasah sangat sulit – bahkan, hampir
mustahil – dicampuri oleh negara atau kepentingan penguasa, sebab wakaf adalah
aktifitas religius dan menjadi hak milik kaum muslimin secara umum. Umumnya, “kepentingan”
yang masih bisa mewarnai sejak awal adalah aliran pemikiran atau madzhab fiqh pewakaf,
dimana dia akan mencantumkannya dalam dokumen wakaf, sehingga harus dipatuhi
oleh siapapun yang kelak berinteraksi dengan elemen-elemen wakaf dalam Madrasah
ybs.
Potret kemakmuran yang
tercipta dengan sistem wakaf sangat nyata. Diceritakan bahwa pada awal tahun
523 H (1129 M), Sultan Mahmud II dari Dinasti Saljuq (Baghdad) memerintahkan
audit terhadap keuangan Madrasah Abu Hanifah. Saat itu, yang menjadi mudarris
sekaligus administratornya adalah Qadhi al-Qudhat Al-Zaynabi. Laporan auditnya
ternyata “mengecewakan”, sebab Madrasah itu memiliki penghasilan wakaf tidak
kurang dari 80.000 dinar pertahun (sekitar 126,7 milyar rupiah), namun “hanya”
mampu menghabiskan kurang dari 10.000 dinar saja dalam setahun (sekitar 15,8
milyar rupiah)!!
No
|
Penerima/Item Belanja
|
Jumlah
(dinar
emas)
|
1
|
Khathib
|
84
|
2
|
1.300 helai karpet untuk masjid (pada
tahun ketika laporan ini dibuat)
|
108
|
3
|
Perbaikan karpet yang rusak
|
12
¾
|
4
|
3.000 gram kaca
|
12
¾
|
5
|
Kemenyan (dupa wangi) untuk bulan
Ramadhan dan hari Jum’at, td. kapur barus, kasturi dan biaya pembuatannya
|
15
|
6
|
500 gram lilin
|
7
|
7
|
Upah penyapu masjid, pembersihan debu, dan
penjahitan karpet (harga benang dan upah penjahitnya)
|
5
|
8
|
Sumbu lampu
|
1
|
9
|
Arang untuk membakar kemenyan
|
½
|
10
|
Garam untuk lampu
|
¼
|
11
|
Sabut, 4 tali dan 6 timba
|
⅓
|
12
|
Kain penggosok lampu
|
½
|
13
|
10 keranjang, 10 tali penggantung lampu
dan 200 sapu
|
1
¼
|
14
|
Gentong air dan upah pemikulnya
|
3
|
15
|
Minyak lampu untuk setahun, sekitar 1.200
kati ditambah upah pemikulnya
|
37
⅓
|
16
|
3 orang imam dan 15 bilal, setiap imam
menerima 2 ⅔ dinar dan setiap
bilal menerima 2 dinar per bulan
|
556
½
|
17
|
Pengawas masjid, setiap tahun
|
24
|
18
|
Penyapu pabrik dan upah membersihkan
kotoran tern`k (harta wakaf)
|
1
|
19
|
Perbaikan kerusakan
|
60
|
20
|
180 ½ pikul makanan sapi di pabrik yang
hasilnya untuk masjid
|
8
¾
|
21
|
Sewa gudang makanan sapi
|
4
|
22
|
2 acre (sekitar 0,8 hektar) lahan rumput
untuk makanan sapi
|
7
|
23
|
Upah pengurus makanan sapi dan pengangkut
air minumnya
|
15
½
|
24
|
Upah pembersih kamar kecil dan tempat
wudhu
|
12
|
25
|
Rantai dll yang ada diatas kubah masjid
|
24
|
Selain dari wakaf, Al-Azhar
juga memiliki pemasukan dari sumber-sumber lain yang insidentil, seperti hadiah
dan sedekah, yang bisa berupa uang tunai, barang maupun makanan, minuman dan
kue-kue. Hadiah dan sedekah ini datang dari sultan, pangeran, pejabat,
hartawan, saudagar atau kaum muslimin pada umumnya.
An-Nu’aimy, dalam ad-Daris
fi Tarikh al-Madaris, mencatat ketentuan pembelanjaan harta wakaf yang
lebih rinci, untuk kasus sebuah Darul Qur’an ad-Dilamiyah di Damaskus
berdasarkan dokumen wakafnya, yang mulai diwakafkan pada tahun 847 H. Satuan
yang digunakan adalah dirham perak, atau setara Rp 35.500,- /dirham (Okt. 2010),
untuk belanja bulanan.
No
|
Penerima/Item Belanja
|
Jumlah
(dirham perak)
|
1
|
Imam
|
100
|
2
|
Penanggung jawab (qayyim)
|
100
|
3
|
6 orang fakir asing-muhajirin yang
bertugas membaca Al-Qur’an setiap hari, masing-masing 30 dirham per bulan
|
180
|
4
|
Tugas tambahan bagi imam untuk membacakan
Al-Qur’an kepada 6 fakir tsb
|
20
|
5
|
10 anak yatim, masing-masing 10 dirham
|
100
|
6
|
Pengajar (syaikh) untuk 10 anak
yatim
|
60
|
7
|
Syaikh pembaca Shahih al-Bukhari, selama 3 bulan, 120
dirham
|
40
|
8
|
Nazhir wakaf
|
60
|
9
|
‘Amil, per tahun menerima 600 dirham
|
50
|
10
|
Pembelian minyak, per tahun 600 dirham
|
50
|
11
|
Lampu penerangan untuk pembacaan Shahih
al-Bukhari dan shalat tarawih
|
100
|
12
|
15 rithl halwa, 2 ekor kambing
kurban untuk para pegawai
|
---
|
13
|
1 jubah dan gamis katun, ditambah sapu
tangan untuk setiap anak yatim
|
---
|
14
|
Pembaca Al-Qur’an tiap Selasa, seminggu
sekali
|
30
|
Pengelolaan pokok harta
wakaf maupun hasilnya, pada prinsipnya mengikuti pola-pola umum yang telah digariskan
dalam Fiqh Mu’amalah. Bagaimana pun, wakaf adalah bagian dari syari’at sehingga
pasti telah ada aturan bakunya, sedangkan investasi dan transaksi (sewa, niaga,
bagi hasil, dsb) termasuk wilayah yang rawan syubhat. Dengan kata lain, nazhir
wakaf – sekaligus, administrator (mutawalli) – harus mengerti betul
pokok-pokok hukum Fiqh Mu’amalah, sehingga tidak mempraktikkan transaksi (‘aqd)
atau langkah investasi (tanmiyah) yang haram. Ada logika dan benang merah
yang mudah dirunut pada persyaratan ini, mengingat aktifitas mencari ilmu
adalah bagian dari ibadah, sehingga harus dijaga kesuciannya dari hal-hal yang
haram, agar tidak ditolak oleh Allah atau kehilangan berkahnya. Dari sini,
sangatlah wajar jika persyaratan seorang nazhir cukup “fantastis”,
sebagaimana telah dikutip dimuka.
Imam adz-Dzahaby,
dalam Tarikh-nya menulis tentang wakaf Madrasah Mustansiriyah
Baghdad, “Dokumen wakaf Mustansiriyah itu, saya melihatnya pada naskah
setebal empat lembar, di dalamnya berisi wakaf beberapa petak tanah dan
bedak-bedak toko di Baghdad, juga sejumlah perkampungan besar maupun kecil yang
nilainya – menurut taksiran saya – 900.000 dinar. Di seluruh dunia, saya
samasekali belum pernah menemukan wakaf yang (nilanya) mendekatinya, selain
wakaf untuk Masjid Jami’ Damaskus, dan wakafnya memang lebih luas …… Ada sumber
terpercaya yang mengungkapkan kepada saya bahwa penghasilan wakafnya – pada
sebagian tahun – mencapai 70.000 timbangan emas lebih sekian.”
Contoh lain yang lebih
global adalah kitab al-waqfi (dokumen wakaf) Madrasah Nizhamiyah, yang
merupakan pernyataan Perdana Menteri Nizhamul Mulk ketika mulai membangunnya.
Naskah ini sampai kepada kita tidak dalam kondisi utuh, namun paling tidak akan
memberi kita gambaran tertentu untuk memahami sifat-sifat Madrasah. Ibnul Jauzi
meriwayatkannya dalam al-Muntazham, ketika mengulas kejadian-kejadian
pada tahun 484 H, sbb: “…dalam
dokumen wakafnya, Madrasah itu diwakafkan untuk penganut madzhab Syafi’i, baik
dalam ushul maupun furu’. Demikian pula semua perabotan yang diwakafkan di
dalamnya dipersyaratkan harus dipergunakan untuk penganut madzhab Syafi’i, baik
dalam ushul maupun furu’. Ketentuan yang sama berlaku pula untuk mudarris yang
mengajar di dalamnya, wa’izh yang bertugas disana, dan pustakawan (mutawalli
al-kutub). Dipersyaratkan pula bahwa di dalamnya harus ada seorang muqri’ yang
(mengajarkan) membaca Al-Qur’an, nahwiy yang mengajarkan bahasa Arab; dan
ditetapkan untuk masing-masing mereka sejumlah bagian dari harta wakaf.”
Berikut ini kami kutip
kembali pernyataan as-Subky dalam Mu’idu an-Ni’am, yang telah dinukil
sebelumnya, karena konteksnya berbeda. Jika diperhatikan, ternyata membahas
administrasi keuangan Madrasah tidak bisa terlepas sedikit pun dari hukum-hukum
fiqh, sebagaimana dapat Anda saksikan di sela-sela teks berikut:
“Diantara kerusakan
yang umum terjadi adalah Madrasah yang tidak membatasi jumlah fuqaha’ yang
tinggal di dalamnya, sehingga Qadhi atau Nazhir menempatkan orang-orang di
dalamnya lalu menetapkan untuk mereka jumlah (gaji) tertentu yang melebihi
jumlah keseluruhan pemasukan Ladrasah. Maka, bolehkah menempatkan orang
melebihi jumlah itu? Ibnu Rif’ah berkata, “Tidak boleh.” Syaikh al-Imam
berkata, “Demikian pulalah pendapat yang saya pegangi, dengan syarat jika di
Madrasah itu telah ditetapkan jumlah (gaji) tertentu bagi pada fuqaha’-nya.
Namun, jika ditetapkan – misalnya – sepuluh orang fuqaha’ dan tidak ada kadar
atau bagian tertentu dari wakaf yang telah ditetapkan secara eksplisit dalam
dokumen mereka – dan inilah yang umum terjadi pada Madrasah-madrasah yang tidak
memiliki batasan tertentu – maka hal itu tidak masalah. Termasuk kerusakan
(yang umum terjadi) adalah Nazhir Wakaf yang menyewakan toko rusak atau
sejenisnya dengan syarat penyewa harus memperbaikinya dari hartanya sendiri,
dan biaya yang dikeluarkannya itu dianggap sebagai uang sewanya. Ini adalah
sewa-menyewa yang batil (tidak dibenarkan), sebab toko itu pada saat
(transaksi) tidak bisa dimanfaatkan. Adapun jika toko itu bisa berfungsi
kemudian disewakan dengan harga tertentu, kemudian ia mengizinkan penyewa untuk
merenovasinya atas biaya sendiri, maka dibolehkan. Ar-Rafi’i menegaskan hal ini
pada permulaan bab sewa-menyewa. Tidak diperbolehkan juga menyewakan pemandian
dengan mempersyaratkan bahwa periode ketika tidak bisa dipergunakan – misalnya,
karena renovasi atau yang lain – dihitung sebagai tanggungan penyewa, bukan
pemilik.”
Barangkali, gambaran
lebih lengkap dan memadai tentang bagaimana sistem wakaf beroperasi mendukung
Madrasah, adalah apa yang diuraikan oleh Stanton dalam bukunya, Pendidikan
Tinggi dalam Islam. Meskipun ulasan ini cukup panjang, dan beberapa hal di
dalamnya perlu dipertanyakan, namun ada baiknya kami kutip secara lengkap
sebagai bahan pertimbangan.
“Berdasarkan hukum
wakaf, seseorang dapat membentuk satu wakaf yang asetnya akan mendukung satu
lembaga yang dia pilih. Muslim yang saleh melakukan hal ini sebagai
kedermawanan dan sekaligus tanda rasa syukur. Menyumbangkan materi untuk
kepentingan umum adalah salah satu rukun Islam – yakni zakat yang diperuntukkan
bagi orang-orang miskin dan pengembangan Islam. Pendidikan jelas termasuk pada
kategori kedua, dan mereka yang membantu pendidikan secara material sangat
dihormati. Adalah hal yang biasa – bahkan pada abad-abad awal Islam – bagi hartawan
muslim untuk membantu masjid-masjid dalam usaha memenuhi kebutuhan masyarakat
atau – terkadang – untuk mendukung satu pemikiran keagamaan tertentu. Dalam
kaitannya dengan mazhab ortodoks yang empat, orang-orang yang ingin
menyebarluaskan padangannya memeberikan wakaf kepada masjid-akademi yang
berfungsi sebagai tempat pengajaran mazhab tersebut. Dengan cara ini para
pemberi wakaf membatasi fungsi lembaga yang bersangkutan dan menjamin
kelanjutan pendekatan kelompoknya terhadap agama dan hukum.
Pada level lain – yang
barangkali lebih manusiawi – wakaf dapat digunakan untuk melindungi harta
seseorang dari kecurigaan pemerintah atau dari pajak. Begitu diserahkan kepada
satu lembaga tertentu dalam bentuk wakaf, kekayaan tersebut berada di luar
jangkauan kekuasaan luar. Meski si pemberi wakaf tidak dapat mengambil keuntungan
aset wakaf secara langsung, dia tetap dapat mengelola penghasilannya.
Lebih-lebih lagi dia dapat mengabadikan nama keluarganya dengan mengaitkannya
kepada lembaga yang didukung dengan wakaf tersebut. Sebagaimana halnya dengan
berbagai konsep hukum, hukum wakaf juga rumit dan mengalami bermacam penafsiran
dalam segala fatwa yang dikeluarkan dari abad ke abad.
Seseorang yang ingin
mewakafkan satu lembaga menyusun satu dokumen hukum yang secara formal dicatat
oleh seorang notaris. Dokumen ini menggambarkan materi kekayaan yang menjadi
wakaf dan mencantumkan cara penggunaan uang yang dihasilkan dari investasi,
penyewaan atau penjualan aset tersebut. Disamping itu, pemberi wakaf juga
menentukan satu atau beberapa orang yang bertanggung jawab untuk mengelola
wakaf tersebut – yang (dalam kenyataan) – seringkali adalah dia sendiri atau
ahli warisnya.
Jika lembaga yang
didukung adalah lembaga pendidikan, pemberi wakaf dapat menentukan kriteria pengajar
yang harus dipenuhi dan pendekatan terhadap kurikulum yang harus diikuti.
Kontrol atas wakaf, seperti dibenarkan dalam hukum wakaf, membedakan pendekatan
Islam terhadap wakaf dengan kebiasaan yang umum berlangsung di Eropa Abad
Pertengahan. Di Dunia Barat, penyumbang melepaskan semua otoritasnya atas
kekayaannya, begitu kekayaan tersebut disumbangkan pada satu lembaga. Ia hanya
berhak untuk memberikan ketentuan umum sehubungan dengan tujuan wakaf yang ia
berikan.
Hukum Islam memberikan
kebebasan yang lebih luas kepada pemberi wakaf untuk menentukan struktur dan
adimistrasi masjid-akademi. Ia juga harus menentukan satu sistem penggantian
kepemimpinan bilamana orang yang ditunjuk tidak dapat menjalankan tugasnya
karena kematian, ketidakmampuan, atau pemecatan. Bila ketentua khusus tidak
dibuat, dan penanggung jawab dianggap tidak mampu, lalu dituntut sesuai
prosedur hukum, maka Qadhi berhak menentukan penggantinya sebagai penanggung
jawab. Qadhi juga berhak meneliti dan memutuskan bila terjadi perselisihan
sehubungan dengan wakaf, atau bila lembaga yang didukung oleh wakaf tersebut
berada dalam kesulitan. Seorang administrator yang bertanggung jawab atas satu
wakaf tidak berhak membatalkan wakaf tersebut. Persoalan ini harus diserahkan
kepada Qadhi. Dalam kondisi tertentu, pemberi wakaf memilih sekelompok orang
sebagai komite yang bertanggung jawab sebagai pengelola; dan dengan ini
menghindari ketergantungan pada hanya satu orang dalam pengambilan
keputusan-keputusan.
………
Karena penghasilan
wakaf bervariasi setiap tahun sesuai dengan gelombang ekonomi, prioritas
pengeluaran ditentukan dalam dokumen wakaf. Prioritas pertama adalah untuk staf
yang kehadiirannya sangat esensial terhadap misi lembaga yang bersangkutan.
Dalam kasus sebuah masjid-akademi, jajaran staf mencakup mudarris, syaikh, imam
dan mu’adzin. Prioritas kedua adalah jabatan yang lebih rendah seperti mu’id
dan mufid. Prioritas ketiga adalah beasiswa dan pelayanan bagi para
mahasiswanya. Bila pada tahun tertentu terjadi surplus, surplus ini tidak boleh
dipakai untuk menambah modal wakaf. Jika pemberi wakaf menentukan bahwa surplus
harus dibagikan – mungkin kepada orang-orang miskin, atau untuk membeli
buku-buku – pengelola harus mengikuti ketentuan tersebut. Bila ketentuan
semacam ini tidak ada dan pengelola tidak boleh bertindak sesuai kemauannya,
imam masjid-akademi boleh memanfaatkan surplus tersebut untuk berbagai tujuan
religius, termasuk untuk biaya haji bagi dirinya sendiri.
Dokumen wakaf
dipersiapkan secara sangat hati-hati, sebab dokumen ini tidak boleh diubah
setekag ditandatangani. Walaupun pemberi wakaf mengangkat dirinya sendiri
sebagai pengelola – dan karenanya tetap memegang kontrol atas harta wakaf
tersebut, serta berpengaruh dalam pemilihan staf – dia tidak diperbolehkan
mengambil sebagian aset atau penghasilan dari wakaf tersebut. Dia tidak pula
diperbolehkan untuk memodifikasi tujuan lembaga yang dia dukung. Jika,
misalnya, ia telah menetapkannya sebagai lembaga pendidikan sesuai dengan
mazhab Ahmad bin Hanbal, ia tidak boleh mengangkat seorang mudarris bermazhab
Syafi’i.”
[*]
Bersambung....
Bagian 1, klik DISINI.
Bagian 2, klik DISINI.
Bagian 3, klik DISINI.
Bagian 4-1, klik DISINI.
Bagian 4-2, klik DISINI.
Bagian 5, klik DISINI.
Bagian 6-1, klik DISINI.
Bagian 6-2.
Bagian 7, klik DISINI
Bagian 8, klik DISINI
Untuk mendapatkan naskah lengkapnya dalam format PDF, silakan cek laman DOWNLOAD, atau klik DISINI
Bersambung....
Bagian 1, klik DISINI.
Bagian 2, klik DISINI.
Bagian 3, klik DISINI.
Bagian 4-1, klik DISINI.
Bagian 4-2, klik DISINI.
Bagian 5, klik DISINI.
Bagian 6-1, klik DISINI.
Bagian 6-2.
Bagian 7, klik DISINI
Bagian 8, klik DISINI
Untuk mendapatkan naskah lengkapnya dalam format PDF, silakan cek laman DOWNLOAD, atau klik DISINI