Pengelolaan Madrasah - Bag. 4-1/8


 
[ Sambungan dari Bag. 3 ]

[ 4 ]
JENIS DAN TUGAS PEJABAT DI LINGKUNGAN MADRASAH

1.      Gambaran umum
Imam adz-Dzahaby, dalam Tarikh-nya mencatat bagaimana tahap akhir pembangunan Madrasah Mustansiriyah dan awal operasionalnya, “Pada tahun itu (631 H) Madrasah Mustansiriyah di Baghdad selesai dibangun, dan kitab-kitab diboyong kesana sejumlah 160 muatan. Jumlah fuqaha’ (pelajar) di dalamnya adalah 248 orang dari empat madzhab, 4 orang mudarris, seorang syaikh (guru besar) hadits, seorang syaikh nahwu, seorang syaikh kedokteran, dan seorang syaikh fara’idh. Disanalah syaikh al-hadits Abul Hasan bin al-Qathi’iy digaji. Disana dibagikan pula roti, makanan masak, kue-kue dan buah-buahan …… Untuk setiap mudarris ditetapkan 4 orang mu’id, dan 62 orang faqih (pelajar), dan di rumah yang menempel bersebelahan dengan Madrasah tinggal 30 anak yatim yang dituntun (menghafal Al-Qur’an).”
Uraian singkat diatas menggambarkan bahwa ada sejumlah jabatan yang ditetapkan dalam sebuah Madrasah, sebagai staf-staf utama yang mendukung operasionalnya. Dalam berbagai kitab biografi, kita akan menemukan para ulama’ yang di belakang namanya diakhiri dengan gelar-gelar tertentu, seperti al-imam, al-muqri’, al-mu’adzin, al-muhaddits, al-mu’id, dan lain sebagainya. Tentu saja, umumnya mereka berkarir dalam lembaga-lembaga pendidikan. Orang-orang ini, biasanya tidak menekuni profesi “umum”, seperti berdagang atau kerajinan. Secara khusus mereka mengajar dan bertugas di Madrasah, sedangkan kehidupan mereka telah dicukupi melalui wakaf. Namun, sebagian syaikh diketahui merangkap sebagai Qadhi, Mufti, atau Khathib di Masjid Jami’.
Stanton dan Syalabi mencatat, bahwa mereka didukung oleh sistem wakaf yang sangat baik. Sebagian mereka memang benar-benar kaya, walau umumnya termasuk kelompok berpenghasilan menengah. Hanya saja, hampir tidak ada bukti bahwa mereka menekuni profesi guru atau memasuki dunia Madrasah karena motif-motif ekonomi. Perkecualian memang selalu ada, namun orang semacam ini pasti dikecam secara pedas. Karena mencari ilmu merupakan tugas ibadah yang diperintahkan agama, maka orang-orang yang berkecimpung di dalamnya melakukan hal itu karena dedikasi dan ketertarikan murni terhadap kehidupan intelektual. Ibnul Ukhuwwah, yang menulis pedoman hisbah (semacam akreditasi & standarisasi profesi), pada bagian “pengajar anak-anak” – misalnya – menulis, Ketahuilah, bahwa guru (al-mu’addib) adalah profesi atau matapencaharian yang paling agung, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sebaik-baik kalian adalah siapa yang belajar dan mengajarkan Al-Qur’an.” Dalam hadits yang lain dinyatakan, “Sebaik-baik orang yang berjalan di muka bumi adalah para guru (al-mu’allimun), yaitu orang-orang yang memperbaharui agama ini setiap kali ia menjadi lusuh dan terlantar.” Walaupun derajat hadits yang kedua ini maudhu’ (palsu), namun kedudukan guru benar-benar dihormati dalam masyarakat muslim.

2.      Waqif  ( الواقف ), Mu’assis ( المؤسّس ) dan Nazhir (  الناظر)
Waqif (pewakaf) atau mu’assis (pendiri) biasanya tokoh berpengaruh atau hartawan, tidak mesti ilmuwan. Seringkali ia adalah pejabat tinggi negara. Ia mewakafkan atas nama pribadi, walau jelas juga memanfaatjan posisinya untuk “melindungi” Madrasah yang ia dirikan. Wakaf pada dasarnya hak milik kaum muslimin, bukan pemerintah, sehingga sangat jarang bisa diintervensi penguasa.
Pada umumnya, waqif mendedikasikan pembangunan Madrasahnya bagi seorang ulama’ besar yang ia pandang mampu memelihara nilai-nilai Islam. Artinya, keberadaan ulama’ dimaksud merupakan pendorong dan benih Madrasah ybs. Jadi, motifnya adalah ibadah dan pengabdian kepada Islam, bukan mencari keuntungan. Madrasah bukan lembaga investasi dan bisnis sebagaimana banyak bermuculan di masa kita sekarang. Sebab faktanya, seluruh biaya Madrasah justru ditanggung oleh wakaf, termasuk gaji syaikh, para khadam dan pejabat lain, bahkan beasiswa bagi semua pelajar di dalamnya.
Wakaf disertai dokumen ketentuan (syuruth al-waqfi), yang memuat tujuan pendirian Madrasah dan berimplikasi langsung pada syarat pengajar yang boleh mengajar maupun materi yang akan diajarkan di dalamnya, misalnya harus bermadzhab Syafi’i dan khusus pengajaran Al-Qur’an, hadits, atau fiqh. Kadang, disana disertakan pula amalan-amalan tertentu yang harus dijalankan oleh syaikh maupun warga Madrasah setiap harinya.
Karena waqif seringkali sibuk menangani urusan lain, atau memiliki Madrasah lain di tempat terpisah, biasanya pengelolaan dan pengawasan harian diserahkan kepada seorang nazhir (pengawas). Ia yang mengelola wakaf agar mencukupi kebutuhan Madrasah selama setahun. Contohnya, Perdana Mentdri Nizhamul Mulk menyalurkan 10.000 dinar untuk biaya operasional Madrasah Nizhamiyah Isfahan selama satu tahun. Dengan kurs Rp 1.583.800,- per dinar (kurs Okt. 2010), maka kucuran dana ini bernilai lebih dari 15,8 milyar rupiah/tahun!! Diketahui, jumlah pelajar Madrasah Nizhamiyah Baghdad – yang terbesar saat itu – sekitar 300 orang, demikian pula yang di Nisyapur. Kemungkinan, jumlah pelajar di Isfahan tak jauh berbeda.
Sepertinya, nazhir bukanlah sosok tersendiri, namun sekaligus diserahkan ke tangan syaikh atau mudarris. Kesimpulan ini didasarkan pada syarat nazhir yang cukup “fantastis”. Tercatat pula bahwa seorang syaikh digaji terpisah untuk tugas nazhir ini. Dengan kata lain, ia menerima dua gaji berbeda untuk dua jabatan tersebut.
Menurut an-Nablusiy syarat nazhir adalah, sbb: “Seyogyanya dia adalah seseorang yang ‘alim, sangat menguasai dan diakui otoritasnya dalam berbagai disiplin ilmu, memiliki keutamaan perilaku dan adab, mulia keinginannya, dan dihormati kedudukannya. Sebab, ia akan memerintah (baca: mengelola) para ulama’, fuqaha’, qurra’, muhadditsin, tokoh-tokoh terpandang (fudhala’), par` khathib, para pemuka (mutashaddirin), para guru (mudarrisin), dan para imam masjid. Ia secara mutlak dan berdiri sendiri bebas memilih apa yang dikehendakinya. Otorisasi yang diberikannya bisa dijalankan tanpa harus menunggu persetujuan penguasa dan tanpa harus sepengetahuannya. Sebab, biasanya, ia bebas secara mutlak (membiarkan) apa yang ia inginkan pada orang yang ia inginkan, dan menetapkan pilihannya itu pada orang yang ditunjuknya – dengan lebih dikuatkan lagi – juga untuk para ahli warisnya. Maka, orang yang memiliki kedudukan seperti ini, yang dipercaya semisal ini, yang menjadi wali (pemimpin) atas sekelompok orang yang rekaliber ini (yakni, para ulama’, fuqaha’, dst), seharusnyalah ia termasuk orang yang dikenal luas taat beragama, (memiliki) senioritas dalam ilmu, bersih, selalu menjaga diri, baik riwayat hidupnya, dan memiliki keahlian ilmiah tertentu yang dengannya ia bisa mengenali siapa-siapa yang layak mengajar, tampil di muka forum, berkhutbah, menjadi imam masjid, berikut syarat-syarat yang diperlukan untuk memangku jabatan-jabatan dimaksud. Ia harus orang terjauh dari dominasi hawa nafsu dan menerima suap (risywah), yang justru akan mempermalukan dan menjatuhkan martabatnya sendiri di hadapan sekelompok orang diatas (yakni, para ulama’, fuqaha’, dst). Ia juga seharusnya seseorang yang layak untuk sering didatangi oleh para ulama’, qurra’, dan tokoh-tokoh terpandang.”
Adapun as-Subki, beliau menulis tentang nazhir juga, sbb: “diantara kewajibannya adalah menjaga kelestarian (‘imarah) dan mengembangkan (tanmiyah). Menurut para ulama’ Syafi’iyah, seorag wali anak yatim tidak diharuskan untuk berusaha semaksimal mungkin dalam mengembangkan harta. Ia hanya berkewajiban untuk mengembangkannya dalam kadar tertentu selama pembelanjaan dan pembayaran gaji tidak menghabiskan pokok harta. Inilah yang benar. Namun, jika lebih dari itu, maka itu merupakan bentuk mensyukuri nikmat. Diantara kerusakan yang umum terjadi adalah Madrasah yang tidak membatasi jumlah fuqaha’ yang tinggal di dalamnya, sehingga Qadhi atau Nazhir menempatkan orang-orang di dalamnya lalu menetapkan untuk mereka jumlah (gaji) tertentu yang melebihi jumlah keseluruhan pemasukan Madrasah. Maka, bolehkah menempatkan orang melebihi jumlah itu? Ibnu Rif’ah berkata, “Tidak boleh.” Syaikh al-Imam berkata, “Demikian pulalah pendapat yang saya pegangi, dengan syarat jika di Madrasah itu telah ditetapkan jumlah (gaji) tertentu bagi pada fuqaha’-nya. Namun, jika ditetapkan – misalnya – sepuluh orang fuqaha’ dan tidak ada kadar atau bagian tertentu dari wakaf yang telah ditetapkan secara eksplisit dalam dokumen mereka – dan inilah yang umum terjadi pada Madrasah-madrasah yang tidak memiliki batasan tertentu – maka hal itu tidak masalah. Termasuk kerusakan (yang umum terjadi) adalah Nazhir Wakaf yang menyewakan toko rusak atau sejenisnya dengan syarat penyewa harus memperbaikinya dari hartanya sendiri, dan biaya yang dikeluarkannya itu dianggap sebagai uang sewanya. Ini adalah sewa-menyewa yang batil (tidak dibenarkan), sebab toko itu pada saat (transaksi) tidak bisa dimanfaatkan. Adapun jika toko itu bisa berfungsi kemudian disewakan dengan harga tertentu, kemudian ia mengizinkan penyewa untuk merenovasinya atas biaya sendiri, maka dibolehkan. Ar-Rafi’i menegaskan hal ini pada permulaan bab sewa-menyewa. Tidak diperbolehkan juga menyewakan pemandian dengan mempersyaratkan bahwa periode ketika tidak bisa dipergunakan – misalnya, karena renovasi atau yang lain – dihitung sebagai tanggungan penyewa, bukan pemilik.”

3.      Syaikh (الشيخ  ) atau Mudarris ( المدرس )
Yakni, “guru besar” atau “pengajar utama” di sebuah Madrasah. Seringkali Madrasah dibangun khusus untuk seorang syaikh atau mudarris tertentu, dan banyak diantaranya menjadi terkenal dengan nama syaikh yang mengajar disana, seperti Madrasah Ibnul Anjab yang diasuh oleh al-Imam al-Hafizh Abul Hasan ‘Ali Ibnul Anjab al-Maqdisi al-Iskandarany al-Maliki (w. 611 H), Madrasah Ibnu Syas yang diasuh oleh qadhi al-qudhat Taqiyuddin Abu ‘Ali Husain bin Syarafuddin Ibnu Abil Fadhl bin Syas, atau Madrasah Ibnu Rasyiq yang diasuh qadhi al-qudhat ‘Alamuddin Ibnu Rasyiq. Boleh dikata, syaikh adalah benih Madrasah, dan karenanyalah Madrasah dibangun.
Umumnya, para pewakaf – dengan niat menyebarkan agama dan menghidup-hidupkan ilmu – meminta seorang syaikh terkenal dan mumpuni untuk mengajar. Untuk itu, mereka menyiapkan segala sesuatunya. Para syaikh ini biasanya seorang ulama’ termasyhur, seperti Hujjatul Islam Al-Ghazali yang dipilih memangku Madrasah Nizhamiyah Baghdad, atau guru beliau (Imam al-Haramain al-Juwainy) yang diangkat sebagai syaikh Madrasah Nizhamiyah Nisyapur. Pemilihan syaikh biasanya berkait erat dengan madzhab fiqh yang dianut pewakaf, dan hal itu seringkali dicantumkan secara eksplisit dalam syuruthu al-waqf. Memang, biasanya seorang syaikh adalah ulama’ fiqh atau punya keahlian fiqh yang menonjol – walau kemungkinan juga menguasai bidang-bidang lain – sehingga seringkali dijabat oleh para Qadhi.
Dengan mengamati kualifikasi syaikh dan kenyataan ilmiah dari Madrasah itu, kita menyadari bahwa proses pembelajaran disana memiliki gambaran yang sangat berbeda dengan sekolah-sekolah konvensional modern. Saat itu, seorang syaikh adalah pakar otoritatif dalam beberapa disiplin ilmu sekaligus, sehingga reputasi Madrasah yang dipimpinnya sangat tergantung kualifikasi ilmiahnya. Semakin banyak ilmu yang dikuasai seorang syaikh, maka semakin banyak pula pelajar yang berminat untuk datang dan menimba ilmunya. Dengan demikian, Madrasah akan semakin ramai, dan – bagi pewakaf – ini sangat menggembirakan karena akan memperbesar pahalanya di sisi Allah. Inilah uniknya sistem wakaf, bahwa yang membuat gembira adalah pahala di akhirat, bukan pemasukan finansial dari pelajar yang semakin banyak.
Dalam sehari, syaikh akan mengajar beberapa materi secara bergantian, di sebuah halaqah besar dalam masjid atau qa’ah (aula), mulai penghujung pagi sampai siang, dan mungkin dilanjutkan sorenya. Materi-materi akan diurutkan menurut hirarki kemuliaannya, misalnya: dimulai dari Al-Qur’an dan ilmu-ilmunya, hadits dan ilmu-ilmunya, lalu ushuluddin (akidah), fiqh, bahasa, sejarah, debat, dll; tergantung ilmu apa yang dikuasai syaikh-nya. Jika syaikh berhalangan, pembelajaran dikendalikan oleh para na’ib. Di shang hari, sebagian pelajar melanjutkannya dengan riset atau bekerja mencari nafkah, sebab diantara mereka ada juga yang sudah menikah.
Pada malam hari, akan berlangsung halaqah-halaqah kecil yang biasa disebut majlis mudzakarah (forum untuk saling mengingatkan). Mudzakarah adalah sistem belajar mandiri dimana para pelajar akan mengulang kembali apa yang telah disampaikan syaikh tanpa kehadiran gurunya. Terkadang, majlis mudzakarah dari para pelajar tingkat tinggi akan dihadiri para pelajar dari level di bawahnya, karena disana ia akan mendapat banyak sekali manfaat dan kemajuan. Tetapi, para pelajar tingkat lebih rendah ini hanya menjadi pendengar dan tidak berhak angkat suara di dalamnya. Inilah alasan mengapa dalam buku-buku Adab Pelajar sering ada pesan agar para murid tidak menghadiri majelis-majelis yang ia belum siap mencerna isinya. Umumnya, disinilah peran para mu’id dan mufid dimulai. Kualifikasi dan jenis beban yang diemban para mu’id dan mufid ini ditentukan oleh syaikh setelah melihat murid-murid terbaiknya. [Baca juga pasal tentang kedua hirarki akademis ini, di bawah].
Halaqah yang diasuh syaikh ini bersifat terbuka, dalam artian bisa diikuti siapa saja yang berminat untuk ikut. Selain para pelajar reguler yang secara resmi menjadi siswa Madrasah ybs (dan, mereka ini memang wajib ikut), orang-orang yang ikut bergabung dalam halaqah ini bisa datang dari berbagai kalangan dan usia. Ia pun tidak terikat kewajiban harus datang pada pertemuan sebelum maupun sesudahnya. Tidak heran, para pejabat tinggi negara, putra-putri sultan, para ulama’ termasyhur, juga rakyat jelata dengan latar belakang apapun, bisa bergabung disini. Sejarah mencatat bagaimana khalifah Harun Ar-Rasyid ikut bergabung dalam halaqah Imam Malik di Madinah, Perdana Menteri Nizhamul Mulk ikut mendengarkan kuliah Imam Al-Ghazali di Madrasah Nizhamiyah di Baghdad dan bahkan turut mencatat materinya, demikian pula Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi – serta putranya, al-Malik al-‘Aziz – bersedia melakukan perjalanan dari Kairo ke Iskandariyah untuk mendengarkan kuliah Al-Hafizh as-Silafy disana. Ini pula yang melatari mengapa banyak sekali ulama’ besar di masa silam yang menjadi guru dari seorang ulama’ lain, tetapi juga pernah menjadi muridnya di saat berbeda; atau menjadi “teman seperguruan” dari muridnya karena sama-sama pernah berguru dari ulama’ lain di masa hidup mereka. Seringkali telah terjadi “pertukaran ilmu” dalam pola hubungan yang unik ini.
Pemilihan syaikh ada di tangan waqif dan mu’assis Madrasah, atau para nazhir (pengelola) yang menggantikannya. Dalam kasus nazhir yang sekaligus syaikh, biasanya ia akan menunjuk penggantinya menjelang wafat. Ia sepenuhnya independen dalam pemilihan ini, dan bebas memilih siapa saja yang dipandangnya layak untuk memangku jabatan tersebut. Biasanya, pemerintah tidak bisa mencampurinya. Kriteria syaikh sendiri sudah ada dalam syuruthu al-waqfi.
Menurut Stanton, juga beberapa penulis lain, peristiwa pengangkatan seorang syaikh sangatlah penting bagi sebuah Madrasah, dan seringkali dihadiri para pejabat. Bahkan, khalifah sendiri bersama para pengiringnya turut hadir, bila yang diangkat adalah seorang ulama’ terkenal. Disini, syaikh akan menyampaikan pidato peresmian di hadapan publik, dan umumnya dicatat baik-baik oleh murid-murid Madrasah ybs. Reputasi dan kedalaman ilmu sang syaikh, juga kesan dari penampilan pertama ini sangat menentukan sejarah Madrasah selanjutnya.
Seorang syaikh terkadang juga memangku jabatan lain di luar Madrasah, atau merangkap di beberapa Madrasah sekaligus, seperti qadhi (hakim), mufti, khathib, dsb. Akan tetapi, mereka tidak bekerja mencari nafkah karena telah dicukupi oleh wakaf. Misalnya, Syaikh al-‘Izz bin ‘Abdissalam yang mengasuh Madrasah Shalihiyah ternyata juga menjabat qadhi dan khathib di Masjid Jami’ (Kairo). Atau, Qadhi Imaduddin Ibnus Sakary yang merangkap sebagai guru besar di tiga Madrasah (ash-Shalahiyyah, al-Masyhad al-Husaini, dan Manazil al-‘Izz), sekaligus sebagai qadhi dan khathib di Masjid Jami’ al-Hakimy. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani – penulis Fathul Baary – juga tercatat memangku jabatan kenegaraan dan akademis di beberapa tempat berbeda.
Terkadang, kedudukan syaikh ini bersifat turun-temurun, dalam arti bisa diwariskan. Namun, ia tetap berada dalam koridor syuruthu al-waqfi, karena Madrasah bukan milik syaikh ybs. Pewarisan ini selalu didasarkan pada kelayakan pribadi yang dikehendaki untuk memangkunya. Ketika tidak ada keturunan syaikh yang layak, maka jabatan itupun diserahkan kepada orang lain. Misalnya, Syaikh al-‘Izz bin ‘Abdissalam ditanya oleh Sultan Mesir menjelang wafatnya: siapa diantara anak-anaknya yang layak menggantikan? Beliau meminta maaf karena tidak ada yang layak, lalu menunjuk Qadhi Tajuddin bin Bintul A’azz untuk menggantikan posisinya.
Syaikh memiliki prestise luar biasa. Ketika ia meninggalkan Madrasah untuk urusan tertentu, ditunjuklah seorang na’ib (pengganti, asisten) untuk menjalankan tugas-tugasnya sampai ia kembali. Jabatan ini diadakan guna meredam kecenderungan kultus dan penghormatan berlebihan kepada syaikh, sebab terkadang para murid tidak mau menerima pelajaran selain dari syaikh-nya. Di sisi lain, pembelajaran bisa tetap berjalan normal meski tanpa kehadiran syaikh.
Syaikh biasanya tinggal dalam kompleks Madrasah bersama keluarganya, dalam rumah yang telah disediakan. Tempat tinggal ini bersifat hak pakai saja, alias “rumah dinas”. Dilaporkan bahwa ‘Imaduddin bin as-Sakary mengeluhkan pencopotannya sebagai syaikh dari Madrasah Manazil al-‘Izz, dan hal pertama yang menjadi keluhannya adalah kenyataan bahwa ia harus meninggalkan rumah yang menjadi tempat tinggal keluarganya, padahal jumlah mereka cukup banyak.
Adapun di lembaga pendidikan dasar atau kuttab, pengajarnya disebut sebagai mu’allim atau mu’addib. Istilah terakhir ini biasanya secara khusus dilekatkan kepada pendidik putra-putra khalifah atau pejabat tinggi negara, sedang mu’allim bersifat umum. As-Subki menulis, sbb: “seyogyanya ia seseorang yang benar akidahnya. Sungguh banyak anak kecil yang tumbuh besar sementara akidah mereka rusak, disebabkan para faqih yang mengajari mereka pun demikian. Hal yang harus diperhatikan oleh para orangtua adalah mencermati akidah guru dari anak-anaknya, sebelum ia meneliti agamanya dalam masalah-masalah furu’iyah. Setelah akidah, barulah ia meneliti agamanya dalam masalah-masalah furu’iyah. Diantara kewajiban pengajar anak kecil adalah tidak mengajarkan apapun kepada mereka sebelum mengajarkan Al-Qur’an, kemudian hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Jangan mengajak mereka membicarakan masalah-masalah akidah. Akan tetapi, biarkan mereka sampai mereka benar-benar mampu untuk itu. Kemudian, bimbing mereka dengan akidah ahlus sunnah wal jama’ah. Namun, jika ia menahan diri dari bab ini, maka itulah yang lebih hati-hati. Ia pun hendaknya memantapkan anak-anak yang telah mumayyiz untuk menulis Al-Qur’an pada plat – atau, kertas – dan membawanya. Dan membawa mushaf sementara dia dalam keadaan berhadats (junub).”
Namun, Mehdi Nakosteen dalam Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, memberikan uraian, sbb: “Ada enam tipe guru yakni: mu’allim, mu’addib, mudarris, syaikh, ustadz, imam, belum lagi termasuk guru pribadi dan para mu’ayyid atau asisten (guru-guru yunior). Mu’allim biasanya julukan bagi sekolah dasar. Mu’addib, arti harfiahnya orang yang beradab atau guru adab, adalah julukan untuk guru-guru sekolah dasar dan sekolah menengah. Mudarris adalah satu julukan profesional untuk seorang Mu’id atau pembantu. Ia sama dengan asisten profesor dan membantu mahasiswa menjelaskan hal-hal yang sulit mengenai kuliah yang diberikan oleh profesornya. Syaikh, atau guru besar (master) adalah julukan khusus yang menggambarkan keunggulan akademis atau teologis. Imam, adalah guru agama tertinggi.”

4.      Muhaddits ( المحدث ), Musnid ( المسند ), dan Syaikh ar-Riwayah ( شيخ الرواية )
Seorang muhaddits (ahli hadits) atau musnid (pemegang otoritas sanad) bertugas mengajarkan hadits-hadits kepada pelajar di Madrasah. Biasanya ia duduk di masjid atau aula besar membacakan kitab hadits, atau menyimak sementara ada seseorang yang bertugas membaca (qari’) di hadapannya, dan sesekali membenarkan jika ada kesalahan. Qari’ ini bisa orang tetap atau salah seorang dari murid yang berkeinginan mendengarkan periwayatan haditsnya. Jika guru membaca dalam sistem dikte, maka murid-murid akan terlebih dahulu menghubungi murid senior dari guru dimaksud yang disebut mustamli (pemohon pendiktean), yang diberi wewenang untuk mengatur jadwal pertemuan mereka dengan sang guru. Ketika majlis itu terselenggara, para murid lain menyimak dan membenahi salinan naskah yang mereka miliki, atau mencatat keterangan yang diberikan muhaddits tsb di tepian naskahnya (hamisy). Setelah proses pembacaan tuntas, seluruh murid dinyatakan berhak untuk meriwayatkannya kembali, atau mendapat ijazah (lisensi). Pemberian ijazah ini tidak mahn-main, sebab kehadiran murid sangat diperhatikan dan dicatat secara tertib oleh seorang katib al-ghaibah. Haram hukumnya menyatakan seseorang telah “mendengar” sebuah riwayat darinya padahal sebenarnya tidak. Sebaliknya, seseorang yang ketahuan mengaku “mendengar” sebuah riwayat dari guru tertentu padahal tidak, maka riwayatnya akan ditinggalkan, bisa jadi seluruhnya. Ia telah cacat secara moral dan dipandang tidak layak lagi meriwayatkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi waslalam.
Menurut al-Ghazali dalam al-Adab fi ad-Din, adab seorang muhaddits adalah, “selalu berusaha untuk jujur, menjauhi dusta, menyampaikan hadits-hadits yang masyhur, mengutip riwayat dari sumber-sumber terpercaya, meninggalkan riwayat-riwayat yang munkar, tidak mengungkit-ungkit (perselisihan) yang terjadi diantara kaum salaf, mengenali (sejarah yang terjadi pada setiap) periode, menjaga diri dari kekeliruan, salah membaca harakat, salah ucap, dan salah membaca huruf; meninggalkan gurauan, mempersedikit keributan, dan mensyukuri nikmat, sebab ia telah ditempatkan pada derajat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam; dan selalu bersikap tawadhu’. Hendaklah sebagian besar hadits yang disampaikannya adalah apa yang bermanfaat bagi kaum muslimin dalam masalah yang wajib, sunnah, dan adab yang selaras dengan makna Kitabullah. Jangan membawa ilmunya kepada para pejabat, dan jangan pula mengerumuni pintu para penguasa. Sebab, semua itu akan menjatuhkan kedudukan seorang ulama’ dan melenyapkan kewibawaan ilmunya, ketika ia membawa ilmunya ke hadapan para penguasa dan orang-orang kaya. Jangan menyampaikan suatu hadits yang tidak diketahui sumber aslinya, jangan pula membacakan sesuatu yang sebenarnya tidak ia lihat terdapat dalam kitabnya. Jangan berbicara bila ada yang membaca hadits (dengan tujuan minta disimak olehnya), dan hendaklah ia berhati-hati jangan sampai memasukkan hadits yang satu ke dalam hadits lainnya.”
Tentu saja, ada penyakit yang bisa menghinggapi kalangan ini, sehingga menghalangi proses yang diselenggarakan. Oleh karenanya, Imam adz-Dzahabi menulis dalam Zaghlu al-‘Ilmi, “Para muhaddits, sebagian besar tidak mengerti apa yang mereka sampaikan, tidak ada keinginan untuk memahaminya dan tidak pula menjadikannya sebagai pedoman beragama. Bahkan, bagi mereka antara yang shahih dengan yang maudhu’ (palsu) adalah sama saja. Keinginan mereka hanyalah mendengar hadits dari guru-guru yang tidak dikenal, memperbanyak juz kitab atau perawi (yang mereka kutip), tanpa sedikitpun berkomitmen terhadap adab (pencari) hadits, dan tidak kunjung tersadar dari mabuk memperbanyak mendengar hadits. Sekarang ia mendengar satu juz (kitab hadits) dan hatinya berbisik, “Kapan akan ia kutip kembali? Apakah 50 tahun yang akan datang?” Celaka kamu, betapa panjang angan-anganmu dan betapa buruk amalmu. Maka, bisa dimaklumi jika Sufyan ats-Tsauri berkata, “Andai saja (mengutip) hadits itu suatu kebaikan, niscaya ia akan semakin sedikit sebagaimana semakin sedikitnya kebaikan.” Beliau benar, demi Allah, kebaikan apa yang masih tersisa dalam hadits yang tercampur-baur antara yang shahih dengan semi-palsu, sementara engkau tidak menyeleksi, tidak mencari tahu siapa penukilnya, dan tidak pula menaati Allah dengannya.”
Sehubungan dengan syaikh ar-riwayah, as-Subki menulis tugas-tugasnya adalah, sbb: “hendaklah ia memperdengarkan kepada para pelajar hadits, dan mendengarkan apa yang mereka bacakan kepadanya, kata demi kata, sehingga sima’ (periwayatan dengan mendengar langsung) mereka menjadi sah. Hendaklah ia bersabar menghadapi mereka, sebab mereka adalah duta-duta (yang dikirim oleh) Allah ta’ala. Tatkala ia mendapati satu bagian hadits atau kitab yang mana seorang syaikh hanya sendirian saja meriwayatkannya, maka menjadi fardhu ‘ain atasnya untuk memperdengarkannya.”

5.      Nahwiy ( النحوي )
Kualifikasi maupun tugasnya mudah ditebak dari namanya, yang berarti ahli tatabahasa. Setidaknya, ada dua hal penting yang perlu diperhatikan sehubungan dengan pengajaran tatabahasa ini. Pertama, ia diarahkan sebagai perangkat praktis, yakni mengajarkan bagaimana berbicara yang benar dan fasih menurut lisan al-‘arab, sehingga tidak menimbulkan salah paham. Untuk dimaklumi, banyak pelajar yang bukan bangsa Arab, dan menggunakan bahasa ibu berbeda dalam keseharian, seperti Persia. Kedua, kenyataan bahwa Al-Qur’an dan Sunnah berbahasa Arab, dimana keduanya merupakan sumber utama studi Islam. Tanpa tatabahasa, seorang pelajar akan “mati kutu” di hadapan ribuan dalil, dan tidak mendapat manfaat apa-apa darinya, kalau tidak malah tersesat. Pada sebagian Madrasah diketahui bahwa jabatan nahwiy ini dirangkap oleh mutawalli al-kutub (pustakawan).
Tentang nahwiy ini, Imam adz-Dzahabi menuliskan peringatan, “Para ahli nahwu, mereka baik-baik saja. Ilmu mereka pun bagus dan diperlukan. Hanya saja, jika seorang ahli nahwu berfokus mengkaji bahasa Arab, akan tetapi ia samasekali tidak mengerti ilmu Kitabullah dan Sunnah, maka ia akan menjadi orang tak berguna, sia-sia, dan hanya bermain-main belaka. Ia tidak akan ditanya oleh Allah – demikianlah fakta sebenarnya – tentang ilmunya di akhirat kelak. Ilmunya itu tidak ada bedanya dengan skills (ketrampilan) lain semisal ilmu pengobatan, ilmu hitung, dan arsitektur; yang tidak akan diberi pahala maupun siksa selama ia tidak menyombongkan diri di hadapan orang lain, tidak menganggap mereka sebagai orang dungu, senantiasa bertakwa kepada Allah, bersikap tawadhu’, dan menjaga dirinya sendiri.”

6.      Na’ib ( النائب )
Bila dibutuhkan, seorang syaikh dapat menunjuk na’ib (asisten guru besar) untuk mengajar pada halaqah-nya. Misalnya, ketika ia sedang ada urusan lain atau karena ia mengajar pada lebih dari satu halaqah atau Madrasah. Secara harfiah, na’ib artinya pengganti. Adanya asisten menjamin pembelajaran tetap berlangsung lancar, walau guru besar tidak hadir. Penunjukan na’ib adalah hak syaikh, dengan menimbang kelayakan calonnya. Menurut Mehdi Nakosteen, asisten ini disebut juga mu’ayyid (pendukung, penguat).
Seorang na’ib juga diangkat oleh waqif atau nazhir bila syaikh di suatu Madrasah wafat atau mengundurkan diri, dan ia terus menjalankan fungsi itu sampai diangkatnya seorang syaikh yang baru. Mungkin saja na’ib ini sendiri yang kemudian diangkat sebagai syaikh.
Untuk menjadi na’ib, diperlukan kualifikasi yang cukup tinggi, sehingga kualitas pengajaran tidak terganggu akibat ketidakhadiran syaikh. Menurut Ibnu Hajar al-Haytami, seharusnya seorang na’ib adalah “sebaik atau bahkan lebih baik dari syaikh yang digantikannya”, sebab tanpa itu maka tujuan dari ‘pengganti’ itu tidak akan tercapai.
Sebagai misal, Ahmad al-Ghazali pernah menjadi na’ib selama setahun untuk saudaranya (Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali) yang meninggalkan jabatannya pada tahun 488 H, atau Abul Fath al-Zinni yang menjadi na’ib dari Abu Manshur bin al-Mu’allim di Madrasah Sultan Mahmud as-Saljuqi.
Dalam majlis yang dihadiri sejumlah besar orang, memiliki asisten yang cerdik, cerdas serta berpengalaman sangatlah penting. Jumlahnya bisa lebih dari satu. Sebab, ia dapat membantu menertibkan para hadirin, turut campur mengatur pendengar sesuai dengan kedudukan mereka masing-masing, membangunkan mereka yang tidur, “memberi perhatian” kepada orang yang meninggalkan apa yang seharusnya dilakukan atau sebaliknya melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan, juga menyuruh untuk mendengarkan pelajaran dan memperhatikannya.

(Catatan: ini adalah setengah dari Bagian 4)


[*]

Bersambung....

Bagian 1, klik DISINI.
Bagian 2, klik DISINI.
Bagian 3, klik DISINI.
Bagian 4-1.
Bagian 4-2, klik DISINI.
Bagian 5, klik DISINI
Bagian 6-1, klik DISINI
Bagian 6-2, klik DISINI
Bagian 7, klik DISINI
Bagian 8, klik DISINI

Untuk mendapatkan naskah lengkapnya dalam format PDF, silakan cek laman DOWNLOAD, atau klik DISINI