Pengelolaan Madrasah - Bag. 3/8


 [ Sambungan dari Bag. 2 ]


[ 3 ]
LEMBAGA “KUTTAB”

Kuttab adalah lembaga pendidikan tingkat dasar, kalau boleh dibilang begitu. Sebab, menurut Ahmad Amin, dalam Dhuha al-Islam, sebagaimana dikutip Hasan Asari, “…pendidikan [Islam] tidak memiliki periodisasi tertentu. Maka, tidak ditemui [apa yang disebut dengan] pendidikan dasar atau ibtida’iyah, pendidikan menengah, dan sebagainya. Yang ada adalah satu periode yang utuh. [Pendidikan] berawal dari kuttab atau dengan bimbingan guru khusus, dan berakhir dengan halaqah di masjid.”
Mulanya, kuttab berlangsung di rumah-rumah para guru (mu’allim, mu’addib) atau pekarangan sekitar masjid. Pembelajaran tidak dilakukan di dalam masjid karena pesertanya adalah anak-anak kecil. Pertimbangan ini tentu sangat bisa dimaklumi.
Ada 2 jenis kuttab. Yang pertama khusus mengajarkan baca-tulis, dan biasanya menggunakan teks Al,Qur’an atau syair Arab sebagai materinya. Ini berkembang pada periode awal Islam, dimana umumnya diajar oleh non-muslim, karena kaum muslimin yang menguasai baca-tulis masih sangat sedikit. Kuttab jenis kedua berkembang lebih akhir, yang berfungsi sebagai tempat pengajaran Al-Qur’an dan dasar-dasar agama Islam, dan diajar para qurra’. Usia untuk memasuki kuttab tidak ditentukan, tetapi pada umumnya dimulai pada usia 5 tahun, walau ada juga yang baru memasukinya pada usia 10 tahun. Materinya pun tidak benar-benar seragam di berbagai belahan dunia muslim. Ada yang menekankan pada baca-tulis, hafalan Al-Qur’an, hadits, dll.
Pada umumnya, anak-anak sudah menyelesaika level kuttab sebelum mereka memasuki usia baligh, dan kebanyakan sudah menghafalkan sejumlah besar atau seluruh Al-Qur’an. Setelah itu, mereka akan diarahkan kepada dua jalur utama. Pertama, anak-anak berbakat (yakni, calon ulama' dan pemimpin) akan segera memasuki halaqah-halaqah di masjid atau Madrasah, dan memulai karirnya sebagai sarjana. Pada usia ini pula sebagian mereka mulai mengembara untuk mencari hadits dan menemui guru-guru terbaik di berbagai belahan dunia Islam. Kedua, anak-anak yang tidak berbakat akan segera magang kepada ahli-ahli profesi tertentu untuk mempelajari keahlian sebagai sumber penghidupannya kelak. Dalam konteks modern, ini bisa disamakan dengan sekolah kejuruan dan teknik. Al-Ghazali dan Ibnu Sina menekankan bahwa seharusnya guru yang mengarahkan anak-anak sesuai potensinya, bukan membiarkan mereka memilih sendiri apa yang diinginkannya.
Ada dua tugas mendasar yang dijalankan kuttab. Pertama, mempersiapkan anak menyambut usia baligh, yakni agar mereka benar-benar siap menjalankan kewajiban agamanya dengan dilandasi ilmu, kesadaran dan pembiasaan yang baik. Kedua, mempersiapkan dasar-dasar ilmiah bagi anak-anak berbakat untuj memasuki jenjang pendidikan lebih tinggi.
Tugas kedua diatas berkaitan erat dengan materi dalam halaqah dan Madrasah yang bersifat “tingkat lanjut”, sehingga seorang pelajar pemula harus benar-benar dipersiapkan dalam bahasa Arab, sastra dan pengetahuan dasar Al-Qur’an dan Sunnah. Jika tidak, mereka akan gagal memperoleh manfaat dari halaqah. Biografi para ulama’ terkenal menunjukkan bagaimana mereka mempersiapkan diri memasuki halaqah dengan menghafal dan mengkaji buku-buku ringkas yang memuat kaidah-kaidah dasar berbagai disiplin ilmu. Oleh karenanya, berkembang aneka literatur kecil yang merangkum kaidah-kaidah dimaksud dalam bentuk nazham, atau semacam bait-bait syair pendek yang bisa dihafal dengan irama tertentu, mirip nyanyian. Misalnya, al-‘Imrithy dan Alfiyah Ibnu Malik di bidang nahwu, Bayquniyah di bidang hadits, Manzhumah at-Tafsir di bidang ‘Ulumul Qur’an, dsb. Ada juga buku-buku dasar yang ditulis dalam bentuk uraian, seperti Matn al-‘Izzy di bidang shorof, Matn al-Ajrumiyah di bidang nahwu, Matn al-Waraqat di bidang ushul fiqh, Matn al-Ghayah wat Taqrib di bidang fiqh, atau al-Arba’in an-Nawawiyah di bidang hadits.
Secara teori, persyaratan menjadi guru di kuttab sebenarnya cukup “hebat”, namun dalam praktik seringkali kuttab hanya diasuh oleh seorang guru yang sangat bersahaja, dan bahkan menjadi bahan ejekan karena kelemahannya. Ibnul Ukhuwwah mencatat, bahwa syarat pengajar anak-anak yang lolos dalam sistem hisbah (semacam akreditasi & standarisasi), adalah:
1.       Berkepribadian baik (ahl ash-shalah).
2.       Pandai menjaga dirinya dari yang haram dan maksiat (ahl al-‘iffah).
3.       Bisa dipercaya (ahl al-amanah).
4.       Hafal Al-Qur’an (hafizh lil kitab al-‘aziz).
5.       Mempunyai tulisan tangan yang baik (hasanu al-khathth).
6.       Mengerti ilmu hitung (yadri al-hisab).
7.       Lebih baik lagi, sudah menikah (muzawwaj).
8.       Penyayang anak-anak kecil (yataraffaq bi ash-shaghir).
Beliau juga menyatakan bahwa para lajang dilarang keras membuka kelas pengajaran bagi anak kecil, kecuali:
1.       Sudah berusia lanjut (syaikhun kabir).
2.       Dikenal taat beragama dan berkepribadian baik (qad isytahara bi ad-diin wal khayr).
3.       Memegang lisensi atau izin mengajar yang diakui (tazkiyyah mardhiyyah).
4.       Telah teruji kemampuan atau kualifikasinya untuk mengajar (tsubutu ahliyyatihi).


[*]


Bersambung....

Bagian 1, klik DISINI.
Bagian 2, klik DISINI.
Bagian 3.
Bagian 4-1, klik DISINI
Bagian 4-2, klik DISINI 
Bagian 5, klik DISINI
Bagian 6-1, klik DISINI
Bagian 6-2, klik DISINI
Bagian 7, klik DISINI
Bagian 8, klik DISINI

Untuk mendapatkan naskah lengkapnya dalam format PDF, silakan cek laman DOWNLOAD, atau klik DISINI