Terjemah "Adabul 'Ulama' wal Muta'allimin" karya As-Sumhudi & Maulana 'Alamul Hajar al-Yamani - Bag. 6/9
Termasuk dalam
hal ini adalah menghormati guru sebaik-baiknya, dimana di dalamnya termaktub 13
macam adab.
Pertama
Hendaknya
seorang pencari ilmu mengemukakan pandangannya dan meminta kepada Allah untuk
dipilihkan (istikharah) mana guru yang akan dijadikannya tempat belajar,
menimba akhlaq serta adab. Carilah guru yang paling sempurna keahliannya dan
terbukti sifat welas-asihnya, muru'ah-nya bersih dan dikenal sebagai
sosok yang selalu menjaga diri ('iffah), terkenal dengan ketepatannya,
paling baik dalam mengajar dan paling mahir memahamkan orang lain.
Seorang
murid hendaknya jangan mau berguru kepada sosok yang lebih pandai namun kurang wara',
sedikit komitmen beragamanya atau tidak berakhlaq mulia. Sebagian ulama' salaf
berkata, "Ilmu ini adalah (bagian utama) agama kalian, maka perhatikan
dari siapa kalian mempelajari agama kalian."
Hendaknya
pencari ilmu berhati-hati agar tidak hanya terpaku kepada orang-orang terkenal
dan tidak mau belajar dari tokoh yang kurang dikenal, sebab – menurut
al-Ghazali – hal itu termasuk kesombongan dalam ilmu. Ilmu adalah sesuatu yang
terhilang dari seorang mukmin; ia akan mengambilnya di manapun menemukannya;
meraupnya di manapun ia beruntung menjumpainya; dan mengalungkan penghargaan
kepada orang yang mengantarkan hikmah itu kepadanya. Sebab, seorang pencari
ilmu lari menghindar karena takut kepada kejahilan sebagaimana ia lari
menghindari singa; dan orang yang melarikan diri dari kejaran singa tidak akan
pilih-pilih orang yang bisa memberitahu jalan untuk meloloskan diri, siapapun
dia.
Abu Nua'im
menuturkan sebuah kisah dalam kitab al-Hilyah, bahwasanya Zainal 'Abidin
'Ali bin al-Husain bin 'Ali 'alaihimas salaam pernah pergi mendatangi
Zaid bin Aslam kemudian duduk belajar kepadanya. Maka ada yang bertanya
kepadanya, "Anda ini sayyid bagi manusia dan orang yang paling
utama di tengah-tengah mereka, mengapa Anda pergi kepada budak ini dan duduk
belajar kepadanya?" Beliau menjawab, "Ilmu itu diikuti di manapun ia
berada, pada siapapun ia berada."
Bila tokoh
yang tidak seberapa terkenal itu termasuk orang yang dapat diharapkan
berkahnya, maka manfaat yang datang darinya lebih luas dan memperoleh ilmu
darinya dinilai lebih sempurna. Bila engkau telusuri perjalanan hidup ulama' salaf
dan khalaf, pada umumnya kemanfaatan dalam belajar itu tidak tercapai
dan keberuntungan pun tidak diraih oleh para pencari ilmu, kecuali jika guru
mereka mempunyai kadar ketaqwaan yang sangat besar. Demikian pula bila engkau
perhatikan berbagai karya yang telah ditulis orang, ternyata karya penulis yang
lebih bertaqwa dan zuhud itu lebih banyak dimanfaatkan, dan keberuntungan dalam
mengkajinya lebih umum ditemukan.
Usahakan
semaksimal mungkin agar belajar dari guru yang dikenal mempunyai penelaahan
mendalam dalam ilmu-ilmu syari'ah. Pilihlah guru yang dipercaya telah bergaul
lama dan banyak berdiskusi dengan tokoh-tokoh paling otoritatif di zamannya. Jangan
belajar dari orang yang hanya mengkaji ilmunya dari buku-buku saja. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Imam Syafi'i, "Barangsiapa yang ber-tafaqquh
hanya dari buku-buku, maka dia telah menyia-nyiakan berbagai hukum."
Sebagian ulama' juga berkata, "Diantara bencana paling besar adalah guru-guru
kertas." Yakni, mereka yang hanya belajar dari buku-buku.
Kedua
Tunduk patuh
kepada guru dalam berbagai urusan, jangan keluar dari saran dan arahannya. Bersikaplah
seperti pasien di hadapan seorang dokter ahli, sehingga selalu meminta sarannya
dalam apa saja yang akan dilakukan dan berusaha memperoleh ridhanya dalam apa
saja yang direncanakan.
Hendaklah
murid berusaha menghormati gurunya semaksimal mungkin dan ber-taqarrub
kepada Allah dengan cara ber-khidmat kepadanya. Ketahuilah bahwa
merendahkan diri kepada guru adalah kemuliaan, tunduk kepadanya adalah
kebanggaan dan tawadhu' di hadapannya adalah kehormatan.
Ibnu 'Abbas
rela berjalan memegang dan menuntun binatang tunggangan yang dinaiki Zaid bin
Tsabit al-Anshari – salah seorang gurunya – meskipun telah diketahui keagungan
dan kedekatan tali kekerabatan beliau dengan Rasulullah shalla-llahu 'alaihi
wa aalihi wasallam, serta tingginya martabat beliau. Beliau berkata,
"Demikianlah kami diperintahkan untuk memperlakukan para guru kami."
Telah kita
sebutkan sebelum ini hadits yang diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam al-Austah,
bersumber dari Abu Hurairah secara marfu', "Palajarilah ilmu;
pelajarilah ketenangan (as-sakinah) karena ilmu itu; dan bersikap tawadhu'-lah
kepada orang yang kalian belajar darinya (guru)."
Ilmu tidak
akan bisa diraih kecuali dengan tawadhu' dan total dalam mendengarkan
bimbingan guru. Apapun metode yang disarankan guru kepadanya dalam belajar
hendaknya diikuti dan tinggalkan pendapat pribadi. Sebab, kekeliruan yang
dilakukan seorang pembimbing itu lebih bermanfaat dibanding ketepatan yang
dilakukan murid sendiri.
Ketiga
Memandang
guru dengan tatapan penghormatan, meyakini tingkat kesempurnaannya, serta memuliakan
dan mengagungkannya. Sebab hal itu lebih memungkinkan untuk menarik manfaat
darinya. Sebagian ulama' berkata, "Adab yang baik adalah juru bicara
akal."
Menurut
sebagian peneliti, memelihara dan memperhatikan adab itu lebih diprioritaskan
dibanding lainnya. Tidakkah Anda melihat bagaimana Allah memuji orang-orang
yang beradab dan memuliakan kedudukan mereka, dengan firman-Nya dalam QS al-Hujurat:
3.
"Sesungguhnya
orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang
yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertaqwa. Bagi mereka ampunan dan
pahala yang besar."
Seyogyanya
seorang murid tidak berbicara dengan guru dengan menggunakan sapaan
"kamu" atau "-mu" dan jangan memanggilnya dari kejauhan. Namun,
hendaknya seorang murid memanggil gurunya dengan "tuan",
"bapak", "ibu", atau yang semacamnya. Katakan "apa
pendapat Bapak tentang masalah ini", "bagaimana menurut Bapak dalam
hal ini", atau yang semisalnya. Jangan menyebut nama guru secara langsung
(Jw: njangkar, njambang) di belakangnya, kecuali disertai dengan sebutan
yang menunjukkan penghormatan kepadanya, misalnya "tuan guru
berkata", "ustadz berkata", "syaikh kami berkata", atau
yang sejenisnya.
Keempat
Mengakui hak
guru dan tidak melupakan apa yang telah dia berikan kepadanya. Diriwayatkan
secara marfu' dari Abu Umamah al-Bahili, "Barangsiapa yang mengajari
seorang budak satu ayat dari Kitabullah, maka dia berhak menjadi maula
(majikan yang memerdekakan budak)."
Diantara
bentuknya adalah bersikap hormat kepada guru di hadapannya dan menolak
gunjingan tentang dirinya serta tidak rela terhadapnya. Jika tidak mampu untuk
menolak maka ia pergi meninggalkan majelis tersebut. Seyogyanya murid mendoakan
guru sepanjang hidupnya, memperhatikan anak keturunan dan kerabat gurunya
setelah sang guru wafat, secara rutin menziarahi makamnya, memohonkan ampunan
baginya, bersedekah atas namanya, menapaktilasi dan menjalankan bimbingan,
petunjuk serta perangainya, beradab seperti sang guru, dan tidak meninggalkan
untuk meneladani kehidupannya.
Kelima
Bersabar
atas sikap kasar atau akhlaq buruk yang datang dari gurunya. Jangan sampai hal
itu membuatnya tidak betah belajar kepadanya atau mengubah keyakinannya kepada
sang guru tersebut. Hendaknya murid men-ta'wil-kan suatu tindakan yang
tampak pada guru, bahwa "sebenarnya bukan seperti itu maksudnya", dengan
ta'wil sebaik-baiknya. Ketika guru bersikap kasar kepadanya, maka murid
adalah yang pertama-tama meminta maaf, beristighfar, bertaubat kepada Allah, merasa
yang salah dan harus dikritik adalah dirinya; sebab hal itu akan melanggengkan
kecintaan kepada guru dan akan merawat perasaan di hatinya, serta lebih
bermanfaat baginya di dunia dan akhirat.
Sebagian
ulama' salaf berkata, "Barangsiapa yang tidak bisa bersabar
merendahkan diri dalam belajar, maka seumur hidup ia akan berada dalam pengaruh
kejahilan; dan barangsiapa yang bisa bersabar maka ia mendorong nasibnya ke
dalam kemuliaan dunia dan akhirat."
Ibnu 'Abbas radhiya-llahu
'anhuma berkata, "Aku telah merendahkan diri sebagai seorang pencari
ilmu, maka kini aku terhormat sebagai orang yang dicari ilmunya."
Sebagian
ulama' salaf berkata, "Bersabarlah menerima penyakitmu jika engkau
bersikap kasar kepada doktermu; dan bersabarlah menerima kejahilanmu jika
engkau bersikap kasar kepada gurumu."
Keenam
Berterima
kasihlah kepada guru atas petunjuknya ke jalan keutamaan, tegurannya atas
kekurangan, kemalasan, kelambanan, atau hal-hal lain yang ada dalam dirinya. Demikian
pula terhadap segala perhatian, kritik, bimbingan dan perbaikannya. Anggap
semua itu merupakan karunia Allah kepadanya melalui sang guru, yakni dalam
bentuk perhatian dan pengawasannya. Sebab, semua itu akan memunculkan simpati
guru kepadanya sehingga semakin memperhatikan kebaikan-kebaikan yang berguna
baginya.
Jika guru
memintanya memperhatikan suatu bagian kecil dari adab atau kekurangan tertentu
yang ada dalam dirinya, sedangkan murid telah mengetahuinya sebelum itu, maka
jangan mengemukakan alasan-alasan untuk membenarkan diri. Bila bimbingan guru
lebih baik maka itu tidak mengapa diterima, jika tidak maka tinggalkan saja.
Ketujuh
Jangan masuk
menemui guru di luar ruangan umum kecuali dengan seizinnya, baik guru sedang
sendirian maupun bersama orang lain. Jangan mengulang-ulang terus permintaan
izin untuk bertemu. Jika ia ragu bahwa guru mendengar permintaan izinnya, maka
tidak mengapa minta izin atau mengetuk pintu lebih dari tiga kali. Demikian
pula ketika di kelas atau halaqah. Ketuklah pintu dengan pelan dan
sopan, dengan menggunakan ujung kuku jari tangan. Jika di kelas atau halaqah,
maka mintalah izin dengan suara pelan dulu, lalu tingkatkan volume suara sedikit
demi sedikit. Jika tempat guru jauh dari pintu, kelas atau halaqah, maka
tidak mengapa dengan suara agak keras, secukupnya saja sekiranya bisa didengar
guru dan jangan berlebihan.
Bila guru
telah memberi izin untuk masuk, sedang murid berada dalam suatu rombongan, maka
hendaknya yang masuk dan memberi salam pertamakali adalah yang paling senior
dari segi usia maupun keutamaan, kemudian disusul oleh peringkat di bawahnya
satu demi satu.
Seyogyanya
menemui guru dalam kondisi yang paling sempurna, suci pakaian dan badan, bersih,
kuku dan rambut terpotong rapi serta jangan membawa aroma tidak sedap. Terlebih
lagi jika bermaksud mendatangi majelis ilmu, sebab ia adalah majelis dzikir dan
berkumpul dalam rangka beribadah.
Jika murid
masuk menemui guru di luar ruangan umum sedangkan di sisinya ada orang yang
sedang bercakap-cakap dengannya, kemudian tiba-tiba mereka diam tidak
melanjutkan percakapannya; atau murid masuk sementara guru sedang sendirian
mengerjakan shalat, berdzikir, menulis atau membaca; kemudian guru
membiarkannya saja, atau diam dan tidak memulai pembicaraan atau basa-basi
lainnya; maka hendaknya murid segera mengucapkan salam dan pergi dari tempat
itu; kecuali jika guru memintanya untuk menunggu. Jika diam menunggu maka
jangan terlalu lama, kecuali jika guru memintanya.
Hendaknya
murid masuk menemui guru ketika hati gurunya itu lapang, bebas dari kesibukan,
pikirannya bersih, tidak dalam kondisi mengantuk, marah, sangat lapar,
kehauasan atau kondisi lain yang serupa, supaya guru berkenan kepada apa yang
hendak dikatakan muridnya itu dan memahami maksudnya dengan baik.
Bila murid
datang kepada gurunya sementara guru belum memulai pelajarannya, maka hendaknya
murid menunggu supaya ia tidak terlewat dari pelajaran yang akan diberikan
gurunya. Sebab setiap pelajaran yang telah berlalu itu tidak akan tergantikan.
Jangan
meminta guru mengajar di waktu-waktu yang sulit baginya, atau tidak umum
memberi pelajaran di waktu tersebut. Murid jangan meminta kepada gurunya waktu
khusus baginya sendirian saja, walaupun ia seorang pejabat atau tokoh
terhormat. Sebab, itu merupakan bentuk menyombongkan diri dan kedunguan di
hadapan guru, sesama murid maupun ilmu. Jika guru yang menawarkan waktu
tertentu atau khusus baginya dikarenakan udzur tertentu yang menyebabkannya sukar
hadir bersama murid-murid yang lain, atau karena ada kebaikan tertentu yang
dikehendaki guru, maka hal itu tidak mengapa.
Kedelapan
Hendaknya
seorang murid duduk di depan gurunya dengan sopan, seperti cara duduknya
seorang bocah di hadapan qari' al-Qur'an atau bersila, dengan tawadhu',
tunduk, tenang, khusyu', mendengarkan uraian guru dengan memandangnya,
menghadap ke arah guru dengan seluruh tubuhnya, berusaha memahami perkataannya
sehingga guru tidak terpaksa mengulang-ulangnya, jangan tengak-tengok tanpa
diperlukan, jangan menyingsingkan lengan baju atau berkacak pinggang, jangan
bermain-main dengan tangan dan kaki, jangan menaruh tangan di dagu, mulut atau hidung,
atau bermain-main dengannya, atau mengeluarkan sesuatu darinya; jangan membuka
mulut atau mengetuk-ngetuk gigi, jangan memukul-mukul lantai dengan telapak
tangan atau menggambar dengan jari-jari tangan, menganyam jari atau
memain-mainkan pakaian.
Bila di
depan guru maka jangan bersandar ke tembok atau bantal, meletakkan tangan diatasnya
atau yang serupa itu. Jangan memunggungi guru atau menghadapkan salah satu sisi
tubuh saja kepadanya. Jangan banyak berbicara yang tidak perlu. Jangan melucu
di hadapannya atau menceritakan sesuatu yang mengandung perkara yang tidak
pantas didengar, perkataan yang kotor atau kekurangajaran. Jangan tertawa tanpa
sebab yang jelas. Jika memang harus tertawa, cukup tersenyum dan usahakan tidak
bersuara. Jangan berdehem yang tidak perlu. Sedapat mungkin tidak meludah atau
mengeluarkan dahak. Jangan meludahkan dahak dari mulut di hadapannya, tetapi
buanglah secara hati-hati ke sapu tangan, secarik kain atau yang sejenisnya.
Selama berdiskusi
atau mengulang pelajaran di hadapan guru, jagalah agar telapak kaki selalu
tertutup dan tangan tetap tenang, tidak bergerak sembarangan. Bila bersin maka
rendahkan suara sedapat mungkin, sembari menutup muka dengan sapu tangan atau
semacamnya. Bila menguap maka tutuplah mulut, setelah sedapat mungkin
menahannya.
Diriwayatkan
dari 'Ali radhiya-llahu 'anhu, beliau berkata, "Diantara hak
seorang 'alim adalah: jika engkau mengucapkan salam kepada sekumpulan
orang maka engkau berikan salam penghormatan untuknya secara khusus; jika
engkau duduk di hadapannya maka jangan menunjuk-nunjuk dengan tanganmu; jangan memberi
isyarat dengan kedipan mata di sisinya; jangan berkata kepadanya,
"seseorang berkata begini-begitu, berlawanan dengan pendapat Anda"; jangan
menggunjing (ghibah) seseorang di hadapannya; jangan mencari-cari
kesalahannya; jika dia melakakukan kesalahan maka engkau menerima permintaan
maafnya; hormati dia semata-mata karena Allah ta'ala; jika dia mempunyai
suatu keperluan maka engkau bersegera mendahului siapapun untuk ber-khidmat
kepadanya; jangan menarik-narik bajunya (Jw: nggandholi); jangan
merengek-rengek minta sesuatu kepadanya saat dia sedang malas; jangan merasa
bosan setelah lama bergaul dengannya, sebab guru ibarat pohon kurma yang
diharap-harapkan sesuatu jatuh darinya; seorang mukmin yang 'alim itu
lebih besar pahalanya dibanding seseorang yang berpuasa (di siang hari),
mengerjakan qiyamul-lail (di malamnya) serta berperang di jalan Allah; dan
bila seorang 'alim wafat maka retaklah (suatu bagian dari) Islam yang
tidak akan bisa ditambal oleh apapun sampai hari kiamat kelak." –
Diriwayatkan oleh al-Khathib dalam al-Jaami'. Di dalam pesan ini Imam
Ali radhiya-llahu 'anhu telah menyatukan semua yang kita butuhkan.
Sebagian
ulama' berkata, "Diantara bentuk penghormatan kepada guru adalah: jangan
duduk di sampingnya, diatas tempat shalatnya, atau diatas alas duduknya. Jika
guru memintanya melakukan hal itu maka jangan menurutinya, kecuali jika dia
memaksa dan tidak bisa ditolak, maka tidak mengapa untuk mematuhi perintahnya
pada saat itu, lalu kembalilah kepada tuntunan adab setelah itu."
Kesembilan
Sedapat
mungkin berbicara secara baik dan santun kepada guru. Jangan berkata kepadanya:
"kami belum bisa menerima", atau "kami tidak bisa
menerima", atau "siapa bilang begitu", atau "dimana
tempatnya", atau yang serupa dengannya. Jika ingin menyampaikan informasi
tertentu kepada guru maka berhati-hatilah dalam masalah ini, cari kesempatan
lain dengan tujuan memberi informasi. Jika engkau mengingat sesuatu, jangan
berkata kepadanya: "lho dulu 'kan Anda pernah berkata begini", atau
"sepertinya kok begini ya", atau "saya dengan begini", atau
"si fulan berkata begini".
Demikian
pula jangan berkata kepadanya: "si fulan berkata begini-begitu, berbeda
dengan yang Anda katakan", atau "si fulan meriwayatkan hal yang
berbeda dengan riwayat Anda", atau "itu tidak benar", atau yang sejenisnya.
Jika guru
memaksa bertahan pada suatu pendapat atau dalil, sementara dia tidak menyadari
atau sudah jelas diketahui salahnya karena dia lupa, maka jangan sampai murid
berubah rona wajahnya, sinar matanya atau menunjuk-nunjuk kepada orang lain seakan-akan
sangat membencinya; namun tetap perlihatkan wajah yang cerah secara lahiriah,
walau guru jelas-jelas keliru karena lupa, lalai atau keterbatasan wawasannya
dalam masalah tertentu. Sebab, seorang guru tidaklah ma'shum (terjaga
dari salah dan dosa).
Berhati-hatilah
jangan meniru gaya bicara sebagian kalangan tertentu ketika berbicara dengan
guru, padahal itu tidak pantas diucapkan kepadanya, seperti: "apa-apaan
kamu ini", atau "ngerti?", atau "dengar nggak?", atau "paham?",
atau "hai bung!", dan lain sebagainya.
Demikian
pula jangan berbicara dengan guru menggunakan kebiasaan berbicara dengan
seseorang selainnya, dimana hal itu tidak pantas diucapkan terhadapnya. Jika
memang harus berbicara tentang suatu masalah, maka jangan berbicara seperti
cara si fulan berkata kepada temannya: "kamu ini sedikit sekali
kebaikannya", atau "tidak ada kebaikan padamu"; akan tetapi
katakan saja dengan kiasan, misalnya: "seseorang itu ini sedikit sekali
kebaikannya", atau "tidak ada kebaikan pada orang itu", atau
yang serupa dengannya.
Berhati-hatilah
jangan sampai mengejutkan guru dengan suatu bentuk penolakan langsung
kepadanya, sebab itu merupakan kebiasaan sebagian orang yang kurang ajar (suu'ul
adab); misalnya ketika guru berkata kepada murid: "apakah yang engkau maksud
dengan pertanyaanmu itu begini?" atau "apakah yang terpikir olehmu
itu begini?" maka langsung dijawab: "tidak, bukan itu maksud
saya" atau "bukan itu yang saya pikirkan", atau kalimat lain
yang serupa. Namun, cara terbaik adalah dengan mengulang kembali pertanyaan dan
bukannya mengucapkan sesuatu yang mengandung penolakan langsung terhadap
kata-kata gurunya.
Demikian
pula sebaiknya kata-kata "kami belum tahu" atau "kami tidak
tahu" diganti dengan yang lebih halus, misalnya: "jika dikatakan
kepada kami seperti itu", atau "jika kami dilarang dari hal seperti
itu", atau "jika kami ditanya tentang masalah itu", atau
"jika Anda menyampaikan seperti itu", atau yang serupa dengannya. Hendaknya
pula bertanya kepada guru dengan adab yang baik dan ungkapan yang halus.
Kesepuluh
Bila murid
mendengar guru menyebutkan suatu hukum dalam suatu kasus, informasi yang aneh,
menuturkan suatu kisah, atau melantunkan suatu syair, sementara murid sudah
mengetahuinya, maka hendaknya murid mendengarnya dengan penuh perhatian dan
berusaha mengambil faedah darinya seakan-akan dia belum pernah mendengarnya
samasekali.
'Atha'
berkata, "Saya sungguh mendengar hadits dari seseorang padahal saya lebih
tahu dibanding dia terhadapnya, maka saya menampakkan diri kepadanya
seakan-akan saya tidak paham sedikitpun tentang masalah itu."
Beliau juga
berkata, "Ada seorang pemuda menyampaikan hadits maka saya mendengarkannya
seakan-akan saya belum pernah mendengarnya, padahal sebenarnya saya sudah
mendengar hadits itu bahkan sebelum dia dilahirkan."
Saat guru
hendak menyampaikan seseuatu, kemudian dia bertanya kepada muridnya apakah ada
yang sudah mengetahui, maka jangan menjawab "ya" karena hal itu
seolah menunjukkan tidak butuh kepada guru atau menjawab "tidak"
karena hal itu mengandung kebohongan; akan tetapi katakan: "saya ingin
mendengar informasinya dari Bapak guru", atau "mohon sampaikan kepada
kami", atau "apa yang Anda sampaikan lebih shahih", dan
jangan mengulang-ulang pertanyaan atas apa yang sudah diketahui.
Saat guru
berbicara, jangan sibuk berpikir atau berbicara sendiri, kemudian meminta guru
agar mengulang kembali perkataannya, sebab hal itu mengandung kekuarangajaran (suu'ul
adab) kepadanya. Akan tetapi, dengarkan ucapannya dengan penuh perhatian
dan konsentrasikan pikiran sejak awal. Jika tidak bisa mendengar jelas
kata-kata guru karena tempat yang jauh atau tidak bisa memahami meski sudah mendengarkan
dengan penuh perhatian, maka boleh meminta guru untuk mengulangi ucapannya dan
memperjelas maksudnya, disertai penyebutan alasan dari permintaannya itu.
Kesebelas
Jangan
mendahului guru dalam menjawab pertanyaan yang diajukannya atau yang diajukan
orang lain kepadanya. Jangan pula membersamai jawabannya. Jangan menonjolkan
pengetahuan atau pemahamannya tentang masalah itu mendahului sang guru. Jangan
memotong pembicaraan guru dalam hal apapun, jangan pula mendahuluinya atau
membersamainya. Bersabarlah sampai guru selesai baru murid berbicara. Jangan
berbicara dengan orang lain sementara guru sedang berbicara kepadanya atau
kepada sekelompok orang dalam suatu majlis.
Diriwayatkan
oleh Hindun bin Abi Haalah, saat menggambarkan sifat-sifat Nabi shalla-llahu
'alaihi wa aalihi wasallam, "Sesungguhnya apabila Nabi shalla-llahu
'alaihi wa aalihi wasallam berbicara, maka beliau membuat para pendengarnya
menundukkan kepala seakan-akan diatas kepala mereka ada burung yang hinggap.
Tatkala beliau diam maka barulah mereka berbicara."
Keduabelas
Jika guru
memberikan sesuatu maka terimalah dengan tangan kanan, dan bila murid
memberikan sesuatu kepada gurunya hendaklah dengan tangan kanan. Jika yang
hendak murid berikan itu berupa lembaran kertas yang ingin dibaca guru seperti
fatwa, kisah, suatu tulisan syar'i tertentu atau yang semacamnya, maka
bentangkan terlebih dulu sebelum diserahkan. Jangan menyerahkannya dalam
keadaan terlipat kecuali jika murid tahu bahwa gurunya lebih menyukai yang
demikian itu.
Jika murid
menyerahkan sebuah buku kepada guru, maka hendaknya dalam kondisi siap untuk
dibuka dan dibaca, tanpa perlu memutar dan membalikkan posisinya. Jika guru
ingin melihat satu halaman tertentu maka hendaknya buku yang diserahkan itu
sudah dalam kondisi terbuka (pada tempat yang dikehendaki). Demikian pula murid
hendaknya membantu guru menemukan halaman yang dimaksud. Jangan membuang
sesuatu dari dalam buku atau lembaran kertas secara terbuka di hadapannya. Murid
jangan menjulurkan tangannya ketika menyerahkan sesuatu, kecuali jika tempatnya
memang agak jauh. Demikian pula guru tidak selayaknya menjulurkan tangan untuk
menerima atau memberikan sesuatu kepada muridnya. Seyogyanya murid berdiri
mendekat tetapi jangan berdesakan dengan gurunya.
Jika ada
sekelompok orang yang duduk di hadapan guru, maka murid jangan terlalu mendekat
kepada guru sehingga terkesan berbuat kurang sopan. Murid jangan meletakkan
kaki, tangan atau salah satu anggota badan dan pakaiannya diatas pakaian, alas
duduk atau sajadah guru. Jangan menunjuk ke arah guru dengan tangannya, atau mendekat
ke wajah maupun dadanya, atau menyentuh badan maupun pakaiannya.
Bila murid
memberikan pena kepada gurunya maka panjangkan dulu sebelum diserahkan. Jika
murid meletakkan tempat tinta di hadapan gurunya maka hendaknya dalam kondisi
terbuka tutupnya dan siap dipakai menulis. Bila murid memberikan pisau kepada
gurunya maka ulurkan kepadanya dengan mata pisau mengarah ke murid, pegang
pangkal gagangnya yang bersambung dengan bilahnya, dengan posisi gagang di arah
kanan penerima.
***Harap dipahami situasi dimana kitab ini
ditulis (abad ke-9 hijriyah atau abad ke-15 masehi). Pena, pisau dan tempat
tinta disebut-sebut dalam satu rangkaian karena di zaman itu biasanya pena
terbuat dari sejenis bambu atau buluh khusus yang harus diraut dan ditajamkan
menurut teknik tertentu sebelum dipakai menulis. Pena jenis ini masih dipakai
sampai sekarang oleh para ahli kaligrafi. Tentu saja sudah biasa seorang
pelajar di zaman itu membawa pisau khusus yang hanya boleh dipakai menajamkan
mata pena dan tidak boleh dipakai keperluan lain. Tinta yang dipergunakan
adalah tinta cair dari bahan yang – dewasa ini – dijual dalam bentuk batangan
atau serbuk, lalu digosok atau direndam dalam air panas sehingga melebur dan
siap dipergunakan. Di sebagian pesantren tradisional di Jawa, jenis tinta ini
masih dipergunakan karena harganya murah, warnanya lebih pekat dan tahan lama
atau tidak mudah pudar. [pen.]
Jangan
merasa gengsi ber-khidmat kepada guru. Ada yang mengatakan, "Ada
empat hal yang tidak seharusnya seseorang merasa gengsi untuk melakukannya,
meski dia seorang gubernur: berdiri dari tempat duduknya untuk menghormati
ayahnya, ber-khidmat kepada seorang 'alim yang ia belajar
darinya, bertanya tentang apa yang tidak diketahuinya dan melayani tamunya.
Ketigabelas
Bila
berjalan bersama guru, maka murid hendaklah berada di depan pada malam hari dan
di belakang pada siang hari, kecuali jika situasi menghendaki yang sebaliknya.
Hendaknya murid maju lebih dahulu di tempat-tempat yang kurang aman, seperti
karena lumpur atau semacamnya. Jika guru tidak tahu, maka beritahukan kepadanya
tentang seseorang yang mendekat kepadanya atau jika ada sesuatu yang menuju ke
arahnya.
Bila
berpapasan maka murid mendahului mengucapkan salam. Mendekatlah dahulu dan
jangan memanggilnya dari kejauhan. Jangan mengucapkan salam dari jauh atau dari
belakangnya, tetapi mendekatlah dan majulah ke hadapannya, baru ucapkan salam.
Bila melihat
guru melakukan suatu kesalahan, jangan katakan kepadanya: "itu salah"
atau "pendapat saya tidak begitu". Tempuh langkah yang baik dalam
meluruskannya, misalnya dengan mengatakan: "tampaknya yang lebih baik adalah
begini", dan jangan berkata: "pendapat yang benar menurut saya adalah
begini", atau yang semacamnya.[]
-- bersambung ---
Link terkait:
1 - Bagian 1 : Pengantar penerjemah
2 - Bagian 2 : Adab guru kepada ilmunya
3 - Bagian 3 : Adab guru dalam mengajar
4 - Bagian 4 : Adab guru kepada murid-muridnya
5 - Bagian 5 : Adab pribadi seorang murid
6 - Bagian 6 : Adab murid kepada gurunya dan teladannya
7 - Bagian 7 : Adab murid dalam belajar
8 - Bagian 8 : Adab kepada buku sebagai sarana ilmu
9 - Bagian 9 : Penutup (Adab Ahli Bait Nabi)
Link terkait:
1 - Bagian 1 : Pengantar penerjemah
2 - Bagian 2 : Adab guru kepada ilmunya
3 - Bagian 3 : Adab guru dalam mengajar
4 - Bagian 4 : Adab guru kepada murid-muridnya
5 - Bagian 5 : Adab pribadi seorang murid
6 - Bagian 6 : Adab murid kepada gurunya dan teladannya
7 - Bagian 7 : Adab murid dalam belajar
8 - Bagian 8 : Adab kepada buku sebagai sarana ilmu
9 - Bagian 9 : Penutup (Adab Ahli Bait Nabi)