Mengenal kitab "Mu'jam al-Furuq al-Lughawiyah"



Bismillahirrahmanirrahim

Apakah Anda pernah kebingungan membedakan antara hasan, khair, ma’ruf, dan birr, karena semua diterjemahkan dengan arti “baik”? Atau, apa bedanya qira’ah, tilawah dan tartil, sebab ketiganya dialihbahasakan sebagai “membaca”?
Jika Anda tertarik dan memerlukan perbedaan-perbedaan halus diantara berbagai istilah Arab yang terkesan sama tersebut, maka Anda bisa menemukannya dalam Mu’jam al-Furuq al-Lughawiyah (kamus perbedaan-perbedaan kebahasaan), sebuah “kamus” yang digabungkan oleh Syaikh Baitullah Bayyat dan tim peneliti Muassasah an-Nasyr al-Islami dari dua karya serupa, yaitu al-Furuq al-Lughawiyah karya Abu Hilal al-‘Askary dan Furuqu al-Lughat karya Sayyid Nuruddin bin Sayyid Ni’matullah al-Jaza’iri. Dalam pengantar edisi gabungan disebutkan pula sebagian nama anggota tim peneliti tsb, yaitu Syaikh ‘Ali ath-Thabathaba’iy, Syaikh Riyadh ar-Rawi, dan Abu Haidar al-Jawahiri.
Kitab ini telah dicetak secara terbatas di Qum, Iran, pada 1412 H, setebal 630 halaman, dalam 1 jilid saja, dan di dalamnya memuat 2.362 entri berupa kelompok kata yang sebenarnya berbeda-beda maknanya namun mempunyai kemiripan dalam banyak segi. Sebagaimana umumnya kamus, kitab ini disusun secara alfabetis. Pada entri pertama, disajikan perbedaan antara al-aatsim ( الآثم ) dengan al-atsiim ( الأثيم ), dan pada entri terakhir dikemukakan perbedaan antara al-yaum ( اليوم ) dengan an-nahar ( النهار ).
Nama lengkap penyusun al-Furuq al-Lughawiyah adalah Abu Hilal al-Hasan bin ‘Abdullah bin Sahl bin Sa’id Ibnu Yahya bin Mihran al-‘Askari, seorang ahli bahasa di zamannya. Tahun wafatnya tidak diketahui secara persis, namun beliau diketahui masih hidup sampai tahun 395 H (1005 M). Sedang penyusun Furuq al-Lughat adalah Sayyid Nuruddin bin Sayyid Ni’matullah al-Jaza’iri, wafat tahhun 1158 H.
Kitab yang pertama sebenarnya memiliki format penyusunan yang berbeda dengan bentuk gabungannya. Maka, dilatari format aslinya yang agak sukar dipergunakan, sementara isinya sangat penting, Syekh Baitullah Bayyat pun berinisiatif mengedit ulang karya tersebut dan mengurutkannya secara alfabetis. Ada lima hal yang beliau pegang dalam proses tersebut, yaitu: (1) membiarkan kandungan aslinya tetap terjaga sebagaimana semula, kecuali muqaddimah yang sengaja dibuang; (2) membuang perulangan, dan jika terjadi perulangan, maka cukup diberikan rujukan kepada entri yang mengulangnya, baik sebelum maupun sesudahnya; (3) tidak memperhatikan akar kata dalam mengurutkan entrinya; (4) merujukkan ayat-ayat yang disitir di dalamnya; (5) berpegang kepada naskah lain yang diterbitkan oleh Maktabah Bashiratiy.
Pada pengantar edisi gabungan ini, dinyatakan pentingnya mengetahui perbedaan-perbedaan kebahasaan yang menjadi pokok kajiannya, sbb: “…diantara ilmu-ilmu penting dalam bahasa Arab yang sangat diperhatikan oleh para pakar bahasa, baik di zaman klasik maupun modern, adalah ilmu tentang perbedaan-perbedaan kebahasaan, yakni ilmu yang memilah perbedaan kosakata-kosakata yang maknanya saling berdekatan dan terkesan sama (sinonim) jika dilihat secara sepintas. Inilah persoalan yang mendorong para pakar bahasa di masa silam untuk menyusun kitab-kitab tersendiri yang mengulas topik tersebut…”
Tentu saja, seperti umumnya kamus-kamus klasik, isinya cukup detil. Jika Anda menginginkan pemahaman yang utuh terhadap pengertian berbagai istilah yang sekilas mirip, maka Anda harus tekun dan cukup sabar memahami setiap entri yang terkait dengannya, yang menyebar di beberapa tempat. Tetapi, Anda tidak perlu khawatir, karena entri-entri terkait tersebut sudah diberikan rujukan nomornya, sehingga cukup mudah ditelusuri. Dan, jika istilah-istilah yang berbeda namun maknanya sangat dekat tersebut sudah Anda temukan, lalu Anda bandingkan satu sama lain, Anda pun akan memahami keindahan bahasa Arab. Pada gilirannya, Anda pun akan mengerti mengapa bahasa Arab terpilih sebagai bahasa Al-Qur’an.
Untuk memberi gambaran lebih baik, berikut ini kami kutipkan contoh-contoh analisis perbedaan makna kata yang disajikan di dalamnya. Kami memilih kosakata-kosakata yang biasanya diterjemahkan dengan “menciptakan, menjadikan, mengadakan, mewujudkan” dalam bahasa Indonesia, yaitu: khalaqa, bara’a, dzara’a, fathara, ansya’a, ikhtara’a, bada’a, dan dari sini pula akar kata dari asma-asma Allah: al-khaliq, al-bariy, al-badi’, dll. Ada juga beberapa kata lain yang maknanya sangat dekat dengan istilah-istilah diatas, yaitu ja’ala, kasaba, fa’ala, dan ‘amila.
Untuk menambah wawasan makna, Anda dapat pula meneliti penggunaan masing-masing istilah diatas dalam Al-Qur’an. Misalnya, kata dzara’a disebutkan dalam surah al-A’raf: 179; lalu fathara dalam pembukaan surah Fathir, dst.
Istilah-istilah berikut ini diurutkan mulai dari nomor entri terkecilnya.

18 - الفرق بين الاختراع والابتداع : أن الابتداع إيجاد ما لم يسبق إلى مثله يقال أبدع فلان إذا أتى بالشئ الغريب وأبدعه الله فهو مبدع وبديع ومنه قوله تعالى " بديع السموات والارض " (البقرة : 117) وفعيل من أفعل معروف في العربية يقال بصير من أبصر وحليم من أحلم، والبدعة في الدين مأخوذة من هذا وهو قول ما لم يعرف قبله ومنه قوله تعالى " ما كنت بدعا من الرسل " (الاحقاف : 9) وقال رؤبة: وليس وجه الحق أن يبدعا
Artinya: 18 – Perbedaan antara al-ikhtira’ dengan al-ibtida’. Al-ibtida’ adalah mewujudkan sesuatu yang belum ada padanan semisalnya sebelum itu. Dikatakan abda’a fulan jika dia mendatangkan sesuatu yang asing. Dikatakan pula abda’ahu-llahu, maka Dia adalah mubdi’ dan badi’ (yang menciptakan sesuatu tanpa contoh sebelumnya). Dari sinilah firman Allah: badi’us samawati wal ardhi (Qs. al-Baqarah: 117), artinya: Dialah (Allah) yang menciptakan langit dan bumi (tanpa contoh sebelumnya). Bentuk fa’il berasal dari af’ala, sudah terkenal dalam bahasa Arab. Dikatakan bashiir berasal dari abshara, dan haliim dari ahlama. Istilah bid’ah dalam agama diambil  dari sini, yaitu suatu perkataan yang tidak dikenal sebelumnya. Dari sini pula firman Allah: ma kuntu bid’an minar rusuli (Qs. al-Ahqaf: 9), artinya: aku bukanlah seorang Rasul yang samasekali baru (yang tidak ada duanya sebelumnya).  Ru’bah berkata, “Wajah kebenaran itu tidaklah baru.” – yakni: sudah dikenal sebelumnya.

19 - الفرق بين الابتداع والاختراع : قال الجوهري أبدعت الشئ : اخترعته. وقال الزمخشري في الاساس : اخترع الله الاشياء : ابتدعها من غير سبب. انتهى. وخص بعضهم الابتداع بالايجاد لا لعلة، والاختراع بالايجاد لا من شئ ويؤيده ما رواه الصدوق - طاب ثراه - في كتاب التوحيد من باب أنه عزوجل ليس بجسم ولا صورة. مسندا عن محمد بن زيد قال: جئت إلى الرضا عليه السلام أسأله عن التوحيد فأملى علي: " الحمد لله فاطر الاشياء ومنشئها إنشاء، ومبتدعها ابتداء بقدرته وحكمته، لا من شئ فيبطل الاختراع، ولا لعلة فلا يصح الابتداع "..الحديث. فخص عليه السلام الاختراع بالايجاد لا من شئ، والابتداع بالايجاد لا لعلة. (اللغات)
Artinya: 19 – Perbedaan antara al-ibtida’ dan al-ikhtira’. Al-Jauhari berkata, “Abda’tu asy-syai’a yaitu ikhtara’tuhu.” Az-Zamakhsyari berkata dalam al-Asas, “Ikhtara’allahu al-asyya’a, yaitu Dia mewujudkannya dengan tanpa suatu sebab.” Selesai. Sebagian orang mengkhususkan makna al-ibtida’ sebagai: mewujudkan (sesuatu) tanpa suatu sebab, sedangkan al-ikhtira’ adalah mewujudkan (sesuatu) tanpa bahan dari sesuatu yang lain. Hal ini dikuatkan oleh riwayat yang dikutip oleh ash-Shaduq – yakni, Syaikh Abu Ja’far bin Muhammad bin ‘Ali bin al-Husain bin Babawaih al-Qummi (w. 381), semoga Allah melapangkan kuburnya – di dalam kitab at-Tauhid, dari bab: Allah bukanlah jisim dan bukan pula bentuk, yang riwayatnya disandarkan sumbernya dari Muhammad bin Zaid; dia berkata: saya mendatangi Imam ar-Ridha, saya bertanya kepada beliau tentang tauhid, maka beliau mendiktekan kepada saya, sbb: segala puji bagi Allah, fathir (pencipta) dari segala sesuatu, Dzat yang menumbuhkannya tahap demi tahap, yang menciptakannya (mubdi’) untuk pertamakali dengan kuasa dan hikmah-Nya; tidak dari sesuatu bahan sehingga akan membatalkan al-ikhtira’, dan tidak pula karena suatu sebab sehingga tidak sah pula al-ibtida’…dst.” Maka, beliau mengkhususkan al-ikhtira’ sebagai mewujudkan (sesuatu) tidak dari sesuatu bahan, sedangkan al-ibtida’ dengan mewujudkan (sesuatu) tidak didorong suatu sebab.” – al-Lughat.
[*] Dalam bahasa Arab, kata as-sabab bisa bermakna: motif, alasan, sebab, wasilah/perantaraan, asal/sumber, tangga, jalan, pengantar, tali, kehidupan.

316 - الفرق بين الانشاء والفعل : أن الانشاء هو الاحداث حالا بعد حال من غير احتذاء على مثال ومنه يقال نشأ الغلام وهى ناشئ إذا نما وزاد شيئا فشيئا والاسم النشوء، وقال بعضهم الانشاء إبتداء الايجاد من غير سبب، والفعل يكون عن سبب كذلك الاحداث وهو إيجاد الشئ بعد أن لم يكن ويكون بسبب وبغير سبب، والانشاء ما يكون من غير سبب والوجه الاول أجود.

Artinya: 316 – Perbedaan antara al-insya’ dan al-fi’lu. Al-insya’ adalah memperbaharui tahap demi tahap tanpa bersandar kepada contoh. Dikatakan nasya’al ghulam, dia disebut nasyi’, apabila dia tumbuh dan bertambah sedikit demi sedikit. Kata bendanya adalah an-nusyu’ (yang masih dalam masa pertumbuhan). Sebagian orang mengatakan bahwa al-insya’ adalah mengadakan sesuatu tanpa dilatari sesuatu sebab, sedangkan al-fi’lu terjadi karena dorongan suatu sebab. Demikian pula al-ihdats, yaitu mengadakan sesuatu setelah sebelumnya ia tidak ada, dan ia bisa terjadi baik dengan atau tanpa sebab, sedangkan al-insya’ adalah apa yang terjadi tanpa dilatari suatu sebab. Versi pertama tadi lebih bagus.

379 - الفرق بين البرء والخلق : أن البرء هو تمييز الصورة وقولهم برأ الله الخلق أي ميز صورهم، وأصله القطع ومنه البراءة وهي قطع العلقة وبرئت من المرض كأنه انقطعت أسبابه عنك وبرئت من الدين وبرأ اللحم من العظم قطعه وتبرأ من الرجل إذا انقطعت عصمته منه.
Artinya: 379 – Perbedaan antara al-bar’u dan al-khalqu. Al-bar’u adalah memilah/membeda-bedakan bentuk (fisik). Mereka mengatakan: bara’allahu al-khalqa, artinya: Allah memilah/membeda-bedakan bentuk makhluk-Nya. Aslinya, al-bar’u berarti memotong. Dari sinilah asal istilah al-bara’ah (berlepas diri), yaitu memutuskan perhubungan; bari’tu minal maradhi (saya sembuh dari sakit), seakan-akan sebab-sebab penyakit itu terputus darimu; bari’tu minad dayn (saya terbebeas dari hutang); bari’al lahmu minal ‘azhmi (daging terlepas dari tulang), yakni dia memotongnya; dan tabarra’a minar rajuli (dia berlepas diri dari orang itu), yakni jika dia memutuskan perlindungan yang diberikannya kepada orang itu.

874 - الفرق بين الخلق والتغيير والفعل: أن الخلق في اللغة التقدير يقال خلقت الاديم إذا قدرته خفا أو غيره وخلق الثوب وأخلق لم يبق منه إلا تقديره، والخلقاء الصخرة الملساء لاستواء أجزائها في التقدير واخلولق السحاب استوى وانه لخليق بكذا أي شبيه به كأن ذلك مقدر فيه، والخلق العادة التي يعتادها الانسان ويأخذ نفسه بها على مقدار بعينه، فإن زال عنه إلى غيره قيل تخلق بغير خلقه، وفي القرآن " إن هذا إلا خلق الاولين " (الشعراء : 137) قال الفراء يريد عادتهم. والمخلق التام الحسن لانه قدر تقديرا حسنا، والمتخلق المعتدل في طباعه، وسمع بعض الفصحاء كلاما حسنا فقال هذا كلام مخلوق، وجميع ذلك يرجع إلى التقدير، والخلوق من الطيب أجزاء خلطت على تقدير، والناس يقولون لا خالق إلا الله والمراد أن هذا اللفظ لا يطلق إلا لله إذ ليس أحد إلا وفي فعله سهو أو غلط يجري منه على غير تقدير غير الله تعالى كما تقول لا قديم إلا الله وإن كنا نقول هذا قديم لانه ليس يصح قول لم يزل موجودا إلا الله.
Artinya: 874 – Perbedaan antara al-khalqu (menciptakan), at-taghyiru (mengubah) dan al-fi’lu (melakukan). Al-khalqu secara bahasa berarti menentukan ukuran/mengatur bentuk. Dikatakan: khalaqtul adim (saya mengatur kulit) jika saya mengaturnya menjadi sepatu atau benda lainnya. Dikatakan khaliqa ats-tsaubu dan akhlaqa ats-tsaubu (baju menjadi usang) jika tidak tersisa dari baju itu selain bentuknya saja. Al-khalqa’ adalah padang gurun yang luas dan datar, karena bagian-bagiannya sama ukuran/bentuknya. Ikhlawlaqa as-sahab artinya mendung itu merata. Dikatakan innahu la-khaliqun bi-kadza maksudnya dia sangat mirip dengannya, seakan-akan dia itu diatur/ditentukan bentuknya padanya. Al-khalqu adalah adat yang biasa dilakukan manusia dan dia menampilkan dirinya dengan kebiasaan itu diatas kadar tertentu secara sama persis, dan jika dia bergeser dari kadar tersebut kepada yang lain, maka dikatakan takhallaqa bi ghairi khalqihi (dia bertindak di luar kebiasaannya). Di dalam Al-Qur’an dikatakan: in hadza illa khuluqul awwalin (Qs. asy-Syu’ara’: 137) – artinya: ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu – menurut al-Farra’, maksudnya adalah: adat kebiasaan mereka. Al-mukhliq artinya sempurna kebagusannya, karena dia telah diatur dengan pengatur sebaik-baiknya. Al-mukhtaliq adalah orang yang baik/lurus tabiatnya. Ada seorang ahli hikmah yang mendengar perkataan yang bagus, maka dia berkomentar, “Ini adalah perkataan yang bagus sekali (kalamun makhluq).” Semua itu maknanya kembali kepada at-taqdir (pengaturan). Al-khaluq dari minyak wangi artinya bagian-bagian minyak wangi yang dicampur dengan ukuran tertentu. Orang-orang mengatakan la khaliqa illallah (tidak ada Sang Pencipta selain Allah), maksudnya: lafazh ini tidak dipergunakan kecuali hanya untuk Allah, sebab tidak seorang pun melainkan pada perbuatannya pasti terdapat kelalaian atau kekeliruan, yang terjadi darinya dengan tanpa pengaturannya, selain Allah ta’ala; sebagaimana Anda mengatakan: la qadima illallah (tidak ada yang terdahulu selain Allah), meskipun kita biasa mengatakan hadza qadim (ini sudah lama), sebab tidak bisa dibenarkan untuk dikatakan sebagai selalu eksis/ada selain Allah.

939 - الفرق بين الذرء والخلق: أن أصل الذرء الاظهار ومعنى ذرأ الله الخلق أظهرهم بالايجاد بعد العدم، ومنه قيل للبياض الذرأة لظهوره وشهرته وملح ذرآني لبياضه والذرو بلا همزة التفرقة بين الشيئين، ومنه قوله تعالى " تذروه الرياح " (الكهف : 45) وليس من هذا ذريت الحنطة فرقت عنها التبن
Artinya: 939 – Perbedaan antara adz-dzar’u dan al-khalqu. Makna asli adz-dzar’u adalah menampakkan. Arti dari dzara’allahu al-khalqa adalah Allah menampakkan mereka dengan cara membuat mereka ada sesudah sebelumnya tidak ada. Dari sini, warna putih disebut adz-dzar’ah, karena dia sangat tampak dan terkenal; dan milhun dzar’aniy (garam yang putih bersih), karena sangat putih. Sedangkan kata adz-dzarwu (tanpa hamzah) artinya memisahkan diantara dua hal. Dari sinilah firman Allah: tadzruuhur riyaah (Qs. al-Kahfi: 45), artinya: diterbangkan oleh angin. Kata dzaraytu al-hinthah tidak berasal dari sini, yang artinya: saya memisahkan jerami dari biji gandum.

1517 - الفرق بين العمل والجعل : أن العمل هو إيجاد الاثر في الشئ على ما ذكرنا (في العدد: 1518)، والجعل تغيير صورته بايجاد الاثر فيه وبغير ذلك، ألا ترى أنك تقول جعل الطين خزفا وجعل الساكن متحركا وتقول عمل الطين خزفا ولا تقول عمل الساكن متحركا لان الحركة ليست بأثر يؤثر به في الشئ، والجعل أيضا يكون بمعنى الاحداث وهو قوله تعالى " وجعل الظلمات والنور " (الانعام: 1) وقوله تعالى " وجعل لكم السمع والابصار " (السجدة: 9) ويجوز أن يقال إن ذلك يقتضي أنه جعلها على هذه الصفة التي هي عليها كما تقول جعلت الطين خزفا، والجعل أيضا يدل على الاتصال ولذلك جعل طرفا للفعل فتستفتح به كقولك جعل يقول وجعل ينشد قال الشاعر:
فاجعل تحللك من يمينك إنما * حنث اليمين على الاثيم الفاجر
فدل على تحلل شيئا بعد شئ، وجاء أيضا بمعنى الخبر في قوله تعالى " وجعلوا الملائكة الذين هم عباد الرحمن اناثا " (الزخرف: 19) أي أخبروا بذلك، وبمعنى الحكم في قوله تعالى " أجعلتم سقاية الحاج " (التوبة: 19) أي حكمتم بذلك، ومثله جعله الله حراما وجعله حلالا أي حكم بتحليله وتحريمه، وجعلت المتحرك متحركا أي جعلت ماله صار متحركا، وله وجوه كثيرة أوردناها في كتاب الوجوه والنظائر، والجعل أصل الدلالة على الفعل لانك تعلمه ضرورة وذلك أنك إذا رأيت دارا مهدمة ثم رأيتها مبنية علمت التغير ضرورة ولم تعلم حدوث شئ إلا بالاستدلال
Artinya: 1517 – Perbedaan antara al-‘amal dengan al-ja’lu. Al-‘amal adalah mengadakan pengaruh/efek pada sesuatu, sebagaimana telah kami sebutkan (yakni, pada entri no. 1518); sedangkan al-ja’lu adalah mengubah bentuknya dengan mengadakan suatu pengaruh/efek padanya dan juga dengan selainnya. Tidakkah Anda melihat bahwa Anda mengatakan: dia mengubah (ja’ala) tanah menjadi porselen, dan dia mengubah sesuatu yang diam menjadi bergerak. Anda bisa mengatakan: dia mengerjakan (‘amila) tanah menjadi porselen, tetapi Anda tidak bisa mengatakan: dia mengerjakan (‘amila) sesuatu yang diam menjadi bergerak, sebab gerakan bukan sebuah efek yang membekas pada sesuatu itu. Al-ja’lu juga bisa bermakna mengadakan sesuatu yang baharu, yaitu dalam firman Allah, “Dia menjadikan kegelapan dan cahaya” (Qs. al-An’am: 1) dan firman-Nya, “Dia menjadikan untuk kalian pendengaran dan penglihatan” (Qs. as-Sajdah: 9). Bisa juga dikatakan bahwa hal itu mengharuskan dijadikannya sesuatu diatas sifat yang sekarang menjadi sifatnya, sebagaimana Anda mengatakan: saya mengubah tanah tanah menjadi porselen. Al-ja’lu juga menunjukkan adanya pertalian. Oleh karenanya ia dijadikan sebagai tepi/permulaan dari suatu kata kerja, dimana kata kerja itu diawali dengannya. Anda bisa mengatakan: ja’ala yaqulu (dia mulai berkata) dan ja’ala yunsyidu (dia mulai menyenandungkan syair). Seorang penyair berkata, “Lakukanlah pembatalan terhadap sumpahmu, sesungguhnya pelanggaran sumpah itu hanya dilakukan oleh seorang pendosa lagi durjana.” Syair ini menunjukkan pelepasan sedikit demi sedikit. Kata al-ja’lu juga bermakna berita, di dalam firman Allah, “Mereka menjadikan para malaikat – yang mana mereka adalah hamba-hamba Allah yang Maha Pengasih – sebagai berjenis kelamin wanita” (Qs. az-Zukhruf: 19), maksudnya: mereka mengabarkan yang seperti itu. Kata al-ja’lu juga berarti menghukumi, dalam firman Allah, “Apakah kalian menjadikan pemberian minum kepada jamaah haji…” (Qs. at-Taubah: 19), maksudnya: kalian menghukumi seperti itu. Yang semisal dengannya adalah ja’alahu-llahu haraman wa ja’alahu halalan (Allah menjadikannya haram dan menjadikanya halal), maksudnya: Allah menghukumi kehalalan dan keharamannya. Ja’altu al-mutaharrika mutaharrikan, maksudnya saya mengubahnya hartanya menjadi bergerak. Ada banyak sekali aspek makna dari kata ini. Kami telah mencantumkannya dalam kitab al-Wujuh wan Nazha’ir. Al-ja’lu (perubahan) adalah petunjuk pokok atas adanya suatu perbuatan, sebab Anda mengetahui hal itu secara pasti. Hal itu terjadi jika Anda melihat sebuah rumah yang telah menjadi reruntuhan, kemudian Anda melihatnya telah tegak terbangun kembali, maka Anda tahu secara pasti adanya suatu perubahan. Namun, Anda tidak bisa mengetahui terjadinya sesuatu yang baharu (yakni, yang sebelumnya tidak ada) kecuali melalui pencarian dalil-dalil.

1518 - الفرق بين العمل والفعل : أن العمل إيجاد الاثر في الشئ يقال فلان يعمل الطين خزفا ويعمل الخوص زنبيلا والاديم سقاء، ولا يقال يفعل ذلك لان فعل ذلك الشئ هو إيجاده على ما ذكرنا (في العدد: 1635) وقال الله تعالى " والله خلقكم وما تعملون " (التوبة:19) أي خلقكم وخلق ما تؤثرون فيه بنحتكم إياه أو صوغكم له، وقال البلخي رحمه الله تعالى: من الافعال ما يقع في علاج وتعب واحتيال ولا يقال للفعل الواحد عمل، وعنده أن الصفة لله بالعمل مجاز، وعند أبي علي رحمه الله: أنها حقيقة، وأصل العمل في اللغة الدؤوب ومنه سميت الراحلة يعملة وقال الشاعر:
وقالوا قف ولا تعجل * وإن كنا على عجل
قليل في هواك اليو * م ما نلقى من العمل
أي من الدؤوب في السير، وقال غيره: * والبرق يحدث شوقا كلما عملا *
ويقال عمل الرجل يعمل واعتمل إذا عمل بنفسه وأنشد الخليل:
إن الكريم وأبيك يعتمل * إن لم يجد يوما على من يتكل
Artinya: 1518 – Perbedaan antara al-‘amal dan al-fi’lu. Al-‘amal adalah mewujudkan pengaruh/efek pada sesuatu. Dikatakan fulan ya’malu ath-thiina khazafan (si fulan mengerjakan tanah menjadi porselen); ya’malu al-khawsha zanbilan wal adiima siqaa’an (dia mengerjakan daun kurma menjadi keranjang dan tanah menjadi kendi tempat minum). Tidak bisa dikatakan dia yaf’alu (mengerjakan) hal-hal tersebut diatas, sebab (jika dikatakan) fa’ala dzalika asy-syai’ (dia melakukan sesuatu itu) maka maksudnya adalah mewujudkan sesuatu itu sebagaimana yang kami sebutkan (yakni, pada entri no. 1635). Allah berfirman, “Allah telah menciptakan kalian dan apa-apa yang kalian kerjakan” (Qs. at-Taubah: 19), yakni: Dia telah menciptakan kalian dan juga menciptakan apa yang kalian beri efek/pengaruh padanya dengan memahatnya, atau membentuknya (maksudnya: batu yang dipahat/dibentuk menjadi berhala). Al-Balakhi berkata, “Diantara perbuatan-perbuatan ada yang berlangsung dalam suatu upaya, kelelahan, dan rekadaya. Pekerjaan yang hanya satu saja tidak disebut sebagai ‘amal.” Menurut beliau, menyifat Allah dengan al-‘amal adalah kiasan, sedangkan menurut Abu ‘Ali adalah hakiki. Makna asli al-‘amal secara bahasa adalah tekun/terus-menurus/sungguh-sungguh; dari sinilah unta tunggangan disebut dengan ya’malah. Seorang penyair berkata, “Mereka mengatakan, berhentilah dan jangan tergesa-gesa; meskipun kita sedang terburu-buru. Sedikit yang sesuai keinginanmu yang kita jumpai hari ini, semuanya adalah hasil dari amal.” Maksudnya: hasil dari ketekunan dan kontinyuitas dalam berjalan. Penyair yang lain berkata, “Kilat itu akan mendatangkan kerinduan setiap kali itu terus-menerus muncul.” Dikatakan: ‘amila ar-rajulu wa i’tamala, yakni jika dia bekerja dengan dirinya sendiri. Al-Khalil menyenandungkan syair, “Sungguh, seorang bangsawan terhormat itu – demi ayahmu – pasti mau bekerja dengan dirinya sendiri, jika pada suatu hari dia tidak menemukan kepada siapa lagi bisa bersandar.”

1630 - الفرق بين الفطر والفعل: أن الفطر إظهار الحادث بإخراجه من العدم إلى الوجود كأنه شق عنه فظهر، وأصل الباب الشق ومع الشق الظهور ومن ثم قيل تفطر الشجر إذا تشقق بالورق وفطرت الاناء شققته وفطر الله الخلق أظهرهم بايجاده إياهم كما يظهر الورق إذا تفطر عنه الشجر ففي الفطر معنى ليس في الفعل وهو الاظهار بالاخراج إلى الوجود قبل ما لا يستعمل فيه الظهور ولا يستعمل فيه الوجود، ألا ترى أنك لا تقول إن الله فطر الطعام والرائحة كما تقول فعل ذلك، وقال علي بن عيسى: الفاطر العامل للشئ بايجاده بمثل الانشقاق عنه.
Artinya: 1630 – Perbedaan antara al-fathru dan al-fi’lu. Al-fathru adalah menampakkan sesuatu yang baharu dengan mengeluarkannya dari ketiadaan kepada keberadaan/wujud, seakan-akan dibelah sehingga menjadi terlihat. Bab aslinya adalah asy-syaqqu (membelah). Bersama dengan asy-syaqqu ini juga azh-zhuhur (tampak). Dari sana kemudian dikatakan tafaththara asy-syajar bila dia terbelah dengan (mengeluarkan) daun-daunan; fathartul inaa’a artinya saya memecahkan wadah itu; fatharallahu al-khalqa artinya Allah menampakkan makhluk dengan mengadakan mereka, sebagaimana tampaknya dedaunan bila pohon membelah dirinya (sehingga dedaunan bersemi darinya). Maka, dalam al-fathru terdapat makna yang tidak terdapat dalam al-fi’lu, yaitu menampakkan dengan mengeluarkannya ke dalam keberadaan/wujud, sebelum bisa dipergunakan padanya (istilah) tampak dan tidak bisa pula dipergunakan padanya (istilah) ada/wujud. Bukankah Anda tidak mengatakan: Allah mengeluarkan rasa dan aroma sebagaimana Anda mengatakan: Allah melakukan hal itu? ‘Ali bin ‘Isa berkata, “Al-fathir adalah orang yang mengerjakan sesuatu dengan mengadakannya sebagaimana dia membelah/mengeluarkannya.”

1635 - الفرق بين الفعل والاختراع : أن الفعل عبارة عما وجد في حال كان قبلها مقدورا سواء كان عن سبب أو لا، والاختراع هو الايجاد عن غير سبب وأصله في العربية اللين والسهولة فكأن المخترع قد سهل له الفعل فأوجده من غير سبب يتوصل به إليه.
Artinya: 1635 – Perbedaan antara al-fi’lu dan al-ikhtira’. Al-fi’lu adalah ungkapan yang menyatakan sesuatu yang didapati dalam suatu keadaan dimana sebelumnya hal itu telah diatur, baik berasal dari suatu sebab tertentu maupun tidak; sedangkan al-ikhtira’ adalah mengadakan sesuatu tanpa suatu sebab. Dalam bahasa Arab, al-ikhtira’ aslinya adalah lunak dan mudah/rata; maka seolah-olah pelaku al-ikhtira’ telah dimudahkan untuk melakukannya, sehingga dia bisa mewujudkannya tanpa sesuatu sebab yang dia jadikan pengantar kepadanya.

1817 - الفرق بين الكسب والخلق: أن الكسب الفعل العائد على فاعله بنفع أو ضر، وقال بعضهم الكسب ما وقع بمراس وعلاج، وقال آخرون الكسب ما فعل بجارحة وهو الجرح وبه سميت جوارح الانسان جوارح وسمي ما يصاد به جوارح وكواسب ولهذ لا يوصف الله بأنه مكتسب والاكتساب فعل المكتسب، والمكتسب إذا كان مصدرا فهو فعل المكتسب وإذا لم يكن مصدرا فليس بفعل، يقال إكتسب الرجل مالا وعقلا واكتسب ثوابا وعقابا، ويكون بمعنى الفعل في قولك إكتسب طاعة، فحد المكتسب هو الجاعل للشئ مكتسبا له بحادث إما بنفسه أو غيره فمكتسب الطاعة هو الجاعل لها مكتسبة بإحداثها ومكتسب المال هو الجاعل له مكتسبا بإحداث ما يملكه به
Artinya: 1817 – Perbedaan antara al-kasbu (usaha) dan al-khalqu. Al-kasbu adalah perbuatan yang kembali kepada pelakunya sendiri, entah bermanfaat atau membahayakan. Sebagian orang mengatakan bahwa al-kasbu adalah apa yang terjadi melalui latihan dan perlakuan tertentu. Sebagian yang lain mengatakan bahwa al-kasbu adalah apa yang dilakukan dengan organ tubuh, dan dia itulah makna al-jarhu (luka). Dengan pengertian inilah organ tubuh manusia disebut sebagai al-jawarih, dan apa yang diperolehnya disebut dengan jawarih dan kawasib. Oleh karenanya pula Allah tidak disifati bahwa dia muktasib (berbuat dengan anggota badan). Al-iktisab adalah perbuatan dari orang yang melakukan kasab. Al-muktasab, jika bentuknya mashdar, maka dia adalah perbuatan dari orang yang melakukan kasab, tetapi jika bukan mashdar maka bukan perbuatan. Dikatakan iktasabar rajulu maalan wa ‘aqlan (seseorang mengusahakan harta dan kepandaian), dan iktasaba tsawaban wa ‘iqaban (dia mengusahakan pahala dan siksa). Kata itu bermakna perbuatan di dalam perkataanmu: iktasaba tha’atan (dia mengusahakan amal ketaatan). Maka, pengertian definitif dari al-muktasib (orang yang berusaha) adalah orang yang menjadikan sesuatu bisa diperoleh baginya dengan suatu perbuatan yang baru, baik dengan dirinya sendiri maupun orang lain. Maka, muktasib ketaatan adalah orang yang menjadikan ketaatan itu bisa dia peroleh dengan melakukannya, dan muktasib harta adalah orang yang menjadikan harta itu bisa dia peroleh dengan melakukan sesuatu yang bisa membuatnya memiliki harta itu.

Di internet, kamus ini dapat diunduh versi digitalnya dari situs Shaydul Fawa’id dan al-Misykat, dalam format MS Word. Untuk versi e-book, bisa juga diunduh dari tautan yang disertakan dalam situs Alukah (Al-Majlis Al-‘Ilmiy). Silakan kunjungi link-link yang kami sertakan berikut ini. Semoga bermanfaat.
1.      Format word, link: http://www.saaid.net/book/open.php?cat=90&book=1006
3.      Format e-book/aplikasi mandiri dan digital untuk Maktabah Syamilah, link: http://majles.alukah.net/showthread.php?t=37162
(Untuk format e-book, bisa langsung dibuka. Untuk format digital Maktabah Syamilah, harus diinstal dulu programnya)

Catatan: Contoh-contoh entri kata yang disitir disini sengaja kami kutip bersama teks asli Arab-nya, agar bisa dirujuk langsung. Selain itu, jika ada kekeliruan kami dalam membaca dan menerjemahkannya, maka lebih mudah untuk diperbaiki. Tegur sapa d`ri para pembaca akan diterima dengan senang hati. Wallahu a’lam bish-shawab. {am/11/12/1432}