Terjemah "Adabul 'Ulama' wal Muta'allimin" karya As-Sumhudi & Maulana 'Alamul Hajar al-Yamani - Bag. 9/9


 
[8] PENUTUP

Bab ini khusus menuturkan tentang hal-hal yang seyogyanya diterapkan oleh Ahli Bait Nabi shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam, yakni adab-adab yang suci, akhlaq-akhlaq yang selaras dengan sunnah, dan cita-cita yang tinggi. Dalam masalah ini terdapat 5 pokok bahasan.

Pertama
Memfokuskan segenap cita-cita untuk meraih ilmu-ilmu syari'ah, terutama yang terkait dengan Kitabullah dan sunnah Rasulullah. Sebab, sudah barang tentu bahwa yang paling pantas dituntut untuk menguasainya adalah Ahli Bait Nabi. Generasi terdahulu dari kalangan ini pun telah menunjukkan sikap yang sama. Sesungguhnya ilmu-ilmu syariat tidaklah menjadi bersih dan tersebar luas kecuali bersumber dari anggota keluarga mereka. Jika demikian halnya, maka tidak logis jika mereka tidak mau memperhatikan ilmu-ilmu ini. Demikianlah keadaannya.
Ibnu 'Abbas bercerita, "Aku mencari ilmu, dan aku dapati bahwa ilmu itu paling banyak terdapat di kalangan kaum Anshar. Aku pernah mendatangi seseorang untuk bertanya kepadanya, dan dijawab bahwa ia sedang tidur. Aku pun membaringkan tubuh dengan berbantalkan pakaian luarku sampai ia keluar untuk shalat zhuhur. Dia pun bertanya, 'Sejak kapan engkau berada disini wahai putra paman Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam?" Aku menjawab, 'Sudah lama'. Dia berkata, 'Buruk sekali tindakanmu itu. Tidakkah engkau memberitahuku?' Aku menjawab, 'Saya ingin Anda keluar menemui saya setelah Anda menyelesaikan keperluan Anda.'"
Dalam riwayat lain, beliau bercerita, "Aku dapati bahwa kebanyakan hadits Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam terdapat di perkampungan kaum Anshar ini. Demi Allah, pernah aku mendatangi salah seorang dari mereka dan kemudian dikatakan bahwa ia sedang tidur. Andai aku mau, bisa saja aku minta ia dibangungkan. Tetapi aku membiarkannya begitu sampai ia keluar supaya aku dapat memperoleh haditsnya sedang ia dalam kondisi yang baik." – Hadits ini diriwayatkan oleh ad-Darimy dalam Musnad-nya.
Diriwayatkan dalam kitab ash-Shafwah yang bersumber dari Ibnu 'Abbas, bahwa beliau bertutur, "Tatkala Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam telah wafat, maka akupun berkata kepada seseorang dari kaum Anshar, 'Ayo kita bertanya kepada para sahabat Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam, sebab hari ini mereka masih banyak jumlahnya.' Orang itu menjawab, 'Duh, aneh sekali engkau ini, hai Ibnu 'Abbas. Apakah menurutmu orang-orang akan membutuhkanmu padahal di tengah-tengah mereka masih ada para sahabat Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam?' Maka akupun meninggalkannya dan mulai bertanya kepada para sahabat tentang hadits-hadits Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam. Bila aku mendengar berita bahwa ada sebuah hadits Rasulullah yang dimiliki oleh seseorang maka aku pun mengetuk pintu rumahnya, dan ternya ia sedang qailulah (tidur siang sejenak menjelang zhuhur). Maka akupun berbaring di depan pintunya, sampai ia keluar dan mendapatiku disana. Dia pun bertanya, 'Wahai putra paman Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam, apa keperluanmu datang kemari? Mengapa tidak engkau kirim utusan (untuk memanggilku) sehingga akupun mendatangimu?' Aku menjawab, 'Sebaliknya, engkau lebih berhak aku datangi.' Kemudian aku bertanya kepadanya tentang hadits. Sementara itu, laki-laki dari kaum Anshar itu mencapai umur panjang dan mendapatiku ketika dewasa, dan orang-orang sudah berkerumun di sekelilingku untuk bertanya kepadaku, maka dia pun berkata, 'Pemuda ini lebih cerdas dibanding aku.'
Riwayat yang senada juga disebutkan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Jaami', yang bersumber dari 'Ikrimah, dari Ibnu 'Abbas. Bedanya, dalam riwayat terakhir ini disebutkan, "...maka aku pun datang mengetuk pintu rumahnya, sementara ia sedang qailulah. Aku lantas berbaring dengan berbantalkan baju luarku di depan pintunya, sementara angin menghembuskan debu-debu kepadaku...", bagian selanjutnya dari cerita ini sama dengan riwayat lain.
Telah dituturkan pula sebelum ini kata-kata Ibnu 'Abbas, "Aku telah merendahkan diri sebagai seorang pencari ilmu, maka kini aku terhormat sebagai orang yang dicari ilmunya."
Sikap yang demikian pada akhirnya melimpahi kehidupan Ibnu 'Abbas dengan kemuliaan dan kebanggaan yang sempurna.
Dalam kitab al-Jaami', al-Khathib al-Baghdadi meriwayatkan dari asy-Sya'bi, bahwa Ibnu 'Abbas pernah menuntun hewan tunggangan yang sedang dikendarai oleh Zaid bin Tsabit, sehingga Zaid bertanya kepadanya, "Apakah (layak) engkau memegangi binatang tungganganku sementara engkau adalah putra paman Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam?" Ibnu 'Abbas menjawab, "Demikianlah kami memperlakukan para ulama'."
Al-Khathib juga meriwayatkan cerita lain yang bersumber dari al-Hasan (al-Bashry), bahwa Ibnu 'Abbas terlihat pernah memegangi binatang tunggangan Ubayy bin Ka'ab, sehingga ada yang bertanya kepadanya, "Anda adalah putra paman Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam, mengapa Anda mau memegangi tunggangan salah seorang pria dari kalangan Anshar?" Beliau pun menjawab, "Sesungguhnya orang yang sangat luas ilmunya itu sangat layak untuk diagungkan dan dimuliakan."
Sudah disebutkan pula kisah 'Ali bin al-Husain 'alaihimas salam yang datang menemui Zaid bin Aslam, lalu beliau duduk dan belajar darinya, sehingga dikatakan kepadanya, "Anda ini sayyid bagi semua orang dan yang paling utama di kalangan mereka, mengapa Anda pergi kepada budak ini dan duduk belajar kepadanya?" Maka beliau pun menjawab, "Ilmu itu diikuti dimana saja ia berada, pada siapa saja ia berada." Maksudnya, ilmu adalah sesuatu yang terhilang dari seorang mukmin sehingga ia layak memungutnya dimana pun ia mendapatinya.
'Ali bin Abi Thalib karrama-llahu wajhahu berkata, "Orang mulia (syarif) sejati adalah orang yang dimuliakan oleh ilmunya; kepemimpinan sejati adalah hak bagi orang yang bertaqwa kepada Rabb-nya; orang mulia (karim) sejati adalah orang yang memuliakan wajahnya dari (tersentuh) api neraka."
Tepat sekali apa yang dikatakan oleh Imru'ul Qays, "Meski asal keturunan kami mulia, tidak akan pernah sehari pun kami bersandar kepadanya; kami memang akan tetap menyandarkan nasab kami sebagaimana para pendahulu kami menyandarkan nasabnya; namun kami juga akan tetap beramal sebagaimana mereka beramal."
Muhammad an-Nafs az-Zakiyyah bin 'Abdillah bin al-Hasan al-Mutsanna bin al-Hasan as-Sibthi radhiya-llahu 'anhum berkata, "Aku mencari ilmu di perkampungan kaum Anshar, sampai-sampai aku pernah tertidur berbantal tangga di depan pintu rumah salah seorang dari mereka. Seseorang kemudian membangunkan aku dan berkata, 'Tuanmu sudah keluar untuk menunaikan shalat'. Tampaknya dia mengira bahwa aku adalah seorang budak dari pemilik rumah itu."

Kedua
Membersihkan hati dari segala kotoran, dendam, iri-dengki, akhlaq tercela, dan aqidah yang buruk, karena semua itu termasuk yang akan memadamkan cahaya hati. Allah ta'ala berfirman dalam QS al-Isra': 36.
"...sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya."
Selain itu, dengan kebersihan hati pula akan diperoleh kesiagaan jiwa untuk menerima dan mengingat ilmu, memahami hal-hal yang pelik dari suatu ilmu dan hakikat-hakikatnya yang rumit.
Telah dituturkan dalam Adab Seorang Murid bahwa salah seorang ulama' ada yang berkata, "Ilmu adalah shalat secara sembunyi-sembunyi, ibadah hati dan ber-taqarrub kepada Allah secara batin. Demikianlah, jika shalat yang merupakan ibadah fisik-lahiriah tidak sah kecuali dengan sucinya anggota badan dari hadats dan kotoran/najis, maka ilmu yang merupakan ibadah hati juga tidak akan sah kecuali dengan sucinya hati itu dari sifat-sifat kotor serta najisnya akhlaq yang rendah lagi tercela. Jika ilmu mendapati hati yang baik dan layak maka akan tampak nyatalah berkahnya dan tumbuh berkembang, sebagaimana tanah yang baik dan layak untuk ditanami makan tanamannya pun akan berkembang dan memberikan buahnya bila masanya tiba."
Kemudian, pasang niat yang baik dalam menuntut ilmu, yakni dalam rangka mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam, menghidup-hidupkan syari'at, memasukkan diri ke dalam silsilah (matarantai) ilmu yang berujung kepada Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam, yakni berupaya keras untuk memperoleh dua status (sebagai ahli ilmu dan Ahli Bait Nabi) sekaligus, kemudian supaya termasuk golongan penyampai wahyu Allah, hukum-hukum-Nya dan penerangan hati dari-Nya. Kami sudah memaparkan berbagai hal lain dalam masalah ini yang dapat dirujuk kembali dalam adab-adab guru dan murid di muka.
Hendaknya Anda senantiasa merenungkan dan mengingat masalah niat ini dengan perenungan yang jujur dan tulus. Al-Junaid berkata, "Tidak seorang pun yang berusaha meraih sesuatu dengan kesungguhan dan keseriusan kecuali ia akan mendapatkannya. Jika tidak dapat meraih seluruhnya, paling tidak ia akan mendapat sebagian darinya."
Abu Ya'la al-Maushili bersenandung, "Bersabarlah dari penatnya terjaga di waktu sahur, dan (bersabarlah) di sore hari dari desakan berbagai kebutuhan dan usia tua; jangan sampai lemah dan merasa bosan dalam mencari ilmu, sebab keberhasilan itu akan punah bersama kelemahan dan kebosanan; aku melihat pengalaman sepanjang zaman, bahwa kesabaran itu mendatangkan akibat yang terpuji; jarang sekali orang yang bersungguh-sungguh mengejar apa yang diinginkannya, dengan disertai kesabaran, kecuali ia akan keluar sebagai pemenang dan juara."
Jangan sampai mencari ilmu ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan duniawi, seperti jabatan, status sosial, kekayaan dan tampil terdepan dalam berbagai pertemuan. Jika demikian, maka akan sia-sialah amal, padamlah cahaya ilmu, segala kepenatan semasa belajar tidak lagi berguna, dan Anda pun akan termasuk orang yang tidak bisa mengambil manfaat dari ilmunya sendiri. Nabi shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam sendiri meminta perlindungan kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat.
Jangan sampai pula menjadikan ilmu sebagai alat untuk mengeruk dunia, padahal ilmu merupakan salah satu ibadah yang paling agung di sisi Allah dan seharusnya pula ilmu itu merupakan faktor yang paling kuat untuk memalingkan seseorang dari pesona-pesona duniawi.
***Terkait dengan uraian ini, kiranya relevan untuk kami kutip pernyataan Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihya' Ulumiddin, "Hal yang paling agung derajatnya bagi umat manusia adalah kebahagiaan abadi, dan perkara yang paling utama adalah sarana menuju kebahagiaan abadi itu. Sementara kebahagiaan tersebut tidak akan dicapai kecuali dengan ilmu dan amal shalih, dan amal itu sendiri tidak bisa dikerjakan kecuali dengan mengetahui tatacara pelaksanaannya. Pokok kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah ilmu. Jadi, ilmu adalah amalan yang paling utama." [pen.]

Ketiga
Menjauhi segala hal yang dinilai jelek oleh syari'at, sebab suatu kejelekan yang diperbuat oleh anggota Ahli Bait pasti terlihat jauh lebih jelek dibanding jika hal itu dikerjakan oleh orang lain.
Oleh karenanyalah al-'Abbas berpesan kepada putranya 'Abdullah radhiya-llahu 'anhuma, sebagaimana yang dicatat dalam Tarikh Dimasyqa, "Wahai anakku, sesungguhnya kebohongan itu (bila dilakukan oleh salah seorang) dari umat ini, maka ia tidaklah lebih buruk dibanding jika kebohongan itu datang dariku, darimu, atau Ahli Bait-mu. Wahai anakku, jangan ada sesuatu pun dari ciptaan Allah yang lebih engkau sukai selain ketaatan kepada-Nya, dan jangan ada yang lebih engkau benci selain kemaksiatan kepada-Nya; sesungguhnya Allah 'azza wa jalla akan menjadikan semua itu bermanfaat bagimu di dunia dan akhirat."
'Ali bin Abi Thalib 'alaihis salam berkata, "Seseorang tidak akan mencapai kesempurnaan iman sampai ia bisa lebih mengutamakan agamanya dibanding syahwatnya, dan tidak akan binasa sampai ia lebih mengutamakan syahwatnya dibanding agamanya."
Beliau juga berkata, "Barangsiapa yang selalu berusaha untuk bersikap istiqamah, maka ia akan selalu selamat."
Nasihat yang menyatukan seluruh pesan diatas adalah apa yang diwasiatkan oleh Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasalllam untuk Ahli Bait-nya agar bertaqwa kepada Allah dan senantiasa menaati-Nya.
Al-Hasan al-Mutsanna 'alaihis salam berkata, "Sungguh aku khawatir jika orang yang bermaksiat diantara kami akan dilipatduakan adzabnya, dan sungguh aku pun berharap agar orang yang berbuat baik diantara kami akan dilipatduakan pahalanya."
Dalam kitab al-Jaami', al-Khathib al-Baghdadi meriwayatkan hadits dari Jabir bin 'Abdillah: sesungguhnya Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya Allah menyukai akhlaq-akhlaq yang luhur dan membenci akhlaq-akhlaq yang rendah."
Beliau juga meriwayatkan dari al-Husain bin 'Ali radhiya-llahu 'anhuma, "Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam bersabda, 'Sesungguhnya Allah menyukai akhlaq-akhlaq yang luhur lagi mulia, dan membenci akhlaq-akhlaq yang rendah.'"
Beliau juga meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiya-llahu 'anhu, "Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam bersabda, 'Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlaq-akhlaq yang baik."
Tentu saja, orang yang paling dituntut untuk menerapkan akhlaq tersebut adalah Ahli Bait Nabi, sebab hal itu samadengan menjaga ketinggian status hubungan mereka dengan Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam, supaya kehormatan mereka di mata orang banyak tetap utuh, dan kemuliaan Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam tetap terpelihara; agar tiada peluang bagi satu lidahpun untuk mencela mereka; agar tiada jalan bagi seorangpun untuk memusuhi serta membenci mereka. Dan, orang yang paling dituntut untuk bersikap muru'ah adalah mereka yang dalam dirinya mengalir darah kenabian yang mulia.

Keempat
Tidak membanggakan asal-usul keturunan dan berlindung kepada keagungan nenek-moyang dengan tanpa berusaha mencari keutamaan-keutamaan dalam agama. Allah ta'ala berfirman dalam QS al-Hujurat: 13.
"...sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa..."
Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiya-llahu 'anhu bahwa beliau berkata, "Ditanyakan kepada Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam, 'Siapakah manusia yang paling mulia?' Beliau menjawab, 'Yang paling mulia diantara mereka di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa.' Para sahabat berkata, 'Bukan itu yang kami maksud.' Beliau bersabda lagi, 'Kalau begitu, manusia paling mulia adalah Yusuf putra Nabiyullah (Ya'qub) putra Nabiyullah (Ishaq) putra Khalilullah (Ibrahim).' Para sahabat berkata, 'Bukan itu maksud kami.' Beliau bersabda lagi, 'Apakah kalian bertanya tentang leluhur bangsa Arab (ma'aadin al-'arab)?' Mereka menjawab, 'Benar.' Beliau bersabda, 'Orang-orang terbaik di kalangan mereka adalah orang-orang terbaik dalam Islam, apabila mereka memahami agamanya (faqiih)."
Al-'Askari, al-Qudha'i dan lain-lain meriwayatkan dari al-A'masy: dari Abu Shalih: dari Abu Hurairah radhiya-llahu 'anhu: dari Nabi shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam, beliau bersabda, "Barangsiapa yang lambat amalnya, maka nasabnya tidak akan bisa menolongnya." Hadits ini juga dimuat dalam Shahih Muslim dalam beberapa hadits.
Ada lagi sebuah hadits dari Nabi shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam yang mengisyaratkan untuk menerapkan sikap tawadhu' dan menjauhkan segala bentuk kebanggaan, yakni sabda beliau, "Aku adalah putra seorang wanita yang biasa memakan dendeng."
***Di Jazirah Arab, dendeng atau daging yang diawetkan dengan cara diiris tipis-tipis dan dijemur di bawah terik matahari adalah makanan kaum miskin. Biasanya mereka memperolehnya secara cukup memadai di bulan-bulan haram, saat tibanya musim haji dan hari raya kurban. Daging itu diawetkan untuk persediaan makanan sampai setahun berikutnya, jika mencukupi. Kaum kaya hanya memakan daging segar, karena mereka memiliki cukup banyak ternak yang siap disembelih kapan saja, sementara kaum miskin tidak demikian. [pen.]
Beliau juga bersabda, "Aku ini hanyalah seorang hamba, yang makan seperti cara makan seorang hamba. Tenangkanlah dirimu (=jangan takut), karena aku ini bukanlah seorang raja. Aku ini hanyalah seorang hamba."
Ad-Darimy dan lain-lain meriwayatkan dari 'Iyadh bin Himar: dari Nabi shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam, beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah ta'ala mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap tawadhu' sehingga kalian tidak saling berbangga satu sama lain."
Terdapat banyak hadits beliau yang menganjurkan kepada Ahli Bait-nya untuk takut kepada Allah, bertaqwa dan taat kepada-Nya. Beliau juga memperingatkan mereka bahwa tidak ada seorang pun yang lebih dekat kepada beliau di hari kiamat nanti selain dengan membawa ketaqwaan. Beliau pun mengingatkan mereka agar jangan lebih mengutamakan dunia dibanding akhirat karena merasa aman dengan asal-usul nasabnya. Itu adalah tipuan yang melalaikan.
Sebagaimana terkandung dalam hadits riwayat Abu Hurairah radhiya-llahu 'anhu, bahwa tatkala diturunkan ayat wa andzir 'asyirataka al-aqrabiin (dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat), Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam memanggil kaumnya, dimulai panggilan secara umum dan kemudian beliau mengkhususkannya, "Wahai Bani Ka'ab bin Lu'ayy, selamatkan diri kalian dari api neraka! Wahai Bani Murrah bin Ka'ab, selamatkan diri kalian dari api neraka! Wahai Bani 'Abdu Symas, selamatkan diri kalian dan api neraka! Wahai Bani 'Abdul Muththalib, selamatkan diri kalian dari api neraka! Wahai Bani 'Abdu Manaf, selamatkan diri kalian dari api neraka! Wahai Bani Hasyim, selamatkan diri kalian dari api neraka! Wahai Fathimah, selamatkan dirimu dari api neraka! Sesungguhnya aku tidak punya apa-apa terhadap Allah yang bisa kuberikan untuk kalian, hanya saja kalian memiliki hubungan darah denganku, dan aku akan berusaha untuk terus menyambungnya." – Hadits ini diriwayatka oleh Muslim dalam Shahih-nya, dan juga oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, hanya saja dengan tanpa ada pengecualian di dalamnya.
Juga hadits dari Tsauban radhiya-llahu 'anhu: Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam bersabda, "Wahai Bani Hasyim, jangan sampai orang-orang selain kalian datang di hari kiamat nanti dengan membawa akhirat yang mereka rangkum dalam dada mereka, sementara kalian datang kesana dengan membawa dunia yang kalian pikul diatas punggung kalian. Aku tidak bisa berbuat sesuatu apapun bagi kalian terhadap Allah." – Hadits ini diriwayatkan oleh Abu asy-Syaikh dan Ibnu Hibban.
Kemudian hadits dari Mu'adz radhiya-llahu 'anhu, bahwa tatkala Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam mengirimnya bertugas ke Yaman, beliau keluar mengantarkan keberangkatannya seraya memberikan pesan-pesan, kemudian beliau berbalik ke Madinah seraya bersabda, "Sesungguhnya Ahli Bait-ku tidak beranggapan bahwa mereka adalah orang yang paling utama bagiku. Masalahnya bukan disitu. Sesungguhnya para waliku diantara kalian adalah orang-orang yang bertaqwa, siapapun dia dan di manapun berada." – Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan Abu asy-Syaikh.
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dengan lafazh, "Sesungguhnya manusia yang paling utama bagiku adalah orang-orang yang bertaqwa, siapapun dia dan di manapun berada."
Al-Fudhail bin Marzuq berkata, "Saya mendengar al-Hasan bin al-Hasan bin 'Ali bin Abi Thalib 'alaihim as-salam berkata kepada seseorang yang berlebihan mencintai Ahli Bait, 'Celaka kamu ini! Cintailah kami hanya karena Allah. Jika kami menaati Allah maka cintailah kami, dan bila kami mendurhakai Allah maka bencilah kami.' Orang itu menjawab, 'Sesungguhnya kalian mempunyai hubungan kekerabatan dengan Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam dan Ahli Bait beliau.' Al-Hasan menukas, 'Celaka kamu ini! Andai saja Allah menjadikan kekerabatan dengan Rasulullah shalla-llahu 'alihi wa aalihi wasallam itu bisa bermanfaat dengan tanpa amal ketaatan kepada-Nya, niscaya kekerabatan itu akan berguna pula bagi orang yang lebih dekat hubungannya dengan beliau dibanding kami, yakni ayah dan ibu beliau. Sungguh aku khawatir jika orang yang bermaksiat diantara kami akan dilipatduakan adzabnya. Dan, demi Allah, sungguh akupun berharap agar orang yang berbuat baik diantara kami akan dilipatduakan pahalanya." – Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Tha'i di penghujung hadits keempat dalam kitab Arba'in-nya.
Tepat sekali apa yang dikatakan oleh seseorang, "Sungguh manusia itu tidaklah bernilai kecuali dengan agamanya, maka jangan kau tinggalkan ketaqwaan dan hanya bersandar kepada nasab. Sungguh Islam telah memuliakan derajat Salman si orang Persia itu, sementara dia juga menjatuhkan si muyrik yang celaka Abu Lahab. Status sosial yang diwariskan turun-temurun itu nilai permatanya akan berharga bagi pemiliknya hanya sebagai upaya terakhir. Sebab, jika sebatang ranting tidak mengeluarkan buah, meski ia berpangkal pada cabang yang lebat buahnya, niscaya ia akan dijadikan sebagai kayu bakar."
Abul Aswad ad-Du'ali radhiya-llahu 'anhu berkata, "Ilmu adalah perhiasan dan kemuliaan bagi pemiliknya, maka carilah ia, niscaya engkau akan terbimbing kepada beraneka cabang ilmu dan adab. Tidak ada kebaikan pada seseorang yang mempunyai asal-usul (mulia) tetapi tidak mempunyai adab (=tidak berpendidikan). Betapa banyak orang mulia yang berteman dengan orang bodoh dan rendah (sehingga dikenal sebagai bodoh dan rendah pula). Senantiasalah berpuasa sehingga engkau akan dikenal seperti itu ketika ada yang menyebut-sebutnya. Dalam sebuah keluarga, bisa jadi leluhurnya adalah orang-orang terhormat, mereka dikenal sebagai para pemimpin, lalu (anak-anak) di belakang mereka hanyalah menjadi 'ekor'. Orang rendahan dan berasal dari keturunan hina yang berpendidikan pun bisa memperoleh kemuliaan dan derajat luhur dengan adabnya. Di kemudian hari, ia menjadi seorang mulia, hebat, terkenal, berani membuang muka (karena tidak menyukai sesuatu) dan mempunyai barisan pengawal di sekelilingnya. Ilmu adalah simpanan dan khazanah (perbendaharaan) yang tidak akan habis. Dialah sebaik-baik teman di saat tiada seorang pun menemani. Seringkali seseorang mengumpulkan harta tapi kemudian tidak bisa menikmatinya, meski hanya sedikit, dan berakhir sebagai orang yang dicampakkan oleh kehinaan dan perang. Orang yang berusaha membesarkan namanya selalu mengundang rasa iri dari orang lain, sementara ia sendiri tidak merasa aman jika nama baiknya dihapuskan dan bahkan dirusak. Wahai para pengumpul ilmu, itulah sebaik-baik simpanan. Dia tidak bisa disamai oleh permata maupun emas."
Al-Khathib al-Baghdadi juga meriwayatkan sebuah qashidah dari Ahmad bin 'Abdul Jalil, "Tidak mungkin seorang yang mulia itu sama dengan orang yang rendah. Sekali lagi, tidak. Orang yang cerdas pun tidak sama dengan orang dungu. Nilai seseorang itu ada pada apa yang paling baik yang bisa dikuasainya, (demikian) ketetapan dari Imam 'Ali."

Kelima
Menapaktilasi jalan hidup leluhur Ahli Bait dalam ketawadhu'an, kesantunan dan kesabaran menanggung derita, dengan senantiasa mengingat firman Allah dalam QS Luqman: 17.
"…dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)."
Demikian juga meneladani apa yang diamalkan oleh Nabi kita shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam dan para Nabi lainnya, yakni kesabaran menanggung derita, juga keteguhan memikul beban yang Allah amanahkan sampai saat kemenangan itu tiba.
Hendaknya pula anggota Ahli Bait Nabi senantiasa mengikuti para pendahulu mereka: dengan menapaktilasi jejaknya, menerapkan bimbingan dan cahaya yang mereka tunjukkan, meneladani kata-kata, perbuatan, kezuhudan, ke-wara'-an, juga kesungguhan mereka untuk mengenal Rabb-nya 'azza wa jalla. Sebab, mereka adalah orang-orang yang paling dituntut untuk itu.
Ad-Daulabi dan Ibnu 'Abdil-Barr meriwayatkan bahwa Mu'awiyah (bin Abi Sufyan) berkata kepada Dhirar ash-Shada'i, "Gambarkan sosok 'Ali kepadaku!" Dia menjawab, "Maaf, aku tidak bisa." Mu'awiyah berkata lagi, "Sungguh, gambarkan sosoknya kepadaku!" Dia kemudian berkata, "Jika memang harus begitu, maka demi Allah, 'Ali adalah sosok yang memiliki daya tahan luar biasa dan sangat kuat. Sangat jelas dalam berbicara dan adil dalam memutuskan perkara. Ilmu terpancar deras dari sisi-sisinya dan hikmah berbicara dari sekelilingnya. Tidak merasa tenang terhadap dunia dan segala pesonanya, tetapi merasa akrab dengan keheningan malam dan segala misterinya. Kuat ungkapan-ungkapannya dan berpikiran jauh ke depan. Suka mengenakan pakaian yang pendek dan memakan makanan yang keras lagi kasar. Di tengah-tengah kami beliau seperti salah seorang dari kami sendiri (=tidak ada bedanya). Beliau akan menjawab jika kami bertanya, dan mau memberi penjelasan jika kami memintanya. Sedangkan kami, meskipun beliau berusaha mendekat kepada kami dan kami pun dekat dengannya, maka kami hampir-hampir saja tidak pernah (memulai) berbicara kepadanya karena kami sangat segan kepadanya. Sangat menghormati orang yang taat beragama dan dekat dengan kaum miskin. Orang yang kuat tidak akan bisa berharap (jika ia) berbuat salah, dan orang lemah tidak akan putus asa dari keadilannya. Saya bersaksi, sungguh saya pernah melihatnya dalam salah satu peristiwa di masa hidupnya, saat itu malam telah larut dan bintang-bintang pun telah tenggelam, beliau tengah memegang jenggotnya, tampak gelisah seperti kegelisahan orang yang menyerah (kalah dalam perang) dan menangis seperti orang yang tengah berduka, seraya berkata, 'Hai dunia, perdayailah orang selain aku! Kepadaku engkau menyerahkan diri atau kepadaku engkau merindukan? Mustahil, mustahil, sebab aku telah menceraikanmu tiga kali, tidak ada lagi rujuk setelahnya. Umurmu pendek, tetapi bahayamu teramat banyak. Aah...aah...', karena merasa betapa sedikitnya bekal, betapa jauhnya perjalanan dan betapa ngerinya jalan yang harus ditempuh." Maka, Mu'awiyah pun menangis dan berkata, 'Semoga Allah mengasihi Abul Hasan (yakni 'Ali), demi Allah, sungguh dia memang seperti itu.'"
Adapun ketawadhu'an, kezuhudan dan ke-wara'-an beliau sungguh terlalu banyak untuk disebut, sampai-sampai beliau pernah berkata, "Aku telah berulang-kali menambalkan baju besiku ini, sampai-sampai aku merasa malu kepada tukang tambalnya."
Diriwayatkan dari Muhammad bin 'Ali 'alaihimas salam, bahwa al-Hasan 'alaihis salam berkata, "Aku merasa malu kepada Rabb-ku jika aku menemui-Nya dan aku tidak berjalan ke rumah-Nya." Maka beliau pun berjalan kaki sebanyak 20 kali dari Madinah ke Baitullah (Makkah).
'Ali bin Zaid berkata, "Al-Hasan 'alaihis salam naik haji sebanyak 15 kali dengan berjalan kaki, sementara para pembesar naik kendaraan dengan dituntun menyertai beliau. Beliau mengeluarkan sebagian hartanya sebanyak dua kali, dan membagi-bagikannya - karena Allah – sebanyak tiga kali." – Riwayat ini terdapat dalam kitab ash-Shafwah.
Mush'ab bin az-Zubair berkata, "Al-Husain bin 'Ali 'alaihimas salam naik haji sebanyak 25 kali dengan berjalan kaki." – Riwayat ini dikeluarkan oleh Ibnu 'Abdil-Barr dan al-Baghawi dalam Mu'jam-nya.
Diriwayatkan, ada yang mengatakan kepada al-Husain 'alaihis salam bahwa Abu Dzarr berkata, "Kefaqiran lebih aku sukai dibanding kekayaan, dan sakit lebih aku sukai dibanding sehat." Maka al-Husain menanggapi, "Semoga Allah mengasihi Abu Dzarr. Kalau saya, maka akan saya katakan: barangsiapa yang bersandar kepada pilihan Allah yang terbaik baginya, maka dia tidak akan berpikir bahwa dia berada dalam suatu keadaan yang tidak dipilihkan Allah baginya."
Dalam kitab Ma'aalim al-'Atrah ath-Thahirah, Ibnul Akhdhar meriwayatkan dari 'Abdullah bin Abi Sulaiman, "Jika 'Ali bin al-Husain 'alaihis salam berjalan maka tangannya tidak melebihi pahanya, dan beliau tidak menyerempetkan tangannya ke pahanya itu. Jika beliau bangkit untuk mengerjakan shalat, maka badannya gemetar. Ada yang bertanya, 'Anda kenapa?' Beliau menjawab, 'Tidakkah kalian tahu, di hadapan siapa aku akan berdiri dan bermunajat?'"
Musa bin Tharif berkata, "Ada seseorang yang pernah memberikan sesuatu kepada al-Husain bin 'Ali 'alaihis salam, dan beliau telah lupa kepadanya. Suatu saat orang itu berkata kepada beliau, 'Andalah orangnya!' Maka, al-Husain menanggapi, 'Saya menutup mata dari Anda.'"
Sudah dikenal luas bahwa Zainal 'Abidin ('Ali bin al-Husain) 'alaihimas salam adalah sosok yang agung dalam perilaku dan tindak-tanduknya. Dalam kitab al-Jaami', diriwayatkan oleh al-Khathib al-Baghdadi dari Ibnu 'Abbaas radhiya-llahu 'anhuma bahwasanya Nabi shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya perilaku yang baik, tindak-tanduk yang baik, serta sikap pertengahan dan hati-hati dalam segala perkara adalah satu dari 20 bagian kenabian."
Kata-kata, hikmah dan sifat Ahli Bait Nabi yang mulia sangat banyak diceritakan, nyaris tak terhitung jumlahnya. Diantaranya adalah bagaimana mereka memperlakukan umat dari pembimbing tertingginya, yakni Muhammad shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam dengan berbagai akhlaq yang mulia, seperti wajah yang ramah berseri, menebarkan salam dan penghormatan yang istimewa, berkata-kata lemah-lembut, tidak suka membesar-besarkan diri, berbaik sangka, dan mengistimewakan penghormatan kepada para ulama' yang berpegang teguh kepada Sunnah Nabinya, sebab mereka adalah para pewaris Nabi-nabi; sehingga sudah seharusnya seseorang yang menisbatkan diri kepada para Nabi itu menerapkan pula berbagai akhlaq dan adab mereka yang baik, juga kebersihan jiwa mereka, dengan senantiasa bercita-cita untuk dapat mengikuti jejak langkah mereka dalam kehidupan, sehingga seorang Ahli Bait benar-benar menjadi figur yang paling baik dari segi nasab leluhur, akhlaq dan amalnya; yang kemudian menyebabkan pembimbing tertinggi mereka, yakni Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam, dan juga para pendahulu mereka yang telah lalu, bergembira ketika amal-amal mereka dibentangkan di akhirat kelak.
Inilah akhir dari apa yang dapat kami sajikan, dengan menghaturkan segala pujian bagi Allah, dan atas segala pertolongan-Nya pula. Semoga Allah menjadikan buku ini bermanfaat. Semoga Allah menjadikan amal-amal kita ikhlas semata-mata untuk wajah-Nya yang mulia. Semoga Allah memberi kita petunjuk ke jalan-Nya yang lurus, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Tiada daya dan kekuatan kecuali atas izin-Nya jua yang Maha Agung. Semoga shalawat serta salam senantiasa terlimpah kepada sayyid kita Muhammad beserta keluarganya yang suci. Amin, allahumma, amin. []


-- selesai --



Link terkait:
1 - Bagian 1 : Pengantar penerjemah
2 - Bagian 2 : Adab guru kepada ilmunya 
3 - Bagian 3 : Adab guru dalam mengajar
4 - Bagian 4 : Adab guru kepada murid-muridnya 
5 - Bagian 5 : Adab pribadi seorang murid 
6 - Bagian 6 : Adab murid kepada gurunya dan teladannya 
7 - Bagian 7 : Adab murid dalam belajar 
8 - Bagian 8 : Adab kepada buku sebagai sarana ilmu 
9 - Bagian 9 : Penutup (Adab Ahli Bait Nabi)