Pengelolaan Madrasah - Bag. 5/8

 

[ Sambungan dari Bag. 4 ]



[ 5 ]
PELAJAR MADRASAH DAN PENGELOLAANNYA

Pelajar Madrasah masa lalu sangatlah berbeda, jika ditinjau dari kacamata modern. Pertama, mereka umumnya terbagi dua, yaitu “reguler” dan “non-reguler”. Kedua, tidak ada batasan usia bagi seseorang untuk bisa bergabung. Ketiga, tidak ada batasan berapa lama seseorang menyelesaikan masa belajarnya. Keempat, tidak ada ketentuan berapa kadar pelajaran harian yang wajib diberikan. Kelima, mereka tidak dipungut biaya apapun, namun justru mendapat beasiswa dari Madrasahnya.
Diantara perbedaan lain adalah sistem liburan yang – setahu kami – tidak dikenal, setidaknya seperti sekarang, walau tetap ada hari-hari libur resmi.

1.      Jenis pelajar menurut afiliasinya ke Madrasah
Umumnya, pelajar Madrasah dibagi dua, y`itu “reguler” dan “non-reguler”. Mereka memiliki kualifikasi dan tugas berbeda.
Pertama, pelajar tetap atau thalib muntazhim (الطالب المنتظم  ) artinya pelajar reguler, muqim ( المقيم ) artinya: menetap, atau musytaghil ( المشتغل ) artinya yang menyibukkan diri secara khusus, yaitu: mereka yang sengaja tinggal dalam kamar-kamar yang disediakan oleh Madrasah, dan seluruh kebutuhan dasar mereka telah dipenuhi dari harta wakaf. Dilaporkan bahwa setiap pelajar Madrasah Nizhamiyah mendapat satu kamar pribadi, sehingga pernah ada pelajar yang meninggal di kamarnya lalu orangtuanya datang untuk memasang nama anak mereka di kamar tsb sebagai kenang-kenangan. Para pelajar ini tugasnya hanya belajar dan tidak bekerja untuk menghidupi dirinya, harus mengikuti halaqah reguler yang ditentukan dan jadwal-jadwal lain yang ditetapkan dalam syuruthu al-waqfi.
Kedua, pelajar non-reguler, yaitu ghairul muntazhimin min ath-thullab ( غير المنتظمين من الطلاب ) atau mustami’ ( المستمع ), yakni pendengar saja. Biasanya mereka adalah para pencari ilmu dari kota-kota lain, atau siapa saja yang sesekali bergabung untuk mendengarkan perkuliahan syaikh. Sebagaimana telah dipaparkan dimuka, halaqah seorang syaikh bersifat terbuka untuk umum. Para pengembara, pencari hadits, rombongan jamaah haji, atau kafilah dagang yang singgah di suatu kota, biasanya datang dan bergabung dalam halaqah pada beberapa kali pertemuan, sebelum melanjutkan perjalanan atau bergabung ke halaqah lain. Warga setempat juga datang ke majlis-majlis ini, dan turut mendengarkan kuliah. Misalnya, ayah Imam Al-Ghazali sangat suka mengikuti halaqah di sela-sela kesibukannya sebagai penenun dan penjual kain, walau pada kenyataannya ia sendiri buta huruf. Pelajar non-reguler ini tidak diharuskan mengerjakan tugas-tugas tambahan di luar tatap muka dengan mudarris, seperti riset.
Kenyataan ini berhubungan dengan epistemologi Islam, bahwa ilmu tidak boleh disembunyikan dari siapa pun yang menginginkannya. Maka, halaqah bersifat terbuka dan gratis. Sebagai kontrol, masing-masing orang diikat dengan “adab”, sehingga hanya akan memilih ilmu dan halaqah yang sesuai dengan dirinya. Misalnya, kitab-kitab adab melarang pelajar pemula menghadiri dan mendengarkan perdebatan teologis (kalam) karena akan mengacaukan pikirannya. Nalun, diketahui pula bahwa seorang syaikh biasanya memiliki “pencatat presensi” (katibu al-ghaibah), sebagaimana dinyatakan oleh as-Subky, yang mengindikasikan bahwa ada sistem administrasi pembelajaran yang baik di waktu itu. Tentang “pencatat presensi” ini, sudah dibicarakan sebelumnya.

2.      Usia dan kualifikasi pelajar
Tidak ada batasan usia kapan seseorang bisa memasuki Madrasah. Jika seseorang telah menyelesaikan level kuttab, pada usia berapapun, maka ia langsung bisa memasuki Madrasah. Seseorang juga bisa memasuki Madrasah pada usia berapapun kelak. Akan tetapi, ada konvensi bahwa seseorang baru sah mendengar hadits jika telah baligh, karena terkait dengan kriteria ‘adalah (keadilan) perawi, yaitu: muslim, baligh, berakal, dan bukan pelaku maksiat. Dan, umumnya pelajar telah menyelesaikan level kuttab pada usia 12 tahun, atau kurang dari itu. Dalam usia ini, kebanyakan mereka telah menghafalkan Al-Qur’an.
Ada pelajar tingkat pemula yang memasuki Madrasah dalam usia 30-an, bahkan lebih dari itu, meski pada umumnya usia mereka kurang dari 20 tahun. Ada laporan yang menyatakan bahwa seorang pelajar telah menikah dan meninggalkan istrinya tinggal bersama orangtuanya, sehingga ketika ada “persoalan” antara pelajar ini dengan mertuanya, syaikh-nya akhirnya turun-tangan menengahi dan menyelesaikan.
Prasyarat untuk memasuki Madrasah pun tidak terlalu rumit. Akan tetapi, ia terkait erat dengan ilmu apa yang akan ditekuninya kelak. Biasanya, setelah pelajar bisa baca-tulis, dan menguasai perangkat dasar lain yang diberikan di kuttab, ia akan memasuki halaqah mana yang diinginkannya. Mungkin sekali ia akan mengembara ke kota-kota lain untuk menimba ilmu dari guru-guru terbaik. Dari sinilah tradisi rihlah (pengembaraan ilmiah) bermula.

3.      Lama masa belajar
Tidak ada batasan waktu berapa lama pelajar menyelesaikan studinya. Ibnu Wahb, misalnya, menjadi murid Imam Malik selama 30 tahun, dan 20 tahun terakhir sebagai shahib. Namun, ada catatan bahwa mereka – pada umumnya – melaluinya dalam 4 tahun, sebelum akhirnya dianggap mumpuni dalam ilmu yang ia tekuni. Akan tetapi, tidak cukup jelas juga pada usia berapa ia masuk maupun lulus.
Kualifikasi dan standar akademis pasti ada, tapi setiap pelajar akan menyelesaikannya dalam rentang waktu berbeda, tergantung aneka faktor. Pada prinsipnya, kemajuan dan berakhirnya studi seorang pelajar tergantung penilaian syaikh-nya, bukan bilangan tahun. Biasanya, jika pelajar telah menyelesaikan seluruh materi di Madrasah, ia mengajukan permohonan ijazah ke Madrasah dan kemudian bisa langsung bekerja atau membuka halaqah-nya sendiri.
Lama masa belajar yang berbeda ini disebabkan karena tiadanya kadar pelajaran harian yang wajib diberikan, yang berpijak pada perbedaan kemampuan dan semangat pelajar ybs. Penyampaian materi dipandu oleh dua pedoman. Pertama, sangat ketat memperhatikan level materi. Kedua, perpindahan materi ditentukan oleh penguasaan materi sebelumnya, dan tidak boleh dinaikkan sebelum materi sebelumnya sempurna. Al-Baihaqi meriwayatkan bahwasanya Imam Syafi'i berjumpa dengan seorang pendidik (mu'addib), kemudian beliau berkata kepadanya, "Hendaknya yang pertama-tama engkau perbaiki dari orang-orang yang engkau didik adalah memperbaiki dirimu sendiri. Sebab, mata merdka terpaku dengan matamu; yang baik bagi mereka adalah apa yang menurutmu baik, yang buruk bagi mereka adalah apa yang engkau tinggalkan. Ajari mereka Kitabullah dan jangan paksa mereka sehingga engkau membuat mereka bosan kepadanya, tetapi jangan engkau biarkan mereka dari Kitabullah itu sehingga mereka menelantarkannya. Lantunkan untuk mereka syair-syair yang paling terjaga ('iffah) isinya. Riwayatkan kepada mereka hadits yang paling mulia. Jangan engkau pindahkan mereka dari suatu ilmu ke ilmu lainnya sebelum mereka menguasainya, sebab bertumpuk-tumpuknya perkataan di telinga itu akan menyesatkan."
Syekh Waliyyullah ad-Dahlawi menulis dalam kitabnya, al-Qaul al-Jamil fi Bayani Sawaa’i as-Sabil, menulis tentang tahap-tahap memberi peringatan, yang pada dasarnya juga merupakan salah satu komponen pendidikan Madrasah:
“Hendaknya seorang pemberi peringatan menengok dirinya sendiri terlebih dahulu. Wujudkanlah kepribadian seorang muslim sejati semaksimal mungkin, yaitu dalam amal perbuatan, perkataan, akhlaq, dan isi hati. Jangan lupa untuk kontinyu berdzikir. Setelah itu, tularkan watak tersebut secara utuh kepada par` pendengar dengan bertahap, sesuai tingkat pemahamannya. Pertama, perintahkan mereka untuk mengerjakan amal-amal kebajikan yang paling utama dan menghindari keburukan yang paling rendah, terutama dalam berpakaian, dandanan, tatacara shalat, dan lain-lain. Jika mereka telah terbiasa dengan semua itu, maka suruhlah mereka untuk melazimkan dzikir dalam kesehariannya. Jika dzikir telah membekas dalam diri mereka, doronglah untuk mulai mengendalikan lisan dan hatinya. Untuk menanamkan kesan ini, seorang pemberi peringatan dapat menuturkan ayyamullah (hari-hari Allah), yaitu kisah-kisah umat terdahulu, dimana di dalamnya tercermin betapa hebatnya tindakan, penguasaan dan siksaan Allah kepada para pendurhaka. Kemudian, dapat diulas pula kedahsyatan kematian, siksa kubur, hari perhitungan amal, dan siksa neraka. Bisa juga disampaikan beragam motivasi dan dorongan, sesuai situasi dan kondisi yang ada.

4.      Level pelajar
Dalam sistem Madrasah, pelajar akan menempuh empat level utama, sampai ia menyelesaikan seluruh materi dan menjadi sarjana independen yang berhak membuka halaqah-nya sendiri.
Pelajar tingkat pemula biasanya disebut thalib (pencari), murid (yang menginginkan), muta’allim (pelajar), atau mubtadi’ (pemula). Di Madrasah-madrasah fiqh dan madzhab, mereka disebut juga mutafaqqih (berusaha menjadi faqih).
Lalu, pelajar tingkat kedua disebut mutsaqqaf (orang yang memiliki wawasan) atau mutawassith (tingkat menengah).
Pelajar level berikutnya disebut muntahi (tingkat akhir), yang tugas-tugasnya dijelaskan oleh as-Subki, sbb: “ia harus melakukan riset dan diskusi melebihi pelajar-pelajar lain yang di bawah levelnya. Jika dia berdiam diri dan merasa puas dengan seluruh pengetahuan yang telah dimiliki seorang muntahi, karena dalam dirinya (ada perasaan) lebih tahu dibanding para peserta kajian lainnya, maka ia tidak mensyukuri nikmat Allah dengan sebenar-benarnya syukur.”
Akhirnya, seorang pelajar akan mencapai level faqih (yang mendalam ilmunya). Pada level ini, ia telah menjadi shahib (partner, teman) atau mulazim (selalu menemani) dari syaikh-nya. Sepertinya, ia sudah mulai menulis karya tertentu di bawah bimbingan Syaikh-nya, walau biasanya tidak akan diterbitkan sampai Syaikh ini wafat, kecuali jika faqih yang bersangkutan meninggalkan Madrasah untuk belajar kepada guru lain atau membuka halaqah sendiri. Imam al-Haramain al-Juwayni pernah berkata kepada murid dan shahib-nya, Imam al-Ghazali, “Mengapa engkau tidak bersabar? Engkau telah menguburku hidup-hidup.” Ini dikarenakan al-Ghazali telah menerbitkan karyanya, al-Mankhul fi ‘Ilm al-Ushul, pada masa gurunya masih hidtp, sementara karya ini sangat hebat sehingga mengalahkan karya gurunya. Imam al-Bukhari mengaku sudah mulai menyusun draft kitab Shahih-nya selama menjadi shahib dari gurunya, Ishaq bin Rahawaih, walau karya itu sendiri baru benar-ben`r selesai 14 tahun kemudian.
Adapun tentang faqih, as-Subki menulis, “Seharusnya mereka berupaya memahami (persoalan) semaksimal mungkin, dan tekun dalam (belajar) kecuali jika ada udzur syar’i. Namun, betapa buruk apa yang mereka kerjakan. Sebagian mereka mengobrol dengan temannya di saat sedang membaca satu bagian (materi studi) dari seperempatan (pembagian jam studi). Maka, mereka tidak juga membaca Al-Qur’an, dan tidak pula terhindar dari perbincangan yang sia-sia. Jika saja membaca satu bagian (materi studi) adalah sesuatu yang diwajibkan dalam dokumen wakaf (syuruth al-waqf), sehingga mereka berhak atas pembiayaan yang mereka terima, dan mereka mengobrol secara diam-diam seperti itu, maka sungguh mereka telah mengumpulkan banyak hal yang haram. Diantara mereka ada juga yang tidak memperhatikan samasekali orang yang memujinya. Kadang mereka membuka sebuah buku dan membacanya, namun tidak memperhatikan apa yang sedang dipaparkan oleh mudarris. Bahkan, ia duduk menjauh dari mudarris sehingga justru tidak akan bisa mendengar suaranya. Hal ini samasekali tidak bisa dimaklumi. Tidak boleh juga ia membaca buku (yang lain) pada saat ia sedang berada dalam (halaqah) pembelajar`n. Andai saja pewakaf mencukupkan diri dengan mempersyaratkan agar faqih ini membaca buku saja, tentu pewakaf tidak akan mengharuskannya untuk datang (ke majlis halaqah).”

[*]


Bagian 1, klik DISINI.
Bagian 2, klik DISINI.
Bagian 3, klik DISINI.
Bagian 4-1, klik DISINI.
Bagian 4-2, klik DISINI.
Bagian 5.
Bagian 6-1, klik DISINI.
Bagain 6-2, klik DISINI
Bagian 7, klik DISINI
Bagian 8, klik DISINI


Untuk mendapatkan naskah lengkapnya dalam format PDF, silakan cek laman DOWNLOAD, atau klik DISINI