[ Sambungan dari Bag. 5 ]
[ 6 ]
MANAJEMEN UMUM MADRASAH
Membicarakan
pengelolaan pembelajaran Madrasah harus dimulai dari kesepahaman bahwa sistem
ini bersifat tunggal dan mandiri, tidak berjalan bersama sistem pendidikan lain
atau menjadi “sistem bayangan” yang dicangkokkan kepada sistem pendidikan
lainnya. Artinya, selama 24 jam sistem pendidikan yang diselenggarakan menganut
asas dan falsafah yang sama, sehingga pengelolaan waktu tidak mengalami
benturan dengan yang lain.
Di sisi lain, aktifitas
harian dalam Madrasah merupakan cermin “pelatihan” manusia muslim seutuhnya,
dimana di dalamnya tidak hanya tercermin aktifitas transfer ilmu di kelas,
namun sekaligus penempaan mental-spiritual dalam bentuk-bentuk ibadah harian,
pembiasaan adab dan akhlak mulia, pelurusan akidah dan pemikiran, kesungguhan
dalam belajar dan meneliti, menanamkan motivasi dan orientasi akhirat, dll.
Maka, kompleks maupun pejabat-pejabat Madrasah telah dirancang untuk memenuhi tujuan-tujuan
tersebut, seperti adanya masjid, asrama, rumah guru, perpustakaan, juga jabatan
imam, mu’adzin, wa’izh, qari’, dst.
Dari segi ujian,
kenaikan tingkat, kelulusan maupun pemberian ijazah, praktik Madrasah
memang cukup unik, dimana tidak terdapat ujian massal dan periodik, namun
digunakan persaksian, penunjukan, permohonan dan pemberian ijazah. Patut
dicatat bahwa ijazah sifatnya “dimohon” oleh mtrid setelah ia menimbang
kelayakan dirinya sendiri, bukan semata-mata diberikan atas inisiatif guru atau
tekanan waktu. Tentunya, guru pun tidak sembarangan memberi ijazah jika
menurutnya murid ybs belum layak. Menurut Stanton, ketika murid merasa dirinya
layak, ia ak`n maju menghadap gurunya dan ujian lisan pun diselenggarakan. Bila
guru melihat penampilannya sudah sesuai dengan standar yang ia tetapkan, ijazah
pun diterbitkan. Ada aspek tawadhu’ dan muhasabah di balik
sistem ini, karena murid dikondisikan untuk tidak meminta sesuatu yang di luar
kemampuannya. Di sisi lain, guru berpegang pada amanah dan kejujuran
dalam persaksiannya, sebab orang yang telah ia beri ijazah pada
kenyataannya akan menjadi rujukan dan kepercayaan kaum muslimin di mana saja ia
berada. Kedua sikap ini ditopang dengan sangat baik oleh interaksi yang intens
dan lama diantara mereka, sehingga tercipta ikatan batin yang sangat kuat.
Sistem manajemen
keuangan Madrasah pun sangatlah unik, karena pelajar di masa itu justru
“digaji” oleh Madrasah yang dikelola oleh guru-gurunya, dan bukan “menggaji”
guru-gurunya. Sistem ini dimungkinkan karena adanya lembaga wakaf sangat kuat
yang sejak awal disiapkan sebagai penopang operasional Madrasah. Dengan kata
lain, telah adanya wakaf yang siap berproduksi adalah benih setiap Madrasah,
selain adanya syaikh yang mumpuni.
1. Pengelolaan pembelajaran dan aktifitas
harian Madrasah
Paragraf-paragraf berikut
ini berisi kesimpulan kami atas teks-teks beragam yang darinya dapat
“dibayangkan” bagaimana proses pembelajaran diselenggarakan pada waktu itu,
sebab memang cukup sukar menemukan dokumen spesifik terkait, kalau bukan tidak
ada.
As-Subki menyatakan –
ketika menulis perihal qari’ al-‘asyr – bahwa umumnya jam belajar dibagi
dalam sistem “seperempatan yang terus berputar” atau rub’ah taduuru. Jam
tatap muka ini diselenggarakan pada pagi sampai siang hari, dan biasanya
diawali dengan pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an. Di setiap akhir seperempatan ini,
akan diselingi dengan pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an oleh seorang qari’
al-‘asyr, atau semacam waktu istirahat dan pergantian materi pembahasan. Kita
tidak tahu bagaimana pemilihan ayatnya, akan tetapi tampaknya terserah qari’
sendiri, sebab as-Subki menyatakan: “hendaklah ia membaca ayat yang sesuai
dengan situasi dan kondisi.”
Setelah pergantian
ini, pendengar dalam sebuah halaqah bisa berubah, namun Syaikh
tetap berada di tempatnya. Diceritakan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal – semasa
belajarnya – sering terlihat berlarian dari satu masjid ke masjid lain dengan
mengepit sandalnya di ketiak, untuk mengejar halaqah dari mudarris berbeda
pada saat pergantian jam ini. Dengan memperhatikan ukuran ruang halaqah yang
tidak sangat besar, 8,25 x 7,8 meter, maka tidak seluruh pelajar dalam Madrasah
akan ikut bersamaan. Pasti ada kelas lain, sebab sebuah Madrasah biasanya
memiliki lebih dari satu aula. Pelajaran lain itu kemungkinan adalah qira’at
Al-Qur’an, hadits atau nahwu (tatabahasa). Sebab, pada masa yang lebih
akhir, seorang syaikh biasanya mengajarkan fiqh m`dzhab yang dianutnya
(Hanafi, Maliki, Syafi’i, atau Hanbali). Di masa awal, kebanyakan ulama’ yang
tampil mengajar di muka umum telah mampu melakukan tarjih, bahkan memiliki
madzhab tersendiri, semisal Ishaq bin Rahawaih dan Sufyan ats-Tsauri.
Dalam Adab
al-‘Ulama’ wal Muta’allimin dijelaskan bahwa seorang mudarris bisa
jadi mengajar beberapa materi berbeda pada hari yang sama, di halaqah yang
sama, sehingga dianjurkan untuk memulainya dengan yang paling mulia
kedudukannya, baru diiringi yang di bawahnya. Pendengarnya bisa jadi berbeda
dan sudah berganti, seperti yang dikesankan dari kisah Imam Ahmad diatas. Tetapi,
mudarris tidak beranjak dari tempatnya, atau semacam sitem moving
class. Dinyatakan juga bahwa memulai pelajaran dengan bacaan Al-Qur’an
adalah tradisi sebagian besar Madrasah, dan terkadang ada yang menambahinya
dengan beberapa doa atau amalan lain, sesuai syarat yang ditetapkan dalam
dokumen wakafnya.
Menurut Hasan Asari, biasanya
mudarris dan muhaddits akan mengajar di qa’ah (aula
madrasah), lalu muqri’ mengajarkan Al-Qur’an di masjid, sementara
pustakawan yang juga merangkap sebagai pengajar tatabahasa (nahwu) atau
bidang-bidang terkait akan menyelenggarakan halaqah-nya di perpustakaan.
Pada saat menjelaskan Metode
Pendidikan Muslim, dengan cukup terinci Mehdi Nakosteen memaparkan
bagaimana proses pembelajaran waktu itu diselenggarakan, sbb: “Metode-metode
pengajaran berikut ini berlaku di “abad pertengahan” Islam, meskipun
adaptasi-adaptasi telah dilakukanberdasarkan kebutuhan dari
tingkatan-tingkatan pengajaran yang berbeda. Penyampaian formal dan kuliah
dimana dosen duduk diatas podium pada pilar dan satu atau dua (lapis) lingkaran
(sebuah lingkaran dalam lingkaran) dari para mahasiswa yang duduk sebelum dia.
Metode ini adalah yang berlaku pada jenjang-jenjang pengajaran lebih tinggi.
Guru membaca dari manuskrip yang dipersiapkan atau dari teks, menjelaskan
materi kuliah dan memberi pertanyaan-pertanyaan dan mendiskusikan matakuliah
yang diberikan. Para mahasiswa didorong untuk mengajukan pertanyaan tentang
statemen-statemen guru mereka dan bahkan untuk berbeda pendapat dengannya,
mereka mengajukan bukti-bukti yang mendukung pendapat mereka. Untuk berkata,
“Saya tidak tahu”, jika Anda (memang) tidak tahu adalah bernilai setengah dari
ilmu pengetahuan dan yang setengahnya lagi adalah yang terpenting. Para
mahasiswa mencatat penuh masing-masing matakuliah dan harus menyalin ke buku
catatan, untuk buku-buku yang cetakannya terbatas.
Mu’id (asisten)
seringkali membantu mahasiswa-mahasiswa mengenai kuliah yang diberikan oleh
guru besar. Pemberi kuliah selalu memulai dengann meminta pertolongan dan
bimbingan dari Tuhan, semoga ia berbicara benar. Ia tidak pernah berbicara
tentang teman atau sejawat atau tentang wibawa dengan sikap yang menghina di
hadapan mahasiswa. Ia seringkali menyerahkan karya-karya orang lain dan dengan
rasa hormat yang sepantasnya, dan ia tidak kehilangan ketenangannya ketika
dicemooh oleh mahasiswa. Ia menggunakan tiga langkah dalam presentasinya, yakni
menerangkan matakuliahnya yang pertama secara umum, agak singkat dan
menghindari detail. Kemudian ia mengulang materi yang sama lebih mendalam. Ia
kemudian membacakan kembali tiap-tiap poin yang sulit dari matakuliahnya dengan
penjelasan detail-detail seperlunya dan dengan penjelasan dari semua
bagian-bagian yang sulit. Kuliah pada umumnya diberikan pada waktu jam-jam
terakhir pagi hari dan pada jam-jam permulaan sore hari. Biasanya berlangsung
antara satu atau dua jam.”
Ada lagi sebuah
catatan menarik tentang bagaimana proses pembelajaran diselenggarakan ketika
jumlah pendengar cukup banyak. Ibnu Batutah mendeskripsikan bagaimana seorang syaikh
mengajar dalam sebuah halaqah besar, sebagaimana dikutip oleh Mehdi
Nakosteen, sbb: “duduk di bawah kubah dari kayu, diatas sebuah kursi yang
dilapisi karpet, berbicara dengan penuh ketenangan dan sikap yang serius,
berpakaian serba hitam, mengenakan surban dan didampingi dua orang asisten.
Salah seorang darinya, dengan mengangkat tangan ke dekat mulutnya, mengulang
dengan suara keras apa yang didiktekan oleh sang guru.”
Dr. Hasan Asari
mencatat kasus lain yang berhubungan dengan kegiatan harian di Madrasah
Shalihiyyah di Palestina, yang disimpulkan dari dokumen wakafnya. Untuk
diketahui, Madrasah ini dibangun oleh Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi, dan dinamai
sesuai nama beliau. Walau deskripsi ini – bisa jadi – bersifat terbatas pada
Madrasah ybs, namun kemungkinan besar tidak akan jauh berbeda pada Madrasah-madrasah
lainnya. Disini, kami kutip seutuhnya:
“Waqfiyyah Madrasah
Al-Shalihiyah, Jerusalem, menuntut agar Mudarris (guru besar) fiqh yang
mendapat gaji [dari wakaf] untuk datang pagi hari ke madrasah, dimana mahasiswa
akan berkumpul untuk [mengikuti] kuliahnya. Kegiatan dimulai dengan membaca
beberapa ayat Al-Qur’an, lalu diikuti dengan doa untuk pendiri Madrasah dan
keseluruhan umat Islam. Kemudian Mudarris memulai perkuliahan dengan [materi]
fiqh sesuai dengan madzhabnya; lalu diikuti dengan pembahasan khilafiyah atau
persoalan-persoalan fiqh yang masih diperdebatkan; dan diakhiri dengan kuliah
tentang ushul fiqh. Setelah ketiga disiplin ini [fiqh, khilaf dan ushul fiqh],
ia bebas mengajarkan disiplin apa saja yang dia sukai, dari ilmu-ilmu agama yang
lain. Kegiatan selanjutnya dipimpin oleh para mu’id, masing-masing dengan
sejumlah mahasiswa yang telah ditentukan untuk dia bantu. Mu’id memberikan
latihan kepada mahasiswa tentang pelajaran yang mereka peroleh dari mudarris
pagi harinya. Setelah waktu ashar, mu’id akan kembali datang dan memberikan
bimbingan untuk kedua kalinya [tentang materi yang sama]. Mudarris harus
mengajar setiap hari, kecuali hari-hari libur resmi.
Shalat lima waktu
harus dilakukan berjamaah; kecuali bagi mereka yang mempunyai alasan yang dapat
diterima secara hukum. Mahasiswa harus tinggal di [asrama] madrasah; dan tidak
dibenarkan menghabiskan malam di luar, kecuali mendapat izin dari mudarris
karena alasan tertentu, atau kecuali bila mahasiswa yang bersangkutan menikah. [Mahasiswa
yang menikah] masih harus hadir di madrasah pagi dan malam hari. Mahasiswa
diwajibkan mengikuti bimbingan [mu’id], baik yang pertama maupun yang kedua.
Mudarris bertugas
mengawasi mahasiswanya, mendorong mereka yang bekerja baik dan memperingatkan
yang lalai. Mahasiswa yang selalu lalai, setelah diperingatkan secara
terus-menerus, akan dipecat oleh mudarris dan kehilangan beasiswanya; hal yang
sama berlaku atas mahasiswa yang melakukan kesalahan, kecuali bila dia
memperbaiki tingkah lakunya. Mudarris mempunyai dua fungsi sekaligus: fungsi
akademis mengajarkan fiqh dan fungsi administratif (mutawalli). Untuk kedua
fungsi ini dia mendapat gaji dari penghasilan harta wakaf. Ia dapat memilih
untuk mengajar langsung, atau membayar seorang mudarris pengganti (na’ib) untuk
menggantikannya.”
2.
Sistem ujian, kenaikan tingkat, kelulusan dan pemberian “ijazah”
Ada pertanyaan penting
yang cukup sulit dijelaskan, setidaknya menurut kacamata dan standar
pengelolaan lembaga pendidikan modern. Pertanyaan itu terkait bagaimana seorang
pelajar bisa dinyatakan berhak naik tingkat, telah lulus atau boleh menerima ijazah
(lisensi) tertentu?
Berdasarkan pembacaan
pada teks-teks, setiap pelajar berada sec`ra penuh di bawah otoritas gurunya.
Guru lah yang menentukan apakah ia layak untuk naik tingkat atau belum,
berdasarkan penilaian-penilaian yang diberikan selama interaksi pembelajaran,
diskusi, riset, dan lain-lain. Sistem ujian berkala dan massal yang biasa kita
kenal sekarang, tampaknya tidak ada. Kita telah mengutip pernyataan Imam
Syafi’i yang diriwayatkan oleh al-Baihaqiy sebelum ini, ketika beliau berjumpa
dengan seorang mu’addib.
Su’ad Maher menulis
tentang perubahan yang dilakukan Syekh Mahmud Syalthut, rektor Al-Azhar periode
1958-1964. Salah satunya, pada tahun 1960 M (1380 H), beliau memindahkan
Institut Pembacaan Al-Qur’an ke dalam Masjid Al-Azhar dengan menyusun rencana
pelajaran tertentu seputar agama Islam. Cara ini, menurut Su’ad Maher, telah
mengembalikan Al-Azhar kepada ciri khasnya, yaitu memberi kesempatan kaum
muslimin mempelajari ilmu agama secara bebas tanpa dibatasi dengan masa waktu,
rencana pelajaran, maupun ujian. Wal`u kami tidak tahu apakah sistem ini masih
dipelihara di Al-Azhar sampai sekarang, atau sudah diubah, namun dapat
disimpulkan bahwa sistem pembelajaran klasik memang: (1) tidak dibatasi waktu,
(2) tanpa rencana pelajaran tertentu yang kaku, dan (3) tidak ada ujian,
setidaknya ujian massal dan periodik.
Akan tetapi, ada
baiknya kita memahami terlebih dahulu apa dan bagaimana ijazah itu
berlaku di masa silam, karena dengan demikian akan kita mengerti pula bagaimana
cara untuk memperolehnya. Ijazah, secara sederhana berarti “izin,
pemberian wewenang, atau pernyataan bahwa pemegangnya memiliki hak dan otoritas
tertentu.” Ijazah ini menjadi kekayaan pribadi seorang pelajar yang
berlaku di belahan dunia Islam manapun, sehingga ia bisa mengajarkan ilmu-ilmu
yang ia miliki ijazahnya dimana pun ia mau. Sangat wajar jika – dalam masa
studi – seseorang akan berusaha menemui sebanyak mungkin guru dan memperoleh ijazah
darinya. Oleh karenanya, pengembaraan (rihlah) menjadi keharusan. Banyak
kisah ulama’ yang terusir dari negerinya karena masalah tertentu, atau sengaja
mengembara ke negeri baru yang jauh, ia pun diterima dengan antusias dan segera
memperoleh kemasyhurannya. Belakangan, istilah ijazah secara khusus
merujuk kepada izin seseorang kepada orang lain yang telah ia uji dan percayai
untuk meriwayatkan kembali buku-buku yang ada dalam otoritasnya, tanpa melalui
proses pembacaan kata per kata terlebih dahulu. Ada pula proses munawalah,
yakni ketika seorang guru menyerahkan kepada seseorang naskah asli miliknya,
atau salinan yang telah diperiksanya, dan ia memberikan otoritas kepada orang
itu untuk meriwayatkannya kembali.
Sistem ijazah ini
sangat vital, karena di masa itu sebagian besar buku dan ilmu pengetahuan
diriwayatkan serta dipelajari dengan sistem dikte dan pembacaan langsung, maka
diperlukan media yang memastikan perjumpaan diantara seorang penulis atau guru
dengan pembaca atau muridnya. Biasanya, media itu dibuka dalam bentuk
forum-forum pendiktean atau pembacaan di masjid, rumah pribadi, maupun Madrasah.
Dalam majlis-majlis ilmiah – bisa kecil atau besar – inilah terjadi interaksi
dimaksud, yang dicatat secara ketat oleh seorang katib al-ghaibah. Pembacaan
atau pendiktean bisa berlangsung berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan
mencapai hitungan bulan dan tahun, sampai akhirnya dinyatakan selesai dan
disahkan oleh pengarang atau pemilik otoritas riwayatnya. Lamanya waktu itu
tergantung pada ukuran kitabnya. Di akhir masa itu, dengan memperhatikan
catatan daftar hadir, seorang guru akan menandatangani dokumen-dokumen ijazah,
yang biasanya memuat rangkaian sanad dari guru tersebut sampai kepada
penulis aslinya, atau – bila dia adalah penulis asli – maka dia bisa
membubuhkan cap stempel atau tanda tangannya pada naskah milik muridnya yang
disalin dari dikte atau dibenahi berdasar pembandingan dengan naskah aslinya. Pembandingan
sangatlah penting, sebab bahasa Arab – di masa lalu – ditulis tanpa tanda titik
(i'jam) maupun tanda baca (i'rab dan syakal), sehingga
sangat mungkin dibaca secara keliru. Banyak orang terkemuka dicemooh karena
kegagalan membaca teks-teks tertentu secara tepat, terutama dalam nama-nama
orang dan kata-kata sulit yang tidak biasa dipergunakan. Kesalahan itu disebut
dengan tashhif dan tahrif. Keduanya berupa salah
menempatkan titik atau harakat, yang mengubah huruf dan bacaan, sehingga
maknanya pun berubah atau orang yang dimaksudkannya tidak sama lagi. Misalnya,
nama Jamrah (جمرة), kadang secara
keliru dibaca Hamzah (حمزة); atau nama-nama
Hubab (حباب), Hutat (حتات), Khabbab (خبّاب) dan Janab (جناب) yang secara khath
(garis utama huruf-hurufnya) sama persis, sehingga rawan tertukar. Masalahnya
akan lebih gawat jika menyangkut teks utama (matan), sebab bisa mengubah
makna dan akan merusak hukum. Misalnya, kata rahim (الرحيم) artinya: (Allah)
Maha Penyayang, rajim (الرجيم) artinya: (syetan) yang terkutuk, dan rakhim
(الرخيم) artinya: yang
bersuara merdu, bisa terlihat sama persis khath-nya, namun maknanya
sangat berjauhan. Ada banyak sekali contoh detail dalam kitab Tashhifatul
Muhadditsin karya al-‘Askary. Silakan merujuknya kesana.
Untuk lebih detil ada
baiknya kami kutipkan kesimpulan Su’ad Maher tentang peraturan pembelajaran di
Al-Azhar selama Abad Pertengahan, yang terdiri dari 5 poin, dan kami
meringkasnya sedapat mungkin, sbb:
1. Ada seorang guru besar (syaikh) untuk
suatu disiplin ilmu tertentu, yang mengawasi para pelajar di bawah asuhannya. Para
murid berusaha keras mendamping syaikh ini sampai wafatnya, dan
bercita-cita meraih kedudukan ilmiah yang setara dengannya.
2. Seorang murid mungkin mendapat ijazah untuk
satu disiplin ilmu tertentu, namun untuk yang lainnya belum. Artinya, dalam
disiplin ilmu yang telah lulus itu ia berhak menjadi guru, namun masih harus
menjadi murid pada disiplin ilmu lainnya.
3. Diploma diberikan oleh guru, dan dinamakan
“ijazah”. Prosedurnya dimulai dari inisiatif pribadi murid, dan atas
persetujuan gurunya. Artinya, jika seoranf murid merasa telah kuat dalam suatu
ilmu, sanggup mengajarkannya dan mampu berfatwa, ia memohon diberi ijazah oleh
gurunya dalam bidang dimaksud. Setelah ini akan kami kutipkan contoh teks
ijazah itu, yang diberikan oleh seorang guru kepada muridnya pada abad VIII H
(XIV M).
4. Murid sepenuhnya bebas memilih disiplin
ilmu maupun guru, dan ia boleh hadir atau tidak.
5. Setiap kitab mempunyai seorang pengajar
tetap. Ia akan memulai pelajaran dengan berdoa, membaca basmalah, memuji Allah,
dan bershalawat kepada Nabi. Ia akan menunjukkan terlebih dahulu referensi atau
jalur sanad-nya, dan bisa menguatkan, mendukung, membantah, mengoreksi isinya.
Pengetahuan tambahan itu, yang tidak ada dalam kitab aslinya, bisa dikutip
melalui riwayah (nukilan dari ulama’ lain, melalui isnad
tertentu) atau dirayah (berdasarkan penalarannya sendiri); dan akan
dicatat oleh para murid di tepian (hamisy) naskah asli miliknya, sebagai
informasi tambahan. Terdapat hubungan kejiwaan yang sangat kuat diantara guru
dan murid disini.
Berikut ini adalah
kutipan naskah “ijazah” yang dimaksud dalam uraian sebelumnya (ejaannya telah sedikit
disesuaikan). Ijazah ini berkaitan dengan disiplin ilmu tertentu,
terutama fiqh madzhab Syafi’i, bahasa dan tafsir.
“Aku beristikharah kepada Allah tentang mengambil dan memberi
ilmu. Aku berlindung kepada-Nya dari dua penyakit; kelalaian dan melampaui
batas. Aku memohon ampun dari apa yang melampaui batas, baik yang terlihat
maupun tersembunyi. Aku mengucapkan, bahwa aku telah mengajari si Anu – nama
lengkap murid akan dicantumkan disini – “semoga Allah menghiasinya dengan takwa
dan menjaganya lahir-batin”, dalam berbagai macam ilmu syari’at, baik berupa
ilmu berdasarkan penyelidikan akal maupun pengambilan dari Al-Qur’an dan Hadits;
maka aku mendapatinya telah mampu memberi pandangan akal yang benar dan yang
ditariknya dari nash Al-Qur’an dan Hadits yang jelas dan tidak diragukan. Ia
memiliki pandangan dalam masalah-masalah yang sulit dan mampu memecahkan
persoalan-persoalan rumit seputar fiqh madzhab. Maka, dalam hal ini dia telah
menjadi seorang ‘alim pada madzhab dimaksud. Ia telah mempelajari ilmu bahasa
Arab dan tafsir sehingga menjadi pengarang yang baik. Aku menerima
permohonannya sekalipun ia sebenarnya – dengan segala yang telah dicapainya –
tidak memerlukan hal itu; dan mengizinkannya untuk mengajarkan madzhab Syafi’i
kepada murid-muridnya. Siapa saja yang meminta fatwa kepadanya, maka ia dapat
menerima fatwa yang diberikannya. Ia dapat dipercayai dalam hal keuatamaannya
yang unggul, wara’-nya yang cukup, fitrahnya yang bercahaya, dan kecerdasannya
yang kritis. Kepada Allah kita memohon agar ia dijadikan berfaedah bagi kita
dan dirinya sendiri, dengan apa yang dijarkan kepadanya. Kita berdoa semoga
Allah meninggikan kita dengan usaha yang demikian itu di sisi-Nya. Dan,
tidaklah kita mempunyai tujuan selain daripada itu.”
Sebagai tambahan,
berikut kami terjemahkan secara lengkap sebuah naskah “ijazah” yang diberikan oleh
Sayyid Muhammad bin ‘Alawy al-Maliki al-Hasani kepada salah seorang muridnya.
Jenis ijazah ini sedikit berbeda dengan yang pertama, karena lemuat lisensi
periwayatan kitab-kitab milik pemberinya.
“Bismillahirrahmanirrahim.
Segala puji bagi Allah, yang meninggikan kedudukan siapa saja yang mau berdiri
di depan pintu-Nya, serta memuliakan nama orang yang mau bersandar kepada
sisi-Nya yang mulia. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada sayyidina
Muhammad, yang air jernih mengalir dari sela-sela jari dan sendi-sendi
jemarinya; sumber-sumber hikmah pun memancar dari hati dan lidahnya; demikian
juga untuk segenap keluarganya yang suci, dan Sahabat-sahabatnya yang penuh
kebaikan. Amin.
Wa
ba’du: sesungguhnya, saudara dan orang yang saya cintai karena Alah dengan
sebenar-benarnya, yaitu si fulan – disini namanya disebutkan – telah berprasangka
baik kepada saya, maka dia meminta saya untuk memberinya ijazah dalam semua
(kitab) yang telah saya riwayatkan dari guru-guru saya, padahal sebenarnya saya
sendiri tidak pantas untuk diberi ijazah, lalu bagaimanakah saya harus memberi
ijazah? Akan tetapi, hakikat itu terkadang tersembunyi, dan demi menenangkan
keinginannya, memenuhi permintaannya, serta agar tidak terkena dosa
menyembunyikan ilmu, saya katakan: bahwa saya telah memberikan ijazah kepada
Saudara tersebut diatas dalam semua yang boleh saya riwayatkan, baik berupa hasil
olah pikir maupun nukilan dari (nash), furu’ maupun ushul, sebagaimana yang
telah di-ijazah-kan kepada saya oleh guru-guru besar saya, terutama adalah
ayah, sanad, murabbi ruh dan jasad saya, yaitu Sayyid ‘Alawi bin ‘Abbas
al-Maliki yang wafat tahun 1391 H, Syekh Muhammad Yahya bin Syekh Aman yang
wafat tahun 1387 H, Syekh Muhammad al-‘Araby bin an-Nabaly yang wafat tahun
1390 H, Syekh Hasan bin Sa’id Yamani yang wafat tahun 1391 H, Syekh Muhammad
al-Hafizh at-Tijani al-Mishri – guru hadits di Mesir – yang wafat tahun 1398 H,
Syekh Hasan bin Muhammad al-Masysyath yang wafat pada bulan Syawal 1399 H, Syekh
Muhammad Ibrahim Abul ‘Uyun al-Khalwati yang wafat di Mesir, syekh Thariqah
Khalwatiyah, Syekh Muhammad Nur Saif bin Hilal yang wafat tahun 1403 H, dan
Syekh ‘Abdullah bin Sa’id al-Lahjiy. Mereka adalah orang-orang yang saya
sendiri pernah ber-mulazamah, membaca, mengambil ilmu, dan menyandarkan sanad
kepada mereka. Saya telah berhutang budi dalam hal pendidikan dan pengajaran
kepada mereka.
Demikian
pula seluruh yang kami riwayatkan dari mereka, baik melalui ijazah maupun
mendengar langsung (sima’), yang telah kami sebutkan dalam dokumen kami yang
telah dicetak, ath-Thali’ as-Sa’id, dan kitab-kitab sanad lainnya.
Saya
berwasiat kepada pemegang ijazah ini, dan juga kepada diri saya sendiri, agar
bertakwa kepada Allah baik dalam kondisi sembunyi-sembunyi maupun
terang-terangan, mempraktikkan dakwah ke jalan Allah melalui hikmah dan nasihat
yang baik, membuat hamba-hamba-Nya agar tertarik kepada-Nya, memotivasi mereka
agar mengharap apa yang ada di sisi-Nya, dan menganjurkan mereka agar berakhlak
dengan akhlak-akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Saya
berwasiat kepadanya, dan kepada diri saya sendiri, agar mengikuti jalan
orang-orang yang telah dikaruniai kemapanan dan kemantapan dalam mutaba’ah yang
sempurna terhadap hidayah nabawiyah, baik dalam hati maupun pikiran, sikap
maupun perangai. Jika ia tidak termasuk orang yang mengikuti jalan mereka, maka
saya tidak akan menyebut dia telah mencintai mereka, sebab Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Seseorang itu akan bersama orang yang dicintainya
pada Hari Kiamat nanti,” sebagai jawaban atas pertanyaan salah seorang Sahabat,
“Wahai Rasulullah, bagaimana menurut Anda, ada seseorang yang mencintai suatu
kaum namun ia tidak mau bergabung bersama mereka?”
Jangan
sampai, sekali lagi jangan sampai, engkau melepaskan lidahmu (untuk merusak)
kehormatan mereka. Jika engkau melakukannya, berarti engkau telah memusuhi
mereka secara terbuka, padahal Allah telah berfirman dalam sebuah Hadits Qudsi
yang shahih, “Siapa saja yang memusuhi wali-Ku, maka Aku sungguh mengumumukan
perang kepadanya.” Sebagian al-‘arifin berkata, “Jika seorang hamba ditimpa
bencana dengan kemaksiatan kepada Allah, maka ia akan ditimpa bencana dengan
melakukan sesuatu tindakan (yang buruk) kepada para wali Allah.”
Dari
sinilah sebagian mereka menyatakan bahwa darah ulama’ itu beracun, dan
permusuhan Allah terhadap siapa saja yang melanggarnya sudah dimaklumi.
Kami
memohon kepada Allah agar menganugrahi kami kesempurnaan mutaba’ah kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, mengumpulkan kami, orangtua-orangtua kami,
guru-guru kami, para pecinta kami, dan semua orang yang memiliki hubungan
dengan kami, dalam golongan beliau dan di bawah panji-panji beliau (di akhirat
kelak).”
Di penghujung naskah ijazah
ini terdapat nama terang, gelar dan tanda tangan pemberinya.
Dengan demikian,
secara ringkas dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat ujian massal dan periodik
dalam sistem Madrasah, namun apa yang dapat disebut ujian dan itu menjadi
pertanda kelulusan seorang murid adalah:
1. Kesaksian guru atas pencapaian murid ybs,
yang diperoleh guru melalui serangkaian interaksi dan pengamatan terhadap kerajinan,
semangat, kecerdasan, kemampuan memecahkan masalah, adab, akhlaq, kepatuhan
kepada syari’at, pengamalan ilmu, dan aspek-aspek lain yang terkait.
Sebagaimana diketahui, dalam proses belajar syaikh terbiasa melemparkan
pertanyaan dan memberikan beban-beban tugas atau riset, lalu melihat bagaimana
respon murid-muridnya. Ada hubungan batin yang sangat kuat dan intens diantara
guru dan murid disini.
2. Bila guru mengizinkan seorang murid naik ke
tingkat berikutnya, atau menunjuknya untuk mengemban tugas ilmiah tertentu,
maka tindakan guru tsb dapat dipandang sebagai tazkiyah (rekomendasi dan
lisensi) secara tidak langsung. Tugas dimaksud misalnya menjadi mufid, mu’id
atau na’ib. Ini adalah jenjang akademik yang pengangkatannya ada di
tangan syekh, dengan mempertimbangkan kelayakan calonnya. Ada
kesejajaran diantara jenjang diatas dengan level murid, sebagaimana telah
dibahas sebelumnya.
3. Telah selesainya pembacaan kitab tertentu
mulai awal sampai akhir, dimana di sepanjang masa pembacaan itu murid terbukti
selalu hadir, melalui catatan presensi. Sebelum memberikan ijazah, guru
akan memeriksa kitab milik murid dan dokumen presensi yang dipegang katib
al-ghaibah. Jika ada yang terlewat, maka permohonan ijazah bisa
ditolak, atau ia bisa menerima ijazah dengan pengecualian pada bagian
dimana ia tidak hadir tsb.
Bersambung....Bagian 1, klik DISINI.
Bagian 2, klik DISINI.
Bagian 3, klik DISINI.
Bagian 4-1, klik DISINI.
Bagian 4-2, klik DISINI.
Bagian 5, klik DISINI.
Bagian 6-1.
Bagian 6-2, klik DISINI
Bagian 7, klik DISINI
Bagian 8, klik DISINI
Untuk mendapatkan naskah lengkapnya dalam format PDF, silakan cek laman DOWNLOAD, atau klik DISINI