[ 5 ]
PELAJAR MADRASAH DAN PENGELOLAANNYA
Pelajar
Madrasah masa lalu sangatlah berbeda, jika ditinjau dari kacamata modern. Pertama,
mereka umumnya terbagi dua, yaitu “reguler” dan “non-reguler”. Kedua,
tidak ada batasan usia bagi seseorang untuk bisa bergabung. Ketiga, tidak
ada batasan berapa lama seseorang menyelesaikan masa belajarnya. Keempat, tidak
ada ketentuan berapa kadar pelajaran harian yang wajib diberikan. Kelima, mereka tidak
dipungut biaya apapun, namun justru mendapat beasiswa dari Madrasahnya.
Diantara perbedaan
lain adalah sistem liburan yang – setahu kami – tidak dikenal, setidaknya
seperti sekarang, walau tetap ada hari-hari libur resmi.
1.
Jenis pelajar menurut afiliasinya ke
Madrasah
Umumnya,
pelajar Madrasah dibagi dua, y`itu “reguler” dan “non-reguler”. Mereka memiliki
kualifikasi dan tugas berbeda.
Pertama, pelajar
tetap atau thalib muntazhim (الطالب
المنتظم ) artinya pelajar reguler, muqim ( المقيم
) artinya: menetap, atau musytaghil ( المشتغل
) artinya yang menyibukkan diri secara khusus, yaitu: mereka yang sengaja tinggal
dalam kamar-kamar yang disediakan oleh Madrasah, dan seluruh kebutuhan dasar
mereka telah dipenuhi dari harta wakaf. Dilaporkan bahwa setiap pelajar
Madrasah Nizhamiyah mendapat satu kamar pribadi, sehingga pernah ada pelajar
yang meninggal di kamarnya lalu orangtuanya datang untuk memasang nama anak
mereka di kamar tsb sebagai kenang-kenangan. Para pelajar ini tugasnya hanya
belajar dan tidak bekerja untuk menghidupi dirinya, harus mengikuti halaqah
reguler yang ditentukan dan jadwal-jadwal lain yang ditetapkan dalam syuruthu
al-waqfi.
Kedua, pelajar
non-reguler, yaitu ghairul muntazhimin min ath-thullab ( غير
المنتظمين من الطلاب ) atau mustami’ ( المستمع
), yakni pendengar saja. Biasanya mereka adalah para pencari ilmu dari
kota-kota lain, atau siapa saja yang sesekali bergabung untuk mendengarkan
perkuliahan syaikh. Sebagaimana telah dipaparkan dimuka, halaqah seorang
syaikh bersifat terbuka untuk umum. Para pengembara, pencari hadits,
rombongan jamaah haji, atau kafilah dagang yang singgah di suatu kota, biasanya
datang dan bergabung dalam halaqah pada beberapa kali pertemuan, sebelum
melanjutkan perjalanan atau bergabung ke halaqah lain. Warga setempat
juga datang ke majlis-majlis ini, dan turut mendengarkan kuliah. Misalnya, ayah
Imam Al-Ghazali sangat suka mengikuti halaqah di sela-sela kesibukannya
sebagai penenun dan penjual kain, walau pada kenyataannya ia sendiri buta
huruf. Pelajar non-reguler ini tidak diharuskan mengerjakan tugas-tugas
tambahan di luar tatap muka dengan mudarris, seperti riset.
Kenyataan
ini berhubungan dengan epistemologi Islam, bahwa ilmu tidak boleh disembunyikan
dari siapa pun yang menginginkannya. Maka, halaqah bersifat terbuka dan
gratis. Sebagai kontrol, masing-masing orang diikat dengan “adab”, sehingga hanya
akan memilih ilmu dan halaqah yang sesuai dengan dirinya. Misalnya, kitab-kitab
adab melarang pelajar pemula menghadiri dan mendengarkan perdebatan teologis (kalam)
karena akan mengacaukan pikirannya. Nalun, diketahui pula bahwa seorang syaikh
biasanya memiliki “pencatat presensi” (katibu al-ghaibah), sebagaimana
dinyatakan oleh as-Subky, yang mengindikasikan bahwa ada sistem administrasi
pembelajaran yang baik di waktu itu. Tentang “pencatat presensi” ini, sudah
dibicarakan sebelumnya.
2.
Usia dan kualifikasi pelajar
Tidak
ada batasan usia kapan seseorang bisa memasuki Madrasah. Jika seseorang telah
menyelesaikan level kuttab, pada usia berapapun, maka ia langsung bisa
memasuki Madrasah. Seseorang juga bisa memasuki Madrasah pada usia berapapun
kelak. Akan tetapi, ada konvensi bahwa seseorang baru sah mendengar hadits jika
telah baligh, karena terkait dengan kriteria ‘adalah (keadilan) perawi, yaitu:
muslim, baligh, berakal, dan bukan pelaku maksiat. Dan, umumnya pelajar telah
menyelesaikan level kuttab pada usia 12 tahun, atau kurang dari itu. Dalam usia ini, kebanyakan mereka telah menghafalkan
Al-Qur’an.
Ada
pelajar tingkat pemula yang memasuki Madrasah dalam usia 30-an, bahkan lebih
dari itu, meski pada umumnya usia mereka kurang dari 20 tahun. Ada laporan yang
menyatakan bahwa seorang pelajar telah menikah dan meninggalkan istrinya tinggal
bersama orangtuanya, sehingga ketika ada “persoalan” antara pelajar ini dengan
mertuanya, syaikh-nya akhirnya turun-tangan menengahi dan menyelesaikan.
Prasyarat
untuk memasuki Madrasah pun tidak terlalu rumit. Akan tetapi, ia terkait erat
dengan ilmu apa yang akan ditekuninya kelak. Biasanya, setelah pelajar bisa
baca-tulis, dan menguasai perangkat dasar lain yang diberikan di kuttab,
ia akan memasuki halaqah mana yang diinginkannya. Mungkin sekali ia akan
mengembara ke kota-kota lain untuk menimba ilmu dari guru-guru terbaik. Dari
sinilah tradisi rihlah (pengembaraan ilmiah) bermula.
3.
Lama masa belajar
Tidak
ada batasan waktu berapa lama pelajar menyelesaikan studinya. Ibnu Wahb, misalnya,
menjadi murid Imam Malik selama 30 tahun, dan 20 tahun terakhir sebagai shahib.
Namun, ada catatan bahwa mereka – pada umumnya – melaluinya dalam 4 tahun,
sebelum akhirnya dianggap mumpuni dalam ilmu yang ia tekuni. Akan tetapi, tidak cukup jelas juga pada usia berapa ia masuk
maupun lulus.
Kualifikasi
dan standar akademis pasti ada, tapi
setiap pelajar akan
menyelesaikannya dalam rentang waktu berbeda, tergantung aneka
faktor. Pada prinsipnya, kemajuan dan berakhirnya studi seorang pelajar
tergantung penilaian syaikh-nya, bukan bilangan tahun. Biasanya, jika
pelajar telah menyelesaikan seluruh materi di Madrasah, ia mengajukan
permohonan ijazah ke Madrasah dan kemudian bisa langsung
bekerja atau membuka halaqah-nya
sendiri.
Lama
masa belajar yang berbeda ini disebabkan karena tiadanya kadar pelajaran harian yang
wajib diberikan, yang berpijak pada perbedaan kemampuan dan semangat pelajar
ybs. Penyampaian materi dipandu oleh dua pedoman. Pertama, sangat ketat
memperhatikan level materi. Kedua, perpindahan materi ditentukan
oleh penguasaan materi sebelumnya, dan tidak boleh dinaikkan sebelum materi
sebelumnya sempurna. Al-Baihaqi meriwayatkan bahwasanya Imam Syafi'i berjumpa dengan seorang
pendidik (mu'addib), kemudian beliau berkata kepadanya, "Hendaknya
yang pertama-tama engkau perbaiki dari orang-orang yang engkau didik adalah
memperbaiki dirimu sendiri. Sebab, mata merdka terpaku dengan matamu; yang baik
bagi mereka adalah apa yang menurutmu baik, yang buruk bagi mereka adalah apa
yang engkau tinggalkan. Ajari mereka Kitabullah dan jangan paksa mereka
sehingga engkau membuat mereka bosan kepadanya, tetapi jangan engkau biarkan
mereka dari Kitabullah itu sehingga mereka menelantarkannya. Lantunkan untuk
mereka syair-syair yang paling terjaga ('iffah) isinya. Riwayatkan kepada
mereka hadits yang paling mulia. Jangan engkau pindahkan mereka dari suatu ilmu
ke ilmu lainnya sebelum mereka menguasainya, sebab bertumpuk-tumpuknya
perkataan di telinga itu akan menyesatkan."
Syekh Waliyyullah ad-Dahlawi menulis
dalam kitabnya, al-Qaul al-Jamil fi Bayani Sawaa’i as-Sabil, menulis tentang
tahap-tahap memberi peringatan, yang pada dasarnya juga merupakan salah satu
komponen pendidikan Madrasah:
“Hendaknya seorang
pemberi peringatan menengok dirinya sendiri terlebih dahulu. Wujudkanlah
kepribadian seorang muslim sejati semaksimal mungkin, yaitu dalam amal
perbuatan, perkataan, akhlaq, dan isi hati. Jangan lupa untuk kontinyu
berdzikir. Setelah itu, tularkan watak tersebut secara utuh kepada par`
pendengar dengan bertahap, sesuai tingkat pemahamannya. Pertama, perintahkan
mereka untuk mengerjakan amal-amal kebajikan yang paling utama dan menghindari
keburukan yang paling rendah, terutama dalam berpakaian, dandanan, tatacara
shalat, dan lain-lain. Jika mereka telah terbiasa dengan semua itu, maka
suruhlah mereka untuk melazimkan dzikir dalam kesehariannya. Jika dzikir telah
membekas dalam diri mereka, doronglah untuk mulai mengendalikan lisan dan
hatinya. Untuk menanamkan kesan ini, seorang pemberi peringatan dapat
menuturkan ayyamullah (hari-hari Allah), yaitu kisah-kisah umat terdahulu, dimana
di dalamnya tercermin betapa hebatnya tindakan, penguasaan dan siksaan Allah
kepada para pendurhaka. Kemudian, dapat diulas pula kedahsyatan kematian, siksa
kubur, hari perhitungan amal, dan siksa neraka. Bisa juga disampaikan beragam
motivasi dan dorongan, sesuai situasi dan kondisi yang ada.”
4.
Level pelajar
Dalam sistem Madrasah,
pelajar akan menempuh empat level utama, sampai ia menyelesaikan seluruh materi
dan menjadi sarjana independen yang berhak membuka halaqah-nya sendiri.
Pelajar
tingkat pemula biasanya disebut thalib (pencari), murid (yang
menginginkan), muta’allim (pelajar), atau mubtadi’ (pemula). Di
Madrasah-madrasah fiqh dan madzhab, mereka disebut juga mutafaqqih (berusaha
menjadi faqih).
Lalu,
pelajar tingkat kedua disebut mutsaqqaf (orang yang memiliki wawasan)
atau mutawassith (tingkat menengah).
Pelajar level berikutnya
disebut muntahi (tingkat akhir), yang tugas-tugasnya
dijelaskan oleh as-Subki, sbb: “ia harus melakukan riset dan diskusi
melebihi pelajar-pelajar lain yang di bawah levelnya. Jika dia berdiam diri dan
merasa puas dengan seluruh pengetahuan yang telah dimiliki seorang muntahi,
karena dalam dirinya (ada perasaan) lebih tahu dibanding para peserta kajian
lainnya, maka ia tidak mensyukuri nikmat Allah dengan sebenar-benarnya syukur.”
Akhirnya, seorang
pelajar akan mencapai level faqih (yang mendalam ilmunya). Pada
level ini, ia telah menjadi shahib (partner, teman) atau mulazim (selalu
menemani) dari syaikh-nya. Sepertinya, ia sudah
mulai menulis karya tertentu di bawah bimbingan Syaikh-nya, walau
biasanya tidak akan diterbitkan sampai Syaikh ini wafat, kecuali jika faqih
yang bersangkutan meninggalkan Madrasah untuk belajar kepada guru lain atau
membuka halaqah sendiri. Imam al-Haramain al-Juwayni pernah berkata
kepada murid dan shahib-nya, Imam al-Ghazali, “Mengapa engkau tidak
bersabar? Engkau telah menguburku hidup-hidup.” Ini dikarenakan al-Ghazali
telah menerbitkan karyanya, al-Mankhul fi ‘Ilm al-Ushul, pada masa
gurunya masih hidtp, sementara karya ini sangat hebat sehingga mengalahkan
karya gurunya. Imam al-Bukhari mengaku sudah mulai menyusun draft kitab Shahih-nya
selama menjadi shahib dari gurunya, Ishaq bin Rahawaih, walau karya itu
sendiri baru benar-ben`r selesai 14 tahun kemudian.
Adapun tentang faqih,
as-Subki menulis, “Seharusnya mereka berupaya memahami (persoalan)
semaksimal mungkin, dan tekun dalam (belajar) kecuali jika ada udzur syar’i.
Namun, betapa buruk apa yang mereka kerjakan. Sebagian mereka mengobrol dengan
temannya di saat sedang membaca satu bagian (materi studi) dari seperempatan (pembagian
jam studi). Maka, mereka tidak juga membaca Al-Qur’an, dan tidak pula terhindar
dari perbincangan yang sia-sia. Jika saja membaca satu bagian (materi studi)
adalah sesuatu yang diwajibkan dalam dokumen wakaf (syuruth al-waqf), sehingga
mereka berhak atas pembiayaan yang mereka terima, dan mereka mengobrol secara
diam-diam seperti itu, maka sungguh mereka telah mengumpulkan banyak hal yang
haram. Diantara mereka ada juga yang tidak memperhatikan samasekali orang yang
memujinya. Kadang mereka membuka sebuah buku dan membacanya, namun tidak
memperhatikan apa yang sedang dipaparkan oleh mudarris. Bahkan, ia duduk
menjauh dari mudarris sehingga justru tidak akan bisa mendengar suaranya. Hal
ini samasekali tidak bisa dimaklumi. Tidak boleh juga ia membaca buku (yang
lain) pada saat ia sedang berada dalam (halaqah) pembelajar`n. Andai saja
pewakaf mencukupkan diri dengan mempersyaratkan agar faqih ini membaca buku
saja, tentu pewakaf tidak akan mengharuskannya untuk datang (ke majlis
halaqah).”
Bagian 1, klik DISINI.
Bagian 2, klik DISINI.
Bagian 3, klik DISINI.
Bagian 4-1, klik DISINI.
Bagian 4-2, klik DISINI.
Bagian 5.
Bagian 6-1, klik DISINI.
Bagain 6-2, klik DISINI
Bagian 7, klik DISINI
Bagian 8, klik DISINI
Untuk mendapatkan naskah lengkapnya dalam format PDF, silakan cek laman DOWNLOAD, atau klik DISINI