Terjemah "Adabul 'Ulama' wal Muta'allimin" karya As-Sumhudi & Maulana 'Alamul Hajar al-Yamani - Bag. 8/9



[8] ADAB KEPADA BUKU SEBAGAI SARANA ILMU

Termasuk disini adalah pen-tashhih-an buku dan pemverifikasiannya, cara membawa dan meletakkannya, pembelian, peminjaman dan penyalinan buku, dan lain-lain. Dalam hal ini ada 11 macam adab.

Pertama
Seyogyanya murid memperhatikan dengan sungguh-sungguh bahwa ia harus memiliki buku pegangan yang diperlukan. Jika memungkinkan, ia bisa membelinya; jika tidak maka bisa dengan menyewa atau meminjam. Sebab, buku adalah sarana ilmu. Hanya saja, jangan berpikir bahwa mempunyai banyak buku adalah pertanda banyaknya ilmu yang sudah dikuasai. Koleksi buku yang banyak tidak sama dengan kedalaman pemahaman yang sudah diraih seseorang. Perilaku begini banyak terjadi di kalangan mereka yang menisbatkan diri kepada (pelajar) fiqh dan hadits. Tepat sekali apa yang dikatakan oleh seseorang, "Jika engkau bukan pengingat dan penghafal yang baik, maka tidak ada gunanya engkau kumpulkan banyak buku."
Jika memungkinkan untuk membeli, maka jangan sibukkan diri dengan menyalin secara manual. Tidak seharusnya pula seorang murid selalu menyibukkan diri dengan menyalin naskah buku, kecuali jika memang sulit baginya mendapatkan buku yang diperlukan, entah karena tidak ada uang yang cukup untuk membeli atau membayar penyalin naskah.
Seorang murid yang terpaksa harus menyalin naskah secara manual sebaiknya tidak terlalu memaksa harus menyalin dengan tulisan yang sangat bagus. Hal yang harus diperhatikan sebenarnya adalah menyalin dengan benar dan tepat. Sebaiknya seorang murid tidak meminjam buku yang ia butuhkan selama ada kemungkinan baginya untuk membeli atau menyewa.

Kedua
Dianjurkan meminjam buku dari seseorang yang tidak akan menimbulkan madharrat, atau meminjamkan buku kepada seseorang yang tidak dikhawatirkan timbul madharrat darinya dengan peminjaman tersebut. Sebab, disini terdapat tindakan saling menolong dalam ilmu, disamping – secara umum – jelas ada keutamaan dan pahala tersendiri dalam pinjam-meminjam semacam ini.
Ada seorang laki-laki yang berkata kepada Abul 'Atahiyah, "Pinjami saya buku Anda." Beliau menjawab, "Saya tidak suka meminjamkannya." Laki-laki itu berkata lagi, "Tidakkah Anda mengetahui bahwa kemuliaan-kemuliaan itu senantiasa bergandengan dengan berbagai hal yang kurang disukai?" Maka beliau pun kemudian mau meminjamkan bukunya.
Imam Syafi'i pernah menulis surat kepada Muhammad bin al-Hasan, diantara isinya, "Wahai seseorang yang tiada seorangpun yang semisal dengannya, ilmu itu sering tidak sampai kepada para ahlinya, karena para pemiliknya menghalanginya."
Seyogyanya peminjam berterima kasih dan membalas kebaikan orang yang meminjaminya. Jangan berlama-lama tinggal di sisinya tanpa ada perlunya. Jangan mencorat-coret atau memberikan catatan apapun di tempat yang masih kosong dari buku tersebut, baik di bagian awal atau penghabisannya, kecuali jika pemiliknya merelakan hal itu. Biasanya tindakan seperti itu dilakukan oleh seorang perawi hadits dalam salah satu bagian kitab yang mencatat riwayat yang pernah didengarnya atau apa yang ditulisnya.
Jangan meminjamkan buku pinjaman itu kepada orang lain lagi atau menitipkannya, kecuali terpaksa, meskipun secara syar'i sebenarnya tindakan itu boleh-boleh saja.
Jangan menyalin suatu naskah dengan tanpa seizin pemiliknya. Jika buku itu merupakan wakaf yang boleh dimanfaatkan oleh siapa saja tanpa batasan tertentu, maka silakan disalin secara hati-hati. Jangan pula memperbaiki kerusakan atau kesalahan dalam naskah itu, meski punya keahlian di dalamnya, dan alangkah baiknya jika meminta izin terlebih dahulu kepada pengawas wakaf. Jika sedang menyalin suatu buku dengan seizin pemilik atau pengawas, maka jangan meletakkan kertas (tempat menuliskan salinan) diatas lembaran buku tersebut atau diatas tulisannya. Jangan pula meletakkan tempat tinta diatasnya, atau menjalankan pena mengikuti baris-baris tulisannya.
Ada yang bersyair, "Wahai orang yang meminjam buku dariku; relalah melakukan sesuatu untukku dimana engkaupun rela melakukan hal itu untuk dirimu sendiri."

Ketiga
Ketika menyalin sebuah buku atau menelaah isinya, maka janganlah meletakkanya terbuka dan berserakan diatas lantai, namun letakkan buku itu diatas bantalan atau regal yang sudah biasa kita kenal. Tujuannya agar jilidannya tidak cepat terurai dan rusak.
Jika buku diletakkan pada suatu tempat yang tersusun (rak), maka letakkanlah diatas kursi, dipan, bangku, atau yang sejenis itu. Alangkah baiknya jika ada jarak yang cukup antara buku dengan tanah supaya tidak lembab dan rusak.
Jika buku diletakkan pada tempat yang terbuat dari kayu, maka pasang sesuatu yang mencegah lengketnya sampul buku ke kayu tersebut. Pasang juga sesuatu yang memisahkan buku dengan penyangga atau apapun yang bersentuhan langsung dengannya, seperti dinding.
Perhatian dengan sungguh-sungguh adab meletakkan buku, yakni dengan mempertimbangkan disiplin ilmu dan kemuliaannya, juga sang penulis dan keagungannya, sehingga yang paling mulia seharusnya diletakkan di tumpukan teratas. Kemudian perhatikan pula derajat masing-masing buku. Jika disitu ada mushaf Al-Qur'anul Karim, maka letakkan ia di tumpukan teratas. Lebih baik lagi jika mushaf Al-Qur'an diletakkan dalam sebuah kantong bertali dan digantungkan pada paku atau pasak yang terpancang di dinding yang bersih lagi suci, dan terletak di bagian depan ruangan. Di tumpukan berikutnya adalah kitab-kitab hadits yang mulia, kemudian tafsir Al-Qur'an, kemudian penjelasan hadits, kemudian ushuluddin (teologi, ilmu kalam, aqidah), kemudian ushul fiqh, kemudian nahwu dan tashrif, kemudian syair-syair Arab, kemudian 'aruudh (ilmu tentang timbangan syair).
Jika ada dua buku yang sama dalam satu disiplin ilmu, maka yang diletakkan lebih atas adalah yang mengandung paling banyak ayat Al-Qur'an atau hadits. Jika dalam hal ini pun sama, maka pertimbangkan keagungan penulisnya. Jika dari sisi ini juga sama, maka pilih karya yang paling duluan ditulis atau paling banyak dijadikan pegangan oleh para ulama' dan orang-orang shalih. Jika dalam hal ini pun sama, maka pilih yang mana yang paling shahih isinya diantara keduanya.
***Berdasar pengamatan atas lukisan-lukisan klasik yang menggambarkan rak-rak perpustakaan kaum muslimin di masa lalu, tampaknya cara mengatur posisi buku di rak agak berbeda dengan cara kita di zaman sekarang. Di masa itu, buku-buku umumnya ditumpuk dalam posisi "berbaring", bukan diberdirikan dan dijajar dalam satu barisan. Mungkin ini terkait erat dengan bentuk buku di masa itu yang seringkali hanya berupa lembaran-lembaran dengan atau tanpa dijilid, yang tentu saja relatif lentur dan sukar diatur dalam posisi berdiri. Selain itu banyak kitab, catatan periwayatan, risalah (semacam makalah), surat atau fatwa yang hanya terdiri dari beberapa lembar saja. Oleh karena itu, disini yang dirujuk dalam pemaparan tentang penempatan buku adalah dengan model ditumpuk, bukan diberdirikan. Seluruh uraian teknis yang terinci tentang adab kepada buku ini adalah contoh praktis untuk buku di masa itu, dimana penerapannya sekarang dapat kita sesuaikan kembali. [pen.]
Baik juga jika judul buku dituliskan pada sampul di sisi jilidannya. Awal huruf-huruf judul itu kira-kira lurus searah dengan tulisan basmalah pada buku tersebut. Fungsi dari judul ini adalah untuk mengenali buku serta memudahkan kita dalam pencarian dan pengambilan.
Jika buku diletakkan di lantai atau bangku, hendaknya posisi sampul yang tepat dibelakangnya adalah lafazh basmalah atau bagian awal buku, berada di atas. Jangan terlalu sering melepas sampul buku, supaya tidak cepat rusak. Ketika menyusun di rak, jangan meletakkan buku dengan ukuran besar diatas buku berukuran kecil, supaya tidak gampang ambruk.
Jangan menjadikan buku sebagai tempat penyimpanan beraneka ragam kertas, pamflet, dan lain sebagainya. Jangan jadikan buku sebagai bantal, kipas, sapu, sandaran punggung, tumpuan tangan; alat membunuh kutu atau binatang kecil lainnya, terlebih jika kutu itu dibunuh justru diatas lembaran isi buku; jangan melipat tepi halaman buku atau sudutnya; jangan menandai halaman dengan stick kecil atau sesuatu yang basah, tetapi tandailah dengan secarik kertas atau sejenisnya; dan jika memberi tanda suatu halaman dengan menggunakan kuku maka hendaknya sedikit dan secukupnya saja.

Keempat
Jika meminjam buku, periksalah terlebih dahulu dengan teliti sebelum mengambil atau mengembalikannya. Jika membeli buku, perhatikan bagian awal, tengah, akhir, susunan bab dan kertasnya. Amati pula halamannya dan kebenaran (shahih) isinya.
Jika waktu yang tersedia untuk melakukan pemeriksaan semacam itu tidak banyak, maka hal yang dapat diandalkan untuk memastikan ketepatan suatu buku adalah seperti yang dikatakan oleh Imam Syafi'i, "Jika engkau melihat sebuah buku di dalamnya banyak terdapat bagian yang disusulkan dan koreksi, maka persaksikan bahwa itu adalah buku yang benar (shahih) isinya."
Sebagian ulama' berkata, "Sebuah buku tidak akan menjadi terang dan bercahaya sebelum ia menjadi hitam dan gelap." Maksudnya, banyak bagiannya sudah dikoreski dan dibenahi.
***Seperti sudah kami singgung sebelum ini, uraian-uraian rinci pada bab Adab kepada Buku ini mengacu kepada buku-buku di masa silam, dimana belum ada percetakan dan perbanyakan buku masih dilakukan secara manual. Saat itu dikenal profesi warraaq atau ahli salinan yang akan menyalin sebuah buku tebal hanya dalam beberapa jam. Mereka ibarat mesin fotokopi yang canggih dan cepat. Karena cara kerja mereka yang kilat ini, seorang pemesan harus memastikan ketepatan isi buku yang dibelinya melalui pembandingan dengan naskah edisi asli maupun salinan lain yang sudah di-tashhih, atau langsung membacakannya di hadapan seorang ulama' yang memiliki otoritas meriwayatkan kitab tersebut. Selama proses pembacaan itu tentu saja akan ada banyak koreksi atas naskah buku, dan seringkali ditambah dengan berbagai keterangan lain yang bermanfaat dari ulama' yang memiliki otoritas tadi. Keterangan-keterangan tambahan ini biasanya dicatat oleh murid di pinggiran halaman yang kosong dan disebut hamisy. Setelah proses pembacaan selesai dan murid sudah dipastikan menguasai isi buku dengan benar, guru akan memberikan lisensi atau ijazah, yang menjelaskan pemberian wewenang dari guru kepada murid untuk meriwayatkan isi buku itu kepada orang lain. Inilah yang disebut sanad, yang biasanya disertai tanda tangan dan stempel pengakuan dari guru pada halaman terakhir buku, serta hak pencantuman sanad pada bagian awalnya. [pen.]

Kelima
Apabila menyalin sebuah buku yang berisi ilmu-ilmu syari'at, hendaknya seorang murid dalam keadaan suci dan menghadap kiblat, badan dan pakaian dalam kondisi bersih dan suci, menggunakan tinta yang suci, dan memulai semua buku yang disalinnya dengan mencantumkan basmalah.
Jika buku itu dimulai dengan suatu khutbah pembuka (baca: pengantar asli dari penulis) yang di dalamnya mengandung ucapan hamdalah dan shalawat kepada Nabi, maka tuliskan khutbah itu setelah basmalah. Jika tidak ada, maka tuliskan sendiri hamdalah dan shalawat itu setelah basmalah. Setelah itu baru dilanjutkan dengan menyalin bagian kitab tersebut sampai selesai. Lakukan hal yang serupa di bagian akhir buku, atau di penghujung setiap juz jika buku itu terdiri dari beberapa bagian. Setiap kali selesai menyalin suatu juz, maka tutup dengan kata-kata semisal "ini adalah akhir dari juz ...... dan akan dilanjutkan dengan bab ...... pada juz selanjutnya". Ini apabila juz yang disalin bukan merupakan juz terakhir. Jika salinan sudah sampai pada akhir buku, maka tutup dengan kata-kata semisal "ini adalah akhir dari buku ......" Dalam hal ini terdapat banyak manfaat yang bisa dipetik.
Setiap kali menuliskan kalimah ALLAH ta'ala, maka iringi dengan kalimat pengagungan seperti subhaanahu, ta'ala, 'azza wa jalla, taqaddasa, dan lain sebagainya. Setiap kali menuliskan nama Nabi shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam, maka lanjutkan dengan shalawat dan salam bagi beliau beserta keluarganya. Lebih baik juga jika lisan ikut membaca shalawat dan salam bagi beliau. Sudah menjadi kebiasaan ulama' salaf dan khalaf untuk menuliskan shalawat dan salam bagi beliau beserta keluarganya berdasar firman Allah ta'ala dalam QS al-Ahzab: 56.
"Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya."
Adapun penyertaan keluarga Nabi dalam bacaan shalawat adalah berdasar pada sabda beliau, "Janganlah kalian membaca shalawat kepada dengan shalawat yang buntung." Para sahabat bertanya, "Apakah shalawat yang buntung itu?" Beliau menjawab, "Yaitu kalian mengucapkan allahumma shalli 'ala Muhammad kemudian kalian berhenti sampai disitu saja. Akan tetapi, ucapkanlah allahumma shalli 'ala Muhammad wa 'ala aali Muhammad."
Juga berdasarkan sabda beliau, "Barangsiapa yang membaca shalawat dimana dia tidak menyertakan Ahli Baitku di dalamnya maka shalawat-nya tidak diterima."
Dalam sebuah riwayat marfu' yang bersumber dari 'Ali bin Abi Thalib disebutkan bahwa doa itu terhalang (mahjub) sampai dibacakan shalawat kepada Nabi dan Ahli Baitnya." Masih banyak lagi hadits lain yang sejenis.
Seharusnya penulisan shalawat Nabi tidak disingkat sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang, walaupun shalawat itu harus berulang kali disebutkan dalam satu baris yang sama. Singkatan itu kadang berupa SAW, SAAW dan lain sebagainya. Semua itu tidak pantas bagi Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam. Dalam berbagai kitab hadits shalawat Nabi ditulis secara lengkap, baik bagi beliau maupun keluarganya, dan terdapat banyak atsar yang menekankan agar penulisan shalawat tidak disingkat.
Bila melewati nama seorang sahabat yang terpercaya, maka iringi dengan kata-kata radhiya-llahu 'anhu (semoga Allah meridhainya), begitu pula bila melewati nama seorang ulama' salaf. Atau bisa juga diganti dengan kata-kata rahimahullah (semoga Allah mengasihinya) di belakang nama ulama' tersebut, terlebih jika yang disebut adalah seorang ulama' besar.

Keenam
Jauhi menyalin dengan tulisan yang kecil-kecil dan sukar dibaca. Sebagian ulama' salaf berkata, "Tulislah apa yang bermanfaat bagimu pada saat engkau membutuhkannya, dan jangan menulis apa yang tidak bisa engkau manfaatkan lagi saat engkau memerlukannya." Yang dimaksud disini adalah ketika si penulis sudah beranjak tua dan melemah penglihatannya.
Sebagian ulama' salaf memang ada yang sengaja mencatat dengan tulisan yang kecil-kecil, dengan alasan supaya mudah dibawa-bawa. Hanya saja manfaat yang terluput dari tindakan ini jauh lebih besar nanti di usia senja.

Ketujuh
Ketika men-tashhih buku dengan membandingkannya kepada edisi aslinya yang shahih, atau kepada seorang guru yang berwenang, maka seyogyanya murid memberikan tanda baca, memberi titik pada huruf yang bertitik, memverifikasi bagian yang kurang jelas, dan memeriksa secara teliti pada tempat-tempat yang biasanya terjadi tashhif (keliru meletakkan tanda baca). Sudah menjadi kebiasaan dalam penulisan untuk menandai huruf-huruf tertentu dengan titik. Sebagian kalangan juga ada yang memberi tanda khusus untuk huruf-huruf yang tidak bertitik.
Setelah melakukan pen-tashhih-an dan pemberian tanda baca maupun titik pada suatu naskah buku, sementara pada bagian tertentu ada yang bisa menimbulkan keraguan atau memunculkan kemungkinan cara baca yang lain ketika dilakukan telaah secara mandiri, maka berikan tulisan kecil "benar" (shahih). Pada bagian yang terlihat salah peletakan tanda bacanya atau ada kesalahan penulisan naskah disitu, beri tulisan kecil "salah" (khatha'), kemudian pada bagian tepi naskah (hamisy) berikan catatan bahwa "yang benar adalah...." Hal itu jika sudah yakin akan kebenarannya. Jika belum yakin, beri tanda berupa kepala huruf shaad (yakni: shahih) diatas naskah buku, tetapi tidak menyatu dengannya. Bila kemudian sudah dapat dipastikan kebenarannya, maka tambahkan huruf haa' setelah tanda kepala huruf shaad tadi sehingga bunyinya menjadi shahha (artinya: benar, shahih). Tetapi jika yang terjadi justru sebaliknya, maka tuliskan koreksi yang tepat pada tepi naskah, caranya sama seperti penjelasan diatas.
Jika pada naskah edisi asli ternyata ada bagian yang terlewatkan pada naskah salinannya, berikan tanda cek ( P ) pada bagian itu lalu tuliskan tambahannya; yakni bila kekurangan itu hanya berupa satu kata. Jika yang terlewat lebih dari satu kata, maka tuliskan min (mulai dari) pada bagian awalnya dan ilaa (sampai ke) pada bagian akhirnya, yang artinya "mulai dari sini kalimat ini terlewat sampai kesini". Atau, bisa juga dengan cara menulis kalimat yang terlewat itu dalam huruf-huruf lebih kecil secara lengkap, asal tidak memenuhi baris naskah atau justru membuatnya bertumpang-tindih sehingga tidak terbaca. Ada juga sebagian kalangan yang meletakkan titik-titik pembantu pada bagian bawah pembetulan naskah tersebut.
Jika terjadi pengulangan kata yang sama pada naskah buku, mungkin karena unsur ketidaksengajaan, coret saja kata yang kedua; kecuali jika kata yang yang pertama berada di akhir baris sehingga ia lebih pas jika dicoret dengan tujuan menjaga bentuk permulaan baris berikutnya supaya tetap utuh; kecuali jika kata pertama itu adalah mudhaaf ilaihi maka mencoret kata yang kedua adalah lebih tepat supaya ia tetap bersambung secara langsung dengan mudhaaf­-nya.
***Pencoretan (adh-dharb) di masa lalu, tampaknya dilakukan dengan menghitamkan kata yang salah atau tidak dikehendaki sehingga samasekali tidak bisa dibaca, bukan dengan membubuhkan garis diatasnya sehingga tulisan aslinya masih terlihat. Cara lain adalah dengan menghapus atau menggosok (al-hakk) menggunakan batu kapur sehingga tulisan yang salah atau tidak dikehendaki tidak terlihat. Namun, tentu saja cara kedua ini tidak permanen, sebab seiring berlalunya waktu bisa jadi kapur itu luntur dan tulisannya timbul kembali, yang mengakibatkan kerancuan dan kebingungan di masa-masa selanjutnya. Oleh sebab itu, sebagaimana dijelaskan dalam buku ini juga, mencoret kata yang salah atau tidak dikehendaki itu lebih diutamakan dibanding menggosoknya. [pen.]

Kedelapan
Apabila ingin men-takhrij salah satu teks buku dan menempatkannya pada tepi halaman (haasyiyah) – catatan ini biasanya disebut dengan al-lahaq (keterangan susulan) – maka berikan tanda berupa tanda panah atau garus yang menunjuk ke arah ditempatkannya catatan tersebut. Jika memungkinkan, sebaiknya letakkan catatan al-lahaq di sebelah kanan halaman buku. Tulis catatan yang dikehendaki segaris dengan tanda panah yang sudah dibuat, dimana tulisan mengarah ke sisi atas halaman dan bukan menurun ke arah bawah, yakni untuk memberi tempat bagi takhrij lain yang mungkin muncul kemudian. Kepala huruf sebaiknya berada di sebelah kanan, baik catatan itu ditempatkan di sebelah kanan maupun kiri halaman.
Perkirakan juga berapa jumlah baris yang akan dituliskan. Jika jumlah barisnya diperkirakan dua atau lebih, maka letakkan baris kedua di bawah baris pertama berdekatan dengan teks utama buku, yakni jika catatan ditempatkan di sebelah kanan halaman. Jika catatan ditempatkan di sebelah kiri, maka letakkan baris pertama berdekatan dengan teks utama buku dan baris selanjutnya di bawahnya.
Jangan sampai tulisan dari naskah utama atau catatan tambahannya terlalu mepet dengan tepian kertas. Berikan jarak (spasi) tertentu sehingga memungkinkan untuk dihapus berulang kali, jika diperlukan. Kemudian berikan tanda berupa kata-kata shahha (benar, shahih) di penghujung takhrij tersebut. Sebagian kalangan ada yang memberi tambahan kata-kata lain di belakang kata shahha itu yang menunjukkan keterkaitan antara catatan tersebut dengan teks utama buku.


Kesembilan
Boleh-boleh saja menuliskan keterangan tambahan (hasyiyah), informasi (fa'idah), atau perhatian (tanbih, warning) penting pada tepian buku. Namun, jangan beri tanda shahha di belakangnya supaya tidak bercampur-aduk dengan catatan takhrij. Ada juga sebagian orang yang menulis kaidah atau keterangan tambahan di tepian halaman buku. Sebagian lagi ada yang menuliskan bullet (bulatan, not) di tepian buku.
Jangan mencatat kecuali informasi yang penting dan relevan dengan buku yang bersangkutan, misalnya perhatian (warning, tanbih) terhadap adanya suatu kesulitan tertentu, permintaan untuk berhati-hati, keterangan simbol, penjelasan atas suatu kekeliruan, dan lain sebagainya.
Jangan memenuhi halaman buku dengan catatan beraneka rupa persoalan dan cabang-cabang pembahasan yang aneh. Jangan pula terlalu banyak menambahkan catatan tepi (hasyiyah) sehingga halaman buku menjadi hitam dan gelap atau justru menyulitkan pembaca untuk memahami isinya. Tidak seyogyanya pula menyisipkan catatan di antara baris-baris naskah utama. Sebagian orang ada yang membedakan sisipan semacam ini dengan tinta merah. Namun, sebenarnya tidak memberi sisipan adalah lebih baik.

Kesepuluh
Tidak mengapa menuliskan bab-bab, penafsiran, atau pasal-pasal dengan menggunakan tinta merah, sebab hal itu akan lebih mudah dilihat dan dibedakan baik dalam tulisan maupun batas pokok bahasan. Boleh juga membuat singkatan tertentu untuk nama-nama atau madzhab, pendapat atau jalur periwayata, jenis, istilah kebahasaan, bilangan, dan lain-lain. Dan, bila memutuskan untuk menggunakan singkatan-singkatan semacam itu maka jelaskan artinya sejak awal, supaya orang lain yang hendak mengkajinya bisa paham. Sebagian ulama' hadits dan fiqh ada yang memberikan singkatan begitu dan menuliskannya dengan tinta merah, dengan tujuan memperpendek hal-hal yang sering muncul.
Jika tidak menandai bab, pasal dan penafsiran itu dengan tinta merah, boleh juga menandainya dengan cara lain yang akan membedakan dengan naskah buku pada umumnya, seperti penebalan huruf, memanjangkan sambungan antar huruf, penulisan dalam satu baris tersendiri, dan lain sebagainya. Tujuannya adalah memudahkan pencarian pada saat dibutuhkan. Sebaiknya pisahkan setiap kalimat dengan bulatan, garis miring, atau huruf yang ditebalkan. Jangan menyambungkan seluruh kalimat dengan satu rentetan yang tidak jelas titik-komanya, karena hal itu akan menyulitkan pembaca memahami maksudnya, membuang-buang waktu untuk memikirkannya, dan hanya orang super dungu saja yang melakukan tindakan tersebut.
Kesebelas
Para ulama' mengatakan bahwa mencoret (adh-dharb) itu lebih baik dibanding menggosok (al-hakk), terlebih lagi dalam buku-buku hadits, karena di dalamnya bisa ada unsur tuduhan pemalsuan (tuhmah) dan ketidaktahuan atas suatu informasi (jahalah). Selain itu, kitab hadits biasanya lebih lama bertahan sehingga dikhawatirkan gosokan (dengan batu kapur) itu hilang. Bisa jadi juga tindakan menggosok dengan batu kapur itu berbahaya karena dapat melobangi kertas, sehingga sekaligus merusak tulisan yang ada di sebaliknya. Ini berarti kerusakan berganda. Namun, jika hanya berupa penghilangan titik atau tanda baca, maka menggosok itu lebih baik.
Ketika men-tashhih kitab di hadapan seorang guru atau membandingkannya dengan naskah asli, beri tanda pada tempat-tempat perhentian kalimatnya. Silakan pilih tanda yang bisa mengisyaratkan kepada makna ini.
***Kitab-kitab klasik berbahasa Arab tidak mengenal tanda titik dan koma. Tulisan Arab juga tidak mengenal huruf besar dan kecil. Satu-satunya cara mengetahui perpindahan pembahasan atau dimulainya suatu kalimat baru adalah dengan mencermati susunan kalimat yang tertulis atau pergantian baris. Kadang ada juga yang memberi tanda dengan garis miring, atau kalimat berbunyi intahaa (selesai, habis), atau inisial alif-ha' yang berarti intahaa hunaa (selesai sampai disini). [pen.]

--- bersambung ---