Bismillahirrahmanirrahim
Pengertian
la’alla
Banyak sekali ayat Al-Qur’an yang memuat kata la’alla ( لعل ). Setahu kami, di dalam Al-Qur’an, kata la’alla dipergunakan dalam berbagai bentuk dengan intensitas kemunculan
berbeda-beda, yaitu: la’alla
(3 kali), la’alliy (6 kali), la’allana (1 kali), la’allaka
(2 kali), la’allakum (59 kali), la’allahu (3 kali), dan la’allahum (40 kali), atau
total 114 kali. Ini hanya perhitungan kasar, dan mungkin ada yang terlewat. Salah
satu penggunaan la’alla yang terkenal adalah la’allakum tattaqun,
yang terdapat di penghujung “Ayat Puasa”, yakni surah al-Baqarah: 183.
Secara bahasa, makna la’alla antara
lain disitir oleh Ibnu Manzhur dalam kamus Lisanul ‘Arab, sbb: “Menurut al-Jauhari, la’alla adalah kata yang
menunjukkan keraguan (syakk). Aslinya ‘alla, sedangkan huruf lam
pada permulaannya adalah tambahan … kata la’alla sangat sering muncul
dalam hadits, dan ia adalah kata yang menunjukkan pengharapan (raja’),
keinginan (thama’), serta keraguan. Di dalam Al-Qur’an, kata itu berarti
kay (supaya). Di dalam hadits tentang Hathib (bin Abi Balta’ah),
dinyatakan:
وَمَا
يُدْرِيْكَ لَعَلَّ اللهُ قَدْ اِطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ لَهُمْ اِعْمَلُوا
مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ
Artinya: “Apakah kamu tahu, semoga Allah
telah melihat kepada peserta Perang Badar, lalu berfirman kepada mereka:
‘Kerjakan apa saja yang kalian mau, sungguh Aku telah mengampuni kalian.”
Tentang hadits ini, Ibnul Atsir berkata, “Sebagian orang menyangka bahwa
makna la’alla disini adalah persangkaan (zhann) dan perkiraan (hisban).
Sebenarnya bukan begitu. Kata tersebut bermakna semoga (‘asaa),
sedangkan ‘asaa dan la’alla jika berasal dari Allah maka ia adalah
jaminan kepastian (tahqiq).”
Secara khusus, kali ini kita hanya akan
mengkaji bentuk la’allakum tattaqun, salah satunya didorong
kemasyhurannya di bulan Ramadhan, karena
ia merupakan penutup “Ayat Puasa” yaitu Qs. al-Baqarah: 183. Kita berharap bisa mendapatkan
manfaat dengan mengetahui apa saja jalan-jalan yang ditunjukkan oleh Allah di
dalam Kitab Suci-Nya agar kita bisa meraih predikat “taqwa”.
Biasanya, dalam terjemahan yang kita kenal, kata la’alla
dialihbahasakan menjadi “semoga”, “supaya” atau “agar” saja, tanpa tambahan
keterangan lain. Secara bahasa, pengertian ini tepat, yaitu sesuai dengan makna
‘asaa (semoga) dan kay (agar, supaya). Namun karena konteks la’allakum
tattaqun merupakan pernyataan eksplisit dari Allah tentang sesuatu hal,
maka mempergunakan makna lughawi semata akan menghilangkan aspek tahqiq
(pemastian) yang ada di dalamnya. Jadi, semestinya tahqiq ini tidak
boleh dilupakan.
Dengan demikian, sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Atsir dimuka, kalimat la’allakum
tattaqun kurang tepat jika diterjemahkan “supaya kalian…” saja.
Seharusnya, begini: “supaya kalian pasti…”, atau kalimat lain yang
maknanya senada. Konsekuensi selanjutnya adalah: ayat-ayat yang memuat frase
ini sesungguhnya merupakan resep yang diberikan oleh Allah, bagaimana supaya
kita bisa bertakwa, secara pasti. Singkatnya, jika kita mematuhi resep yang
diungkap di dalam ayat-ayat yang bersangkutan, atau di dalam ayat-ayat yang sebelum
dan sesudahnya, maka Allah menjamin kita pasti menjadi orang bertakwa.
Pengertian tattaqun
Kata tattaqun adalah bentuk jadian dari kata dasar waqaa ( وقى ), artinya melindungi, menjaga
atau menutupi; yang kemudian diikutkan kepada pola ifta’ala ( افتعل ). Aslinya ittaqa-yattaqi ( اتقى
يتقي ), dari bentuk semula iwtaqa-yawtaqi
( اوتقى
يوتقي ), dimana
huruf wawu di dalamnya kemudian dimasukkan ke dalam ta’ supaya
lebih mudah diucapkan. Dalam Ilmu Shorof, salah satu makna dari bentuk jadian yang
mengikuti pola ini adalah muthawa’ah, yakni menunjukkan akibat dari suatu
perbuatan sesuai dengan apa yang disebutkan dalam kata dasarnya. Dikatakan: waqaytu
nafsi fattaqa ( وقيت نفسي فاتقى ), artinya: saya menjaga diri saya, maka diri saya pun terjaga.
Inilah pengertian asal dari takwa, yaitu menjaga diri sendiri. Salah satu
bentuk turunan waqaa memiliki pengertian “perisai”, dan itulah hakikat
takwa.
Jika sebagian ulama’ mendefinisikan “taqwa” sebagai menaati
perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya, maka ini adalah
pendefinisian sesuatu dengan konsekuensinya. Artinya, ketika seseorang ingin
melindungi dirinya sendiri dari kemurkaan Allah, maka tidak ada jalan lain
baginya selain menaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Terkadang, kata “taqwa” juga diartikan sebagai takut. Ini sesungguhnya
merupakan pendefinisian sesuatu dengan penyebabnya. Artinya, seseorang harus
melindungi dirinya dari murka dan hukuman Allah karena dia merasa takut
kepadanya. Tentu saja, kalau seseorang tidak merasa takut dan khawatir terhadap
sesuatu, ia tidak akan mempersiapkan perlindungan apapun. Wallahu a’lam.
Pengertian la’allakum tattaqun
Secara umum, bentuk la’allakum
tattaqun muncul pada 6 tempat
di dalam Al-Qur’an, dan
sebelum itu selalu didahului dengan rangkaian kalimat yang berisi perintah,
larangan atau informasi tertentu. Berdasarkan dua analisis diatas, maka
pengertian la’allakum tattaqun bisa kita alihbahasakan menjadi: “supaya
kamu pasti terlindungi (dari hukuman/kemurkaan Allah)”, atau kalimat lain
yang senada dan memuat unsur tahqiq di dalamnya.
Adapun keenam tempat dimaksud adalah, sbb:
1. Qs. al-Baqarah: 21.
يَآَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ
وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang
telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelulmu, agar kamu pasti terlindungi
(dari hukuman/kemurkaan-Nya).”
2. Qs. al-Baqarah: 63.
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ وَرَفَعْنَا فَوْقَكُمُ الطُّورَ
خُذُوا مَا آتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ وَاذْكُرُوا مَا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Kami
mengambil janji dari kamu dan Kami angkatkan gunung (Thursina) diatasmu (seraya
Kami berfirman): "Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan
ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya, agar kamu pasti terlindungi (dari hukuman/kemurkaan
Kami).”
3. Qs. al-Baqarah: 179.
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
Artinya: “Dan di dalam qishash itu ada
(jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu pasti
terlindungi (dari hukuman/kemurkaan Allah).”
4. Qs. al-Baqarah: 183.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum, agar kamu pasti
terlindungi (dari hukuman/kemurkaan Allah).”
5. Qs. al-An’am: 153.
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا
السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
Artinya: “Dan bahwa (yang Aku perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang
lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain),
karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu
diperintahkan Allah, agar kamu pasti terlindungi dari (dari
hukuman/kemurkaan-Nya).”
6. Qs. al-A’raf: 171.
وَإِذْ نَتَقْنَا الْجَبَلَ فَوْقَهُمْ كَأَنَّهُ ظُلَّةٌ وَظَنُّوا
أَنَّهُ وَاقِعٌ بِهِمْ خُذُوا مَا آتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ وَاذْكُرُوا مَا فِيهِ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Kami mengangkat bukit ke atas mereka
seakan-akan bukit itu naungan awan dan mereka yakin bahwa bukit itu akan jatuh
menimpa mereka. (Kami katakan kepada mereka): "Peganglah dengan teguh apa
yang telah Kami berikan kepadamu, serta ingatlah selalu (yakni: amalkanlah) apa
yang tersebut di dalamnya supaya kamu pasti terlindungi (dari hukuman/kemurkaan
Kami)."
Tentang puasa, secara khusus Allah sudah memberikan kepada kita penjelasan
tambahan, yang ditutup dengan pernyataan serupa: la’allahum yattaqun,
dalam Qs. al-Baqarah: 187.
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ
تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشؐرُوهُنَّ
وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ
الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا
الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ
لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan isteri-isteri kamu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah
pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan
nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka
sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam,
(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam
mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka pasti terlindungi
(dari hukuman/kemurkaan Allah).”
Takwa dalam Islam
Istilah taqwa sesungguhnya merupakan salah satu konsep kunci dalam
Islam. Dalam mengalihbahasakan, biasanya memang sering terjadi makna yang hilang
dari maksud sebenarnya. Oleh karena itu, sebagian ulama’ menganjurkan untuk
tetap mempergunakan istilah aslinya, tanpa penerjemahan, dan memberikan
penjelasan lebih detil dalam catatan kaki.
Jika pun harus dialihbahasakan, memang harus dipilih secara hati-hati dan
cermat, supaya pengertian yang dikehendaki dalam bahasa aslinya tidak terlalu
banyak yang lenyap, atau bahkan justru menyimpang. Menurut hemat kami, adalah
lebih tepat memahami istilah “takwa” sebagai usaha melindungi diri sendiri dari
hukuman dan murka Allah, dibanding takut. Pengertian pertama menunjukkan makna
aktif, yang mendorong amal, sedangkan pengertian kedua lebih pasif, dan bisa
jadi orang malah tidak tergugah semangat amalnya. Sementara itu, definisi umum
yang banyak dikenal, yakni “melaksanakan perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya”, sebenarnya mengandung satu kekurangan, yakni aspek “melindungi
diri” tersebut, sebagaimana disitir dalam makna asalnya. Bila ditinjau dari perspektif
pendidikan, definisi terakhir ini hanya menunjukkan aktifitas yang harus
dilakukan, tetapi lupa menyebutkan tujuan dan maknanya bagi si pelaku. Adapun
penerjemahan simpel yang biasa dipakai, yaitu “takut”, justru hanya menunjukkan
perasaan tanpa disertai gambaran imajinatif yang bisa menjelaskan penyebab,
tujuan, bentuk aplikatif, maupun konsekuensi di baliknya.
Pemahaman seperti ini kami simpulkan dari ayat-ayat yang memuat frase la’allakum
tattaqun diatas. Seluruhnya didahului dengan perintah, larangan atau
informasi tentang suatu amal tertentu yang harus dilakukan seorang muslim agar
dia bisa memastikan dirinya mendapatkan jaminan perlindungan dari Allah ta’ala.
Ayat-ayat ini meminta kita untuk aktif beramal, yakni melaksanakan isi
kandungannya, bukannya merasa takut, diam, pasif. Semangat beramal demi meraih
kepastian perlindungan Allah inilah yang menjayakan generasi Salaf, bukannya
ketakutan dan kepasifan. Benar mereka memang sangat takut kepada Allah, tetapi
justru rasa takut itulah yang mendorong mereka beramal sebanyak-banyaknya. Dengan
takut itu mereka sangat berhati-hati dan tidak sembrono, tetapi sekaligus tidak
berhenti berbuat dan berprestasi. Jika ada kesalahan, mereka memang tidak
pernah menganggapnya remeh, namun mereka pun tidak pernah berputus asa dari
rahmat-Nya. Takwa memang unik, dan inilah kekhasan konsep Islam yang berasas
tauhid. Dua hal yang terkesan berlawanan, justru bisa disatukan secara seimbang,
bukannya dibiarkan dalam dikotomi yang merusak.
Perhatikanlah ayat-ayat tentang takwa dalam Al-Qur’an, atau anjuran
terkait di dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Seluruhnya
mengarahkan kita untuk berbuat, berbuat, dan berbuat. Sebagai misal, sifat-sifat
muttaqin (orang-orang bertakwa) yang disitir dalam pembukaan surah
al-Baqarah jelas membicarakan amal, baik dengan hati, tubuh, maupun harta benda.
Ada beriman kepada yang gaib, mendirikan shalat, berinfak, mengimani
Kitab-kitab, dan mengimani Hari Akhir. Wallahu a’lam.
Kesimpulan
Karena makna la’allukum tattaqun memuat unsur tahqiq di
dalamnya, sedangkan ayat-ayat yang menyebutkan kalimat ini juga berisi
perintah, larangan dan informasi spesifik, maka jika kita bisa memenuhi syarat-syarat
yang disebutkan oleh Allah di dalamnya, hasilnya adalah kita pasti terlindungi
dari hukuman dan murka-Nya, berdasarkan jaminan dari Allah sendiri. Tugas kita
adalah berusaha mewujudkan syarat-syarat tersebut, sedangkan janji Allah pasti
ditepati. Secara rinci, agar jaminan tersebut berlaku kepada kita, maka
amal-amal yang diminta untuk kita tegakkan adalah:
1. Menyembah Allah semata
2. Memegang teguh perjanjian dengan Allah, yakni kalimat Tauhid
dan isi Kitab Suci-Nya
3. Menegakkan hukum qishash
4. Berpuasa, khususnya di bulan Ramadhan
5. Mengikuti jalan Allah, tidak mengikuti jalan-jalan lainnya
Memang, masih banyak ayat-ayat lain yang mengungkapkan perintah dan
larangan-Nya. Hadits-hadits Nabi juga mengandung banyak perincian lain. Namun,
jika diperhatikan sungguh-sungguh, tidak ada aspek ajaran Islam yang tidak bisa
masuk ke dalam lima poin diatas, khususnya nomer 1, 2 dan 5. Bukankah seluruh
aktifitas kita seharusnya ditujukan untuk mengabdi kepada Allah, sebagaiman
diikrarkan oleh sebagian dari kita dalam doa iftitah: “sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku, matiku, hanya untuk Allah Tuhan semesta alam”?
Bukankah usaha-usaha yang kita gelar semata-mata diarahkan untuk menegakkan kalimat
Tauhid dan Kitabullah? Bukankah kita tidak boleh mengikuti jalan-jalan lain dan
hanya boleh mengikuti jalan Allah, agar tidak tersesat, sebagaimana kita mohonkan
setiap saat di penghujung surah al-Fatihah: ‘tunjukkan kami jalan yang
lurus; jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat, bukan jalan orang-orang yang
Engkau murkai, bukan pula jalan orang-orang yang tersesat’?
Wallahu a’lam.
(*) M. Alimin Mukhtar (Sabtu,
13 Ramadhan 1432 H. Diedit dan dilengkapi pada Sabtu, 28 Muharram 1433 H)