Terjemah "Adabul 'Ulama' wal Muta'allimin" karya As-Sumhudi & Maulana 'Alamul Hajar al-Yamani - Bag. 2/9
[1] ADAB GURU KEPADA ILMUNYA
Dalam hal
ini, ada 12 macam adab yang harus diperhatikan.
Pertama
Hendaknya berkeinginan
memperoleh ridha Allah dengan ilmu yang dimilikinya, bukan untuk meraih
tujuan-tujuan duniawi, seperti harta-benda, kedudukan, popularitas,
disebut-sebut orang, tampil beda di tengah-tengah teman sebaya, atau hal-hal
lain yang sejenis itu. Jangan sampai ia menodai ilmu dan pengajarannya dengan
ketamakan dan pengharapan agar dapat memperoleh harta, pelayanan atau semacamnya
dari orang-orang yang dia ajari, meskipun hanya sedikit, meskipun dalam bentuk
hadiah, dimana dia sebenarnya tidak akan bisa memperoleh hadiah itu jika saja
tidak menjadi pengajar.
Disebutkan
bahwa Abu Ja'far al-Manshur – khalifah kedua Dinasti 'Abbasiyah – tidak mau
minta tolong kepada seseorang yang datang kepadanya karena adanya suatu
kebutuhan tertentu.
Sufyan bin
'Uyainah berkata, "Dulu, setelah aku bisa memahami al-Qur'an, aku pernah
menerima kiriman sekantong uang dari Abu Ja'far yang kemudian aku mengambilnya,
(aku berharap) semoga Allah memaafkanku."
Hendaknya
seorang guru selalu meluruskan niat setiap kali memulai untuk mengerjakan
segala hal yang berguna baginya.
Abu Muzahim
al-Khaqani berkata, "Pernah dikatakan kepada Abu al-Ahwash, 'Sampaikanlah
hadits kepada kami.' Beliau menjawab, 'Saya tidak punya niat untuk itu.'
Orang-orang berkata lagi, 'Anda akan mendapatkan pahala.' Maka, beliau menjawab
dengan melantunkan syair, "Mereka menawarkan kepadaku pemberian
kebaikan yang melimpah, namun sulit bagiku untuk selamat, walau hanya
pas-pasan; (semua itu) tidak untukku dan tidak pula bagiku!!"
Imam Syafi'i
rahimahullah pernah berkata, "Aku sangat berharap orang-orang
mempelajari ilmu ini dariku, sementara tidak satu hurufpun yang dinisbatkan kepadaku."
Beliau juga
berkata, "Saya tidak pernah berdebat dengan seorang pun dengan
mengharapkan untuk menang. Saya hanya berharap – apabila berdebat dengan
seseorang – supaya (kebenaran) itu tampak nyata di hadapannya."
Beliau juga
berkata, "Saya tidak pernah berbincang-bincang dengan seorang pun
melainkan berharap agar diberi kecocokan, ketepatan dan ditolong; dan supaya
perbincangan itu menjadi pemeliharaan dan penjagaan Allah baginya."
Al-Qadhi Abu
Yusuf – salah seorang murid Abu Hanifah – berkata, "Wahai manusia,
harapkanlah Allah dengan ilmu kalian, karena sesungguhnya saya tidak pernah
sekalipun duduk di suatu majlis dimana saya berniat untuk mengalahkan orang
lain yang duduk di dalamnya, melainkan saya pasti bangkit dari majlis itu dalam
keadaan dilecehkan."
Kedua
Senantiasa merasa
diawasi oleh Allah (muraqabah), baik dalam keadaan sendirian maupun di
hadapan orang lain; merawat rasa takut (khauf) kepada Allah dalam gerak
maupun diam, dalam perkataan maupun perbuatan, sebab guru adalah orang kepercayaan
Allah (amiin) yang mengemban ilmu yang Dia limpahkan, juga atas segala
ketajaman indra dan pemahaman yang Dia berikan. Allah berfirman dalam QS
al-Anfaal: 7.
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui."
Juga
firman-Nya dalam QS al-Maidah: 44.
"…disebabkan
mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi
terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah
kepada-Ku..."
Imam Syafi'i
berkata, "(Yang disebut) ilmu itu bukanlah apa-apa yang dihafalkan, akan
tetapi ilmu adalah apa-apa yang bermanfaat."
Hendaknya
seorang guru senantiasa bersikap tenang (sakiinah), berwibawa (wiqaar),
khusyu', tawadhu', dan tunduk (khudhu').
Diantara isi
surat yang dikirimkan Imam Malik kepada khalifah Harun ar-Rasyid adalah,
"Apabila engkau mengetahui suatu ilmu, maka hendaknya pengaruh (atsar)
dari ilmu itu tampak pada dirimu, juga ketenangan dan tanda-tandanya, juga
kewibawaan dan kesantunannya, berdasarkan sabda Rasulullah shalla-llahu
'alaihi wa aalihi wasallam, 'Ulama' adalah para pewaris Nabi-nabi.'"
'Umar juga
berkata, "Pelajarilah ilmu, dan pelajarilah karena ilmu itu ketenangan dan
kewibawaan."
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah secara marfu', "Pelajarilah ilmu, dan pelajarilah
karena ilmu itu ketenangan; dan bersikap tawadhu'-lah kepada orang yang
darinya kamu belajar (guru)." – Diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam al-Ausath.
Diriwayatkan
dari genarasi salaf rahimahumullah, "Adalah hak seorang 'alim
untuk bersikap tawadhu' semata-mata karena Allah, baik dalam kondisi
sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan; hendaknya ia menjaga dirinya dari
hawa nafsu dan berhenti dari hal-hal yang akan menyulitkannya."
Ketiga
Menjaga ilmu
sebagaimana cara ulama' salaf menjaganya, dengan menegakkan baginya 'izzah
(kehormatan) dan syaraf (kemuliaan). Jangan mengotori ilmu dengan
kerakusan kepada dunia, atau pergi mendatangi orang-orang yang tidak layak
didatangi dari kalangan budak-budak dunia dengan tanpa alasan dan kebutuhan
yang sangat mendesak. Jangan pula mendatangi murid-muridnya yang berasal dari
kalangan mereka, meskipun begitu hebat statusnya, dan sangat besar kedudukan serta
kekuasaannya.
Az-Zuhri
berkata, "Hal itu adalah agar jangan sampai seorang guru justru membawa
ilmu ke rumah muridnya."
Imam Malik
bin Anas berkata kepada khalifah al-Mahdi – ayah dari Harun ar-Rasyid – dimana
khalifah memanggil beliau untuk mengajari kedua putranya, "Ilmu itu lebih
pantas untuk dihormati dan didatangi." Dalam riwayat lain beliau berkata,
"Ilmu itu dikunjungi, bukan mengunjungi; ia didatangi, bukan
mendatangi." Dalam riwayat lain beliau berkata, "Saya mendapati para
ahli ilmu itu didatangi, bukan mendatangi."
Diriwayakan
pula dari beliau, bahwa beliau bercerita, "Saya pernah menemui Harun
ar-Rasyid, maka beliau berkata, 'Wahai Abu 'Abdillah, sebaiknya Anda datang
kepada kami sehingga anak-anak kami dapat mendengarkan al-Muwaththa'
dari Anda.' Saya menjawab, 'Semoga Allah memuliakan Anda. Sesungguhnya ilmu ini
keluar dari Anda. Bila Anda menghormatinya, maka dia akan mulia; dan jika Anda
merendahkannya maka ia akan menjadi hina pula. Ilmu itu didatangi dan bukan
mendatangi.' Maka ar-Rasyid berkata, 'Anda benar. (Kalau begitu), keluarlah
kalian ke masjid supaya kalian bisa mendengar dari tempat mendengar orang-orang
pada umumnya.'"
Diriwayatkan
bahwa suatu saat ar-Rasyid bertanya kepada Imam Malik, "Apakah Anda punya
rumah?" Beliau menjawab, "Tidak." Maka ar-Rasyid pun memberinya
tigaribu dinar seraya berkata, "Belilalah rumah dengan uang ini."
Imam Malik pun menerimanya namun tidak membelanjakannya. Ketika ar-Rasyid
hendak kembali ke Iraq, beliau berkata kepada Imam Malik, "Sebaiknya Anda
keluar bersama kami, karena saya telah bertekad untuk mempersatukan seluruh
rakyat kepada al-Muwaththa', sebagaimana 'Utsman menyatukan mereka
kepada mushaf al-Qur'an." Maka beliau menjawab, "Mengenai
mempersatukan rakyat kepada al-Muwaththa', maka hal itu tidak mungkin,
sebab para sahabat Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam
bertebaran di seluruh negeri sepeninggal beliau, dan mereka masing-masing
menyampaikan hadits, sehingga di setiap negeri ada ilmunya sendiri-sendiri.
Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam bersabda, 'Ikhtilaf
(perbedaan pendapat) di tengah-tengah umatku adalah rahmat.' Mengenai keluar
bersama Anda (ke Iraq), maka hal itu juga tidak mungkin. Rasulullah shalla-llahu
'alaihi wa aalihi wasallam bersabda, 'Madinah itu lebih baik bagi mereka,
seandainya mereka mengetahui.' Beliau juga bersabda, 'Madinah itu memusnahkan
kotoran-kotoran di dalamnya sebagaimana ubupan pandai besi membersihkan kotoran
besi.' Ini dinar-dinar milik Anda, masih utuh seperti sediakala. Jika Anda mau,
silakan ambil; jika tidak maka tinggalkanlah."
Maksudnya,
'Anda hendak membawaku keluar dari Madinah dikarenakan segala yang telah Anda
perbuat kepada saya, maka saya tidak akan melebihkan dunia ini diatas akhirat.'
Dalam kitab al-Jaami',
al-Khathib al-Baghdadi mengeluarkan sebuah kisah yang bersumber dari Muqatil
bin Shalih al-Humaydi, "Saya masuk menemui Hammad bin Salamah. Pada saat
saya masih berada di sisi beliau, tiba-tiba utusan Muhammad bin Sulaiman
mengetuk pintu, kemudian mengucap salam, masuk dan menyerahkan sepucuk surat
darinya. Beliau kemudian berkata kepada saya, 'Bacalah!' Ternyata di dalamnya
tertulis: 'Bismillaahirrahmaanirrahiim. Dari Muhammad bin Sulaiman
kepada Hammad bin Salamah. Amma ba'du: Semoga Allah menjadikan pagi hari
Anda sebagaimana Dia menjadikan pagi hari bagi para wali-Nya dan orang-orang
yang taat kepada-Nya. Ada suatu masalah, maka datanglah kepada kami karena kami
ingin menanyakannya kepada Anda.' Maka beliau berkata kepada saya, 'Baliklah (kertas)
suratnya, dan tuliskan: 'Amma ba'du: Demikian juga untuk Anda. Semoga
Allah menjadikan pagi hari Anda sebagaimana Dia menjadikan pagi hari para
wali-Nya dan orang-orang yang taat kepada-Nya. Sesungguhnya kami mendapati para
ulama', mereka tidak mau mendatangi seorang pun. Jika terjadi suatu masalah,
maka datanglah kepada kami dan tanyakanlah apa yang Anda hadapi itu. Dan bila
Anda datang kepada kami, maka jangan datang melainkan sendirian; jangan membawa
serta prajurit pengawal dan orang-orang Anda. (Sebab jika demikian) maka saya
tidak akan menasihati Anda dan saya pun tidak bisa menasihati diri saya
sendiri. Wassalam."
Pada saat
saya masih duduk di sisi beliau, tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu.
Beliau berkata (kepada seorang bocah perempuan di dalam rumah), 'Nak, keluar
dan lihat siapa yang mengetuk pintu!' Gadis kecil itu kemudian berkata, 'Ini
adalah Muhammad bin Sulaiman.' Beliau berkata, 'Katakan padanya, 'Masuklah
sendirian.'' Kemudian dia masuk, mengucapkan salam, duduk di hadapan beliau dan
memulai urusannya, 'Mengapa setiap kali melihat Anda saya selalu merasa takut
dan gentar?' Maka Hammad pun menjawab, 'Saya mendengar Tsabit al-Bunnani
berkata: Saya mendengar Anas bin Malik berkata: Saya mendengar Rasulullah shalla-llahu
'alaihi wa aalihi wasallam bersabda, 'Sesungguhnya seorang 'alim itu
apabila dengan ilmunya dia mengharapkan ridha Allah, maka segala sesuatu akan takut
dan segan kepadanya. Tapi bila ia berharap untuk menumpuk harta dengan ilmunya,
maka dialah yang akan takut dan segan kepada segala sesuatu.' Kemudian Hammad
bertanya, 'Apa yang hendak Anda tanyakan? Semoga Allah merahmati Anda.'
Muhammad bin Sulaiman kemudian menceritakan masalahnya, dan beliau pun
memberikan jawabannya. Lalu, dia berkata, 'Ada lagi satu keperluan (saya)
kepada Anda.' Beliau menjawab, 'Berikanlah, sepanjang tidak membahayakan agama.'
Dia berkata, 'Ini empatpuluh ribu dirham, ambillah, semoga dapat membantu
keperluan Anda.' Beliau menjawab, 'Kembalikan kepada orang-orang yang mungkin Anda
zhalimi.' Dia menjawab, 'Demi Allah, saya tidak memberi Anda kecuali dari apa
yang saya warisi (dari orangtua saya)!' Beliau berkata, 'Saya tidak
membutuhkannya. Singkirkan ini dari saya, semoga Allah menyingkirkan pula
dosa-dosa Anda.' Dia berkata lagi, 'Selain ini (masih ada lagi keperluan
saya).' Beliau menjawab, 'Kemarikan, selama tidak membahayakan agama.' Dia
berkata, 'Anda ambil uang ini, lalu Anda membagikannya (kepada orang lain).'
Beliau menjawab, 'Bisa jadi, meskipun saya telah berbuat adil dalam
membagikannya, akan ada orang yang tidak kebagian dari uang ini berkata bahwa
saya telah berbuat tidak adil sehingga dia berdosa (dengan persangkaannya itu).
Singkirkan ini dari saya, semoga Allah menyingkirkan pula dosa-dosa Anda.'"
Dalam pasal
lima akan dipaparkan pula peristiwa serupa yang terjadi antara sebagian putra
al-Mahdi dengan Syuraik. Cerita dari generasi salaf dalam masalah ini sangat
banyak dan terkenal.
Namun, jika
ada keperluan atau kebutuhan yang sangat mendesak (yang mengharuskan untuk
menemui seseorang), dan selama mashlahat keagamaan di dalamnya lebih
besar dibanding mafsadah-nya, dan selama niat untuk kesana adalah baik,
maka hal itu tidak mengapa. Alasan inilah yang melatari tindakan sebagian
generasi salaf ketika mereka mendatangi sebagian raja dan pemegang
otoritas pemerintahan di masanya, seperti yang dilakukan Imam Syafi'i dan
lain-lain. Mereka tidak bermaksud untuk mendapat cipratan harta-benda duniawi. Demikian
pula tidak mengapa apabila seseorang yang didatangi itu dari segi ilmu dan
kezuhudannya berada pada maqam yang lebih tinggi serta posisi yang lebih
mulia. Dalam hal ini tidak masalah untuk bolak-balik datang menemuinya guna
memberikan suatu faedah kepadanya. Sufyan ats-Tsauri sering mendatangi Ibrahim
bin Adham dan mengajarkan kepadanya hal-hal yang berfaedah. Abu Ubaid pun sering
datang menemui 'Ali bin al-Madini dan memperdengarkan kepadanya hadits-hadits
yang aneh (gharib).
Keempat
Menerapkan
akhlaq-akhlaq yang dianjurkan oleh syari'at, yakni bersikap zuhud terhadap
dunia dan sedapat mungkin mempersedikit materi duniawi bagi dirinya sendiri.
Sebenarnya, materi yang dia miliki dan dia perlukan sepanjang dalam kadar wajar
adalah termasuk qana'ah, dan tidak termasuk (berlebihan) dalam masalah
duniawi.
Derajat
terendah seorang 'alim adalah ketika dia merasa jijik kepada orang yang terlalu
tergantung kepada dunia dan tidak merasa perduli kepada hilangnya dunia itu. Sebab,
dialah yang paling tahu kepada remehnya dunia itu, fitnahnya, cepatnya dia
musnah, besarnya kesulitan (memperoleh dan merawatnya), serta sedikitnya rasa
puas terhadapnya.
Diceritakan
dari Imam Syafi'i rahimahullah, "Andaikan aku harus berwasiat, maka
orang yang paling pintar akan memberikannya kepada para ahli zuhud. Maka,
siapakah yang lebih berhak dibanding para ulama', dikarenakan mereka mempunyai
kelebihan dalam akal dan kesempurnaan?"
Yahya bin
Mu'adz berkata, "Seandainya dunia adalah bijih emas yang fana sedangkan
akhirat adalah keramik yang kekal, maka sudah sepantasnya bagi orang yang
berakal untuk lebih mengutamakan keramik yang kekal dibanding bijih emas yang
fana. Bagaimana kalau dunia adalah keramik yang fana sedangkan akhirat adalah
bijih emas yang kekal?"
Hendaknya
pula seorang 'alim senantiasa bersikap dermawan dan pemurah, selama ada yang
dipergunakan untuk itu.
Kelima
Menjauhi
profesi atau pekerjaan yang rendah dan hina menurut tabiat manusia, juga yang
tidak disukai menurut adat maupun syari'at; seperti bekam, menyamak kulit,
penukaran uang dan kerajinan emas. Hendaknya ia menjauhi kondisi yang potensial
menimbulkan tuduhan buruk dan salah persangkaan dari orang lain yang
mengetahuinya, meskipun hal itu jarang-jarang terjadi.
Janganlah
menerima sesuatu yang kemungkinan di dalamnya mengandung unsur yang mengurangi muru'ah
(kehormatan diri), atau sesuatu yang lahiriahnya kontroversial meskipun dari
sisi batiniahnya boleh-boleh saja. Sebab, hal itu akan mendorongnya terjebak
pada persangkaan dan tuduhan yang bukan-bukan, juga mendorongnya untuk
benar-benar melakukan (hal yang disangka orang itu), menyebabkan orang lain
terjerumus dalam prasangka yang tidak baik, dan kemudian benar-benar terjadi
(apa yang mereka sangkakan itu).
Jika
kebetulan hal itu sungguh-sungguh terjadi karena adanya suatu kebutuhan atau
semacamnya, maka hendaknya ia memberitahu hukumnya kepada orang-orang yang
kebetulan menyaksikannya, termasuk udzur dan tujuannya; supaya orang-orang yang
melihatnya tidak menjadi berdosa, atau menjauh darinya sehingga tidak
memperoleh manfaat dari ilmunya, sementara orang yang jahil pun tidak dapat
mengambil faedah darinya. Karena itulah Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa
aalihi wasallam bersabda kepada dua orang laki-laki yang melihat beliau
tengah bercakap-cakap dengan ummul mu'minin Shafiyyah – saat itu hari
masih gelap seusai shalat shubuh – sehingga keduanya berpaling memperhatikan
beliau, "Tunggu sebentar! Ini adalah Shafiyyah." Beliau kemudian
melanjutkan sabdanya, "Sesungguhnya syetan itu mengalir dalam diri seorang
manusia bersama aliran darahnya, maka saya khawatir ia melemparkan sesuatu ke
dalam hati kalian berdua." Dalam riwayat lain ada tambahan, "Sehingga
kalian pun menjadi celaka karenanya."
Keenam
Senantiasa menjaga
pelaksanaan syi'ar-syi'ar Islam dan segi-segi lahiriah dari hukum syari'at,
seperti menegakkan shalat lima waktu di masjid dan berjamaah, berinisiatif
menebarkan salam baik kepada kalangan tertentu maupun umum, melaksanakan amar
ma'ruf dan nahi munkar, serta bersikap sabar menanggung akibatnya dengan tetap
tegar di hadapan para penguasa, total menyerahkan dirinya kepada Allah dan
tidak takut celaan orang lain, seraya mengingat firman Allah dalam QS Luqman:
17.
"...dan
bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu
termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)."
Juga
mengingat bagaimana Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam
dan para Nabi lainnya bersikap sabar menghadapi gangguan, juga segala beban
yang mereka tanggung di jalan Allah sampai mereka memperoleh kemenangan.
Demikian
pula hendaknya ia senantiasa berusaha menampakkan sunnah-sunnah Nabi,
mengesampingkan bid'ah, menegakkan urusan-urusan agama semata-mata karena
Allah, juga segala hal yang mengandung kemaslahatan bagi kaum muslimin melalui
metode yang disyari'atkan, jalan yang normal. Hendaknya dia tidak puas terhadap
amal-amal yang lahir maupun batin sebatas yang biasa-biasa saja, namun selalu
berusaha untuk dirinya sendiri untuk melaksanakan yang paling baik dan paling
sempurna. Sebab, para ulama' adalah teladan dan kepada merekalah urusan hukum
dirujukkan. Mereka adalah hujjah Allah terhadap kaum awam. Terkadang,
orang memperhatikan tindak-tanduknya untuk diikuti oleh orang-orang lain yang
tidak bertemu dengannya, dan orang-orang yang tidak tahu pun bisa mengikuti
petunjuk dalam tindakannya. Jika saja orang yang 'alim tidak bisa mendapat
manfaat dari ilmunya, maka orang selain mereka pasti lebih tidak bisa lagi,
sebagaimana yang telah disinggung oleh kata-kata Imam Syafi'i sebelum ini,
"(Yang disebut) ilmu itu bukanlah apa-apa yang dihafalkan, akan tetapi
ilmu adalah apa-apa yang bermanfaat."
Oleh sebab
itu, sangat hebatlah dampak dari kesalahan yang diperbuat seorang 'alim
dikarenakan adanya efek-efek mafsadah yang timbul ketika orang lain
mengikutinya.
Ketujuh
Senantiasa
menjaga amaliah-amaliah yang sangat dianjurkan (manduub) menurut
syari'at, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Hendaknya berupaya keras memperhatikan
hal-hal yang mengandung unsur penghormatan kepada pemilik syari'at nabawiyah
yang mulia, juga mengagungkan beliau dan para pengikutnya yang setia. Maka,
hendaknya seorang guru rutin melakukan tilawah al-Qur'an, mengingat Allah
dengan hati dan lisannya, melazimkan doa-doa serta dzikir syar'i di waktu malam
dan siang, mengerjakan ibadah-ibadah nawafil seperti shalat dan puasa sunnah,
berhaji ke Baitullah yang mulia, membaca shalawat kepada Nabi dan keluarganya.
Sebab mencintai, menghormati dan mengagungkan beliau adalah wajib, sedangkan
bersikap sopan tatkala mendengar namanya disebut, sunnah-sunnahnya dituturkan,
adalah diharuskan dan sangat dianjurkan.
Disebutkan
mengenai ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir 'alaihis salam bahwa setiap
kali nama Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam
disebut-sebut di dekat beliau, maka seketika itu juga wajahnya menjadi pucat.
Demikian pula Imam Malik rahimahullah setiap kali nama Rasulullah
disebutkan di sisinya, maka rona wajah beliau langsung berubah dan tertunduk.
Sementara itu, setiap kali nama Rasulullah disebutkan di sisi Ibnu al-Qasim,
maka lidahnya langsung kelu dan kaku di mulutnya, karena merasa sangat segan
kepada Rasulullah.
Apabila
membaca al-Qur'an, seorang guru hendaknya juga merenungkan makna-maknanya,
perintah dan larangannya, janji dan ancamannya, serta berhenti pada batas-batas
yang ditetapkannya. Hendaknya ia berhati-hati agar jangan melupakannya setelah
pernah menghafalkannya, sebab ada sebuah hadits Nabi yang melarang hal itu.
Lebih baik
lagi jika setiap harinya ia mempunyai suatu wirid rutin yang tidak pernah
ditinggalkan. Jika tidak, maka dua hari sekali. Jika tidak mampu, maka setiap
malam Senin dan Jum'at. Membaca al-Qur'an sampai khatam setiap tujuh hari
sekali adalah salah satu wirid rutin yang baik. Diberitakan bahwa hal ini juga
diamalkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Dikatakan bahwa barangsiapa yang
mengkhatamkan al-Qur'an setiap tujuh hari sekali maka ia tidak akan pernah
melupakannya.
Dianjurkan
pula bagi seorang guru untuk mempergunakan keringanan-keringanan dalam agama (rukhshah)
sesuai tempatnya, jika memang dibutuhkan dan ada sebab-sebab jelas yang
mengizinkannya, supaya orang-orang terdekatnya dapat meniru. Sebab Allah suka
bila keringanan-keringanannya diterima sebagaimana Dia juga suka jika
kewajiban-kewajibannya dijalankan.
Kedelapan
Mempergauli
sesama manusia dengan akhlaq yang mulia, seperti berwajah cerah, menebarkan
salam, memberi jamuan makan (orang yang lapar dan tamu), menahan marah,
menghindari menyakiti orang lain, menanggung beban mereka, mengutamakan orang
lain dan bukannya meminta didahulukan dalam segala hal, bersikap adil dan tidak
berat sebelah kepada orang lain dan bukannya menuntut agar diperlakukan secara
adil, mensyukuri kelebihan yang dimiliki, berusaha mandiri memenuhi kebutuhan
hidupnya, bersedia mempergunakan pengaruh dan kedudukannya untuk membantu orang
lain, bersikap lemah-lembut kepada kaum fakir, bersikap simpatik kepada
tetangga dan karib-kerabat, menyayangi para siswa serta membantu dan berbuat
baik kepada mereka, sebagaimana akan ada perinciannya sebentar lagi, insya-Allah.
Apabila
melihat seseorang yang tidak benar dalam melaksanakan shalat, thaharah atau
sesuatu kewajiban yang lain, maka hendaknya seorang guru membimbing dengan
lembut dan penuh kasih, sebagaimana yang pernah dipraktikkan oleh Nabi shalla-llahu
'alaihi wa aalihi wasallam kepada seorang Arab dusun yang kencing di sudut
masjid, juga yang beliau lakukan kepada Mu'awiyah bin al-Hakam yang kurang
sempurna dalam mengerjakan shalat.
Kesembilan
Membersihkan
zhahir maupun bathin-nya dari akhlaq-akhlaq yang rendah dan
berusaha menyemarakkannya dengan akhlaq-akhlaq yang disenangi (mardhiyyah).
Diantara akhlaq tercela adalah menyimpan dendam, iri-dengki, aniaya dan
melampaui batas, marah bukan karena Allah ta'ala, menipu, sombong, riya'
(pamer), 'ujub (merasa hebat), sum'ah (menyebut-nyebut kebaikan),
bakhil (pelit), pengecut, pongah, tamak dan rakus, membanggakan diri
sendiri, angkuh, berlomba-lomba dalam masalah duniawi dan bermegah-megahan
dalam hal ini, pura-pura lembut dan terlalu banyak bermanis-muka kepada orang
lain, suka dipuji atas hal-hal yang belum pernah dikerjakan, buta dari
kejelekan dirinya sendiri, suka menyibukkan diri mengurusi kejelekan orang
lain, fanatik golongan dan bersikap 'ashabiyyah bukan karena Allah,
cinta dan benci bukan karena-Nya, ghibah (membicarakan aib orang lain di
belakangnya), mengadu domba (namimah), menyebar berita bohong (buhtaan),
berdusta, berkata kotor, serta meremehkan orang lain meski dia lebih rendah
darinya.
Maka,
berhati-hatilah, sekali lagi berhati-hatilah dari semua sifat keji serta akhlaq
yang rendah ini. Sebab itu adalah gerbang memasuki segala kejelekan, bahkan
itulah induk segala kejelekan dan keburukan. Sungguh telah banyak fuqaha'
di zaman kita ini yang celaka oleh sifat-sifat tersebut, kecuali mereka yang
dijaga serta dilindungi oleh Allah, terlebih-lebih karena sifat iri-dengki,
'ujub, riya' dan meremehkan orang lain. Obat mujarab bagi keempat sifat
terakhir ini ada dalam kitab-kitab zuhud, dan salah satunya yang paling
bermanfaat adalah kitab at-Tashfiyyah karya Imam Yahya bin Hamzah 'alaihis
salam, kemudian kitab Kanzu ar-Rasyaad karya Imam 'Izzuddin, dan
yang paling ringkas namun padat adalah kitab Takmilatu al-Ahkaam.
Diantara
obat bagi penyakit iri-dengki adalah merenung bahwa hal itu merupakan
penentangan kepada kebijaksanaan Allah yang telah menetapkan nikmat bagi orang
yang dia merasa iri-dengki kepadanya itu. Padahal sesungguhnya iri-dengki
adalah bahaya murni bagi pelakunya yang menyebabkannya selalu bersedih, hatinya
menjadi lelah, tersiksa oleh sebab-sebab yang pada dasarnya tidak akan
membahayakan orang yang diiri-dengkikan itu.
Diantara
obat bagi penyakit 'ujub adalah mengingat-ingat bahwa segala ilmu, pemahaman,
kecerdasan akal, kafasihan lidah dan segala kenikmatan lain yang ada padanya
adalah semata-mata karunia dari Allah untuknya, merupakan amanah Allah yang
harus dirawat sebaik-baiknya. Dan, bahwasanya 'ujub adalah bentuk kufur nikmat
yang dapat memancing musnahnya kenikmatan itu sendiri. Sebab Dzat yang telah
memberinya nikmat-nikmat itu sanggup untuk mencabutnya kembali dalam sekejap
mata. Allah berfirman dalam QS Ibrahim: 20.
"Dan
yang demikian itu sekali-kali tidak sukar bagi Allah."
Allah juga
berfirman dalam QS al-A'raf: 99.
"Maka
apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)?"
Diantara
obat bagi penyakit riya' adalah merenung bahwasanya segenap makhluk pada
dasarnya tidak mampu untuk menimbulkan manfaat maupun bahaya kepadanya. Maka,
seharusnya ia tidak menyia-nyiakan amalnya, membahayakan agamanya dan
menyibukkan dirinya untuk memperhatikan orang yang pada hakikatnya tidak
mungkin mampu menimpakan manfaat maupun bahaya kepadanya. Sebab, Allah senantiasa
mengawasi niat dan mengetahui keburukan dalam hatinya. Sebagaimana dinyatakan
dalam sebuah hadits shahih bahwa barangsiapa yang memperdengar-dengarkan
amalnya di dunia maka Allah akan memperdengar-dengarkan keburukannya di
akhirat, dan barangsiapa yang memamer-pamerkan kebaikannya di dunia maka Allah
akan memamer-pamerkan keburukannya di akhirat.
Diantara
obat bagi penyakit suka meremehkan orang lain adalah men-tadabburi
firman Allah dalam QS al-Hujurat: 11.
"…janganlah
sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang
ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan
merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik..."
Juga
firman-Nya yang lain dalam QS al-Hujurat: 13.
"Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu..."
Kemudian
firman-Nya dalam QS an-Najm: 32.
"…maka
janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang
orang yang bertakwa."
Boleh jadi
orang yang diremehkan itu lebih suci hatinya, lebih bersih amalnya dan lebih
tulus niatnya di hadapan Allah. Sebagaimana dikatakan bahwa Allah
menyembunyikan tiga perkara dari tiga yang lainnya: wali-Nya di tengah-tengah
para hamba-Nya, ridha-Nya di tengah-tengah ketaatan seseorang kepada-Nya, dan
murka-Nya di tengah-tengah kemaksitan seseorang kepada-Nya. Jadi, perlu
disadari bahwasanya meremehkan orang lain hanyalah kerugian besar yang akan
mendatangkan kehinaan kepada pelakunya.
Diberitakan
bahwa al-Harits bin Mu'awiyah pernah meminta kepada 'Umar untuk mengisahkan
satu cerita, lalu 'Umar berkata, "Saya mengkhawatirkan dirimu, bila engkau
kemudian menceritakan kembali kisah itu kepada orang lain sehingga engkau
merasa sedemikian hebat, kemudian engkau ceritakan sekali lagi dan semakin
bertambahlah perasaan itu dalam dirimu, sehingga engkau merasa jauh diatas
orang lain seakan-akan engkau duduk diatas bintang kejora, maka kelak di hari
kiamat Allah balik akan merendahkanmu di bawah telapak kaki mereka sejauh jarak
bintang kejora itu pula." – Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, sedangkan
al-Harits bin Mu'awiyah adalah perawi yang dinilai tsiqah oleh Ibnu
Hibban, sementara para perawi yang lain dalam sanad-nya adalah perawi shahih.
Diantara
bentuk akhlaq yang diridhai Allah adalah senantiasa bertaubat, ikhlas, yaqin,
taqwa, sabar, ridha, qana'ah, zuhud, tawakkal dan menyerahkan
urusan kepada Allah (tafwidh), memiliki batin yang bersih, baik sangka (husnu-zhann),
luwes dan mudah memaafkan, baik akhlaqnya, berpenampilan baik, mensyukuri
nikmat, penuh kasih kepada makhluk-makhluk Allah, serta merasa malu kepada
Allah dan sesama manusia.
Mencintai
Allah (mahabbatullah) adalah sesuatu yang menyatukan segenap sifat-sifat
kebaikan, dan hal itu hanya bisa dicapai dengan mengikuti (ittiba')
Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam, sebagaimana firman
Allah dalam QS Ali 'Imran: 31.
"Katakanlah:
"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu..."
Kesepuluh
Senantiasa
berhasrat untuk meningkatkan dirinya, dengan selalu bersungguh-sungguh dan
berupaya keras; serta kontinyu dalam mengamalkan kebiasaan-kebiasaan baiknya
berupa ibadah, membaca sebanyak mungkin, melakukan telaah, berfikir,
mengkritisi, menghafal, mengarang dan meneliti; jangan menyia-nyiakan waktu
untuk hal-hal yang tidak ada relevansinya dengan ilmu dan amal, kecuali hal-hal
primer sebagai manusia biasa seperti makan, minum, tidur, beristirahat karena
merasa jenuh, memenuhi hak istri atau tamu yang berkunjung, mencukupi pangan
bagi keluarga dan orang-orang yang berada dalam tanggungannya, dimana mereka
tidak mampu untuk mencukupi dirinya sendiri. Sebab, selain untuk hal-hal
tersebut kebanyakan umur seorang mukmin itu tersia-siakan dan tiada berharga.
Barangsiapa yang dua hari dilaluinya dalam keadaan sama maka dia adalah orang
yang tertipu.
Al-Muzani
berkata: "Saya mendengar Imam Syafi'i berkata, 'Sebagian ulama' salaf
ditanya: seberapa jauh Anda menyibukkan diri dengan ilmu? Maka dijawabnya: ilmu
adalah hiburanku saat aku berduka, dan dia adalah kesenanganku saat aku
gembira." Kemudian beliau mendendangkan sebuah syair yang digubahnya
sendiri, "Aku bukanlah seorang yang pencemburu kepada istrinya; Aku adalah
pencemburu kepada ilmuku; Dialah dokter bagi hatiku sejak tiga puluh musim haji
silam; Dialah penajam otakku dan penghibur bagi segala dukaku."
Sebagian
dari mereka bahkan tidak meninggalkan untuk sibuk mencari ilmu hanya karena
sakit ringan atau keluhan biasa. Bahkan, mereka mencari obat bagi semua rasa
sakit itu dengan ilmu, dan tetap belajar selama masih memungkinkan. Hal itu
dikarenakan derajat ilmu yang merupakan warisan para Nabi, sedangkan ketinggian
derajat itu sendiri tidak mungkin diraih kecuali dengan melalui beragam
kesukaran. Dalam Shahih Muslim ada sebuah riwayat yang bersumber dari
Yahya bin Abi Katsir, beliau berkata, "Ilmu itu tidak akan bisa diraih
dengan berleha-leha." Dalam sebuah hadits juga disebutkan bahwa surga itu
dikelilingi dengan berbagai hal yang tidak menyenangkan. Dikatakan,
"Apakah Anda ingin mendapat kemuliaan secara murah, padahal untuk memperoleh
madu pun Anda harus siap disengat lebahnya?" Dikatakan pula, "Jangan
menyangka bahwa kemuliaan itu seperti kurma yang Anda tinggal memakannya.
Ingatlah Anda tidak akan mencapai kemuliaan sebelum menelan kepahitan terlebih
dahulu."
Imam Syafi'i
berkata, "Wajib bagi pencari ilmu untuk mengerahkan semaksimal mungkin
usahanya dalam memperbanyak ilmu, bersikap sabar menghadapi semua rintangan
ketika mencari ilmu, memurnikan niat semata-mata karena Allah dalam memperoleh
ilmu baik dengan cara menghafal teks maupun menganalisis dan menyimpulkan
sebuah dalil (istinbath), juga selalu berharap kepada pertolongan Allah
dalam mencari ilmu itu."
Ar-Rabi' bin
Sulaiman berkata, "Saya tidak pernah melihat Imam Syafi'i makan di siang
hari ataupun tidur di malam hari, karena beliau sangat sibuk menyusun
karangan."
Meski
demikian, seorang 'alim hendaknya tidak membebani diri melebihi kemampuannya,
supaya tidak bosan dan jenuh. Sebab adakalanya tokoh-tokoh tertentu itu
sedemikian luar biasa kehidupan mereka sehingga nyaris tidak mungkin untuk
disamai. Yang tepat adalah bersikap tengah-tengah dan sewajarnya dalam masalah
ini. Pada prinisipnya setiap orang lebih mengerti tentang kadar dan batas
kemampuannya sendiri.
Kesebelas
Jangan
merasa enggan untuk mempelajari sesuatu yang tidak diketahuinya dari orang lain
yang lebih rendah darinya baik dari segi posisi, nasab maupun usia; hendaknya
selalu ingin memperoleh hal berguna dari manapun sumber asalnya. Hikmah adalah
sesuatu yang terhilang dari seorang mukmin, maka ia akan memungutnya dimanapun
ia menemukannya.
Sa'id bin
Jubair berkata, "Seseorang itu selalu disebut 'alim selama dia mau untuk
terus belajar. Sehingga jika ia meninggalkan belajar dan menyangka bahwa dia
telah kelebihan dan merasa cukup dengan apa yang sudah diketahuinya, maka
diapun menjadi orang yang lebih bodoh dibanding sebelumnya."
Sebagian
orang Arab berdendang, "Yang disebut kebutaan (kepada ilmu) bukanlah
pertanyaan yang panjang-panjang; akan tetapi yang disebut kebutaan (kepada
ilmu) adalah panjangnya sikap diam padahal sebenarnya bodoh."
Sebagian
ulama' salaf bahkan mau belajar dari murid-murid mereka sendiri tentang
masalah-masalah yang tidak mereka ketahui.
Al-Humaydi –
salah seorang murid Imam Syafi'i – bercerita, "Saya menemani Imam Syafi'i
dari Makkah ke Mesir. Maka saya belajar dari beliau tentang persoalan-persoalan
(fiqh), sedangkan beliau belajar hadits dari saya."
Imam Ahmad
bin Hanbal juga bercerita, "Imam Syafi'i pernah berkata kepada kami: 'Anda
lebih memahami hadits dibanding saya. Jika menurut Anda sebuah hadits itu shahih,
maka katakanlah kepada saya, supaya saya dapat berpegang kepadanya."
Juga
terdapat cukup banyak riwayat yang shahih yang mengungkapkan periwayatan
para sahabat yang bersumber dari generasi tabi'in. Dan yang lebih hebat dari
itu adalah bacaan Al-Qur'an yang dilakukan Rasulullah di hadapan Ubayy bin
Ka'ab, seraya bersabda, "Allah memerintahkan saya untuk membaca surah Lam
yakunil-ladziina kafaru kepadamu."
Para ulama'
salaf menyatakan, bahwa diantara faedah tindakan beliau tersebut adalah supaya
orang yang lebih mulia tidak merasa segan untuk mengambil pelajaran dari orang
yang lebih rendah darinya.
Keduabelas
Menyibukkan
diri untuk mengarang, mengumpulkan dan menyusun suatu karya; asalkan didasari
dengan kesempurnaan dalam keahlian dan keutamaan. Sebab, dengan demikian dia
akan terdorong untuk menelaah hakikat disiplin ilmu yang ditekuninya serta
detil-detil ilmu yang dipelajarinya, dikarenakan (mengarang) membutuhkan banyak
cross-check dan verifikasi, penelaahan, penggalian dan pembacaan ulang. Hal
ini sebagaimana yang dikatakan oleh al-Khathib al-Baghdadi, "(Mengarang
itu akan) memperkuat hafalan, mencerdaskan hati, mengasah karakter, mempertajam
ungkapan, memperoleh kenangan yang baik dan pahala yang banyak, serta
mengabadikan diri sampai akhir masa."
Dikatakan,
"Suatu kaum telah lama mati, dan ilmu kembali menghidupkan kenangan
tentang mereka; sementara itu orang-orang bodoh, mereka pada dasarnya hanya
menyusul orang-orang yang telah lama mati."
Ada yang
berkata, "Ilmu seseorang adalah anaknya yang kekal abadi."
Abul Fath
'Ali bin Muhammad al-Busty berkata, "Orang-orang berkata bahwa kenangan
tentang seseorang itu abadi bersama anak keturunannya; sehingga dia tidak akan
punya kenangan jika tidak memiliki anak keturunan; Maka saya katakan kepada
mereka, bahwa kenangan saya adalah hikmah-hikmah terindah yang saya ungkapkan;
maka barangsiapa yang ingin mempunyai keturunan, dengan inilah kami
meninggalkan anak keturunan."
Diutamakan
agar memperhatikan hal-hal yang mempunyai manfaat luas dan banyak dibutuhkan
oleh masyarakat pada masanya. Hendaknya pula ia memperhatikan hal-hal yang
mungkin belum pernah ditulis oleh orang sebelumnya, supaya tidak terjadi bahwa
orang tidak membutuhkan apa yang ditulisnya itu dari segala seginya. Hendaknya
ia menulis dengan bahasa yang jelas. Hindarilah karangan yang bertele-tele dan
membosankan atau terlalu ringkas yang justru melewatkan banyak hal penting.
Hendaknya ia pun tetap memperhatikan otoritas setiap penulis lain dalam bidang
itu secara wajar. Jangan menerbitkan karyanya sebelum dilakukan proses
penelitian yang cermat, dibaca berulang-ulang, dan telah disusun sedemikian
rupa. Sebagian orang di zaman kita sekarang ada yang menolak jika ada yang mau
menulis dan menyusun suatu karangan, bahkan terhadap seseorang yang tampak
nyata keahliannya dan telah dikenal pengetahuannya. Penolakan seperti ini jelas
tidak pada tempatnya, kecuali hanya mengundang perdebatan yang tidak berguna.
Betapa indah apa yang pernah dikatakan seseorang, "Katakanlah jika saja
orang-orang di zaman ini tidak boleh melihat apapun; dan hanya boleh melihat
apa-apa yang dibuat oleh generasi terdahulu saja; Sungguh segala yang lama itu
dulunya pun pernah baru; dan apa-apa yang sekarang baru pun akan menjadi lama
pula suatu hari nanti."
(Sungguh
aneh), padahal orang-orang yang berusaha untuk menggoreskan penanya menulis
syair-syair, cerita-cerita mubah atau sejenis itu, maka tidak ada yang menolak
usaha mereka. Lalu, mengapa tatkala ada orang yang berusaha untuk mengarang
sesuatu yang bermanfaat dalam bidang ilmu syari'at justru ditolak dan
diremehkan? Adapun jika penolakan itu disebabkan karena penulis tersebut tidak
mempunyai otoritas di bidang itu, maka hal itu lebih disebabkan adanya
kebodohan darinya dan mengandung unsur penipuan kepada orang-orang yang kelak
membaca karyanya. Sebab pada dasarnya ia telah menyia-nyiakan waktunya untuk
mengerjakan sesuatu yang sebenarnya tidak ia kuasai, dan tidak mau berusaha
untuk memperkuat keahliannya terlebih dahulu yang justru jauh lebih relevan
baginya. []
-- bersambung --
Link terkait:
1 - Bagian 1 : Pengantar penerjemah
2 - Bagian 2 : Adab guru kepada ilmunya
3 - Bagian 3 : Adab guru dalam mengajar
4 - Bagian 4 : Adab guru kepada murid-muridnya
5 - Bagian 5 : Adab pribadi seorang murid
6 - Bagian 6 : Adab murid kepada gurunya dan teladannya
7 - Bagian 7 : Adab murid dalam belajar
8 - Bagian 8 : Adab kepada buku sebagai sarana ilmu
9 - Bagian 9 : Penutup (Adab Ahli Bait Nabi)
Link terkait:
1 - Bagian 1 : Pengantar penerjemah
2 - Bagian 2 : Adab guru kepada ilmunya
3 - Bagian 3 : Adab guru dalam mengajar
4 - Bagian 4 : Adab guru kepada murid-muridnya
5 - Bagian 5 : Adab pribadi seorang murid
6 - Bagian 6 : Adab murid kepada gurunya dan teladannya
7 - Bagian 7 : Adab murid dalam belajar
8 - Bagian 8 : Adab kepada buku sebagai sarana ilmu
9 - Bagian 9 : Penutup (Adab Ahli Bait Nabi)