[Sambungan dari Bag. 6-2]
[ 7 ]
FASILITAS FISIK MADRASAH
1.
Gambaran fasilitas fisik Madrasah ideal
Madrah Mustansiriyyah,
sebuah lembaga pendidikan di Baghdad yang didirikan beberapa abad setelah
meredupnya Nizhamiyah, digambarkan oleh Mehdi Nokosteen (mengutip dari buku Baghdad
During the Abbasid Caliphate), sbb:
“Kita mengetahui,
bahwa dari kenampakan luarnya dengan kemegahan ornamen dan kemewahan
perabotnya, dan dalam keluasan serta kekayaan kesalihannya, Mustansiriyah
unggul dalam segala sesuatunya, dari yang pernah terlihat dalam dunia Islam
sebelumnya. Terdiri dari empat sekolah hukum (fiqh) yang terpisah, satu untuk
tiap-tiap aliran ahli sunnah dengan seorang profesor menjabat sebagai kepala
pada masing-masing sekolah tersebut. masing-masing memiliki 75 mahasiswa
(fakih) yang menjadi tanggung jawabnya dan yang ia beri pelajaran secara
gratis. Empat orang profesor masing-masing menerima gaji bulanan untuk mengajar
tigaratus mahasiswa, ditetapkan satu dinar emas tiap bulan. Dapur besar (umum)
sekolah, selanjutnya menyediakan ransum roti dan daging setiap hari, untuk
semua penghuni. Menurut Ibnul Furat, ada satu perpustakaan (Darul Kutub) di
Mustansiriyah dengan buku-buku yang langka, membicarakan bermacam-macam ilmu
pengetahuan, demikian tersusun rapi sehingga para mahasiswa dapat dengan mudah
memeriksa atau mencarinya. Dan, bagi siapa yang ingin menyalin
manuskrip-manuskrip tersebut disediakan pena dan kertas oleh petugas.
Lampu-lampu untuk mahasiswa dan satu jatah persediaan minyak zaitun untuk
penerangan sekolah, juga disebutkan pula, tempat menyimpan untuk air minum yang
dingin dan di dalam ruangan masuk yang luas itu (Aywan), berdiri sebuah jam
(Sanduk as-saat, Chest of the Hour, memiliki bentuk clepsydra), untuk
memberitahu saat-saat shalat yang ditetapkan dan tanda-tanda perubahan waktu
siang dan malam.
Di samping sekolahan,
sebuah tempat mandi (Hammam) dibangun untuk dipergunakan khusus oleh para
mahasiswa dan sebuah rumah sakit (Bimaristan), dengan seorang dokter yang
ditunjuk bertugas mengunjunginya setiap pagi, memberikan resep kepada siapa
yang sakit. Disana juga terdapat ruang-ruang kedai yang besar, yang menyediakan
segala kebutuhan akan makanan, minuman, dan obat-obatan.”
Ini adalah gambaran
umum sebuah Madrasah besar yang terletak di ibukota kekhalifahan dan dibangun
atas inisiatif khalifah secara pribadi. Tentu saja fasilitasnya cukup mewah.
Namun, di berbagai kota lain, Madrasah dibangun dengan mengikuti model serupa.
Yang membedakan adalah skala kemewahan dan kemegahannya. Dengan kata lain, fasilitas
fisik utama dalam Madrasah yang ideal adalah: aula pembelajaran, perpustakaan, dapur
umum, klinik/rumah sakit, kedai makanan/minuman dan obat-obatan, serta kamar
mandi. Pada kompleks Madrasah itu juga ada halaman dalam yang luas (aywan),
dengan sebuah jam besar dipasang di tengah-tengahnya. Adapun masjid, asrama dan
rumah para guru, sudah pasti ada. Khusus Madrasah Mustansiriyah ini, keempat
sekolah madzhab fiqh yang berbeda itu ternyata juga memiliki masjid dan gedung
perkuliahan terpisah. Dewasa ini, mungkin semacam fakultas atau jurusan di
sebuah universitas.
2.
Aula pembelajaran ( قاعة الدرس ), atau ruang kelas
besar
Aula
(qa’ah ad-darsi) ini disediakan sebagai fasilitas utama transfer ilmu,
yang diasuh langsung oleh syaikh atau mudarris, dan dihadiri
sejumlah besar pendengar, tergantung popularitas syaikh yang memimpin halaqah
tersebut. Sebagaimana diulas sebelumnya, pembelajaran dalam Madrasah dipegang
secara langsung oleh guru besar, yang sesekali digantikan oleh asistennya, dan
bersifat terbuka untuk umum.
Mehdi Nakosteen
mengutip deskripsi sebuah Madrasah di Syam yang didirikan oleh Sultan Nuruddin
Zanki pada tahun 566 H (1170 M), sbb: “Sekolah tersebut terdiri dari sebuah
ruangan kuliah yang besar (qo’ah), panjangnya 8,25 m, lebar 7,8 m dan tingginya
9,17 m. (Lalu sebuah masjid, dan) masjid tersebut diperuntukkan bagi para
mahasiswa dan peribadatan umum (yang cukup jauh dari gedung kuliah), ruang
guru, tempat tinggal mahasiswa (delapan), tempat tinggal pengurus, dan kamar
kecil. Dapur dan ruang makan, ruang penyimpanan makanan, dan ruang penyimpanan
umum.”
Tentu
saja dalam kelas sebesar ini, tingkat pemahaman pendengar akan sangat beragam,
sehingga diperlukan langkah khusus mengatasinya. Untuk itu, bagi pelajar reguler,
pengelola Madrasah telah menyiapkan tenaga-tenaga bantu yang disebut mufid
dan mu’id, yang biasanya bertugas dalam halaqah-halaqah kecil.
Melalui merekalah para pelajar akan memperdalam ilmunya dalam interaksi yang
lebih akrab dan privat.
Telah disinggung pula
bahwa para mu’id akan mendampingi murid dua kali dalam sehari, yakni di
waktu siang dan sore. Ia akan membantu kesulitan murid dan memberi mereka
latihan-latihan.
3.
Asrama pelajar dan rumah para guru (المسكن
)
Para
pelajar reguler berhak memperoleh tempat tinggal (maskan)
dan santunan lain
sesuai kemampuan Madrasah, seperti makanan dan – ada juga – pakaian, kertas,
dan tinta. Semua ini gratis. Hak-hak ini biasanya
telah ditetapkan pembagiannya dalam dokumen wakaf.
Di
dalam kompleks Madrasah juga dibangun rumah bagi syaikh dan keluarganya,
yang biasanya merupakan rumah tersendiri dan cukup besar. Sejarawan mencatat
bahwa adanya rumah tinggal ini turut mendorong ketenangan para syaikh
dalam mengajar di Madrasah, sehingga mereka bisa
konsentrasi mengajar dan perkembangan
pelajar maupun Madrasahnya menjadi sangat pesat. Rumah-rumah
ini bersifat hak pakai, semacam “rumah dinas”, karena pada dasarnya ia adalah
bagian dari wakaf milik kaum muslimin. Ia tidak bisa diwariskan.
Adanya
asrama pelajar dan rumah guru dalam satu kompleks memastikan pola hubungan
guru-murid yang sangat baik, dimana – menurut catatan – para syaikh itu
memperlakukan murid-muridnya layaknya bapak dan anak, dan memperhatikan dengan
cukup detail persoalan-persoalan yang potensial mengganggu maupun membantu
kelancaran belajar mereka. Terkadang, syaikh berkeliling ke kamar-kamar
pelajar dan memeriksa keadaan mereka di malam hari (tentu saja, tanpa disadari
oleh para pelajar tsb). Jika ada yang janggal atau perlu penanganan, maka
pelajar ybs akan segera dipanggil pada keesokan paginya.
Patut ditambahkan
disini, bahwa kompleks perumahan dan asrama ini menuntut tersedianya fasilitas
dapur umum, ruang makan dan gudang-gudang penyimpanan. Sebagaimana tampak dalam
uraian Mehdi Nakosteen diatas, jenis ruangan/bangunan ini juga adalah dalam
Madrasah.
4.
Perpustakaan ( المكتبة atau بيت الكتب )
Sumber-sumber
sejarah menyebutkan bahwa perpustakaan-perpustakaan Madrasah memiliki koleksi
yang sangat luar biasa. Misalnya, Madrasah Qadhi al-Fadhil di Mesir dilaporkan
menyimpan koleksi literatur sejumlah 100.000 jilid buku. Madrasah Syekh ‘Abdul
Qadir Al Jilani di Baghdad pun diketahui memiliki koleksi buku-buku penting
yang sangat banyak, dan menjadi rujukan para pencari ilmu di zamannya. Umumnya,
buku-buku ini berasal dari wakaf atau dibeli secara langsung.
Beberapa
perpustakaan itu ada yang menyimpan koleksi-koleksi langka dan sangat mahal, seperti
Mushaf besar yang dikatakan sebagai Mushaf ‘Utsman bin ‘Affan, atau buku-buku
yang ditulis dan ditandatangani langsung oleh pengarangnya sendiri.
Di masa itu,
sebagaimana dinyatakan oleh Syalabi, ada tiga jenis perpustakaan, yaitu: umum,
semi-umum, dan pribadi. Perpustakaan umum biasanya dimiliki masjid,
madrasah atau lembaga pendidikan lain, yang bisa diakses siapa saja yang mau. Perpustakaan
semi-umum adalah jenis yang dikhususkan kalangan tertentu, seperti ilmuwan
terkenal atau bangsawan, dan biasanya terdapat di kompleks istana. Sementara
itu, perpustakaan pribadi adalah milik individu, entah sarjana atau
kolektor buku yang mengumpulkannya sebagai hobi.
Biasanya perpustakaan muslim
Abad Pertengahan memiliki 5 (lima) jenis staf, sbb:
1. Pustakawan kepala. Sebagai pucuk pimpinan perpustakaan, diatara tugas dan
tanggung jawabnya adalah: (a) pengadaan buku-buku baru, (b) ketepatan
penempatan suatu buku pada katalog, (c) menjamin semua buku dan fasilitas
perpustakaan dalam keadaan baik. Maka, ia harus mengerti betul sirkulasi dan
perkembangan perbukuan, informasi buku-buku baru dan bagaimana mendapatkannya,
termasuk buku-buku langka yang penting bagi koleksi Madrasah.
2. Penerjemah. Posisi ini sangat signifikan, karena karya-karya penting
yang ditulis dalam aneka bahasa bisa terkumpul di perpustakaan. Dengan adanya
penerjemah, maka buku-buku asing itu bisa dialihbahasakan dan akhirnya dapat
dibaca oleh lebih banyak pelajar maupun peminat umum.
3. Juru salin (warraq, nasikh). Buku-buku tertentu kadang sangat populer sehingga banyak
dibutuhkan oleh pelajar secara bersamaan, sehingga diperlukan salinan lebih
banyak. Akurasi penyalinan sangat ditekankan dan merupakan syarat mutlak yang
harus dipenuhi. Dewasa ini, fungsi ini dapat digantikan oleh mesin scanner
atau fotokopi, dengan petugas khusus.
4. Petugas penjilidan (mujallid). Ia secara khusus menjilid karya-karya yang telah selesai
diperbanyak atau memperbaiki penjilidan buku yang rusak.
5. Petugas umum. Ia membantu pengguna menemukan buku atau mengembalikan ke
tempatnya yang tepat, memastikan pengguna merasa nyaman dalam memanfaatkan
perpustakaan, serta menjaga kerapian koleksinya.
Untuk memperjelas
gambaran kita tentang nilai penting dan peran perpustakaan dalam sistem
pendidikan Madrasah, ada baiknya kita kutipkan gambaran perpustakaan klasik, sebagaimana
dikutip Mehdi Nakosteen dari Pinto. Perpustakaan yang dideskripsikan ini berada
di Shiraz, Cordova dan Kairo.
“…banyak
ruangan-ruangan untuk kegunaan yang berbeda; galeri dengan rak-rak tempat
menyimpan buku-buku, ruangan tempat pengunjung dapat membaca dan belaj`r, ruang
yang diatur berpisahan itu untuk pembuatan salinan-salinan manuskrip-manuskrip,
ruangan-ruangan yang disediakan untuk pertemuan-pertemuan sastra dan bahkan
dalam beberapa hal ruang-ruang dipergunakan untuk pertunjukan musik. Semua
ruang dibuat sedemikian mewah dan menyenangkan. Diatas lantai digelar karpet
dan lapik-lapik (keset) tempat para pembaca dalam gaya Asia Timur, duduk
bersila membaca bahkan menulis. Jendela-jendela dan pintu-pintu tertutup oleh
tirai (horden), pintu masuk utama memiliki tirai dengan berat khusus agar bisa
menghalangi masuknya udara dingin.
Perpustakaan Adud
Dawlah di Shiraz, terdiri dari sebuah galeri yang panjang, dengan kamar-kamar
penyimpanan (gudang) di sebelahnya. Sepanjang dinding galeri dan kamar-kamar
penyimpanan, terletak lemari-lemari buku yang berisi banyak rak-rak buku.
Buku-buku tersusun diatas rak-rak buku, dan untuk masing-masing cabang ilmu
pengetahuan dikelompokkan secara terpisah.”
5.
Tempat shalat ( بيت
الصلاة )
Adanya
tempat shalat (bayt ash-shalah) dapat dimengerti dari jabatan imam
dan mu’adzin dalam Madrasah, yang bertujuan mempermudah pelajar agar
bisa menunaikan shalat wajib secara berjamaah tanpa harus keluar masuk kompleks
Madrasah menuju Masjid Jami’ di lingkungan setempat.
Sebagai
misal, diketahui bahwa Syaikh ‘Abdul Qadir Al Jilani dan muird-muridnya jarang
keluar dari kompleks Madrasahnya kecuali untuk menunaikan shalat Jum’at di
Masjid Jami’, atau di Hari Raya. Dari sini bisa disimpulkan pula bahwa tempat
shalat dalam kompleks Madrasah hanya untuk shalat lima waktu, bukan shalat
Jum’at. Dengan demikian, syaikh dan para pelajar tidaklah terisolir
samasekali dari masyarakat, karena ada saatnya bagi mereka untuk membaur,
paling kurang dalam momen shalat Jum’at dan shalat dua hari raya.
Dalam konteks lokal
kita, bayt ash-shalat adalah mushalla, dan tidak dipergunakan
untuk shalat Jum’at.
6.
Kamar mandi ( الحمامات )
Fungsi dan urgensi kamar mandi (hammam) sudah
sangat jelas. Telah banyak kutipan sebelumnya yang
menyebut unsur kamar mandi ini dalam kompleks Madrasah. Disini, kami kutip
ulang dari Mehdi Nakosteen, “Di samping sekolahan, sebuah tempat mandi
(Hammam) dibangun untuk dipergunakan khusus oleh para mahasiswa….”
7.
Klinik kesehatan ( المارستان )
Ini adalah kutipan
dari Mehdi Nakosteen, tentang klinik atau rumah sakit di kompleks Madrasah: “…dan
sebuah rumah sakit (Bimaristan), dengan seorang dokter yang ditunjuk bertugas
mengunjunginya setiap pagi, memberikan resep kepada siapa yang sakit....”
Sebagaimana diketahui
dari dokumen wakaf Madrasah Mustansiriyah, juga catatan sejarah berupa
banyaknya para dokter dan berkembangnya ilmu kedokteran di masa itu, maka telah
banyak didirikan rumah sakit besar di berbagai kota besar. Tentu saja, ada
dukungan cukup baik dari lembaga pendidikan maupun penguasa di saat itu.
Demikian
risalah ringkas ini. Semoga bisa menjadi pemicu ide untuk menerapkannya dalam
konteks kekinian. Semoga pula menjadi salah satu sumbangsih kita demi hidupnya
kembali Sunnah Nabi dalam keseharian kita dan kaum muslimin, seperti yang
pernah dinikmati pada pendahulu kita di zaman keemasan. Amin.
Wal-hamdulillah,
wash-shalatu was-salami ‘ala rasulillah, wa la hawla wa la quwwata illa billah.
Wallahu a’lam bish-shawab.
[*] Naskah ini selesai disusun oleh: M.
Alimin Mukhtar, pada bulan Dzulqa’dah 1431 H, atau Oktober 2010 M. Semoga bermanfaat. Amin.
Bersambung....
Bagian 1, klik DISINI.
Bagian 2, klik DISINI.
Bagian 3, klik DISINI.
Bagian 4-1, klik DISINI.
Bagian 4-2, klik DISINI.
Bagian 5, klik DISINI.
Bagian 6-1, klik DISINI.
Bagian 6-2, klik DISINI.
Bagian 7.
Bagian 8, klik DISINI
Naskah lengkap versi PDF, cek laman DOWNLOAD, atau klik DISINI