Terjemah "Adabul 'Ulama' wal Muta'allimin" karya As-Sumhudi & Maulana 'Alamul Hajar al-Yamani - Bag. 5/9


 
[4] ADAB PRIBADI SEORANG MURID

Dalam hal ini ada 10 macam adab yang patut diperhatikan.

Pertama
Membersihkan hati dari segala macam tipuan, kotoran, dendam, iri-dengki serta aqidah dan akhlaq yang buruk; supaya dirinya layak menerima dan menghafal ilmu serta memahami detil-detil maknanya dan hakikat-hakikatnya yang tersembunyi. Sebab, sebagian ulama' menyatakan bahwa ilmu adalah shalat secara sembunyi-sembunyi, ibadah hati dan ber-taqarrub kepada Allah secara batin. Demikianlah, jika shalat yang merupakan ibadah fisik-lahiriah tidak sah kecuali dengan sucinya anggota badan dari hadats dan kotoran/najis, maka ilmu yang merupakan ibadah hati juga tidak akan sah kecuali dengan sucinya hati itu dari sifat-sifat kotor serta najisnya akhlaq yang rendah lagi tercela. Dikatakan bahwa hati itu ada yang baik dan layak menerima ilmu sebagaimana tanah pun ada yang baik dan layak untuk ditanami. Jika ilmu mendapati hati yang baik dan layak maka akan tampak nyatalah berkahnya, ia tumbuh subur sebagaimana tanaman di tanah yang baik dan layak. Ia pun akan memberikan buahnya bila masanya tiba.
Dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa di dalam tubuh ada segumpal daging; bila ia baik maka akan baik pula seluruh tubuh, dan bila ia rusak maka rusak pula seluruh tubuh; ingatlah, itu adalah hati.
Sahl berkata, "Hati itu haram dimasuki cahaya (nuur) bila di dalamnya ada sesuatu yang dibenci oleh Allah 'azza wa jalla."

Kedua
Memasang niat yang baik dalam menuntut ilmu, yakni semata-mata bermaksud mencari ridha Allah, hendak mengamalkan ilmu, menghidup-hidupkan syari'ah, menerangi hati, menghiasi jiwa (dengan kebajikan), ingin dekat dengan Allah di hari perjumpaan dengan-Nya, menyongsong ridha Allah yang telah Dia siapkan bagi para ahli ilmu serta menyambut karunia-Nya yang agung.
Sufyan ats-Tsauri berkata, "Aku belum pernah menangani satu perkara pun yang lebih berat daripada perkara niatku sendiri."
Dalam mencari ilmu, jangan sampai seorang murid berniat ingin memperoleh perkara-perkara duniawi, seperti jabatan, kedudukan, harta-benda, kebanggaan di hadapan teman sebaya, diagung-agungkan orang banyak, ditempatkan di barisan terdepan dalam berbagai pertemuan atau motif-motif lain yang serupa. Sebab, jika demikian, maka ia telah mengganti sesuatu yang sangat baik dengan sesuatu yang jauh lebih rendah!
Ilmu adalah bagian dari ibadah dan salah satu bentuk taqarrub (pendekatan diri kepada Allah). Jika niat dalam mencarinya tulus dan murni, maka ia akan diterima, lalu tumbuh dan berkembang berkahnya. Bila dengan ilmu itu diniatkan selain Allah, maka ia akan hancur, sia-sia dan merugi dalam segala upaya yang ditempuh. Bisa jadi niat yang salah akan menyebabkan terluputnya segala tujuan yang baik, sehingga tidak memperoleh apa-apa dan berakhir dengan gagal total.

Ketiga
Segera memanfaatkan masa muda serta kesempatan yang dimiliki untuk belajar sebaik-baiknya. Jangan tertipu dengan kecenderungan untuk menunda-nunda dan berangan-angan, sebab waktu terus bergulir secara pasti dan tak tergantikan. Sedapat mungkin hentikan segala kesibukan dan aktifitas yang menghalangi sempurnanya mencari ilmu, mengendurkan keseriusan dan merusak semangat dalam belajar. Semua itu ibarat para preman jalanan yang menghalangi dan menggangu orang yang lewat.
Oleh karenanya ulama' salaf menganjurkan agar seorang pencari ilmu melepaskan diri dari keluarga dan mengembara jauh dari tanah kelahirannya, yakni dalam rangka mengurangi perkara-perkara yang dapat merusak konsentrasi. Sebab, ketika pikiran bercabang dan terbagi, ia akan melemah dalam mengenali hakikat, padahal Allah tidak menciptakan dua hati dalam rongga dada manusia. Karena itu, ada yang mengatakan bahwa ilmu takkan memberikan sebagian saja dirinya sehingga engkau memberikan seluruh dirimu padanya!

Keempat
Mau menerima makanan apa adanya, meski hanya sedikit. Mau mengenakan pakaian apa adanya, asal pantas dan layak. Sebab, kesediaan untuk bersabar menghadapi kesempitan hidup akan digantikan dengan keluasan ilmu dan fokus mental yang baik sehingga tidak terkacaukan oleh beraneka rupa angan-angan, yang pada akhirnya menyebabkan sumber-sumber hikmah terpancar deras dalam dirinya.
Imam Syafi'i berkata, "Tidak seorang pun akan beruntung dalam menuntut ilmu dengan bermodalkan kemewahan dan gengsi tinggi; akan tetapi mereka yang mencari ilmu dengan berbekal keprihatinan, kesempitan hidup dan kesediaan untuk ber-khidmat kepada guru, maka dialah yang akan berhasil."
Beliau juga berkata, "Ilmu tidak akan bisa diperoleh kecuali dengan kesabaran menanggung beratnya hidup; dan barangsiapa yang bersedia untuk lebih mengutamakan mencari ilmu dibanding bekerja maka Allah akan menggantinya dan memberinya rezeki dari jalan yang tak disangka-sangka."
Diriwayatkan dari Ziyad bin Harits ash-Shada'iy, bahwa dia mendengar Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam bersabda, "Barangsiapa yang mencari ilmu maka Allah akan menjamin rezekinya." – Hadits ini dikeluarkan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Jaami'.

Kelima
Membagi waktu-waktu yang dimiliknya di sepanjang malam dan siang. Raihlah manfaat dari usia yang masih tersisa. Sebab, usia yang masih tersisa ini tiada tara nilainya.
Waktu terbaik untuk menghafal dan mengingat ilmu adalah waktu sahur; untuk membahas materi adalah pagi hari; untuk menulis adalah tengah hari; untuk menelaah dan mengulang pelajaran adalah malam hari. Hafalan di waktu malam jauh lebih baik dibanding di waktu siang. Saat sedang lapar itu lebih bermanfaat dibanding saat sedang kenyang.
Tempat terbaik untuk menghafal dan mengingat ilmu adalah yang paling jauh dari segala hal yang main-main dan melalaikan, seperti tanaman-tanaman, taman yang hijau, sungai, tengah jalan, suara-suara bising; sebab semua itu pada umumnya menyulitkan konsentrasi.

Keenam
Diantara faktor terbesar yang dapat membantu untuk belajar, meraih pemahaman dan menghindari kebosanan adalah memakan sejumlah kecil saja dari makanan yang halal. Imam Syafi'i berkata, "Aku belum pernah kekenyangan sejak enam belas tahun silam."
Sebab, banyak makan mendorong banyak minum, dan selanjutnya menyebabkan kantuk, bebal, otak yang lambat, melemahnya panca indra, tubuh menjadi malas, belum lagi hal itu dimakruhkan menurut syari'at dan memicu timbulnya beragam penyakit fisik. Ada yang berkata, "Sesungguhnya kebanyakan penyakit itu datangnya dari makanan atau minuman."
Barangsiapa yang berharap meraih keberuntungan dan menggenggam tujuannya dalam mencari ilmu, namun dia banyak makan, minum dan tidur, maka pada dasarnya dia mengharapkan sesuatu yang mustahil. Hendaknya batas maksimal makanan yang dikonsumsi adalah seperti yang diungkap dalam sebuah hadits Nabi shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam, "Tidaklah seseorang memenuhi suatu wadah yang lebih buruk dibanding perutnya. Cukuplah bagi seseorang itu beberapa suapan yang akan menegakkan tulang-tulangnya. Namun jika memang harus makan, maka sepertiga perut untuk makanan, sepertiga lagi untuk minuman dan sepertiga sisanya untuk bernafas." – Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi.
Jika lebih dari itu, maka namanya israaf (berlebih-lebihan), padahal Allah berfirman dalam QS al-A'raf: 31.
"...makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan…"
Sebagian ulama' berkata, "Allah telah menyatukan seluruh ilmu pengobatan dalam kalimat ini."

Ketujuh
Bersikap wara' (hati-hati) dalam semua perkara dan berusaha mendapatkan yang halal dalam hal makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan semua yang ia serta keluarganya butuhkan; supaya bangkit dan tergugah hatinya sehingga layak menerima ilmu, cahayanya serta meraih manfaat darinya.
Jangan hanya puas terhadap sesuatu yang tampak dari luarnya halal secara syar'i, selama masih dimungkinkan untuk bersikap wara' dan tidak terdesak oleh kebutuhan. Namun, carilah tingkatan kepastian yang lebih tinggi. Contohlah kalangan ulama' salafush-shalihin yang bersikap wara' terhadap berbagai hal yang mereka fatwakan kebolehannya. Figur yang paling pantas untuk ditiru tentu saja adalah Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam, dimana beliau tidak mau memakan kurma yang beliau dapati di jalan karena khawatir jika itu adalah kurma sedekah, padahal hal itu nyaris tidak mungkin. Selain itu, orang berilmu merupakan figur teladan dan ditiru tindak-tanduknya oleh orang lain. Jika mereka tidak mengamalkan sikap wara' lalu siapa lagi yang akan mengamalkannya?

Kedelapan
Kurangi konsumsi makanan yang bisa menyebabkan bebal, seperti apel masam, sayuran dan minum cuka. Juga jauhi makanan yang jika dikonsumsi akan memperbanyak produksi lendir yang bisa melambatkan otak, seperti konsumsi susu dan ikan dalam jumlah banyak, dan lain sebagainya.
Lebih khusus lagi jauhi bahan yang menyebabkan lupa, seperti memakan makanan bekas dicicipi kucing, membaca tulisan nisan kuburan, membuang kutu hidup-hidup, dan berbagai hal lain yang sudah umum dikenal.

Kesembilan
Kurangi tidur, selama hal itu tidak membahayakan fisik dan pikiran. Jangan tidur lebih dari delapan jam dalam sehari semalam, yakni sepertiga panjang hari. Bila kondisi fisik memungkinkan maka boleh tidur kurang dari itu. Tetapi tidak masalah jika ia mengistirahatkan badannya, hatinya, pikirannya dan matanya dengan tidur secukupnya.
Boleh juga bersantai dan bergembira di tempat-tempat rekreasi, sehingga kondisinya pulih seperti sediakala, selama tak mengandung unsur menyia-nyiakan waktu. Sebagian ulama' terkenal ada yang mengumpulkan murid-muridnya di tempat-tempat rekreasi pada hari-hari tertentu dalam setahun. Mereka bersenda-gurau selama tidak bertentangan dengan agama atau merusak kehormatan. Jauhilah hal-hal yang tercela dalam berkelakar dan bersuka ria, atau melonjak-lonjak berlebihan, menggoyangkan badan dan kepala ke kiri ke kanan, atau tertawa terbahak-bahak.

Kesepuluh
Tinggalkan terlalu banyak bergaul dan kumpul-kumpul, sebab hal itu merupakan perkara paling penting untuk dijauhi bagi pencari ilmu, terlebih bergaul dengan selain pencari ilmu dan orang yang banyak bermain-main serta sedikit berpikir. Sebab karakter semacam itu merupakan perusak yang paling buruk, dan kerusakan yang diakibatkan oleh banyak kumpul-kumpul adalah menyia-nyiakan waktu tanpa ada faedahnya, memboroskan uang, juga mencacatkan kehormatan dan agama.
Seorang pencari ilmu sebaiknya hanya bergaul akrab dengan orang yang dapat ia ajak belajar atau memberi pelajaran baginya, sebagaimana diriwayatkan dari Nabi shalla-llahu 'alihi wasallam, "Berangkatlah kamu di pagi hari sebagai seorang pelajar atau pengajar, dan jangan menjadi orang yang ketiga sehingga engkau binasa."
Jika seseorang yang suka menyia-nyiakan waktu mengajak berteman atau membuka peluang untuk itu, maka segeralah memutuskannya baik-baik sejak awal sebelum pertemanan itu menjadi mantap. Sebab, segala sesuatu akan sukar dihilangkan jika ia sudah menjadi kokoh kuat. Diantara ucapan yang umum berlaku di kalangan fuqaha' adalah menolak itu lebih mudah dibanding menghapuskan (baca: mencegah itu lebih mudah daripada mengobati).
Bila seorang pencari ilmu mencari teman maka pilihlah yang shalih, taat beragama, bertaqwa, wara', banyak kebaikannya, sedikit keburukannya, baik dalam pergaulannya, tidak suka bertengkar, jika temannya lupa dia mau mengingatkan, jika temannya sadar maka dia mau menolongnya untuk menjadi baik, bila butuh maka mau membantu, atau jika temannya merasa bosan maka ia menasihatinya agar bersabar.
Diriwayatkan dari Imam 'Ali radhiya-llahu 'anhu, "Jangan berteman dengan orang jahil; jauhkan dirimu darinya dan hati-hati kepadanya; Berapa banyak orang jahil yang menjatuhkan martabat orang yang santun saat mereka berteman dengannya; Sebab, seseorang itu akan diukur dengan teman seperjalanannya."
Sebagian ulama' berkata, "Sesungguhnya teman sejati adalah mereka yang selalu bersamamu; yang rela membahayakan dirinya untuk kebaikanmu; bila orang lain menuduhmu ia membelamu; dan dia mengerahkan segenap kemampuannya untuk menjagamu." []