Terjemah "Adabul 'Ulama' wal Muta'allimin" karya As-Sumhudi & Maulana 'Alamul Hajar al-Yamani - Bag. 3/9
[2] ADAB GURU DALAM MENGAJAR
Dalam
masalah ini, juga ada 12 adab yang mesti diperhatikan.
Pertama
Tatkala hendak
mengajar, maka seyogyanya ia bersuci dari hadats dan junub,
membersihkan diri, memakai wewangian, serta mengenakan pakaian terbaik yang ia
miliki dan patut sesuai zamannya. Dengan semua itu ia bermaksud untuk
memuliakan ilmu dan mengagungkan syari'at.
Dikisahkan
bahwa jika orang-orang berdatangan untuk mendengarkan hadits, maka Imam Malik
segera mandi, memakai wewangian dan mengenakan baju-baju baru yang beliau
miliki, memasang mantel luarnya pada kepalanya, kemudian duduk pada tempat yang
tersedia, dan dupa wangi terus dinyalakan di ruangan itu sampai majlis beliau
selesai. Beliau berkata, "Saya ingin mengagungkan hadits Rasulullah shalla-llahu
'alaihi wa aalihi wasallam."
Al-Khathib
al-Baghdadi meriwayatkan sebuah syair yang berasal dari 'Ali, bahwa beliau
berkata: "Perbaharuilah bajumu yang engkau kenakan; sebab dia adalah
perhiasan seorang pria sejati yang dengannya ia dimuliakan dan dihormati; Tinggalkanlah
sikap tawadhu' dalam berpakaian karena itu lebih pantas bagimu; sebab pada
dasarnya Allah mengetahui apa yang ditutupi dan disembunyikan; Kusutnya bajumu
tidak akan menambahkan kedekatan kepada Allah; jika engkau adalah seorang hamba
yang penuh maksiat; Dan megahnya bajumu tidak akan membahayakanmu; setelah
engkau takut kepada Allah dan menghindari hal-hal yang Dia haramkan."
Kemudian hendaknya
ia mengerjakan shalat istikharah dua rakaat, jika saat itu bukan waktu yang
makruh untuk mengerjakan shalat. Dianjurkan baginya untuk mengkhususkan satu
waktu tertentu dalam sehari guna mengerjakan shalat istikharah, dilanjutkan
dengan berdoa:
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْتَخِيْرُكَ
بِعِلْمِكَ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ،
فَإِنَّكَ تَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ، وَتَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ
اْلغُيُوْبِ، اَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ جَمِيْعَ مَا أَتَحَرَّكُ فِيْهِ
وَأَنْطِقُ بِهِ فيِ حَقِّيْ وَفيِ حَقِّ غَيْرِيْ، وَجَمِيْعِ مَا يَتَحَرَّكُ فِيْهِ
غَيْرِيْ وَيَنْطِقُ بِهِ فيِ حَقِّيْ وَحَقِّ أَهْلِي وَوَلَدِيْ وَمَا مَلَكَتْ
يَمِيْنِيْ، مِنْ سَاعَتِيْ هَذِهِ إِلىَ مِثْلِهَا مِنَ اْلغَدِ، خَيْرٌ لِيْ فيِ
دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ فَاقْدِرْهُ لِيْ وَيسِّرْهُ لِيْ، ثُمَّ
بَارِكْ لِيْ فِيْهِ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ جَمِيْعَ مَا أَتَحَرَّكُ
فِيْهِ وَأَنْطِقُ بِهِ فيِ حَقِّيْ وَفيِ حَقِّ غَيْرِيْ، وَجَمِيْعِ مَا
يَتَحَرَّكُ فِيْهِ غَيْرِيْ وَيَنْطِقُ بِهِ فيِ حَقِّيْ وَحَقِّ أَهْلِي وَوَلَدِيْ
وَمَا مَلَكَتْ يَمِيْنِيْ، مِنْ سَاعَتِيْ هَذِهِ إِلىَ مِثْلِهَا مِنَ اْلغَدِ،
شَرٌّ لِيْ فيِ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ، وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ فََاصْرِفْهُ عَنِّيْ
وَاصْرِفْنِيْ عَنْهُ وَاقْدِرْ لِيْ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ رَضِنِيْ بِهِ
Artinya: "Ya
Allah, sungguh aku mohon Engkau pilihkan bagiku dengan ilmu-Mu, aku mohon
kekuatan dari-Mu dengan kuasa-Mu, aku mohon dari karunia-Mu yang agung,
sesungguhnya Engkau Mengetahui sedangkan aku tidak tahu, Engkau Berkuasa
sedangkan aku tidak kuasa, Engkaulah yang Maha Mengetahui terhadap
perkara-perkara yang ghaib. Ya Allah, bila Engkau mengetahui bahwa semua yang
akan aku lakukan maupun ucapkan, baik dalam kaitan hakku maupun hak orang lain,
dan semua yang akan dikerjakan serta diucapkan orang lain, baik dalam kaitan
hakku, hak keluargaku, hak anakku dan budak yang kumiliki, sejak saat sekarang
ini sampai waktu yang sama esok hari, adalah baik bagi diriku dalam agamaku,
kehidupanku dan kesudahan nasibku, maka takdirkanlah itu bagiku, mudahkanlah,
dan berikanlah keberkahan kepadaku di dalamnya. Dan bila Engkau mengetahui
bahwa semua yang akan aku lakukan maupun ucapkan, baik dalam kaitan hakku
maupun hak orang lain, dan semua yang akan dikerjakan serta diucapkan orang
lain, baik dalam kaitan hakku, hak keluargaku, hak anakku dan budak yang
kumiliki, sejak saat sekarang ini sampai waktu yang sama esok hari, adalah buruk
bagi diriku dalam agamaku, kehidupanku dan kesudahan nasibku, maka hindarkanlah
ia dariku, dan hindarkan pula aku darinya, kemudian takdirkanlah kebaikan
bagiku dimanapun dia adanya, kemudian buatlah aku ridha kepadanya."
Tatacara
seperti ini, meskipun tidak ada dalam hadits-hadits, namun ia bersesuaian
dengan keumuman anjuran untuk mengerjakan shalat istikharah, seperti dalam
hadits: "Bila salah seorang dari kalian berhasrat untuk mengerjakan suatu
perkara, maka hendaklah ia mengerjakan shalat sunnah dua rakaat." –
Al-Hadits.
Dulu
orang-orang jahiliyah mempergunakan undian dengan anak panah atau yang sejenis
itu, lalu Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam menggantikan
kebiasaan mereka dengan sesuatu yang di dalamnya mengandung unsur tauhid, perasaan
butuh kepada Allah, mengandung makna 'ubudiyah (peribadatan), tawakkal,
permohonan bimbingan dan keberuntungan, mengembalikan urusan kepada Dzat yang
di tangan-Nya ketetapan segala kebaikan dan terlaksananya segenap permohonan.
Kemudian
hendaknya ia berniat untuk menyebarkan dan mengajarkan ilmu, menebarkan
faedah-faedah syar'iyah, menyampaikan hukum-hukum Allah yang dia telah diberi
amanah untuk itu dan juga disuruh untuk menjelaskannya. Hendaknya ia juga
berniat untuk menambah ilmunya, menampakkan kebenaran, merujuk kepada al-haqq,
berkumpul untuk mengingat Allah, mengucapkan doa keselamatan kepada
kawan-kawannya sesama kaum muslimin, serta mendoakan generasi terdahulu yang
shalih dari umat ini.
Dikisahkan
bahwa sebagian dari ulama' itu ada yang menulis sampai kaku dan penat
tangannya. Ia lalu meletakkan penanya dan bersyair, "Jika saja air mata
ini mengalir deras tumpah-ruah; namun bukan karena malamku ini, niscaya ia
adalah air mata yang sia-sia belaka."
Ini termasuk
dalam firman Allah dalam QS al-Mu'minun: 60-61.
"Dan
orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang
takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan
mereka. Mereka itu bersegera untuk mendapat
kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya."
Al-Hasan
berkata, "Mereka mengerjakan amal-amal kebajikan dan menyangka bahwa itu
tidak akan diterima."
Kedua
Saat keluar
rumah, hendaknya membaca doa yang diriwayatkan dari Rasulullah, yakni:
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ
بِكَ أَنْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ، أَوْ أَزِلَّ أَوْ أُزَلَّ، أَوْ أَظْلِمَ أَوْ أَظْلَمَ،
أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عَلَيَّ، عَزَّ جَارُكَ وَجَلَّ ثَنَاؤُكَ، وَلاَ إِلَهَ
غَيْرُكَ
Artinya: "Ya
Allah, aku berlindung kepada-Mu dari tersesat atau disesatkan; dari tergelincir
atau digelincirkan; dari menzhalimi atau dizhalimi; dari melakukan kebodohan
atau dibodohi orang lain; agung perlindungan-Mu dan mulia sanjungan-Mu; dan
tiada ilah selain Engkau."
Kemudian
membaca doa:
بِسْمِ اللهِ وَبِاللهِ،
حَسْبِيَ اللهُ، تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ، لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ
الْعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ، اَللَّهُمَّ ثَبِّتْ جَنَانِيْ وَاَدِرِ الْحَقَّ عَلَى لِسَاِنيْ
Artinya;
"Dengan menyebut nama Allah dan demi Allah, cukuplah Allah bagiku, aku
bertawakkal kepada-Nya, tidak ada daya dan kekuatan kecuali atas izin-Nya yang
Maha Tinggi lagi Maha Agung. Ya Allah teguhkanlah hatiku dan edarkanlah
kebenaran pada lisanku."
Dan hendaknya
ia senantiasa berdzikir hingga sampai di majelis kajian yang dituju.
Sesampainya disana, hendaklah mengucap salam kepada orang-orang yang hadir dan
mengerjakan shalat sunnah dua rakaat, kecuali di waktu-waktu yang makruh;
tetapi jika majelis itu adalah masjid maka sangat dianjurkan untuk shalat
sunnah kapan pun waktunya; diiringi dengan doa agar mendapat taufiq,
pertolongan dan penjagaan dari Allah; lalu duduk menghadap kiblat, berdasarkan
hadits bahwasanya "majelis yang paling mulia adalah yang menghadap
kiblat". – Diriwayatkan oleh Abu Ya'la dan ath-Thabarani dalam al-Ausath yang
bersumber dari Ibnu 'Umar secara marfu'; dan diriwayatkan pula oleh
beliau dalam al-Kabir yang serupa itu, bersumber dari Ibnu 'Abbas secara marfu'
juga.
Hendaknya ia
duduk dengan tenang, anggun, tawadhu', khusyu', dengan bersila atau cara duduk lain
yang pantas dan sopan. Jangan duduk secara iq'aa', yakni duduk dengan
cara kedua telapak kaki ditegakkan. Jangan duduk gelisah dan terus-menerus
mengubah posisi. Jangan meletakkan salah satu kaki diatas kaki yang lain.
Jangan menyelonjorkan kedua kaki atau salah satunya dengan tanpa alasan yang
jelas. Jangan bersandar dengan kedua tangan ke samping kiri-kanan atau ke
belakang. Hendaklah ia menghindari posisi merangkak serta berpindah-pindah dari
tempatnya semula. Kedua tangan jangan bergerak yang tidak perlu atau dianyam. Kedua
mata jangan melirik kesana-kemari tanpa ada perlunya. Hindarilah banyak
bergurau dan tertawa, karena hal itu mengurangi kewibawaan dan menjatuhkan kehormatan,
sebagaimana pernah dikatakan, "Barangsiapa yang suka bergurau maka ia akan
dianggap enteng, dan barangsiapa yang memperbanyak melakukan suatu perkara maka
dirinya akan diidentikkan dengan hal itu."
Hendaknya ia
tidak mengajar dalam keadaan lapar, haus, berduka, marah, mengantuk atau gelisah.
Jangan mengajar dalam suasana dingin yang menyiksa atau panas yang meresahkan. Sebab,
bisa jadi ia menjawab pertanyaan atau memberikan fatwa yang tidak tepat, dan
dikarenakan pada umumnya pikiran tidak bisa lurus dan sempurna jika disertai
oleh kondisi-kondisi ekstrim seperti tersebut diatas.
Ketiga
Hendaklah duduk
di tempat yang mudah dilihat oleh seluruh yang hadir, disertai penghormatan
yang selayaknya kepada para ahli ilmu, pinisepuh, orang-orang baik dan
terpandang. Hendaknya dia memuliakan mereka sesuai dengan kedudukannya
masing-masing, yakni dari sisi kepemimpinan dalam agama, dan bersikap lembut
kepada orang-orang lain selebihnya. Muliakan mereka dengan ucapan salam yang
baik, wajah yang cerah dan penghormatan yang istimewa. Jangan enggan untuk
berdiri memberi penghormatan kepada tokoh-tokoh terpandang di kalangan kaum
muslimin, sebab dalam masalah ini banyak terdapat riwayat dimana para ulama'
dan murid-muridnya berdiri memberi penghormatan.
Hendaknya ia
membangi perhatian dan menghadapkan wajah secara sewajarnya kepada seluruh
hadirin sesuai kebutuhan. Hendaknya ia memberikan motivasi dan dorongan kepada
orang yang berbicara, bertanya atau berdiskusi dengannya dalam suatu persoalan
dengan cara memberi perhatian lebih dan menghadap ke arahnya, meskipun dia
seorang anak kecil dan lemah. Sebab, jika tidak, maka hal itu termasuk tindakan
orang-orang yang tiran dan sombong.
Keempat
Membuka pelajarannya
dengan membaca sebagian dari ayat-ayat Al-Qur'an untuk memperoleh berkah dan
keberuntungan, sebagaimana biasanya. Apabila hal itu merupakan sesuatu yang
diharuskan di madrasah yang bersangkutan, maka patuhilah aturan tersebut. Lalu meminta
perlindungan kepada Allah dari syetan yang terkutuk (membaca ta'awudz), basmalah,
pujian kepada Allah (tahmid), bershalawat kepada Nabi, memohonkan
keridhaan bagi para imam kaum muslimin dan guru-gurunya, juga berdoa bagi
dirinya sendiri, para hadirin, orangtua mereka dan kaum muslimin seluruhnya.
Semua itu dia lakukan dengan berdiri di tempatnya, yakni bila dia mengajar di
madrasah atau sejenisnya, dengan harapan agar maksud dan tujuannya tercapai.
Kelima
Jika dalam
majelis itu jumlah pelajaran lebih dari satu, maka dahulukanlah pelajaran yang
paling penting dan mulia kedudukannya menurut syari'at, kemudian disusul oleh
peringkat di bawahnya. Maka mulailah dengan tafsir al-Qur'an, kemudian hadits,
kemudian ushuluddin (pembahasan masalah akidah), kemudian ushul fiqh,
kemudian (fiqh) berdasar madzhab tertentu (yang dipilih), kemudian pembahasan
masalah khilaf (perbedaan pendapat dalam fiqh), kemudian nahwu (tata
bahasa Arab) atau ilmu debat (al-jadal).
Dalam
mengajar, hendaknya ia menyambungkan pembicaraan yang seharusnya disambung, dan
berhenti pada tempatnya berhenti atau pada akhir setiap pembicaraan. Jangan
menyebutkan suatu masalah yang samar-samar lalu menunda penjelasannya sampai
pertemuan berikutnya. Sebaiknya ia menjelaskan suatu masalah secara utuh atau
tidak usah menyebutkannya samasekali. Jangan suka memperpanjang pelajaran
sampai kadar membosankan atau memperpendeknya sehingga melewatkan banyak hal
penting. Perhatikanlah kemaslahatan hadirin dalam masalah memperpanjang atau
meringkas pelajaran ini. Jangan membahas suatu tingkatan persoalan atau
membicarakan suatu tambahan informasi melainkan pada waktu dan tempat yang
tepat. Artinya, jangan mempercepat atau menunda pembicaraan suatu masalah kecuali
jika ada alasan-alasan serta kemaslahatan tertentu yang mendesak dan
mengharuskannya.
Keenam
Jangan mengeraskan
suara melebihi yang diperlukan, jangan pula merendahkannya sehingga tidak bisa
ditangkap dengan sempurna maksudnya. Dalam kitab al-Jaami', al-Khathib
al-Baghdadi meriwayatkan bahwa Nabi shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam
bersabda, "Sesungguhnya Allah menyukai suara yang pelan dan membenci suara
yang keras."
Sebaiknya
suara seorang 'alim tidak melampaui ruangan atau majelis tempatnya
mengajar, tetapi tidak pula menyulitkan para hadirin untuk mendengarkannya; kecuali
bila dalam majelis itu ada salah seorang hadirin yang pendengarannya kurang
baik, sehingga mengeraskan suara tidak mengapa dalam hal ini sekadar mencukupi
keperluan orang tersebut.
Jangan
berbicara sambung-menyambung terlalu cepat, namun berbicaralah dengan intonasi
tenang, sistematis dan perlahan, sehingga dia sendiri dan pendengarnya punya
kesempatan untuk berpikir. Diriwayatkan bahwa cara berbicara Rasulullah shalla-llahu
'alaihi wa aalihi wasallam adalah bagian demi bagian, sehingga pendengarnya
dapat memahami apa yang beliau maksud. Terkadang beliau mengulangi kalimatnya
sampai tiga kali, dengan tujuan agar dapat dimengerti.
Bila ia
telah menyelesaikan satu bagian atau persoalan dari pelajarannya, maka
sebaiknya ia diam sesaat supaya orang-orang yang memiliki ganjalan di hatinya
mempunyai kesempatan untuk mengungkapkannya. Sebab, sebagaimana akan kami
paparkan – insya-Allah – dalam bab Adab Seorang Murid, bahwa tidak layak
bagi murid untuk memotong kata-kata gurunya. Oleh karenanya, jika guru tidak
diam sesaat seperti ini, bisa jadi manfaat penting yang seharusnya dapat
diwujudkan justru akan terabaikan.
Ketujuh
Hendaknya seorang
guru menjaga majelis pelajarannya dari kegaduhan, sebab kegaduhan itu merusak, juga
dari suara-suara keras tidak terkendali serta arah pembicaraan yang
simpang-siur.
Ar-Rabi' bin
Sulaiman menuturkan, "Apabila seseorang mendebat Imam Syafi'i dalam suatu
persoalan kemudian mulai merembet kemana-mana, maka beliau berkata: 'Kita
cukupkan sampai disini dulu masalah ini, nanti kita lanjutkan kembali apa yang
Anda kehendaki itu.'
Hendaknya ia
bersikap lembut dalam menghentikan kecenderungan semacam itu sejak ia mulai
terlihat, sebelum menyebar luas dan emosi hadirin tak terkendali. Ingatkan
hadirin tentang tidak disukainya (karaahah, makruuh) debat-kusir,
terlebih-lebih setelah kebenaran itu tampak nyata; dan bahwa maksud dari
diselenggarakannya majelis pertemuan itu adalah untuk menampilkan kebenaran,
menuju kebeningan hati dan memperoleh informasi yang berguna. Selain itu,
sangat tidak layak bagi orang berilmu untuk memperturutkan nafsu bersaing dan bercekcok
satu sama lain, sebab hal itu merupakan penyebab timbulnya permusuhan dan
kebencian. Sekali lagi harap diingat bahwa maksud diselenggarakannya majelis
pertemuan itu adalah semata-mata mengharap ridha Allah ta'ala, demi
meraih faedah di dunia dan akhirat kelak. Ingatlah firman Allah dalam QS al-A'raf:
8.
"Agar
Allah menetapkan yang haq (Islam) dan membatalkan yang batil (syirik) walaupun
orang-orang yang berdosa (musyrik) itu tidak menyukainya."
Dari ayat
ini dapat dipahami bahwasanya keinginan untuk membatalkan yang haq dan
menetapkan yang batil adalah sifat jahat serta dosa, sehingga kita harus
benar-benar hati-hati dalam masalah ini.
Kedelapan
Menegur
murid yang melampaui batas dalam pembelajaran, atau menampakkan kebengalan dan
kekurangajaran (suu'ul adab), atau enggan menerima kebenaran setelah
tampak nyata, atau berteriak-teriak tanpa ada perlunya, atau menampakkan sikap
kurang ajar kepada orang yang hadir maupun tidak, atau bersikap meninggikan
diri di hadapan orang lain yang lebih utama darinya, atau tidur, atau berbicara
sendiri dengan temannya, atau tertawa-tawa, atau melecehkan salah seorang
hadirin lainnya, atau melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan adab
belajar dalam suatu majelis maupun halaqah – hal ini insya-Allah
akan kami paparkan lebih rinci pada tempatnya nanti – dengan syarat jangan
sampai teguran itu justru menimbulkan mafsadah yang lebih parah.
Hendaknya ia
mempunyai seorang asisten yang cerdik, cerdas serta berpengalaman sehingga
dapat membantu menertibkan para hadirin, turut campur mengatur para hadirin
sesuai dengan kedudukan mereka masing-masing, membangunkan mereka yang tidur, 'memberi
perhatian' kepada orang yang meninggalkan apa yang seharusnya dilakukan atau
sebaliknya melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan, juga menyuruh untuk
mendengarkan pelajaran dan memperhatikannya.
Kesembilan
Hendaknya ia
bersikap adil dan tidak pilih kasih dalam membahas pelajaran dan berbicara. Juga
bersedia mendengarkan pertanyaan dari arah datangnya meskipun berasal dari anak
kecil. Jangan merasa gengsi untuk mendengar pertanyaan itu karena akan
menyebabkan lepasnya faedah yang lebih besar. Jika penanya kesulitan untuk
memfokuskan pokok permasalahan atau bingung memilih kata-kata yang tepat, baik
karena malu atau keterbatasan pemikiran, sementara pengertian umumnya sudah dapat
ditangkap, maka dia membantunya untuk mengungkap isi pikirannya, memperjelas
maksud pertanyaannya dan menolak pandangan orang lain yang keliru terhadapnya.
Kemudian dia menjawab berdasar apa yang diketahuinya atau menawarkan kepada
orang lain untuk menjawabnya terlebih dahulu.
Hendaknya ia
bermaksud memberi nasihat, bimbingan dan mencari keselamatan lewat apa yang
diucapkannya; dimana kemanfaatan itu sedapat mungkin dirasakan oleh semua orang.
Hendaknya ia
berbicara kepada setiap orang sesuai dengan kadar akal dan pemikiran mereka
masing-masing. Maka, jika ditanya dia menjawab dengan menyinggung hal-hal yang
selaras dengan kondisi penanya bersangkutan. Usahakan jawaban itu memuaskan
penanya.
Bila ia
ditanya tentang suatu persoalan yang tidak diketahuinya, maka dia menjawab:
"saya tidak tahu" atau "saya tidak mengerti". Diantara
tanda ilmu adalah jika ditanya tentang sesuatu yang tidak dimengerti maka
dijawabnya: "saya tidak tahu" atau "Allah lebih tahu (wallahu
a'lam)". Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas'ud berkata, "Wahai manusia,
barangsiapa yang memiliki ilmu tentang sesuatu makna hendaklah ia
mengatakannya; dan barangsiapa yang tidak memiliki ilmunya maka hendaklah ia
mengatakan: 'Allah lebih tahu'; karena sesungguhnya diantara tanda ilmu adalah mau
mengatakan 'Allah lebih tahu' terhadap sesuatu yang tidak diketahui."
Sebagian
dari ulama' salaf berkata, "(Mengatakan) saya tidak tahu adalah setengah
ilmu."
Ibnu 'Abbas
berkata, "Jika seorang 'alim salah mengucapkan 'saya tidak tahu'
maka perkataannya itu sudah benar."
Ada yang
mengatakan, "Sebaiknya seorang 'alim mewariskan (keberanian)
mengucapkan 'saya tidak mengerti' kepada murid-muridnya, karena banyaknya apa
yang sudah diucapkannya."
Ketahuilah
bahwa perkataan seseorang "saya tidak mengerti" ketika ia ditanya sesungguhnya
tidak meruntuhkan harga dirinya sebagaimana disangka oleh sebagian orang bodoh,
sebab seseorang yang kuat dan otoritatif pun tidak mengapa jika ia tidak
mengetahui beberapa persoalan. Bahkan sebaliknya perkataannya "saya tidak
mengerti" itu justru akan mengangkat posisinya, sebab hal ini menjadi
petunjuk terhadap ketinggian martabatnya, kuatnya agamanya, ketaqwaan dalam
hatinya, kesucian hatinya, kesempurnaan pengetahuannya dan baiknya dia dalam
memastikan segala sesuatu. Kami telah menceritakan kisah-kisah semacam itu dari
para ulama' salaf.
Justru orang
yang enggan mengucapkan "saya tidak mengerti" adalah mereka yang
lemah komitmen beragamanya dan sedikit pengetahuannya, sebab ia merasa takut
jika martabatnya jatuh di mata para pendengarnya, sementara dia tidak merasa
takut jika martabatnya jatuh di hadapan Allah Penguasa semesta alam. Ini jelas
merupakan kejahilan dan kerapuhan dalam beragama. Bisa jadi kekeliruannya itu
akan menjadi terkenal dimana-mana, sehingga ia justru terjerumus ke dalam
masalah yang dihindarinya dan diidentikkan oleh masyarakat luas dengan sesuatu
yang sebenarnya ia berusaha berhati-hati di dalamnya.
Allah
sendiri telah mendidik (ta'dib) para ulama' dengan kisah Musa bersama
Khidhr 'alaihimas salaam, pada saat Musa tidak mengembalikan ilmu kepada
Allah 'azza wa jalla tatkala beliau ditanya, "Adakah di muka bumi
ini seseorang yang lebih berilmu dibanding Anda?"
Kesepuluh
Bersikap
santun dan simpatik kepada orang baru yang tampak hadir dalam majelis, agar dia
merasa tenteram, sebab setiap orang yang baru datang pasti merasa kurang
nyaman. Jangan berlebihan memandangi dan meliriknya – karena merasa asing dan
belum kenal – sehingga ia merasa malu.
Bila ada
seseorang yang terpandang datang bergabung, sedangkan ia sudah mulai membahas
suatu persoalan, maka sebaiknya ia menahan diri sejenak menunggu sampai orang
tersebut duduk. Bila suatu permasalahan telah selesai dibahas sedang tokoh
tersebut datang belakangan, maka sebaiknya masalah itu diulang kembali khusus
sebagai penghormatan baginya, atau paling tidak diberikan satu ulasan ringkas
tentang pokok-pokok isi kandungannya. Jika seorang yang faqih datang
bergabung sedangkan masalah yang sedang dibahas tinggal tersisa sedikit lagi, sementara
jamaah yang ada beramai-ramai berdiri untuk menghormatinya sampai ia tiba di
tempat duduknya, maka hendaknya sisa pembahasan itu ditunda sejenak
penyampaiannya; silakan diisi dengan mencoba melakukan analisis sendiri atau
yang lainnya, menunggu sampai faqih tersebut duduk; kemudian ulangi
sekali lagi pokok pembahasannya atau lanjutkan sisanya. Hal ini dimaksudkan
supaya faqih yang baru datang tersebut tidak merasa malu ketika jamaah
beramai-ramai berdiri menghormatinya dan mempersilakannya duduk.
Kesebelas
Biasanya,
para guru menutup pelajarannya dengan kalimat penutup tertentu seperti wallahu
a'lam (dan Allah lah yang lebih mengetahui). Demikian pula seorang mufti
ketika mengakhiri jawabannya. Namun, lebih baik lagi jika sebelum itu diakhiri
dengan kata-kata lain yang mengisyaratkan bahwa pelajaran telah usai, seperti:
"ini adalah penutupnya" atau "bagian selanjutnya insya-Allah akan
kita bahas pada pertemuan lain", atau kalimat lain yang serupa. Hal ini
dimaksudkan agar ucapannya "wallahu a'lam" menjadi dzikir
murni, sekaligus juga dimaksudkan sesuai makna aslinya. Oleh karena itu pula
seyogyanya memulai setiap pelajaran dengan basmalah dan hamdalah,
demikian pula setiap kali memulai jawaban sebuah fatwa. Ini dimaksudkan supaya
mengingat Allah menjadi kebiasaan baginya baik di awal maupun di akhir suatu
amalan.
Setelah majelis
bubar, hendaknya guru menunggu beberapa saat di tempatnya, sebab dalam hal ini
terkandung banyak faedah dan adab, baik bagi guru itu sendiri maupun
murid-muridnya. Diantaranya adalah: supaya ia tidak ikut berdesakan dengan
mereka; jika ada jamaah yang masih punya pertanyaan maka ia bisa mengajukannya;
menghindari naik kendaraan bersama-sama dengan jamaah, jika kebetulan ia juga
naik kendaraan; dan lain sebagainya.
Apabila
bangkit dari majelis, dianjurkan kepadanya untuk berdoa sebagaimana yang
diajarkan dalam sebuah hadits:
سُبْحَانَكَ الله،
اَللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ
إِلَيْكَ
Artinya:
"Maha Suci Engkau, ya Allah, dan aku memuji-Mu. Tiada ilah yang
berhak disembah selain Engkau. Aku memohon ampunan kepada-Mu dan aku bertaubat pula
kepada-Mu."
Keduabelas
Jangan
menyelenggarakan suatu pengajaran jika ia tidak memiliki keahlian dalam bidang tersebut,
jangan pula menyebut-sebut suatu materi yang tidak dikuasainya dengan baik,
sebab hal itu dipandang sebagai mempermainkan agama dan melecehkan orang lain.
Rasulullah
bersabda, "Seseorang yang mengenyangkan diri dengan sesuatu yang tidak
diberikan kepadanya, maka seakan-akan dia mengenakan pakaian kepalsuan dan
kebohongan."
Dikisahkan
dari asy-Syibli, "Barangsiapa yang tergesa-gesa tampil sebelum tiba
saatnya, maka dia sedang menyambut datangnya kehinaannya."
Imam Abu
Hanifah rahimahullah berkata, "Barangsiapa yang mengejar
kepemimpinan bukan pada waktu yang tepat, maka dia akan senantiasa berada dalam
kehinaan seumur hidupnya."
Orang pintar
adalah mereka yang memelihara dirinya dari terjerumus ke dalam perbuatan yang
dianggap rendah, jika dibiasakan dianggap zhalim, dan bila terus-menerus
dilakukan akan dianggap fasiq. Sebab, bila seseorang itu tidak ahli dalam suatu
bidang maka ia akan diremehkan dan direndahkan. Tentu saja orang yang cakap
tidak rela bila itu menimpa dirinya. Seorang yang berakal sempurna pun tidak
akan mau membiasakan diri dalam hal seperti itu.
Kerusakan paling
kecil yang ditimbulkan oleh pengajar yang tidak kompeten adalah para hadirin
tidak akan mendapati jalan tengah yang adil saat mereka saling berbeda pendapat,
sebab orang mengelola majelis itu pun tidak tahu mana yang benar sehingga ia
dapat mendukungnya atau mana yang keliru sehingga dapat diluruskannya. Pernah
dikatakan kepada Imam Abu Hanifah bahwa di masjid ada sebuah halaqah
tempat didiskusikannya masalah-masalah fiqh; beliau kemudian bertanya,
"Apakah ada yang memimpinnya?" Dijawab, "Tidak." Maka beliau
berkomentar, "Mereka tidak akan memperoleh pemahaman apapun untuk
selamanya!"
Sebagian
ulama' ada yang memberi ulasan tentang seseorang yang mengajar sementara ia
sebenarnya tidak layak untuk itu, "Banyak orang nekad lagi bodoh yang maju
untuk mengajar; supaya ia disebut-sebut sebagai seorang yang faqih dan
guru; Adalah hak bagi seorang 'alim untuk meneladani; (kisah) sebuah keluarga
kuno yang terkenal dimana-mana; Mereka telah tergelincir dalam kesalahan dalam
kadar yang sedemikian nyata kesalahannya; sehingga diibaratkan bahwa
orang-orang yang bangkrut pun bahkan berani menawar berapa harga mereka."
[]
--- bersambung ---
Link terkait:
1 - Bagian 1 : Pengantar penerjemah
2 - Bagian 2 : Adab guru kepada ilmunya
3 - Bagian 3 : Adab guru dalam mengajar
4 - Bagian 4 : Adab guru kepada murid-muridnya
5 - Bagian 5 : Adab pribadi seorang murid
6 - Bagian 6 : Adab murid kepada gurunya dan teladannya
7 - Bagian 7 : Adab murid dalam belajar
8 - Bagian 8 : Adab kepada buku sebagai sarana ilmu
9 - Bagian 9 : Penutup (Adab Ahli Bait Nabi)
Link terkait:
1 - Bagian 1 : Pengantar penerjemah
2 - Bagian 2 : Adab guru kepada ilmunya
3 - Bagian 3 : Adab guru dalam mengajar
4 - Bagian 4 : Adab guru kepada murid-muridnya
5 - Bagian 5 : Adab pribadi seorang murid
6 - Bagian 6 : Adab murid kepada gurunya dan teladannya
7 - Bagian 7 : Adab murid dalam belajar
8 - Bagian 8 : Adab kepada buku sebagai sarana ilmu
9 - Bagian 9 : Penutup (Adab Ahli Bait Nabi)