[ Sambungan dari Bag. 3 ]
[ 4 ]
JENIS DAN TUGAS PEJABAT DI LINGKUNGAN MADRASAH
1.
Gambaran umum
Imam adz-Dzahaby,
dalam Tarikh-nya mencatat bagaimana tahap akhir pembangunan Madrasah
Mustansiriyah dan awal operasionalnya, “Pada tahun itu (631 H) Madrasah
Mustansiriyah di Baghdad selesai dibangun, dan kitab-kitab diboyong kesana
sejumlah 160 muatan. Jumlah fuqaha’ (pelajar) di dalamnya adalah 248 orang dari
empat madzhab, 4 orang mudarris, seorang syaikh (guru besar) hadits, seorang
syaikh nahwu, seorang syaikh kedokteran, dan seorang syaikh fara’idh. Disanalah
syaikh al-hadits Abul Hasan bin al-Qathi’iy digaji. Disana dibagikan pula roti,
makanan masak, kue-kue dan buah-buahan …… Untuk setiap mudarris ditetapkan 4
orang mu’id, dan 62 orang faqih (pelajar), dan di rumah yang menempel
bersebelahan dengan Madrasah tinggal 30 anak yatim yang dituntun (menghafal
Al-Qur’an).”
Uraian singkat diatas
menggambarkan bahwa ada sejumlah jabatan yang ditetapkan dalam sebuah Madrasah,
sebagai staf-staf utama yang mendukung operasionalnya. Dalam berbagai kitab
biografi, kita akan menemukan para ulama’ yang di belakang namanya diakhiri
dengan gelar-gelar tertentu, seperti al-imam, al-muqri’, al-mu’adzin, al-muhaddits,
al-mu’id, dan lain sebagainya. Tentu saja, umumnya mereka berkarir dalam
lembaga-lembaga pendidikan. Orang-orang ini, biasanya tidak menekuni profesi “umum”,
seperti berdagang atau kerajinan. Secara khusus mereka mengajar dan bertugas di
Madrasah, sedangkan kehidupan mereka telah dicukupi melalui wakaf. Namun,
sebagian syaikh diketahui merangkap sebagai Qadhi, Mufti, atau Khathib
di Masjid Jami’.
Stanton dan Syalabi
mencatat, bahwa mereka didukung oleh sistem wakaf yang sangat baik. Sebagian
mereka memang benar-benar kaya, walau umumnya termasuk kelompok berpenghasilan
menengah. Hanya saja, hampir tidak ada bukti bahwa mereka menekuni profesi guru
atau memasuki dunia Madrasah karena motif-motif ekonomi. Perkecualian memang
selalu ada, namun orang semacam ini pasti dikecam secara pedas. Karena mencari
ilmu merupakan tugas ibadah yang diperintahkan agama, maka orang-orang yang
berkecimpung di dalamnya melakukan hal itu karena dedikasi dan ketertarikan
murni terhadap kehidupan intelektual. Ibnul Ukhuwwah, yang menulis pedoman hisbah
(semacam akreditasi & standarisasi profesi), pada bagian “pengajar
anak-anak” – misalnya – menulis, “Ketahuilah, bahwa guru (al-mu’addib)
adalah profesi atau matapencaharian yang paling agung, berdasarkan sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sebaik-baik kalian adalah
siapa yang belajar dan mengajarkan Al-Qur’an.” Dalam hadits yang lain
dinyatakan, “Sebaik-baik orang yang berjalan di muka bumi adalah para guru
(al-mu’allimun), yaitu orang-orang yang memperbaharui agama ini setiap kali ia
menjadi lusuh dan terlantar.” Walaupun derajat hadits yang kedua ini maudhu’
(palsu), namun kedudukan guru benar-benar dihormati dalam masyarakat muslim.
2.
Waqif (
الواقف ), Mu’assis
( المؤسّس ) dan Nazhir
( الناظر)
Waqif
(pewakaf) atau mu’assis (pendiri) biasanya tokoh berpengaruh atau
hartawan, tidak mesti ilmuwan. Seringkali ia adalah pejabat tinggi
negara. Ia mewakafkan atas nama pribadi, walau jelas juga memanfaatjan posisinya
untuk “melindungi” Madrasah yang ia dirikan. Wakaf pada dasarnya hak milik kaum
muslimin, bukan pemerintah, sehingga sangat jarang bisa diintervensi penguasa.
Pada
umumnya, waqif mendedikasikan pembangunan Madrasahnya bagi seorang ulama’
besar yang ia pandang mampu memelihara nilai-nilai Islam. Artinya,
keberadaan ulama’ dimaksud merupakan pendorong dan benih Madrasah ybs. Jadi,
motifnya adalah ibadah dan pengabdian kepada Islam, bukan mencari keuntungan. Madrasah
bukan lembaga investasi dan bisnis sebagaimana banyak bermuculan di masa kita
sekarang. Sebab faktanya, seluruh biaya Madrasah justru ditanggung oleh wakaf,
termasuk gaji syaikh, para khadam dan pejabat lain, bahkan
beasiswa bagi semua pelajar di dalamnya.
Wakaf
disertai dokumen ketentuan (syuruth al-waqfi), yang memuat tujuan
pendirian Madrasah dan berimplikasi langsung pada syarat pengajar yang boleh
mengajar maupun materi yang akan diajarkan di dalamnya, misalnya harus
bermadzhab Syafi’i dan khusus pengajaran Al-Qur’an, hadits, atau fiqh. Kadang, disana
disertakan pula amalan-amalan tertentu yang harus dijalankan oleh syaikh
maupun warga Madrasah setiap harinya.
Karena
waqif seringkali sibuk menangani urusan lain, atau memiliki Madrasah lain
di tempat terpisah, biasanya pengelolaan dan pengawasan harian diserahkan
kepada seorang nazhir (pengawas). Ia yang mengelola wakaf agar mencukupi
kebutuhan Madrasah selama setahun. Contohnya, Perdana Mentdri Nizhamul Mulk
menyalurkan 10.000 dinar untuk biaya operasional Madrasah Nizhamiyah Isfahan selama satu
tahun. Dengan kurs Rp 1.583.800,- per dinar (kurs Okt. 2010), maka kucuran dana ini bernilai
lebih dari 15,8
milyar rupiah/tahun!! Diketahui, jumlah pelajar Madrasah Nizhamiyah Baghdad –
yang terbesar saat itu – sekitar 300 orang, demikian pula yang di Nisyapur.
Kemungkinan, jumlah pelajar di Isfahan tak jauh berbeda.
Sepertinya,
nazhir bukanlah sosok tersendiri, namun sekaligus diserahkan ke tangan syaikh
atau mudarris. Kesimpulan ini didasarkan pada syarat nazhir yang
cukup “fantastis”. Tercatat pula bahwa seorang syaikh digaji terpisah
untuk tugas nazhir ini. Dengan kata lain, ia menerima dua gaji berbeda untuk
dua jabatan tersebut.
Menurut
an-Nablusiy syarat nazhir adalah, sbb: “Seyogyanya dia adalah
seseorang yang ‘alim, sangat menguasai dan diakui otoritasnya dalam berbagai
disiplin ilmu, memiliki keutamaan perilaku dan adab, mulia keinginannya, dan
dihormati kedudukannya. Sebab, ia akan memerintah (baca: mengelola) para
ulama’, fuqaha’, qurra’, muhadditsin, tokoh-tokoh terpandang (fudhala’), par`
khathib, para pemuka (mutashaddirin), para guru (mudarrisin), dan para imam
masjid. Ia secara mutlak dan berdiri sendiri bebas memilih apa yang
dikehendakinya. Otorisasi yang diberikannya bisa dijalankan tanpa harus
menunggu persetujuan penguasa dan tanpa harus sepengetahuannya. Sebab,
biasanya, ia bebas secara mutlak (membiarkan) apa yang ia inginkan pada orang
yang ia inginkan, dan menetapkan pilihannya itu pada orang yang ditunjuknya –
dengan lebih dikuatkan lagi – juga untuk para ahli warisnya. Maka, orang yang
memiliki kedudukan seperti ini, yang dipercaya semisal ini, yang menjadi wali
(pemimpin) atas sekelompok orang yang rekaliber ini (yakni, para ulama’,
fuqaha’, dst), seharusnyalah ia termasuk orang yang dikenal luas taat beragama,
(memiliki) senioritas dalam ilmu, bersih, selalu menjaga diri, baik riwayat
hidupnya, dan memiliki keahlian ilmiah tertentu yang dengannya ia bisa
mengenali siapa-siapa yang layak mengajar, tampil di muka forum, berkhutbah,
menjadi imam masjid, berikut syarat-syarat yang diperlukan untuk memangku
jabatan-jabatan dimaksud. Ia harus orang terjauh dari dominasi hawa nafsu dan menerima
suap (risywah), yang justru akan mempermalukan dan menjatuhkan martabatnya sendiri
di hadapan sekelompok orang diatas (yakni, para ulama’, fuqaha’, dst). Ia juga
seharusnya seseorang yang layak untuk sering didatangi oleh para ulama’,
qurra’, dan tokoh-tokoh terpandang.”
Adapun as-Subki,
beliau menulis tentang nazhir juga, sbb: “diantara kewajibannya
adalah menjaga kelestarian (‘imarah) dan mengembangkan (tanmiyah). Menurut para
ulama’ Syafi’iyah, seorag wali anak yatim tidak diharuskan untuk berusaha
semaksimal mungkin dalam mengembangkan harta. Ia hanya berkewajiban untuk
mengembangkannya dalam kadar tertentu selama pembelanjaan dan pembayaran gaji
tidak menghabiskan pokok harta. Inilah yang benar. Namun, jika lebih dari itu,
maka itu merupakan bentuk mensyukuri nikmat. Diantara kerusakan yang umum
terjadi adalah Madrasah yang tidak membatasi jumlah fuqaha’ yang tinggal di dalamnya,
sehingga Qadhi atau Nazhir menempatkan orang-orang di dalamnya lalu menetapkan
untuk mereka jumlah (gaji) tertentu yang melebihi jumlah keseluruhan pemasukan
Madrasah. Maka, bolehkah menempatkan orang melebihi jumlah itu? Ibnu Rif’ah
berkata, “Tidak boleh.” Syaikh al-Imam berkata, “Demikian pulalah pendapat yang
saya pegangi, dengan syarat jika di Madrasah itu telah ditetapkan jumlah (gaji)
tertentu bagi pada fuqaha’-nya. Namun, jika ditetapkan – misalnya – sepuluh
orang fuqaha’ dan tidak ada kadar atau bagian tertentu dari wakaf yang telah
ditetapkan secara eksplisit dalam dokumen mereka – dan inilah yang umum terjadi
pada Madrasah-madrasah yang tidak memiliki batasan tertentu – maka hal itu
tidak masalah. Termasuk kerusakan (yang umum terjadi) adalah Nazhir Wakaf yang
menyewakan toko rusak atau sejenisnya dengan syarat penyewa harus
memperbaikinya dari hartanya sendiri, dan biaya yang dikeluarkannya itu
dianggap sebagai uang sewanya. Ini adalah sewa-menyewa yang batil (tidak
dibenarkan), sebab toko itu pada saat (transaksi) tidak bisa dimanfaatkan.
Adapun jika toko itu bisa berfungsi kemudian disewakan dengan harga tertentu,
kemudian ia mengizinkan penyewa untuk merenovasinya atas biaya sendiri, maka
dibolehkan. Ar-Rafi’i menegaskan hal ini pada permulaan bab sewa-menyewa. Tidak
diperbolehkan juga menyewakan pemandian dengan mempersyaratkan bahwa periode
ketika tidak bisa dipergunakan – misalnya, karena renovasi atau yang lain – dihitung
sebagai tanggungan penyewa, bukan pemilik.”
3.
Syaikh (الشيخ ) atau Mudarris ( المدرس )
Yakni,
“guru besar” atau “pengajar utama” di sebuah Madrasah. Seringkali Madrasah
dibangun khusus untuk seorang syaikh atau mudarris tertentu, dan
banyak diantaranya menjadi terkenal dengan nama syaikh yang mengajar
disana, seperti Madrasah Ibnul Anjab yang diasuh oleh al-Imam al-Hafizh Abul
Hasan ‘Ali Ibnul Anjab al-Maqdisi al-Iskandarany al-Maliki (w. 611 H), Madrasah
Ibnu Syas yang diasuh oleh qadhi al-qudhat Taqiyuddin Abu ‘Ali Husain
bin Syarafuddin Ibnu Abil Fadhl bin Syas, atau Madrasah Ibnu Rasyiq yang diasuh
qadhi al-qudhat ‘Alamuddin Ibnu Rasyiq. Boleh dikata, syaikh adalah benih
Madrasah, dan karenanyalah Madrasah dibangun.
Umumnya,
para pewakaf – dengan niat menyebarkan agama dan
menghidup-hidupkan ilmu – meminta seorang syaikh terkenal dan mumpuni
untuk mengajar. Untuk
itu,
mereka menyiapkan segala sesuatunya. Para syaikh ini biasanya seorang ulama’
termasyhur, seperti Hujjatul Islam Al-Ghazali yang dipilih memangku Madrasah
Nizhamiyah Baghdad, atau guru beliau (Imam al-Haramain al-Juwainy) yang
diangkat sebagai syaikh Madrasah Nizhamiyah Nisyapur. Pemilihan syaikh biasanya berkait erat dengan madzhab
fiqh yang dianut pewakaf, dan hal itu seringkali dicantumkan secara eksplisit
dalam syuruthu al-waqf. Memang, biasanya seorang syaikh adalah ulama’
fiqh atau punya keahlian fiqh yang menonjol – walau kemungkinan juga menguasai
bidang-bidang lain – sehingga seringkali dijabat oleh para Qadhi.
Dengan
mengamati kualifikasi syaikh dan kenyataan ilmiah dari Madrasah itu, kita
menyadari bahwa proses pembelajaran disana memiliki gambaran yang sangat
berbeda dengan sekolah-sekolah konvensional modern. Saat itu, seorang syaikh
adalah pakar otoritatif dalam beberapa disiplin ilmu sekaligus, sehingga
reputasi Madrasah yang dipimpinnya sangat tergantung kualifikasi ilmiahnya. Semakin
banyak ilmu yang dikuasai seorang syaikh, maka semakin banyak pula
pelajar yang berminat untuk datang dan menimba ilmunya. Dengan demikian,
Madrasah akan semakin ramai, dan – bagi pewakaf – ini sangat
menggembirakan karena akan memperbesar pahalanya di sisi Allah. Inilah uniknya
sistem wakaf, bahwa yang membuat gembira adalah pahala di akhirat, bukan pemasukan
finansial dari pelajar yang semakin banyak.
Dalam
sehari, syaikh akan mengajar beberapa materi secara bergantian, di
sebuah halaqah besar dalam masjid atau qa’ah (aula), mulai penghujung pagi
sampai siang, dan mungkin dilanjutkan sorenya. Materi-materi akan diurutkan
menurut hirarki kemuliaannya, misalnya: dimulai dari Al-Qur’an dan
ilmu-ilmunya, hadits dan ilmu-ilmunya, lalu ushuluddin (akidah), fiqh, bahasa,
sejarah, debat, dll; tergantung ilmu apa yang dikuasai syaikh-nya. Jika syaikh
berhalangan, pembelajaran dikendalikan oleh para na’ib. Di shang
hari, sebagian pelajar melanjutkannya dengan riset atau bekerja mencari
nafkah, sebab diantara mereka ada juga yang sudah menikah.
Pada
malam hari, akan berlangsung halaqah-halaqah kecil yang biasa disebut majlis
mudzakarah (forum untuk saling mengingatkan). Mudzakarah adalah
sistem belajar mandiri dimana para pelajar akan mengulang kembali apa yang
telah disampaikan syaikh tanpa kehadiran gurunya. Terkadang, majlis mudzakarah
dari para pelajar tingkat tinggi akan dihadiri para pelajar dari level di
bawahnya, karena disana ia akan mendapat banyak sekali manfaat dan kemajuan.
Tetapi, para pelajar tingkat lebih rendah ini hanya menjadi pendengar dan tidak
berhak angkat suara di dalamnya. Inilah alasan mengapa dalam buku-buku Adab Pelajar
sering ada pesan agar para murid tidak menghadiri majelis-majelis yang ia belum
siap mencerna isinya. Umumnya, disinilah peran para mu’id dan mufid
dimulai. Kualifikasi dan jenis beban yang diemban para mu’id dan mufid
ini ditentukan oleh syaikh setelah melihat murid-murid terbaiknya. [Baca
juga pasal tentang kedua hirarki akademis ini, di bawah].
Halaqah
yang diasuh syaikh ini bersifat terbuka, dalam artian bisa diikuti siapa
saja yang berminat untuk ikut. Selain para pelajar reguler yang secara resmi
menjadi siswa Madrasah ybs (dan, mereka ini memang wajib ikut), orang-orang
yang ikut bergabung dalam halaqah ini bisa datang dari berbagai kalangan
dan usia. Ia pun tidak terikat kewajiban harus datang pada pertemuan sebelum
maupun sesudahnya. Tidak heran, para pejabat tinggi negara, putra-putri sultan,
para ulama’ termasyhur, juga rakyat jelata dengan latar belakang apapun, bisa
bergabung disini. Sejarah mencatat bagaimana khalifah Harun Ar-Rasyid ikut
bergabung dalam halaqah Imam Malik di Madinah, Perdana Menteri Nizhamul
Mulk ikut mendengarkan kuliah Imam Al-Ghazali di Madrasah Nizhamiyah di Baghdad
dan bahkan turut mencatat materinya, demikian pula Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi
– serta putranya, al-Malik al-‘Aziz – bersedia melakukan perjalanan dari Kairo ke
Iskandariyah untuk mendengarkan kuliah Al-Hafizh as-Silafy disana. Ini pula
yang melatari mengapa banyak sekali ulama’ besar di masa silam yang menjadi
guru dari seorang ulama’ lain, tetapi juga pernah menjadi muridnya di saat berbeda;
atau menjadi “teman seperguruan” dari muridnya karena sama-sama pernah berguru
dari ulama’ lain di masa hidup mereka. Seringkali telah terjadi “pertukaran
ilmu” dalam pola hubungan yang unik ini.
Pemilihan
syaikh ada di tangan waqif dan mu’assis Madrasah, atau
para nazhir (pengelola) yang menggantikannya. Dalam kasus nazhir yang
sekaligus syaikh, biasanya ia akan menunjuk penggantinya menjelang
wafat. Ia sepenuhnya independen dalam pemilihan ini, dan bebas memilih siapa
saja yang dipandangnya layak untuk memangku jabatan tersebut. Biasanya,
pemerintah tidak bisa mencampurinya. Kriteria syaikh sendiri sudah ada dalam
syuruthu al-waqfi.
Menurut Stanton, juga
beberapa penulis lain, peristiwa pengangkatan seorang syaikh sangatlah
penting bagi sebuah Madrasah, dan seringkali dihadiri para pejabat. Bahkan,
khalifah sendiri bersama para pengiringnya turut hadir, bila yang diangkat
adalah seorang ulama’ terkenal. Disini, syaikh akan menyampaikan pidato
peresmian di hadapan publik, dan umumnya dicatat baik-baik oleh murid-murid
Madrasah ybs. Reputasi dan kedalaman ilmu sang syaikh, juga kesan dari
penampilan pertama ini sangat menentukan sejarah Madrasah selanjutnya.
Seorang
syaikh terkadang juga memangku jabatan lain di luar Madrasah, atau
merangkap di beberapa Madrasah sekaligus, seperti qadhi (hakim), mufti,
khathib, dsb. Akan tetapi, mereka tidak bekerja mencari nafkah karena
telah dicukupi oleh wakaf. Misalnya, Syaikh al-‘Izz bin ‘Abdissalam yang
mengasuh Madrasah Shalihiyah ternyata juga menjabat qadhi dan khathib
di Masjid Jami’ (Kairo). Atau, Qadhi Imaduddin Ibnus Sakary yang merangkap
sebagai guru besar di tiga Madrasah (ash-Shalahiyyah, al-Masyhad al-Husaini,
dan Manazil al-‘Izz), sekaligus sebagai qadhi dan khathib di
Masjid Jami’ al-Hakimy. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani – penulis Fathul
Baary – juga tercatat memangku jabatan kenegaraan dan akademis di beberapa
tempat berbeda.
Terkadang,
kedudukan syaikh ini bersifat turun-temurun, dalam arti bisa diwariskan.
Namun, ia tetap berada dalam koridor syuruthu al-waqfi, karena Madrasah
bukan milik syaikh ybs. Pewarisan ini selalu didasarkan pada kelayakan
pribadi yang dikehendaki untuk memangkunya. Ketika tidak ada keturunan syaikh
yang layak, maka jabatan itupun diserahkan kepada orang lain. Misalnya, Syaikh
al-‘Izz bin ‘Abdissalam ditanya oleh Sultan Mesir menjelang wafatnya: siapa
diantara anak-anaknya yang layak menggantikan? Beliau meminta maaf karena tidak
ada yang layak, lalu menunjuk Qadhi Tajuddin bin Bintul A’azz untuk
menggantikan posisinya.
Syaikh memiliki prestise luar biasa. Ketika ia
meninggalkan Madrasah untuk urusan tertentu, ditunjuklah seorang na’ib
(pengganti, asisten) untuk menjalankan tugas-tugasnya sampai ia kembali. Jabatan
ini diadakan guna meredam kecenderungan kultus dan penghormatan berlebihan
kepada syaikh, sebab terkadang para murid tidak mau menerima pelajaran
selain dari syaikh-nya. Di sisi lain, pembelajaran bisa tetap berjalan
normal meski tanpa kehadiran syaikh.
Syaikh
biasanya tinggal dalam kompleks Madrasah bersama keluarganya, dalam rumah yang telah
disediakan. Tempat tinggal ini bersifat hak pakai saja, alias “rumah dinas”. Dilaporkan
bahwa ‘Imaduddin bin as-Sakary mengeluhkan pencopotannya sebagai syaikh dari
Madrasah Manazil al-‘Izz, dan hal pertama yang menjadi keluhannya adalah
kenyataan bahwa ia harus meninggalkan rumah yang menjadi tempat tinggal
keluarganya, padahal jumlah mereka cukup banyak.
Adapun di lembaga
pendidikan dasar atau kuttab, pengajarnya disebut sebagai mu’allim
atau mu’addib. Istilah terakhir ini biasanya secara khusus dilekatkan
kepada pendidik putra-putra khalifah atau pejabat tinggi negara, sedang mu’allim
bersifat umum. As-Subki menulis, sbb: “seyogyanya ia seseorang yang benar
akidahnya. Sungguh banyak anak kecil yang tumbuh besar sementara akidah mereka
rusak, disebabkan para faqih yang mengajari mereka pun demikian. Hal yang harus
diperhatikan oleh para orangtua adalah mencermati akidah guru dari
anak-anaknya, sebelum ia meneliti agamanya dalam masalah-masalah furu’iyah.
Setelah akidah, barulah ia meneliti agamanya dalam masalah-masalah furu’iyah.
Diantara kewajiban pengajar anak kecil adalah tidak mengajarkan apapun kepada
mereka sebelum mengajarkan Al-Qur’an, kemudian hadits Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam. Jangan mengajak mereka membicarakan masalah-masalah akidah. Akan
tetapi, biarkan mereka sampai mereka benar-benar mampu untuk itu. Kemudian,
bimbing mereka dengan akidah ahlus sunnah wal jama’ah. Namun, jika ia menahan
diri dari bab ini, maka itulah yang lebih hati-hati. Ia pun hendaknya
memantapkan anak-anak yang telah mumayyiz untuk menulis Al-Qur’an pada plat –
atau, kertas – dan membawanya. Dan membawa mushaf sementara dia dalam keadaan
berhadats (junub).”
Namun, Mehdi Nakosteen
dalam Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, memberikan uraian,
sbb: “Ada enam tipe guru yakni: mu’allim, mu’addib, mudarris, syaikh,
ustadz, imam, belum lagi termasuk guru pribadi dan para mu’ayyid atau asisten
(guru-guru yunior). Mu’allim biasanya julukan bagi sekolah dasar. Mu’addib,
arti harfiahnya orang yang beradab atau guru adab, adalah julukan untuk
guru-guru sekolah dasar dan sekolah menengah. Mudarris adalah satu julukan
profesional untuk seorang Mu’id atau pembantu. Ia sama dengan asisten profesor
dan membantu mahasiswa menjelaskan hal-hal yang sulit mengenai kuliah yang
diberikan oleh profesornya. Syaikh, atau guru besar (master) adalah julukan
khusus yang menggambarkan keunggulan akademis atau teologis. Imam, adalah guru
agama tertinggi.”
4.
Muhaddits ( المحدث ), Musnid ( المسند ), dan Syaikh ar-Riwayah ( شيخ الرواية )
Seorang
muhaddits (ahli hadits) atau musnid (pemegang otoritas sanad)
bertugas mengajarkan hadits-hadits kepada pelajar di Madrasah. Biasanya ia
duduk di masjid atau aula besar membacakan kitab hadits, atau menyimak
sementara ada seseorang yang bertugas membaca (qari’)
di hadapannya, dan
sesekali membenarkan jika ada kesalahan. Qari’
ini bisa orang tetap atau salah seorang
dari murid yang berkeinginan mendengarkan periwayatan haditsnya. Jika guru
membaca dalam sistem dikte, maka murid-murid akan terlebih dahulu menghubungi
murid senior dari guru dimaksud yang disebut mustamli (pemohon
pendiktean), yang diberi wewenang untuk mengatur jadwal pertemuan mereka
dengan sang guru. Ketika majlis itu terselenggara, para murid lain menyimak dan membenahi
salinan naskah yang mereka miliki, atau mencatat keterangan yang diberikan muhaddits
tsb di tepian naskahnya (hamisy). Setelah proses pembacaan tuntas,
seluruh murid dinyatakan berhak untuk meriwayatkannya kembali, atau mendapat ijazah
(lisensi). Pemberian ijazah ini tidak
mahn-main, sebab kehadiran murid sangat diperhatikan dan dicatat secara tertib
oleh seorang katib al-ghaibah. Haram hukumnya menyatakan seseorang telah
“mendengar” sebuah riwayat darinya padahal sebenarnya tidak. Sebaliknya,
seseorang yang ketahuan mengaku “mendengar” sebuah riwayat dari guru tertentu
padahal tidak, maka riwayatnya akan ditinggalkan, bisa jadi seluruhnya. Ia
telah cacat secara moral dan dipandang tidak layak lagi meriwayatkan
hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi waslalam.
Menurut al-Ghazali
dalam al-Adab fi ad-Din, adab seorang muhaddits adalah, “selalu
berusaha untuk jujur, menjauhi dusta, menyampaikan hadits-hadits yang masyhur,
mengutip riwayat dari sumber-sumber terpercaya, meninggalkan riwayat-riwayat
yang munkar, tidak mengungkit-ungkit (perselisihan) yang terjadi diantara kaum
salaf, mengenali (sejarah yang terjadi pada setiap) periode, menjaga diri dari
kekeliruan, salah membaca harakat, salah ucap, dan salah membaca huruf;
meninggalkan gurauan, mempersedikit keributan, dan mensyukuri nikmat, sebab ia
telah ditempatkan pada derajat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam; dan selalu
bersikap tawadhu’. Hendaklah sebagian besar hadits yang disampaikannya adalah
apa yang bermanfaat bagi kaum muslimin dalam masalah yang wajib, sunnah, dan
adab yang selaras dengan makna Kitabullah. Jangan membawa ilmunya kepada para
pejabat, dan jangan pula mengerumuni pintu para penguasa. Sebab, semua itu akan
menjatuhkan kedudukan seorang ulama’ dan melenyapkan kewibawaan ilmunya, ketika
ia membawa ilmunya ke hadapan para penguasa dan orang-orang kaya. Jangan menyampaikan
suatu hadits yang tidak diketahui sumber aslinya, jangan pula membacakan
sesuatu yang sebenarnya tidak ia lihat terdapat dalam kitabnya. Jangan
berbicara bila ada yang membaca hadits (dengan tujuan minta disimak olehnya),
dan hendaklah ia berhati-hati jangan sampai memasukkan hadits yang satu ke
dalam hadits lainnya.”
Tentu saja, ada
penyakit yang bisa menghinggapi kalangan ini, sehingga menghalangi proses yang
diselenggarakan. Oleh karenanya, Imam adz-Dzahabi menulis dalam Zaghlu
al-‘Ilmi, “Para muhaddits, sebagian besar tidak mengerti apa yang mereka
sampaikan, tidak ada keinginan untuk memahaminya dan tidak pula menjadikannya
sebagai pedoman beragama. Bahkan, bagi mereka antara yang shahih dengan yang
maudhu’ (palsu) adalah sama saja. Keinginan mereka hanyalah mendengar hadits
dari guru-guru yang tidak dikenal, memperbanyak juz kitab atau perawi (yang
mereka kutip), tanpa sedikitpun berkomitmen terhadap adab (pencari) hadits, dan
tidak kunjung tersadar dari mabuk memperbanyak mendengar hadits. Sekarang ia
mendengar satu juz (kitab hadits) dan hatinya berbisik, “Kapan akan ia kutip
kembali? Apakah 50 tahun yang akan datang?” Celaka kamu, betapa panjang
angan-anganmu dan betapa buruk amalmu. Maka, bisa dimaklumi jika Sufyan
ats-Tsauri berkata, “Andai saja (mengutip) hadits itu suatu kebaikan, niscaya
ia akan semakin sedikit sebagaimana semakin sedikitnya kebaikan.” Beliau benar,
demi Allah, kebaikan apa yang masih tersisa dalam hadits yang tercampur-baur
antara yang shahih dengan semi-palsu, sementara engkau tidak menyeleksi, tidak
mencari tahu siapa penukilnya, dan tidak pula menaati Allah dengannya.”
Sehubungan dengan syaikh
ar-riwayah, as-Subki menulis tugas-tugasnya adalah, sbb: “hendaklah ia
memperdengarkan kepada para pelajar hadits, dan mendengarkan apa yang mereka
bacakan kepadanya, kata demi kata, sehingga sima’ (periwayatan dengan mendengar
langsung) mereka menjadi sah. Hendaklah ia bersabar menghadapi mereka, sebab
mereka adalah duta-duta (yang dikirim oleh) Allah ta’ala. Tatkala ia mendapati
satu bagian hadits atau kitab yang mana seorang syaikh hanya sendirian saja
meriwayatkannya, maka menjadi fardhu ‘ain atasnya untuk memperdengarkannya.”
5.
Nahwiy ( النحوي )
Kualifikasi
maupun tugasnya mudah ditebak dari namanya, yang berarti ahli tatabahasa.
Setidaknya, ada dua hal penting yang perlu diperhatikan sehubungan dengan
pengajaran tatabahasa ini. Pertama, ia diarahkan sebagai perangkat
praktis, yakni mengajarkan bagaimana berbicara yang benar dan fasih menurut lisan
al-‘arab, sehingga tidak menimbulkan salah paham. Untuk dimaklumi, banyak
pelajar yang bukan bangsa Arab, dan menggunakan bahasa ibu berbeda dalam
keseharian, seperti Persia. Kedua, kenyataan bahwa Al-Qur’an dan Sunnah
berbahasa Arab, dimana keduanya merupakan sumber utama studi Islam. Tanpa
tatabahasa, seorang pelajar akan “mati kutu” di hadapan ribuan dalil, dan tidak
mendapat manfaat apa-apa darinya, kalau tidak malah tersesat. Pada sebagian
Madrasah diketahui bahwa jabatan nahwiy ini dirangkap oleh mutawalli
al-kutub (pustakawan).
Tentang nahwiy ini,
Imam adz-Dzahabi menuliskan peringatan, “Para ahli nahwu, mereka baik-baik
saja. Ilmu mereka pun bagus dan diperlukan. Hanya saja, jika seorang ahli nahwu
berfokus mengkaji bahasa Arab, akan tetapi ia samasekali tidak mengerti ilmu
Kitabullah dan Sunnah, maka ia akan menjadi orang tak berguna, sia-sia, dan
hanya bermain-main belaka. Ia tidak akan ditanya oleh Allah – demikianlah fakta
sebenarnya – tentang ilmunya di akhirat kelak. Ilmunya itu tidak ada bedanya
dengan skills (ketrampilan) lain semisal ilmu pengobatan, ilmu hitung, dan
arsitektur; yang tidak akan diberi pahala maupun siksa selama ia tidak
menyombongkan diri di hadapan orang lain, tidak menganggap mereka sebagai orang
dungu, senantiasa bertakwa kepada Allah, bersikap tawadhu’, dan menjaga dirinya
sendiri.”
6.
Na’ib ( النائب )
Bila
dibutuhkan, seorang syaikh dapat menunjuk na’ib (asisten guru
besar) untuk mengajar pada halaqah-nya. Misalnya, ketika ia sedang ada
urusan lain atau karena ia mengajar pada lebih dari satu halaqah atau Madrasah.
Secara harfiah, na’ib artinya pengganti. Adanya asisten menjamin pembelajaran
tetap berlangsung lancar, walau guru besar
tidak hadir.
Penunjukan na’ib adalah hak syaikh, dengan menimbang
kelayakan calonnya. Menurut Mehdi
Nakosteen, asisten ini disebut juga mu’ayyid (pendukung, penguat).
Seorang
na’ib juga diangkat oleh waqif atau nazhir bila syaikh
di suatu Madrasah wafat atau mengundurkan diri, dan ia terus menjalankan fungsi
itu sampai diangkatnya seorang syaikh yang baru. Mungkin saja na’ib
ini sendiri yang kemudian diangkat sebagai syaikh.
Untuk
menjadi na’ib, diperlukan kualifikasi yang cukup tinggi, sehingga
kualitas pengajaran tidak terganggu akibat ketidakhadiran syaikh. Menurut
Ibnu Hajar al-Haytami, seharusnya seorang na’ib adalah “sebaik atau
bahkan lebih baik dari syaikh yang digantikannya”, sebab tanpa itu maka
tujuan dari ‘pengganti’ itu tidak akan tercapai.
Sebagai
misal, Ahmad al-Ghazali pernah menjadi na’ib selama setahun untuk
saudaranya (Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali) yang meninggalkan jabatannya
pada tahun 488 H, atau Abul Fath al-Zinni yang menjadi na’ib dari Abu
Manshur bin al-Mu’allim di Madrasah Sultan Mahmud as-Saljuqi.
Dalam majlis yang dihadiri sejumlah
besar orang, memiliki asisten yang cerdik, cerdas serta berpengalaman sangatlah
penting. Jumlahnya bisa lebih dari satu. Sebab, ia dapat membantu menertibkan
para hadirin, turut campur mengatur pendengar sesuai dengan kedudukan mereka
masing-masing, membangunkan mereka yang tidur, “memberi perhatian” kepada orang
yang meninggalkan apa yang seharusnya dilakukan atau sebaliknya melakukan apa
yang seharusnya ditinggalkan, juga menyuruh untuk mendengarkan pelajaran dan
memperhatikannya.
(Catatan: ini adalah setengah dari Bagian 4)
[*]
Bagian 1, klik DISINI.
Bagian 2, klik DISINI.
Bagian 3, klik DISINI.
Bagian 4-1.
Bagian 4-2, klik DISINI.
Bagian 5, klik DISINI
Bagian 6-1, klik DISINI
Bagian 6-2, klik DISINI
Bagian 7, klik DISINI
Bagian 8, klik DISINI
Untuk mendapatkan naskah lengkapnya dalam format PDF, silakan cek laman DOWNLOAD, atau klik DISINI