Terjemah "Adabul 'Ulama' wal Muta'allimin" karya As-Sumhudi & Maulana 'Alamul Hajar al-Yamani - Bag. 3/9



[2] ADAB GURU DALAM MENGAJAR

Dalam masalah ini, juga ada 12 adab yang mesti diperhatikan.

Pertama
Tatkala hendak mengajar, maka seyogyanya ia bersuci dari hadats dan junub, membersihkan diri, memakai wewangian, serta mengenakan pakaian terbaik yang ia miliki dan patut sesuai zamannya. Dengan semua itu ia bermaksud untuk memuliakan ilmu dan mengagungkan syari'at.
Dikisahkan bahwa jika orang-orang berdatangan untuk mendengarkan hadits, maka Imam Malik segera mandi, memakai wewangian dan mengenakan baju-baju baru yang beliau miliki, memasang mantel luarnya pada kepalanya, kemudian duduk pada tempat yang tersedia, dan dupa wangi terus dinyalakan di ruangan itu sampai majlis beliau selesai. Beliau berkata, "Saya ingin mengagungkan hadits Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam."
Al-Khathib al-Baghdadi meriwayatkan sebuah syair yang berasal dari 'Ali, bahwa beliau berkata: "Perbaharuilah bajumu yang engkau kenakan; sebab dia adalah perhiasan seorang pria sejati yang dengannya ia dimuliakan dan dihormati; Tinggalkanlah sikap tawadhu' dalam berpakaian karena itu lebih pantas bagimu; sebab pada dasarnya Allah mengetahui apa yang ditutupi dan disembunyikan; Kusutnya bajumu tidak akan menambahkan kedekatan kepada Allah; jika engkau adalah seorang hamba yang penuh maksiat; Dan megahnya bajumu tidak akan membahayakanmu; setelah engkau takut kepada Allah dan menghindari hal-hal yang Dia haramkan."
Kemudian hendaknya ia mengerjakan shalat istikharah dua rakaat, jika saat itu bukan waktu yang makruh untuk mengerjakan shalat. Dianjurkan baginya untuk mengkhususkan satu waktu tertentu dalam sehari guna mengerjakan shalat istikharah, dilanjutkan dengan berdoa:
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ، فَإِنَّكَ تَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ، وَتَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ اْلغُيُوْبِ، اَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ جَمِيْعَ مَا أَتَحَرَّكُ فِيْهِ وَأَنْطِقُ بِهِ فيِ حَقِّيْ وَفيِ حَقِّ غَيْرِيْ، وَجَمِيْعِ مَا يَتَحَرَّكُ فِيْهِ غَيْرِيْ وَيَنْطِقُ بِهِ فيِ حَقِّيْ وَحَقِّ أَهْلِي وَوَلَدِيْ وَمَا مَلَكَتْ يَمِيْنِيْ، مِنْ سَاعَتِيْ هَذِهِ إِلىَ مِثْلِهَا مِنَ اْلغَدِ، خَيْرٌ لِيْ فيِ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ فَاقْدِرْهُ لِيْ وَيسِّرْهُ لِيْ، ثُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْهِ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ جَمِيْعَ مَا أَتَحَرَّكُ فِيْهِ وَأَنْطِقُ بِهِ فيِ حَقِّيْ وَفيِ حَقِّ غَيْرِيْ، وَجَمِيْعِ مَا يَتَحَرَّكُ فِيْهِ غَيْرِيْ وَيَنْطِقُ بِهِ فيِ حَقِّيْ وَحَقِّ أَهْلِي وَوَلَدِيْ وَمَا مَلَكَتْ يَمِيْنِيْ، مِنْ سَاعَتِيْ هَذِهِ إِلىَ مِثْلِهَا مِنَ اْلغَدِ، شَرٌّ لِيْ فيِ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ، وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ فََاصْرِفْهُ عَنِّيْ وَاصْرِفْنِيْ عَنْهُ وَاقْدِرْ لِيْ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ رَضِنِيْ بِهِ
Artinya: "Ya Allah, sungguh aku mohon Engkau pilihkan bagiku dengan ilmu-Mu, aku mohon kekuatan dari-Mu dengan kuasa-Mu, aku mohon dari karunia-Mu yang agung, sesungguhnya Engkau Mengetahui sedangkan aku tidak tahu, Engkau Berkuasa sedangkan aku tidak kuasa, Engkaulah yang Maha Mengetahui terhadap perkara-perkara yang ghaib. Ya Allah, bila Engkau mengetahui bahwa semua yang akan aku lakukan maupun ucapkan, baik dalam kaitan hakku maupun hak orang lain, dan semua yang akan dikerjakan serta diucapkan orang lain, baik dalam kaitan hakku, hak keluargaku, hak anakku dan budak yang kumiliki, sejak saat sekarang ini sampai waktu yang sama esok hari, adalah baik bagi diriku dalam agamaku, kehidupanku dan kesudahan nasibku, maka takdirkanlah itu bagiku, mudahkanlah, dan berikanlah keberkahan kepadaku di dalamnya. Dan bila Engkau mengetahui bahwa semua yang akan aku lakukan maupun ucapkan, baik dalam kaitan hakku maupun hak orang lain, dan semua yang akan dikerjakan serta diucapkan orang lain, baik dalam kaitan hakku, hak keluargaku, hak anakku dan budak yang kumiliki, sejak saat sekarang ini sampai waktu yang sama esok hari, adalah buruk bagi diriku dalam agamaku, kehidupanku dan kesudahan nasibku, maka hindarkanlah ia dariku, dan hindarkan pula aku darinya, kemudian takdirkanlah kebaikan bagiku dimanapun dia adanya, kemudian buatlah aku ridha kepadanya."
Tatacara seperti ini, meskipun tidak ada dalam hadits-hadits, namun ia bersesuaian dengan keumuman anjuran untuk mengerjakan shalat istikharah, seperti dalam hadits: "Bila salah seorang dari kalian berhasrat untuk mengerjakan suatu perkara, maka hendaklah ia mengerjakan shalat sunnah dua rakaat." – Al-Hadits.
Dulu orang-orang jahiliyah mempergunakan undian dengan anak panah atau yang sejenis itu, lalu Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam menggantikan kebiasaan mereka dengan sesuatu yang di dalamnya mengandung unsur tauhid, perasaan butuh kepada Allah, mengandung makna 'ubudiyah (peribadatan), tawakkal, permohonan bimbingan dan keberuntungan, mengembalikan urusan kepada Dzat yang di tangan-Nya ketetapan segala kebaikan dan terlaksananya segenap permohonan.
Kemudian hendaknya ia berniat untuk menyebarkan dan mengajarkan ilmu, menebarkan faedah-faedah syar'iyah, menyampaikan hukum-hukum Allah yang dia telah diberi amanah untuk itu dan juga disuruh untuk menjelaskannya. Hendaknya ia juga berniat untuk menambah ilmunya, menampakkan kebenaran, merujuk kepada al-haqq, berkumpul untuk mengingat Allah, mengucapkan doa keselamatan kepada kawan-kawannya sesama kaum muslimin, serta mendoakan generasi terdahulu yang shalih dari umat ini.
Dikisahkan bahwa sebagian dari ulama' itu ada yang menulis sampai kaku dan penat tangannya. Ia lalu meletakkan penanya dan bersyair, "Jika saja air mata ini mengalir deras tumpah-ruah; namun bukan karena malamku ini, niscaya ia adalah air mata yang sia-sia belaka."
Ini termasuk dalam firman Allah dalam QS al-Mu'minun: 60-61.
"Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka. Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya."
Al-Hasan berkata, "Mereka mengerjakan amal-amal kebajikan dan menyangka bahwa itu tidak akan diterima."

Kedua
Saat keluar rumah, hendaknya membaca doa yang diriwayatkan dari Rasulullah, yakni:
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ، أَوْ أَزِلَّ أَوْ أُزَلَّ، أَوْ أَظْلِمَ أَوْ أَظْلَمَ، أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عَلَيَّ، عَزَّ جَارُكَ وَجَلَّ ثَنَاؤُكَ، وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ
Artinya: "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari tersesat atau disesatkan; dari tergelincir atau digelincirkan; dari menzhalimi atau dizhalimi; dari melakukan kebodohan atau dibodohi orang lain; agung perlindungan-Mu dan mulia sanjungan-Mu; dan tiada ilah selain Engkau."
Kemudian membaca doa:
بِسْمِ اللهِ وَبِاللهِ، حَسْبِيَ اللهُ، تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ، لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ، اَللَّهُمَّ ثَبِّتْ جَنَانِيْ وَاَدِرِ الْحَقَّ عَلَى لِسَاِنيْ
Artinya; "Dengan menyebut nama Allah dan demi Allah, cukuplah Allah bagiku, aku bertawakkal kepada-Nya, tidak ada daya dan kekuatan kecuali atas izin-Nya yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Ya Allah teguhkanlah hatiku dan edarkanlah kebenaran pada lisanku."
Dan hendaknya ia senantiasa berdzikir hingga sampai di majelis kajian yang dituju. Sesampainya disana, hendaklah mengucap salam kepada orang-orang yang hadir dan mengerjakan shalat sunnah dua rakaat, kecuali di waktu-waktu yang makruh; tetapi jika majelis itu adalah masjid maka sangat dianjurkan untuk shalat sunnah kapan pun waktunya; diiringi dengan doa agar mendapat taufiq, pertolongan dan penjagaan dari Allah; lalu duduk menghadap kiblat, berdasarkan hadits bahwasanya "majelis yang paling mulia adalah yang menghadap kiblat". – Diriwayatkan oleh Abu Ya'la dan ath-Thabarani dalam al-Ausath yang bersumber dari Ibnu 'Umar secara marfu'; dan diriwayatkan pula oleh beliau dalam al-Kabir yang serupa itu, bersumber dari Ibnu 'Abbas secara marfu' juga.
Hendaknya ia duduk dengan tenang, anggun, tawadhu', khusyu', dengan bersila atau cara duduk lain yang pantas dan sopan. Jangan duduk secara iq'aa', yakni duduk dengan cara kedua telapak kaki ditegakkan. Jangan duduk gelisah dan terus-menerus mengubah posisi. Jangan meletakkan salah satu kaki diatas kaki yang lain. Jangan menyelonjorkan kedua kaki atau salah satunya dengan tanpa alasan yang jelas. Jangan bersandar dengan kedua tangan ke samping kiri-kanan atau ke belakang. Hendaklah ia menghindari posisi merangkak serta berpindah-pindah dari tempatnya semula. Kedua tangan jangan bergerak yang tidak perlu atau dianyam. Kedua mata jangan melirik kesana-kemari tanpa ada perlunya. Hindarilah banyak bergurau dan tertawa, karena hal itu mengurangi kewibawaan dan menjatuhkan kehormatan, sebagaimana pernah dikatakan, "Barangsiapa yang suka bergurau maka ia akan dianggap enteng, dan barangsiapa yang memperbanyak melakukan suatu perkara maka dirinya akan diidentikkan dengan hal itu."
Hendaknya ia tidak mengajar dalam keadaan lapar, haus, berduka, marah, mengantuk atau gelisah. Jangan mengajar dalam suasana dingin yang menyiksa atau panas yang meresahkan. Sebab, bisa jadi ia menjawab pertanyaan atau memberikan fatwa yang tidak tepat, dan dikarenakan pada umumnya pikiran tidak bisa lurus dan sempurna jika disertai oleh kondisi-kondisi ekstrim seperti tersebut diatas.

Ketiga
Hendaklah duduk di tempat yang mudah dilihat oleh seluruh yang hadir, disertai penghormatan yang selayaknya kepada para ahli ilmu, pinisepuh, orang-orang baik dan terpandang. Hendaknya dia memuliakan mereka sesuai dengan kedudukannya masing-masing, yakni dari sisi kepemimpinan dalam agama, dan bersikap lembut kepada orang-orang lain selebihnya. Muliakan mereka dengan ucapan salam yang baik, wajah yang cerah dan penghormatan yang istimewa. Jangan enggan untuk berdiri memberi penghormatan kepada tokoh-tokoh terpandang di kalangan kaum muslimin, sebab dalam masalah ini banyak terdapat riwayat dimana para ulama' dan murid-muridnya berdiri memberi penghormatan.
Hendaknya ia membangi perhatian dan menghadapkan wajah secara sewajarnya kepada seluruh hadirin sesuai kebutuhan. Hendaknya ia memberikan motivasi dan dorongan kepada orang yang berbicara, bertanya atau berdiskusi dengannya dalam suatu persoalan dengan cara memberi perhatian lebih dan menghadap ke arahnya, meskipun dia seorang anak kecil dan lemah. Sebab, jika tidak, maka hal itu termasuk tindakan orang-orang yang tiran dan sombong.

Keempat
Membuka pelajarannya dengan membaca sebagian dari ayat-ayat Al-Qur'an untuk memperoleh berkah dan keberuntungan, sebagaimana biasanya. Apabila hal itu merupakan sesuatu yang diharuskan di madrasah yang bersangkutan, maka patuhilah aturan tersebut. Lalu meminta perlindungan kepada Allah dari syetan yang terkutuk (membaca ta'awudz), basmalah, pujian kepada Allah (tahmid), bershalawat kepada Nabi, memohonkan keridhaan bagi para imam kaum muslimin dan guru-gurunya, juga berdoa bagi dirinya sendiri, para hadirin, orangtua mereka dan kaum muslimin seluruhnya. Semua itu dia lakukan dengan berdiri di tempatnya, yakni bila dia mengajar di madrasah atau sejenisnya, dengan harapan agar maksud dan tujuannya tercapai.

Kelima
Jika dalam majelis itu jumlah pelajaran lebih dari satu, maka dahulukanlah pelajaran yang paling penting dan mulia kedudukannya menurut syari'at, kemudian disusul oleh peringkat di bawahnya. Maka mulailah dengan tafsir al-Qur'an, kemudian hadits, kemudian ushuluddin (pembahasan masalah akidah), kemudian ushul fiqh, kemudian (fiqh) berdasar madzhab tertentu (yang dipilih), kemudian pembahasan masalah khilaf (perbedaan pendapat dalam fiqh), kemudian nahwu (tata bahasa Arab) atau ilmu debat (al-jadal).
Dalam mengajar, hendaknya ia menyambungkan pembicaraan yang seharusnya disambung, dan berhenti pada tempatnya berhenti atau pada akhir setiap pembicaraan. Jangan menyebutkan suatu masalah yang samar-samar lalu menunda penjelasannya sampai pertemuan berikutnya. Sebaiknya ia menjelaskan suatu masalah secara utuh atau tidak usah menyebutkannya samasekali. Jangan suka memperpanjang pelajaran sampai kadar membosankan atau memperpendeknya sehingga melewatkan banyak hal penting. Perhatikanlah kemaslahatan hadirin dalam masalah memperpanjang atau meringkas pelajaran ini. Jangan membahas suatu tingkatan persoalan atau membicarakan suatu tambahan informasi melainkan pada waktu dan tempat yang tepat. Artinya, jangan mempercepat atau menunda pembicaraan suatu masalah kecuali jika ada alasan-alasan serta kemaslahatan tertentu yang mendesak dan mengharuskannya.

Keenam
Jangan mengeraskan suara melebihi yang diperlukan, jangan pula merendahkannya sehingga tidak bisa ditangkap dengan sempurna maksudnya. Dalam kitab al-Jaami', al-Khathib al-Baghdadi meriwayatkan bahwa Nabi shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya Allah menyukai suara yang pelan dan membenci suara yang keras."
Sebaiknya suara seorang 'alim tidak melampaui ruangan atau majelis tempatnya mengajar, tetapi tidak pula menyulitkan para hadirin untuk mendengarkannya; kecuali bila dalam majelis itu ada salah seorang hadirin yang pendengarannya kurang baik, sehingga mengeraskan suara tidak mengapa dalam hal ini sekadar mencukupi keperluan orang tersebut.
Jangan berbicara sambung-menyambung terlalu cepat, namun berbicaralah dengan intonasi tenang, sistematis dan perlahan, sehingga dia sendiri dan pendengarnya punya kesempatan untuk berpikir. Diriwayatkan bahwa cara berbicara Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam adalah bagian demi bagian, sehingga pendengarnya dapat memahami apa yang beliau maksud. Terkadang beliau mengulangi kalimatnya sampai tiga kali, dengan tujuan agar dapat dimengerti.
Bila ia telah menyelesaikan satu bagian atau persoalan dari pelajarannya, maka sebaiknya ia diam sesaat supaya orang-orang yang memiliki ganjalan di hatinya mempunyai kesempatan untuk mengungkapkannya. Sebab, sebagaimana akan kami paparkan – insya-Allah – dalam bab Adab Seorang Murid, bahwa tidak layak bagi murid untuk memotong kata-kata gurunya. Oleh karenanya, jika guru tidak diam sesaat seperti ini, bisa jadi manfaat penting yang seharusnya dapat diwujudkan justru akan terabaikan.

Ketujuh
Hendaknya seorang guru menjaga majelis pelajarannya dari kegaduhan, sebab kegaduhan itu merusak, juga dari suara-suara keras tidak terkendali serta arah pembicaraan yang simpang-siur.
Ar-Rabi' bin Sulaiman menuturkan, "Apabila seseorang mendebat Imam Syafi'i dalam suatu persoalan kemudian mulai merembet kemana-mana, maka beliau berkata: 'Kita cukupkan sampai disini dulu masalah ini, nanti kita lanjutkan kembali apa yang Anda kehendaki itu.'
Hendaknya ia bersikap lembut dalam menghentikan kecenderungan semacam itu sejak ia mulai terlihat, sebelum menyebar luas dan emosi hadirin tak terkendali. Ingatkan hadirin tentang tidak disukainya (karaahah, makruuh) debat-kusir, terlebih-lebih setelah kebenaran itu tampak nyata; dan bahwa maksud dari diselenggarakannya majelis pertemuan itu adalah untuk menampilkan kebenaran, menuju kebeningan hati dan memperoleh informasi yang berguna. Selain itu, sangat tidak layak bagi orang berilmu untuk memperturutkan nafsu bersaing dan bercekcok satu sama lain, sebab hal itu merupakan penyebab timbulnya permusuhan dan kebencian. Sekali lagi harap diingat bahwa maksud diselenggarakannya majelis pertemuan itu adalah semata-mata mengharap ridha Allah ta'ala, demi meraih faedah di dunia dan akhirat kelak. Ingatlah firman Allah dalam QS al-A'raf: 8.
"Agar Allah menetapkan yang haq (Islam) dan membatalkan yang batil (syirik) walaupun orang-orang yang berdosa (musyrik) itu tidak menyukainya."
Dari ayat ini dapat dipahami bahwasanya keinginan untuk membatalkan yang haq dan menetapkan yang batil adalah sifat jahat serta dosa, sehingga kita harus benar-benar hati-hati dalam masalah ini.

Kedelapan
Menegur murid yang melampaui batas dalam pembelajaran, atau menampakkan kebengalan dan kekurangajaran (suu'ul adab), atau enggan menerima kebenaran setelah tampak nyata, atau berteriak-teriak tanpa ada perlunya, atau menampakkan sikap kurang ajar kepada orang yang hadir maupun tidak, atau bersikap meninggikan diri di hadapan orang lain yang lebih utama darinya, atau tidur, atau berbicara sendiri dengan temannya, atau tertawa-tawa, atau melecehkan salah seorang hadirin lainnya, atau melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan adab belajar dalam suatu majelis maupun halaqah – hal ini insya-Allah akan kami paparkan lebih rinci pada tempatnya nanti – dengan syarat jangan sampai teguran itu justru menimbulkan mafsadah yang lebih parah.
Hendaknya ia mempunyai seorang asisten yang cerdik, cerdas serta berpengalaman sehingga dapat membantu menertibkan para hadirin, turut campur mengatur para hadirin sesuai dengan kedudukan mereka masing-masing, membangunkan mereka yang tidur, 'memberi perhatian' kepada orang yang meninggalkan apa yang seharusnya dilakukan atau sebaliknya melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan, juga menyuruh untuk mendengarkan pelajaran dan memperhatikannya.
Kesembilan
Hendaknya ia bersikap adil dan tidak pilih kasih dalam membahas pelajaran dan berbicara. Juga bersedia mendengarkan pertanyaan dari arah datangnya meskipun berasal dari anak kecil. Jangan merasa gengsi untuk mendengar pertanyaan itu karena akan menyebabkan lepasnya faedah yang lebih besar. Jika penanya kesulitan untuk memfokuskan pokok permasalahan atau bingung memilih kata-kata yang tepat, baik karena malu atau keterbatasan pemikiran, sementara pengertian umumnya sudah dapat ditangkap, maka dia membantunya untuk mengungkap isi pikirannya, memperjelas maksud pertanyaannya dan menolak pandangan orang lain yang keliru terhadapnya. Kemudian dia menjawab berdasar apa yang diketahuinya atau menawarkan kepada orang lain untuk menjawabnya terlebih dahulu.
Hendaknya ia bermaksud memberi nasihat, bimbingan dan mencari keselamatan lewat apa yang diucapkannya; dimana kemanfaatan itu sedapat mungkin dirasakan oleh semua orang.
Hendaknya ia berbicara kepada setiap orang sesuai dengan kadar akal dan pemikiran mereka masing-masing. Maka, jika ditanya dia menjawab dengan menyinggung hal-hal yang selaras dengan kondisi penanya bersangkutan. Usahakan jawaban itu memuaskan penanya.
Bila ia ditanya tentang suatu persoalan yang tidak diketahuinya, maka dia menjawab: "saya tidak tahu" atau "saya tidak mengerti". Diantara tanda ilmu adalah jika ditanya tentang sesuatu yang tidak dimengerti maka dijawabnya: "saya tidak tahu" atau "Allah lebih tahu (wallahu a'lam)". Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas'ud berkata, "Wahai manusia, barangsiapa yang memiliki ilmu tentang sesuatu makna hendaklah ia mengatakannya; dan barangsiapa yang tidak memiliki ilmunya maka hendaklah ia mengatakan: 'Allah lebih tahu'; karena sesungguhnya diantara tanda ilmu adalah mau mengatakan 'Allah lebih tahu' terhadap sesuatu yang tidak diketahui."
Sebagian dari ulama' salaf berkata, "(Mengatakan) saya tidak tahu adalah setengah ilmu."
Ibnu 'Abbas berkata, "Jika seorang 'alim salah mengucapkan 'saya tidak tahu' maka perkataannya itu sudah benar."
Ada yang mengatakan, "Sebaiknya seorang 'alim mewariskan (keberanian) mengucapkan 'saya tidak mengerti' kepada murid-muridnya, karena banyaknya apa yang sudah diucapkannya."
Ketahuilah bahwa perkataan seseorang "saya tidak mengerti" ketika ia ditanya sesungguhnya tidak meruntuhkan harga dirinya sebagaimana disangka oleh sebagian orang bodoh, sebab seseorang yang kuat dan otoritatif pun tidak mengapa jika ia tidak mengetahui beberapa persoalan. Bahkan sebaliknya perkataannya "saya tidak mengerti" itu justru akan mengangkat posisinya, sebab hal ini menjadi petunjuk terhadap ketinggian martabatnya, kuatnya agamanya, ketaqwaan dalam hatinya, kesucian hatinya, kesempurnaan pengetahuannya dan baiknya dia dalam memastikan segala sesuatu. Kami telah menceritakan kisah-kisah semacam itu dari para ulama' salaf.
Justru orang yang enggan mengucapkan "saya tidak mengerti" adalah mereka yang lemah komitmen beragamanya dan sedikit pengetahuannya, sebab ia merasa takut jika martabatnya jatuh di mata para pendengarnya, sementara dia tidak merasa takut jika martabatnya jatuh di hadapan Allah Penguasa semesta alam. Ini jelas merupakan kejahilan dan kerapuhan dalam beragama. Bisa jadi kekeliruannya itu akan menjadi terkenal dimana-mana, sehingga ia justru terjerumus ke dalam masalah yang dihindarinya dan diidentikkan oleh masyarakat luas dengan sesuatu yang sebenarnya ia berusaha berhati-hati di dalamnya.
Allah sendiri telah mendidik (ta'dib) para ulama' dengan kisah Musa bersama Khidhr 'alaihimas salaam, pada saat Musa tidak mengembalikan ilmu kepada Allah 'azza wa jalla tatkala beliau ditanya, "Adakah di muka bumi ini seseorang yang lebih berilmu dibanding Anda?"

Kesepuluh
Bersikap santun dan simpatik kepada orang baru yang tampak hadir dalam majelis, agar dia merasa tenteram, sebab setiap orang yang baru datang pasti merasa kurang nyaman. Jangan berlebihan memandangi dan meliriknya – karena merasa asing dan belum kenal – sehingga ia merasa malu.
Bila ada seseorang yang terpandang datang bergabung, sedangkan ia sudah mulai membahas suatu persoalan, maka sebaiknya ia menahan diri sejenak menunggu sampai orang tersebut duduk. Bila suatu permasalahan telah selesai dibahas sedang tokoh tersebut datang belakangan, maka sebaiknya masalah itu diulang kembali khusus sebagai penghormatan baginya, atau paling tidak diberikan satu ulasan ringkas tentang pokok-pokok isi kandungannya. Jika seorang yang faqih datang bergabung sedangkan masalah yang sedang dibahas tinggal tersisa sedikit lagi, sementara jamaah yang ada beramai-ramai berdiri untuk menghormatinya sampai ia tiba di tempat duduknya, maka hendaknya sisa pembahasan itu ditunda sejenak penyampaiannya; silakan diisi dengan mencoba melakukan analisis sendiri atau yang lainnya, menunggu sampai faqih tersebut duduk; kemudian ulangi sekali lagi pokok pembahasannya atau lanjutkan sisanya. Hal ini dimaksudkan supaya faqih yang baru datang tersebut tidak merasa malu ketika jamaah beramai-ramai berdiri menghormatinya dan mempersilakannya duduk.

Kesebelas
Biasanya, para guru menutup pelajarannya dengan kalimat penutup tertentu seperti wallahu a'lam (dan Allah lah yang lebih mengetahui). Demikian pula seorang mufti ketika mengakhiri jawabannya. Namun, lebih baik lagi jika sebelum itu diakhiri dengan kata-kata lain yang mengisyaratkan bahwa pelajaran telah usai, seperti: "ini adalah penutupnya" atau "bagian selanjutnya insya-Allah akan kita bahas pada pertemuan lain", atau kalimat lain yang serupa. Hal ini dimaksudkan agar ucapannya "wallahu a'lam" menjadi dzikir murni, sekaligus juga dimaksudkan sesuai makna aslinya. Oleh karena itu pula seyogyanya memulai setiap pelajaran dengan basmalah dan hamdalah, demikian pula setiap kali memulai jawaban sebuah fatwa. Ini dimaksudkan supaya mengingat Allah menjadi kebiasaan baginya baik di awal maupun di akhir suatu amalan.
Setelah majelis bubar, hendaknya guru menunggu beberapa saat di tempatnya, sebab dalam hal ini terkandung banyak faedah dan adab, baik bagi guru itu sendiri maupun murid-muridnya. Diantaranya adalah: supaya ia tidak ikut berdesakan dengan mereka; jika ada jamaah yang masih punya pertanyaan maka ia bisa mengajukannya; menghindari naik kendaraan bersama-sama dengan jamaah, jika kebetulan ia juga naik kendaraan; dan lain sebagainya.
Apabila bangkit dari majelis, dianjurkan kepadanya untuk berdoa sebagaimana yang diajarkan dalam sebuah hadits:
سُبْحَانَكَ الله، اَللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ
Artinya: "Maha Suci Engkau, ya Allah, dan aku memuji-Mu. Tiada ilah yang berhak disembah selain Engkau. Aku memohon ampunan kepada-Mu dan aku bertaubat pula kepada-Mu."

Keduabelas
Jangan menyelenggarakan suatu pengajaran jika ia tidak memiliki keahlian dalam bidang tersebut, jangan pula menyebut-sebut suatu materi yang tidak dikuasainya dengan baik, sebab hal itu dipandang sebagai mempermainkan agama dan melecehkan orang lain.
Rasulullah bersabda, "Seseorang yang mengenyangkan diri dengan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya, maka seakan-akan dia mengenakan pakaian kepalsuan dan kebohongan."
Dikisahkan dari asy-Syibli, "Barangsiapa yang tergesa-gesa tampil sebelum tiba saatnya, maka dia sedang menyambut datangnya kehinaannya."
Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata, "Barangsiapa yang mengejar kepemimpinan bukan pada waktu yang tepat, maka dia akan senantiasa berada dalam kehinaan seumur hidupnya."
Orang pintar adalah mereka yang memelihara dirinya dari terjerumus ke dalam perbuatan yang dianggap rendah, jika dibiasakan dianggap zhalim, dan bila terus-menerus dilakukan akan dianggap fasiq. Sebab, bila seseorang itu tidak ahli dalam suatu bidang maka ia akan diremehkan dan direndahkan. Tentu saja orang yang cakap tidak rela bila itu menimpa dirinya. Seorang yang berakal sempurna pun tidak akan mau membiasakan diri dalam hal seperti itu.
Kerusakan paling kecil yang ditimbulkan oleh pengajar yang tidak kompeten adalah para hadirin tidak akan mendapati jalan tengah yang adil saat mereka saling berbeda pendapat, sebab orang mengelola majelis itu pun tidak tahu mana yang benar sehingga ia dapat mendukungnya atau mana yang keliru sehingga dapat diluruskannya. Pernah dikatakan kepada Imam Abu Hanifah bahwa di masjid ada sebuah halaqah tempat didiskusikannya masalah-masalah fiqh; beliau kemudian bertanya, "Apakah ada yang memimpinnya?" Dijawab, "Tidak." Maka beliau berkomentar, "Mereka tidak akan memperoleh pemahaman apapun untuk selamanya!"
Sebagian ulama' ada yang memberi ulasan tentang seseorang yang mengajar sementara ia sebenarnya tidak layak untuk itu, "Banyak orang nekad lagi bodoh yang maju untuk mengajar; supaya ia disebut-sebut sebagai seorang yang faqih dan guru; Adalah hak bagi seorang 'alim untuk meneladani; (kisah) sebuah keluarga kuno yang terkenal dimana-mana; Mereka telah tergelincir dalam kesalahan dalam kadar yang sedemikian nyata kesalahannya; sehingga diibaratkan bahwa orang-orang yang bangkrut pun bahkan berani menawar berapa harga mereka." []