Terjemah "Adabul 'Ulama' wal Muta'allimin" karya As-Sumhudi & Maulana 'Alamul Hajar al-Yamani - Bag. 2/9



[1] ADAB GURU KEPADA ILMUNYA

Dalam hal ini, ada 12 macam adab yang harus diperhatikan.

Pertama
Hendaknya berkeinginan memperoleh ridha Allah dengan ilmu yang dimilikinya, bukan untuk meraih tujuan-tujuan duniawi, seperti harta-benda, kedudukan, popularitas, disebut-sebut orang, tampil beda di tengah-tengah teman sebaya, atau hal-hal lain yang sejenis itu. Jangan sampai ia menodai ilmu dan pengajarannya dengan ketamakan dan pengharapan agar dapat memperoleh harta, pelayanan atau semacamnya dari orang-orang yang dia ajari, meskipun hanya sedikit, meskipun dalam bentuk hadiah, dimana dia sebenarnya tidak akan bisa memperoleh hadiah itu jika saja tidak menjadi pengajar.
Disebutkan bahwa Abu Ja'far al-Manshur – khalifah kedua Dinasti 'Abbasiyah – tidak mau minta tolong kepada seseorang yang datang kepadanya karena adanya suatu kebutuhan tertentu.
Sufyan bin 'Uyainah berkata, "Dulu, setelah aku bisa memahami al-Qur'an, aku pernah menerima kiriman sekantong uang dari Abu Ja'far yang kemudian aku mengambilnya, (aku berharap) semoga Allah memaafkanku."
Hendaknya seorang guru selalu meluruskan niat setiap kali memulai untuk mengerjakan segala hal yang berguna baginya.
Abu Muzahim al-Khaqani berkata, "Pernah dikatakan kepada Abu al-Ahwash, 'Sampaikanlah hadits kepada kami.' Beliau menjawab, 'Saya tidak punya niat untuk itu.' Orang-orang berkata lagi, 'Anda akan mendapatkan pahala.' Maka, beliau menjawab dengan melantunkan syair, "Mereka menawarkan kepadaku pemberian kebaikan yang melimpah, namun sulit bagiku untuk selamat, walau hanya pas-pasan; (semua itu) tidak untukku dan tidak pula bagiku!!"
Imam Syafi'i rahimahullah pernah berkata, "Aku sangat berharap orang-orang mempelajari ilmu ini dariku, sementara tidak satu hurufpun yang dinisbatkan kepadaku."
Beliau juga berkata, "Saya tidak pernah berdebat dengan seorang pun dengan mengharapkan untuk menang. Saya hanya berharap – apabila berdebat dengan seseorang – supaya (kebenaran) itu tampak nyata di hadapannya."
Beliau juga berkata, "Saya tidak pernah berbincang-bincang dengan seorang pun melainkan berharap agar diberi kecocokan, ketepatan dan ditolong; dan supaya perbincangan itu menjadi pemeliharaan dan penjagaan Allah baginya."
Al-Qadhi Abu Yusuf – salah seorang murid Abu Hanifah – berkata, "Wahai manusia, harapkanlah Allah dengan ilmu kalian, karena sesungguhnya saya tidak pernah sekalipun duduk di suatu majlis dimana saya berniat untuk mengalahkan orang lain yang duduk di dalamnya, melainkan saya pasti bangkit dari majlis itu dalam keadaan dilecehkan."

Kedua
Senantiasa merasa diawasi oleh Allah (muraqabah), baik dalam keadaan sendirian maupun di hadapan orang lain; merawat rasa takut (khauf) kepada Allah dalam gerak maupun diam, dalam perkataan maupun perbuatan, sebab guru adalah orang kepercayaan Allah (amiin) yang mengemban ilmu yang Dia limpahkan, juga atas segala ketajaman indra dan pemahaman yang Dia berikan. Allah berfirman dalam QS al-Anfaal: 7.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui."
Juga firman-Nya dalam QS al-Maidah: 44.
"…disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku..."
Imam Syafi'i berkata, "(Yang disebut) ilmu itu bukanlah apa-apa yang dihafalkan, akan tetapi ilmu adalah apa-apa yang bermanfaat."
Hendaknya seorang guru senantiasa bersikap tenang (sakiinah), berwibawa (wiqaar), khusyu', tawadhu', dan tunduk (khudhu').
Diantara isi surat yang dikirimkan Imam Malik kepada khalifah Harun ar-Rasyid adalah, "Apabila engkau mengetahui suatu ilmu, maka hendaknya pengaruh (atsar) dari ilmu itu tampak pada dirimu, juga ketenangan dan tanda-tandanya, juga kewibawaan dan kesantunannya, berdasarkan sabda Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam, 'Ulama' adalah para pewaris Nabi-nabi.'"
'Umar juga berkata, "Pelajarilah ilmu, dan pelajarilah karena ilmu itu ketenangan dan kewibawaan."
Diriwayatkan dari Abu Hurairah secara marfu', "Pelajarilah ilmu, dan pelajarilah karena ilmu itu ketenangan; dan bersikap tawadhu'-lah kepada orang yang darinya kamu belajar (guru)." – Diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam al-Ausath.
Diriwayatkan dari genarasi salaf rahimahumullah, "Adalah hak seorang 'alim untuk bersikap tawadhu' semata-mata karena Allah, baik dalam kondisi sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan; hendaknya ia menjaga dirinya dari hawa nafsu dan berhenti dari hal-hal yang akan menyulitkannya."

Ketiga
Menjaga ilmu sebagaimana cara ulama' salaf menjaganya, dengan menegakkan baginya 'izzah (kehormatan) dan syaraf (kemuliaan). Jangan mengotori ilmu dengan kerakusan kepada dunia, atau pergi mendatangi orang-orang yang tidak layak didatangi dari kalangan budak-budak dunia dengan tanpa alasan dan kebutuhan yang sangat mendesak. Jangan pula mendatangi murid-muridnya yang berasal dari kalangan mereka, meskipun begitu hebat statusnya, dan sangat besar kedudukan serta kekuasaannya.
Az-Zuhri berkata, "Hal itu adalah agar jangan sampai seorang guru justru membawa ilmu ke rumah muridnya."
Imam Malik bin Anas berkata kepada khalifah al-Mahdi – ayah dari Harun ar-Rasyid – dimana khalifah memanggil beliau untuk mengajari kedua putranya, "Ilmu itu lebih pantas untuk dihormati dan didatangi." Dalam riwayat lain beliau berkata, "Ilmu itu dikunjungi, bukan mengunjungi; ia didatangi, bukan mendatangi." Dalam riwayat lain beliau berkata, "Saya mendapati para ahli ilmu itu didatangi, bukan mendatangi."
Diriwayakan pula dari beliau, bahwa beliau bercerita, "Saya pernah menemui Harun ar-Rasyid, maka beliau berkata, 'Wahai Abu 'Abdillah, sebaiknya Anda datang kepada kami sehingga anak-anak kami dapat mendengarkan al-Muwaththa' dari Anda.' Saya menjawab, 'Semoga Allah memuliakan Anda. Sesungguhnya ilmu ini keluar dari Anda. Bila Anda menghormatinya, maka dia akan mulia; dan jika Anda merendahkannya maka ia akan menjadi hina pula. Ilmu itu didatangi dan bukan mendatangi.' Maka ar-Rasyid berkata, 'Anda benar. (Kalau begitu), keluarlah kalian ke masjid supaya kalian bisa mendengar dari tempat mendengar orang-orang pada umumnya.'"
Diriwayatkan bahwa suatu saat ar-Rasyid bertanya kepada Imam Malik, "Apakah Anda punya rumah?" Beliau menjawab, "Tidak." Maka ar-Rasyid pun memberinya tigaribu dinar seraya berkata, "Belilalah rumah dengan uang ini." Imam Malik pun menerimanya namun tidak membelanjakannya. Ketika ar-Rasyid hendak kembali ke Iraq, beliau berkata kepada Imam Malik, "Sebaiknya Anda keluar bersama kami, karena saya telah bertekad untuk mempersatukan seluruh rakyat kepada al-Muwaththa', sebagaimana 'Utsman menyatukan mereka kepada mushaf al-Qur'an." Maka beliau menjawab, "Mengenai mempersatukan rakyat kepada al-Muwaththa', maka hal itu tidak mungkin, sebab para sahabat Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam bertebaran di seluruh negeri sepeninggal beliau, dan mereka masing-masing menyampaikan hadits, sehingga di setiap negeri ada ilmunya sendiri-sendiri. Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam bersabda, 'Ikhtilaf (perbedaan pendapat) di tengah-tengah umatku adalah rahmat.' Mengenai keluar bersama Anda (ke Iraq), maka hal itu juga tidak mungkin. Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam bersabda, 'Madinah itu lebih baik bagi mereka, seandainya mereka mengetahui.' Beliau juga bersabda, 'Madinah itu memusnahkan kotoran-kotoran di dalamnya sebagaimana ubupan pandai besi membersihkan kotoran besi.' Ini dinar-dinar milik Anda, masih utuh seperti sediakala. Jika Anda mau, silakan ambil; jika tidak maka tinggalkanlah."
Maksudnya, 'Anda hendak membawaku keluar dari Madinah dikarenakan segala yang telah Anda perbuat kepada saya, maka saya tidak akan melebihkan dunia ini diatas akhirat.'
Dalam kitab al-Jaami', al-Khathib al-Baghdadi mengeluarkan sebuah kisah yang bersumber dari Muqatil bin Shalih al-Humaydi, "Saya masuk menemui Hammad bin Salamah. Pada saat saya masih berada di sisi beliau, tiba-tiba utusan Muhammad bin Sulaiman mengetuk pintu, kemudian mengucap salam, masuk dan menyerahkan sepucuk surat darinya. Beliau kemudian berkata kepada saya, 'Bacalah!' Ternyata di dalamnya tertulis: 'Bismillaahirrahmaanirrahiim. Dari Muhammad bin Sulaiman kepada Hammad bin Salamah. Amma ba'du: Semoga Allah menjadikan pagi hari Anda sebagaimana Dia menjadikan pagi hari bagi para wali-Nya dan orang-orang yang taat kepada-Nya. Ada suatu masalah, maka datanglah kepada kami karena kami ingin menanyakannya kepada Anda.' Maka beliau berkata kepada saya, 'Baliklah (kertas) suratnya, dan tuliskan: 'Amma ba'du: Demikian juga untuk Anda. Semoga Allah menjadikan pagi hari Anda sebagaimana Dia menjadikan pagi hari para wali-Nya dan orang-orang yang taat kepada-Nya. Sesungguhnya kami mendapati para ulama', mereka tidak mau mendatangi seorang pun. Jika terjadi suatu masalah, maka datanglah kepada kami dan tanyakanlah apa yang Anda hadapi itu. Dan bila Anda datang kepada kami, maka jangan datang melainkan sendirian; jangan membawa serta prajurit pengawal dan orang-orang Anda. (Sebab jika demikian) maka saya tidak akan menasihati Anda dan saya pun tidak bisa menasihati diri saya sendiri. Wassalam."
Pada saat saya masih duduk di sisi beliau, tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu. Beliau berkata (kepada seorang bocah perempuan di dalam rumah), 'Nak, keluar dan lihat siapa yang mengetuk pintu!' Gadis kecil itu kemudian berkata, 'Ini adalah Muhammad bin Sulaiman.' Beliau berkata, 'Katakan padanya, 'Masuklah sendirian.'' Kemudian dia masuk, mengucapkan salam, duduk di hadapan beliau dan memulai urusannya, 'Mengapa setiap kali melihat Anda saya selalu merasa takut dan gentar?' Maka Hammad pun menjawab, 'Saya mendengar Tsabit al-Bunnani berkata: Saya mendengar Anas bin Malik berkata: Saya mendengar Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam bersabda, 'Sesungguhnya seorang 'alim itu apabila dengan ilmunya dia mengharapkan ridha Allah, maka segala sesuatu akan takut dan segan kepadanya. Tapi bila ia berharap untuk menumpuk harta dengan ilmunya, maka dialah yang akan takut dan segan kepada segala sesuatu.' Kemudian Hammad bertanya, 'Apa yang hendak Anda tanyakan? Semoga Allah merahmati Anda.' Muhammad bin Sulaiman kemudian menceritakan masalahnya, dan beliau pun memberikan jawabannya. Lalu, dia berkata, 'Ada lagi satu keperluan (saya) kepada Anda.' Beliau menjawab, 'Berikanlah, sepanjang tidak membahayakan agama.' Dia berkata, 'Ini empatpuluh ribu dirham, ambillah, semoga dapat membantu keperluan Anda.' Beliau menjawab, 'Kembalikan kepada orang-orang yang mungkin Anda zhalimi.' Dia menjawab, 'Demi Allah, saya tidak memberi Anda kecuali dari apa yang saya warisi (dari orangtua saya)!' Beliau berkata, 'Saya tidak membutuhkannya. Singkirkan ini dari saya, semoga Allah menyingkirkan pula dosa-dosa Anda.' Dia berkata lagi, 'Selain ini (masih ada lagi keperluan saya).' Beliau menjawab, 'Kemarikan, selama tidak membahayakan agama.' Dia berkata, 'Anda ambil uang ini, lalu Anda membagikannya (kepada orang lain).' Beliau menjawab, 'Bisa jadi, meskipun saya telah berbuat adil dalam membagikannya, akan ada orang yang tidak kebagian dari uang ini berkata bahwa saya telah berbuat tidak adil sehingga dia berdosa (dengan persangkaannya itu). Singkirkan ini dari saya, semoga Allah menyingkirkan pula dosa-dosa Anda.'"
Dalam pasal lima akan dipaparkan pula peristiwa serupa yang terjadi antara sebagian putra al-Mahdi dengan Syuraik. Cerita dari generasi salaf dalam masalah ini sangat banyak dan terkenal.
Namun, jika ada keperluan atau kebutuhan yang sangat mendesak (yang mengharuskan untuk menemui seseorang), dan selama mashlahat keagamaan di dalamnya lebih besar dibanding mafsadah-nya, dan selama niat untuk kesana adalah baik, maka hal itu tidak mengapa. Alasan inilah yang melatari tindakan sebagian generasi salaf ketika mereka mendatangi sebagian raja dan pemegang otoritas pemerintahan di masanya, seperti yang dilakukan Imam Syafi'i dan lain-lain. Mereka tidak bermaksud untuk mendapat cipratan harta-benda duniawi. Demikian pula tidak mengapa apabila seseorang yang didatangi itu dari segi ilmu dan kezuhudannya berada pada maqam yang lebih tinggi serta posisi yang lebih mulia. Dalam hal ini tidak masalah untuk bolak-balik datang menemuinya guna memberikan suatu faedah kepadanya. Sufyan ats-Tsauri sering mendatangi Ibrahim bin Adham dan mengajarkan kepadanya hal-hal yang berfaedah. Abu Ubaid pun sering datang menemui 'Ali bin al-Madini dan memperdengarkan kepadanya hadits-hadits yang aneh (gharib).

Keempat
Menerapkan akhlaq-akhlaq yang dianjurkan oleh syari'at, yakni bersikap zuhud terhadap dunia dan sedapat mungkin mempersedikit materi duniawi bagi dirinya sendiri. Sebenarnya, materi yang dia miliki dan dia perlukan sepanjang dalam kadar wajar adalah termasuk qana'ah, dan tidak termasuk (berlebihan) dalam masalah duniawi.
Derajat terendah seorang 'alim adalah ketika dia merasa jijik kepada orang yang terlalu tergantung kepada dunia dan tidak merasa perduli kepada hilangnya dunia itu. Sebab, dialah yang paling tahu kepada remehnya dunia itu, fitnahnya, cepatnya dia musnah, besarnya kesulitan (memperoleh dan merawatnya), serta sedikitnya rasa puas terhadapnya.
Diceritakan dari Imam Syafi'i rahimahullah, "Andaikan aku harus berwasiat, maka orang yang paling pintar akan memberikannya kepada para ahli zuhud. Maka, siapakah yang lebih berhak dibanding para ulama', dikarenakan mereka mempunyai kelebihan dalam akal dan kesempurnaan?"
Yahya bin Mu'adz berkata, "Seandainya dunia adalah bijih emas yang fana sedangkan akhirat adalah keramik yang kekal, maka sudah sepantasnya bagi orang yang berakal untuk lebih mengutamakan keramik yang kekal dibanding bijih emas yang fana. Bagaimana kalau dunia adalah keramik yang fana sedangkan akhirat adalah bijih emas yang kekal?"
Hendaknya pula seorang 'alim senantiasa bersikap dermawan dan pemurah, selama ada yang dipergunakan untuk itu.

Kelima
Menjauhi profesi atau pekerjaan yang rendah dan hina menurut tabiat manusia, juga yang tidak disukai menurut adat maupun syari'at; seperti bekam, menyamak kulit, penukaran uang dan kerajinan emas. Hendaknya ia menjauhi kondisi yang potensial menimbulkan tuduhan buruk dan salah persangkaan dari orang lain yang mengetahuinya, meskipun hal itu jarang-jarang terjadi.
Janganlah menerima sesuatu yang kemungkinan di dalamnya mengandung unsur yang mengurangi muru'ah (kehormatan diri), atau sesuatu yang lahiriahnya kontroversial meskipun dari sisi batiniahnya boleh-boleh saja. Sebab, hal itu akan mendorongnya terjebak pada persangkaan dan tuduhan yang bukan-bukan, juga mendorongnya untuk benar-benar melakukan (hal yang disangka orang itu), menyebabkan orang lain terjerumus dalam prasangka yang tidak baik, dan kemudian benar-benar terjadi (apa yang mereka sangkakan itu).
Jika kebetulan hal itu sungguh-sungguh terjadi karena adanya suatu kebutuhan atau semacamnya, maka hendaknya ia memberitahu hukumnya kepada orang-orang yang kebetulan menyaksikannya, termasuk udzur dan tujuannya; supaya orang-orang yang melihatnya tidak menjadi berdosa, atau menjauh darinya sehingga tidak memperoleh manfaat dari ilmunya, sementara orang yang jahil pun tidak dapat mengambil faedah darinya. Karena itulah Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam bersabda kepada dua orang laki-laki yang melihat beliau tengah bercakap-cakap dengan ummul mu'minin Shafiyyah – saat itu hari masih gelap seusai shalat shubuh – sehingga keduanya berpaling memperhatikan beliau, "Tunggu sebentar! Ini adalah Shafiyyah." Beliau kemudian melanjutkan sabdanya, "Sesungguhnya syetan itu mengalir dalam diri seorang manusia bersama aliran darahnya, maka saya khawatir ia melemparkan sesuatu ke dalam hati kalian berdua." Dalam riwayat lain ada tambahan, "Sehingga kalian pun menjadi celaka karenanya."

Keenam
Senantiasa menjaga pelaksanaan syi'ar-syi'ar Islam dan segi-segi lahiriah dari hukum syari'at, seperti menegakkan shalat lima waktu di masjid dan berjamaah, berinisiatif menebarkan salam baik kepada kalangan tertentu maupun umum, melaksanakan amar ma'ruf dan nahi munkar, serta bersikap sabar menanggung akibatnya dengan tetap tegar di hadapan para penguasa, total menyerahkan dirinya kepada Allah dan tidak takut celaan orang lain, seraya mengingat firman Allah dalam QS Luqman: 17.
"...dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)."
Juga mengingat bagaimana Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam dan para Nabi lainnya bersikap sabar menghadapi gangguan, juga segala beban yang mereka tanggung di jalan Allah sampai mereka memperoleh kemenangan.
Demikian pula hendaknya ia senantiasa berusaha menampakkan sunnah-sunnah Nabi, mengesampingkan bid'ah, menegakkan urusan-urusan agama semata-mata karena Allah, juga segala hal yang mengandung kemaslahatan bagi kaum muslimin melalui metode yang disyari'atkan, jalan yang normal. Hendaknya dia tidak puas terhadap amal-amal yang lahir maupun batin sebatas yang biasa-biasa saja, namun selalu berusaha untuk dirinya sendiri untuk melaksanakan yang paling baik dan paling sempurna. Sebab, para ulama' adalah teladan dan kepada merekalah urusan hukum dirujukkan. Mereka adalah hujjah Allah terhadap kaum awam. Terkadang, orang memperhatikan tindak-tanduknya untuk diikuti oleh orang-orang lain yang tidak bertemu dengannya, dan orang-orang yang tidak tahu pun bisa mengikuti petunjuk dalam tindakannya. Jika saja orang yang 'alim tidak bisa mendapat manfaat dari ilmunya, maka orang selain mereka pasti lebih tidak bisa lagi, sebagaimana yang telah disinggung oleh kata-kata Imam Syafi'i sebelum ini, "(Yang disebut) ilmu itu bukanlah apa-apa yang dihafalkan, akan tetapi ilmu adalah apa-apa yang bermanfaat."
Oleh sebab itu, sangat hebatlah dampak dari kesalahan yang diperbuat seorang 'alim dikarenakan adanya efek-efek mafsadah yang timbul ketika orang lain mengikutinya.

Ketujuh
Senantiasa menjaga amaliah-amaliah yang sangat dianjurkan (manduub) menurut syari'at, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Hendaknya berupaya keras memperhatikan hal-hal yang mengandung unsur penghormatan kepada pemilik syari'at nabawiyah yang mulia, juga mengagungkan beliau dan para pengikutnya yang setia. Maka, hendaknya seorang guru rutin melakukan tilawah al-Qur'an, mengingat Allah dengan hati dan lisannya, melazimkan doa-doa serta dzikir syar'i di waktu malam dan siang, mengerjakan ibadah-ibadah nawafil seperti shalat dan puasa sunnah, berhaji ke Baitullah yang mulia, membaca shalawat kepada Nabi dan keluarganya. Sebab mencintai, menghormati dan mengagungkan beliau adalah wajib, sedangkan bersikap sopan tatkala mendengar namanya disebut, sunnah-sunnahnya dituturkan, adalah diharuskan dan sangat dianjurkan.
Disebutkan mengenai ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir 'alaihis salam bahwa setiap kali nama Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam disebut-sebut di dekat beliau, maka seketika itu juga wajahnya menjadi pucat. Demikian pula Imam Malik rahimahullah setiap kali nama Rasulullah disebutkan di sisinya, maka rona wajah beliau langsung berubah dan tertunduk. Sementara itu, setiap kali nama Rasulullah disebutkan di sisi Ibnu al-Qasim, maka lidahnya langsung kelu dan kaku di mulutnya, karena merasa sangat segan kepada Rasulullah.
Apabila membaca al-Qur'an, seorang guru hendaknya juga merenungkan makna-maknanya, perintah dan larangannya, janji dan ancamannya, serta berhenti pada batas-batas yang ditetapkannya. Hendaknya ia berhati-hati agar jangan melupakannya setelah pernah menghafalkannya, sebab ada sebuah hadits Nabi yang melarang hal itu.
Lebih baik lagi jika setiap harinya ia mempunyai suatu wirid rutin yang tidak pernah ditinggalkan. Jika tidak, maka dua hari sekali. Jika tidak mampu, maka setiap malam Senin dan Jum'at. Membaca al-Qur'an sampai khatam setiap tujuh hari sekali adalah salah satu wirid rutin yang baik. Diberitakan bahwa hal ini juga diamalkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Dikatakan bahwa barangsiapa yang mengkhatamkan al-Qur'an setiap tujuh hari sekali maka ia tidak akan pernah melupakannya.
Dianjurkan pula bagi seorang guru untuk mempergunakan keringanan-keringanan dalam agama (rukhshah) sesuai tempatnya, jika memang dibutuhkan dan ada sebab-sebab jelas yang mengizinkannya, supaya orang-orang terdekatnya dapat meniru. Sebab Allah suka bila keringanan-keringanannya diterima sebagaimana Dia juga suka jika kewajiban-kewajibannya dijalankan.

Kedelapan
Mempergauli sesama manusia dengan akhlaq yang mulia, seperti berwajah cerah, menebarkan salam, memberi jamuan makan (orang yang lapar dan tamu), menahan marah, menghindari menyakiti orang lain, menanggung beban mereka, mengutamakan orang lain dan bukannya meminta didahulukan dalam segala hal, bersikap adil dan tidak berat sebelah kepada orang lain dan bukannya menuntut agar diperlakukan secara adil, mensyukuri kelebihan yang dimiliki, berusaha mandiri memenuhi kebutuhan hidupnya, bersedia mempergunakan pengaruh dan kedudukannya untuk membantu orang lain, bersikap lemah-lembut kepada kaum fakir, bersikap simpatik kepada tetangga dan karib-kerabat, menyayangi para siswa serta membantu dan berbuat baik kepada mereka, sebagaimana akan ada perinciannya sebentar lagi, insya-Allah.
Apabila melihat seseorang yang tidak benar dalam melaksanakan shalat, thaharah atau sesuatu kewajiban yang lain, maka hendaknya seorang guru membimbing dengan lembut dan penuh kasih, sebagaimana yang pernah dipraktikkan oleh Nabi shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam kepada seorang Arab dusun yang kencing di sudut masjid, juga yang beliau lakukan kepada Mu'awiyah bin al-Hakam yang kurang sempurna dalam mengerjakan shalat.

Kesembilan
Membersihkan zhahir maupun bathin-nya dari akhlaq-akhlaq yang rendah dan berusaha menyemarakkannya dengan akhlaq-akhlaq yang disenangi (mardhiyyah). Diantara akhlaq tercela adalah menyimpan dendam, iri-dengki, aniaya dan melampaui batas, marah bukan karena Allah ta'ala, menipu, sombong, riya' (pamer), 'ujub (merasa hebat), sum'ah (menyebut-nyebut kebaikan), bakhil (pelit), pengecut, pongah, tamak dan rakus, membanggakan diri sendiri, angkuh, berlomba-lomba dalam masalah duniawi dan bermegah-megahan dalam hal ini, pura-pura lembut dan terlalu banyak bermanis-muka kepada orang lain, suka dipuji atas hal-hal yang belum pernah dikerjakan, buta dari kejelekan dirinya sendiri, suka menyibukkan diri mengurusi kejelekan orang lain, fanatik golongan dan bersikap 'ashabiyyah bukan karena Allah, cinta dan benci bukan karena-Nya, ghibah (membicarakan aib orang lain di belakangnya), mengadu domba (namimah), menyebar berita bohong (buhtaan), berdusta, berkata kotor, serta meremehkan orang lain meski dia lebih rendah darinya.
Maka, berhati-hatilah, sekali lagi berhati-hatilah dari semua sifat keji serta akhlaq yang rendah ini. Sebab itu adalah gerbang memasuki segala kejelekan, bahkan itulah induk segala kejelekan dan keburukan. Sungguh telah banyak fuqaha' di zaman kita ini yang celaka oleh sifat-sifat tersebut, kecuali mereka yang dijaga serta dilindungi oleh Allah, terlebih-lebih karena sifat iri-dengki, 'ujub, riya' dan meremehkan orang lain. Obat mujarab bagi keempat sifat terakhir ini ada dalam kitab-kitab zuhud, dan salah satunya yang paling bermanfaat adalah kitab at-Tashfiyyah karya Imam Yahya bin Hamzah 'alaihis salam, kemudian kitab Kanzu ar-Rasyaad karya Imam 'Izzuddin, dan yang paling ringkas namun padat adalah kitab Takmilatu al-Ahkaam.  
Diantara obat bagi penyakit iri-dengki adalah merenung bahwa hal itu merupakan penentangan kepada kebijaksanaan Allah yang telah menetapkan nikmat bagi orang yang dia merasa iri-dengki kepadanya itu. Padahal sesungguhnya iri-dengki adalah bahaya murni bagi pelakunya yang menyebabkannya selalu bersedih, hatinya menjadi lelah, tersiksa oleh sebab-sebab yang pada dasarnya tidak akan membahayakan orang yang diiri-dengkikan itu.
Diantara obat bagi penyakit 'ujub adalah mengingat-ingat bahwa segala ilmu, pemahaman, kecerdasan akal, kafasihan lidah dan segala kenikmatan lain yang ada padanya adalah semata-mata karunia dari Allah untuknya, merupakan amanah Allah yang harus dirawat sebaik-baiknya. Dan, bahwasanya 'ujub adalah bentuk kufur nikmat yang dapat memancing musnahnya kenikmatan itu sendiri. Sebab Dzat yang telah memberinya nikmat-nikmat itu sanggup untuk mencabutnya kembali dalam sekejap mata. Allah berfirman dalam QS Ibrahim: 20.
"Dan yang demikian itu sekali-kali tidak sukar bagi Allah."
Allah juga berfirman dalam QS al-A'raf: 99.
"Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)?"
Diantara obat bagi penyakit riya' adalah merenung bahwasanya segenap makhluk pada dasarnya tidak mampu untuk menimbulkan manfaat maupun bahaya kepadanya. Maka, seharusnya ia tidak menyia-nyiakan amalnya, membahayakan agamanya dan menyibukkan dirinya untuk memperhatikan orang yang pada hakikatnya tidak mungkin mampu menimpakan manfaat maupun bahaya kepadanya. Sebab, Allah senantiasa mengawasi niat dan mengetahui keburukan dalam hatinya. Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits shahih bahwa barangsiapa yang memperdengar-dengarkan amalnya di dunia maka Allah akan memperdengar-dengarkan keburukannya di akhirat, dan barangsiapa yang memamer-pamerkan kebaikannya di dunia maka Allah akan memamer-pamerkan keburukannya di akhirat.
Diantara obat bagi penyakit suka meremehkan orang lain adalah men-tadabburi firman Allah dalam QS al-Hujurat: 11.
"…janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik..."
Juga firman-Nya yang lain dalam QS al-Hujurat: 13.
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu..."
Kemudian firman-Nya dalam QS an-Najm: 32.
"…maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa."
Boleh jadi orang yang diremehkan itu lebih suci hatinya, lebih bersih amalnya dan lebih tulus niatnya di hadapan Allah. Sebagaimana dikatakan bahwa Allah menyembunyikan tiga perkara dari tiga yang lainnya: wali-Nya di tengah-tengah para hamba-Nya, ridha-Nya di tengah-tengah ketaatan seseorang kepada-Nya, dan murka-Nya di tengah-tengah kemaksitan seseorang kepada-Nya. Jadi, perlu disadari bahwasanya meremehkan orang lain hanyalah kerugian besar yang akan mendatangkan kehinaan kepada pelakunya.
Diberitakan bahwa al-Harits bin Mu'awiyah pernah meminta kepada 'Umar untuk mengisahkan satu cerita, lalu 'Umar berkata, "Saya mengkhawatirkan dirimu, bila engkau kemudian menceritakan kembali kisah itu kepada orang lain sehingga engkau merasa sedemikian hebat, kemudian engkau ceritakan sekali lagi dan semakin bertambahlah perasaan itu dalam dirimu, sehingga engkau merasa jauh diatas orang lain seakan-akan engkau duduk diatas bintang kejora, maka kelak di hari kiamat Allah balik akan merendahkanmu di bawah telapak kaki mereka sejauh jarak bintang kejora itu pula." – Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, sedangkan al-Harits bin Mu'awiyah adalah perawi yang dinilai tsiqah oleh Ibnu Hibban, sementara para perawi yang lain dalam sanad-nya adalah perawi shahih.
Diantara bentuk akhlaq yang diridhai Allah adalah senantiasa bertaubat, ikhlas, yaqin, taqwa, sabar, ridha, qana'ah, zuhud, tawakkal dan menyerahkan urusan kepada Allah (tafwidh), memiliki batin yang bersih, baik sangka (husnu-zhann), luwes dan mudah memaafkan, baik akhlaqnya, berpenampilan baik, mensyukuri nikmat, penuh kasih kepada makhluk-makhluk Allah, serta merasa malu kepada Allah dan sesama manusia.
Mencintai Allah (mahabbatullah) adalah sesuatu yang menyatukan segenap sifat-sifat kebaikan, dan hal itu hanya bisa dicapai dengan mengikuti (ittiba') Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam, sebagaimana firman Allah dalam QS Ali 'Imran: 31.
"Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu..."

Kesepuluh
Senantiasa berhasrat untuk meningkatkan dirinya, dengan selalu bersungguh-sungguh dan berupaya keras; serta kontinyu dalam mengamalkan kebiasaan-kebiasaan baiknya berupa ibadah, membaca sebanyak mungkin, melakukan telaah, berfikir, mengkritisi, menghafal, mengarang dan meneliti; jangan menyia-nyiakan waktu untuk hal-hal yang tidak ada relevansinya dengan ilmu dan amal, kecuali hal-hal primer sebagai manusia biasa seperti makan, minum, tidur, beristirahat karena merasa jenuh, memenuhi hak istri atau tamu yang berkunjung, mencukupi pangan bagi keluarga dan orang-orang yang berada dalam tanggungannya, dimana mereka tidak mampu untuk mencukupi dirinya sendiri. Sebab, selain untuk hal-hal tersebut kebanyakan umur seorang mukmin itu tersia-siakan dan tiada berharga. Barangsiapa yang dua hari dilaluinya dalam keadaan sama maka dia adalah orang yang tertipu.
Al-Muzani berkata: "Saya mendengar Imam Syafi'i berkata, 'Sebagian ulama' salaf ditanya: seberapa jauh Anda menyibukkan diri dengan ilmu? Maka dijawabnya: ilmu adalah hiburanku saat aku berduka, dan dia adalah kesenanganku saat aku gembira." Kemudian beliau mendendangkan sebuah syair yang digubahnya sendiri, "Aku bukanlah seorang yang pencemburu kepada istrinya; Aku adalah pencemburu kepada ilmuku; Dialah dokter bagi hatiku sejak tiga puluh musim haji silam; Dialah penajam otakku dan penghibur bagi segala dukaku."
Sebagian dari mereka bahkan tidak meninggalkan untuk sibuk mencari ilmu hanya karena sakit ringan atau keluhan biasa. Bahkan, mereka mencari obat bagi semua rasa sakit itu dengan ilmu, dan tetap belajar selama masih memungkinkan. Hal itu dikarenakan derajat ilmu yang merupakan warisan para Nabi, sedangkan ketinggian derajat itu sendiri tidak mungkin diraih kecuali dengan melalui beragam kesukaran. Dalam Shahih Muslim ada sebuah riwayat yang bersumber dari Yahya bin Abi Katsir, beliau berkata, "Ilmu itu tidak akan bisa diraih dengan berleha-leha." Dalam sebuah hadits juga disebutkan bahwa surga itu dikelilingi dengan berbagai hal yang tidak menyenangkan. Dikatakan, "Apakah Anda ingin mendapat kemuliaan secara murah, padahal untuk memperoleh madu pun Anda harus siap disengat lebahnya?" Dikatakan pula, "Jangan menyangka bahwa kemuliaan itu seperti kurma yang Anda tinggal memakannya. Ingatlah Anda tidak akan mencapai kemuliaan sebelum menelan kepahitan terlebih dahulu."
Imam Syafi'i berkata, "Wajib bagi pencari ilmu untuk mengerahkan semaksimal mungkin usahanya dalam memperbanyak ilmu, bersikap sabar menghadapi semua rintangan ketika mencari ilmu, memurnikan niat semata-mata karena Allah dalam memperoleh ilmu baik dengan cara menghafal teks maupun menganalisis dan menyimpulkan sebuah dalil (istinbath), juga selalu berharap kepada pertolongan Allah dalam mencari ilmu itu."
Ar-Rabi' bin Sulaiman berkata, "Saya tidak pernah melihat Imam Syafi'i makan di siang hari ataupun tidur di malam hari, karena beliau sangat sibuk menyusun karangan."
Meski demikian, seorang 'alim hendaknya tidak membebani diri melebihi kemampuannya, supaya tidak bosan dan jenuh. Sebab adakalanya tokoh-tokoh tertentu itu sedemikian luar biasa kehidupan mereka sehingga nyaris tidak mungkin untuk disamai. Yang tepat adalah bersikap tengah-tengah dan sewajarnya dalam masalah ini. Pada prinisipnya setiap orang lebih mengerti tentang kadar dan batas kemampuannya sendiri.

Kesebelas
Jangan merasa enggan untuk mempelajari sesuatu yang tidak diketahuinya dari orang lain yang lebih rendah darinya baik dari segi posisi, nasab maupun usia; hendaknya selalu ingin memperoleh hal berguna dari manapun sumber asalnya. Hikmah adalah sesuatu yang terhilang dari seorang mukmin, maka ia akan memungutnya dimanapun ia menemukannya.
Sa'id bin Jubair berkata, "Seseorang itu selalu disebut 'alim selama dia mau untuk terus belajar. Sehingga jika ia meninggalkan belajar dan menyangka bahwa dia telah kelebihan dan merasa cukup dengan apa yang sudah diketahuinya, maka diapun menjadi orang yang lebih bodoh dibanding sebelumnya."
Sebagian orang Arab berdendang, "Yang disebut kebutaan (kepada ilmu) bukanlah pertanyaan yang panjang-panjang; akan tetapi yang disebut kebutaan (kepada ilmu) adalah panjangnya sikap diam padahal sebenarnya bodoh."
Sebagian ulama' salaf bahkan mau belajar dari murid-murid mereka sendiri tentang masalah-masalah yang tidak mereka ketahui.
Al-Humaydi – salah seorang murid Imam Syafi'i – bercerita, "Saya menemani Imam Syafi'i dari Makkah ke Mesir. Maka saya belajar dari beliau tentang persoalan-persoalan (fiqh), sedangkan beliau belajar hadits dari saya."
Imam Ahmad bin Hanbal juga bercerita, "Imam Syafi'i pernah berkata kepada kami: 'Anda lebih memahami hadits dibanding saya. Jika menurut Anda sebuah hadits itu shahih, maka katakanlah kepada saya, supaya saya dapat berpegang kepadanya."
Juga terdapat cukup banyak riwayat yang shahih yang mengungkapkan periwayatan para sahabat yang bersumber dari generasi tabi'in. Dan yang lebih hebat dari itu adalah bacaan Al-Qur'an yang dilakukan Rasulullah di hadapan Ubayy bin Ka'ab, seraya bersabda, "Allah memerintahkan saya untuk membaca surah Lam yakunil-ladziina kafaru kepadamu."
Para ulama' salaf menyatakan, bahwa diantara faedah tindakan beliau tersebut adalah supaya orang yang lebih mulia tidak merasa segan untuk mengambil pelajaran dari orang yang lebih rendah darinya.

Keduabelas
Menyibukkan diri untuk mengarang, mengumpulkan dan menyusun suatu karya; asalkan didasari dengan kesempurnaan dalam keahlian dan keutamaan. Sebab, dengan demikian dia akan terdorong untuk menelaah hakikat disiplin ilmu yang ditekuninya serta detil-detil ilmu yang dipelajarinya, dikarenakan (mengarang) membutuhkan banyak cross-check dan verifikasi, penelaahan, penggalian dan pembacaan ulang. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh al-Khathib al-Baghdadi, "(Mengarang itu akan) memperkuat hafalan, mencerdaskan hati, mengasah karakter, mempertajam ungkapan, memperoleh kenangan yang baik dan pahala yang banyak, serta mengabadikan diri sampai akhir masa."
Dikatakan, "Suatu kaum telah lama mati, dan ilmu kembali menghidupkan kenangan tentang mereka; sementara itu orang-orang bodoh, mereka pada dasarnya hanya menyusul orang-orang yang telah lama mati."
Ada yang berkata, "Ilmu seseorang adalah anaknya yang kekal abadi."
Abul Fath 'Ali bin Muhammad al-Busty berkata, "Orang-orang berkata bahwa kenangan tentang seseorang itu abadi bersama anak keturunannya; sehingga dia tidak akan punya kenangan jika tidak memiliki anak keturunan; Maka saya katakan kepada mereka, bahwa kenangan saya adalah hikmah-hikmah terindah yang saya ungkapkan; maka barangsiapa yang ingin mempunyai keturunan, dengan inilah kami meninggalkan anak keturunan."
Diutamakan agar memperhatikan hal-hal yang mempunyai manfaat luas dan banyak dibutuhkan oleh masyarakat pada masanya. Hendaknya pula ia memperhatikan hal-hal yang mungkin belum pernah ditulis oleh orang sebelumnya, supaya tidak terjadi bahwa orang tidak membutuhkan apa yang ditulisnya itu dari segala seginya. Hendaknya ia menulis dengan bahasa yang jelas. Hindarilah karangan yang bertele-tele dan membosankan atau terlalu ringkas yang justru melewatkan banyak hal penting. Hendaknya ia pun tetap memperhatikan otoritas setiap penulis lain dalam bidang itu secara wajar. Jangan menerbitkan karyanya sebelum dilakukan proses penelitian yang cermat, dibaca berulang-ulang, dan telah disusun sedemikian rupa. Sebagian orang di zaman kita sekarang ada yang menolak jika ada yang mau menulis dan menyusun suatu karangan, bahkan terhadap seseorang yang tampak nyata keahliannya dan telah dikenal pengetahuannya. Penolakan seperti ini jelas tidak pada tempatnya, kecuali hanya mengundang perdebatan yang tidak berguna. Betapa indah apa yang pernah dikatakan seseorang, "Katakanlah jika saja orang-orang di zaman ini tidak boleh melihat apapun; dan hanya boleh melihat apa-apa yang dibuat oleh generasi terdahulu saja; Sungguh segala yang lama itu dulunya pun pernah baru; dan apa-apa yang sekarang baru pun akan menjadi lama pula suatu hari nanti."
(Sungguh aneh), padahal orang-orang yang berusaha untuk menggoreskan penanya menulis syair-syair, cerita-cerita mubah atau sejenis itu, maka tidak ada yang menolak usaha mereka. Lalu, mengapa tatkala ada orang yang berusaha untuk mengarang sesuatu yang bermanfaat dalam bidang ilmu syari'at justru ditolak dan diremehkan? Adapun jika penolakan itu disebabkan karena penulis tersebut tidak mempunyai otoritas di bidang itu, maka hal itu lebih disebabkan adanya kebodohan darinya dan mengandung unsur penipuan kepada orang-orang yang kelak membaca karyanya. Sebab pada dasarnya ia telah menyia-nyiakan waktunya untuk mengerjakan sesuatu yang sebenarnya tidak ia kuasai, dan tidak mau berusaha untuk memperkuat keahliannya terlebih dahulu yang justru jauh lebih relevan baginya. []