Bismillahirrahmanirrahim
Kita tentu pernah mendengar istilah Qira’at Sab’ah,
atau Qira’at ‘Asyrah, yang kurang lebih bermakna tujuh atau sepuluh bacaan
Al-Qur’an yang diakui dan memiliki sanad bersambung kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Biasanya, dalam kajian tentang qira’at ini akan muncul empat istilah kunci. Sebagian
orang terkadang sukar membedakan diantaranya, dan kemudian tercampur-aduk
begitu saja. Empat istilah tersebut adalah qira’ah, riwayah, thariq, dan
wajh. Para ulama’ sendiri mempergunakan keempat istilah ini untuk
menunjuk pengertian tertentu, sehingga harus dipahami dengan tepat agar tidak
membingungkan.
Qira’ah ( القراءة ) secara bahasa berarti
bacaan. Maksud dari istilah ini adalah setiap bacaan yang disandarkan kepada
salah seorang Qari’ (ulama’ ahli bacaan Al-Qur’an) tertentu. Maka, kita
akan mendengar istilah Qira’at ‘Ashim, Qira’at Nafi’, Qira’at Ibnu Katsir,
dsb. Mereka adalah para Imam yang menjadi sumber qira’at tertentu.
Riwayah ( الرواية ) adalah sesuatu yang
disandarkan kepara perawi atau orang yang mengutip qira’at secara
langsung dari Imam Qira’at tertentu. Para Imam Qira’at memiliki murid-murid
yang melalui mereka ilmu qira’at tersebar luas. Misalnya riwayah
Warasy dari Nafi’, riwayah Hafsh dari ‘Ashim, riwayah Ibnu Wardan
dari Abu Ja’far, dsb.
Thariq ( الطريق ) secara bahasa berarti
jalur, jalan. Maksudnya adalah rangkaian sanad (yakni, para perawi) yang
berakhir pada seorang perawi dari Imam Qira’at atau guru (syaikh) bacaan
Al-Qur’an tertentu. Istilah ini dipergunakan untuk menunjuk apa yang
diriwayatkan oleh seorang Qari’ dari generasi lebih akhir (yakni, yang
hidup sesudah Rawi pertama dari Qari’ tertentu). Misalnya, tharhq
atau jalur al-Azraq dari Warasy, thariq Abu Rabi’ah dari al-Bazzy, thariq
‘Ubaid Ibnu ash-Shabbah dari Hafsh, dsb.
Wajh ( الوجه ) secara bebas dapat
dimaknai versi atau ragam, yaitu semua bentuk perbedaan atau khilafiyah
yang diriwayatkan dari Qari’ tertentu, lalu dalam kasus ini seseorang
dipersilakan untuk memilih mana yang akan dibacanya, karena semuanya shahih
dari Qari’ tersebut. Perbedaan-perbedaan Thariq terkadang
mencakup perbedaan-perbedaan pula dalam Wajh ini. Misalnya, pada saat waqaf
pada kata al-‘alamin ( العالمين ) dalam ayat ke-2 surah al-Fatihah, terdapat 3 wajh atau versi,
yaitu dibaca pendek (qashr), sedang (tawassuth), dan panjang (madd).
Kita boleh memilih mana saja dari ketiganya, namun disarankan oleh Ibnul Jazari
agar kita memilih satu versi saja dalam satu kali pengkhataman. Maksudnya, pada
seluruh kata tersebut di mana pun kita waqaf selama membacanya, kita
pilih satu versi. Bila kita sudah selesai, lalu memulai dari awal lagi, kita
boleh menggunakan versi lainnya.
Dengan demikian,
bacaan Al-Qur’an yang dinisbatkan kepada seorang imam tertentu disebut Qira’at,
lalu apa yang dinisbatkan kepada seseorang yang mengutip riwayatnya dari imam
tersebut secara langsung disebut Riwayah, kemudian apa yang disandarkan
kepada orang lain yang meriwayatkan bacaan sesudah mereka disebut dengan Thariq,
sedangkan perbedaan-perbedaan yang mungkin ada di dalam riwayat dari satu orang
imam tertentu dalam cara membaca kata atau ayat yang sama disebut dengan Wajh.
Di Indonesia, biasanya
kita akan mendengar istilah Riwayah Hafsh ‘An ‘Ashim Min Thariqi
Asy-Syathibiyyah ( رواية حفص عن عاصم من
طريق الشاطبية ). Disini, Hafsh adalah Rawi, ‘Ashim adalah Qari’, dan
Syathibiyah adalah pemilik Thariq. Kita di Indonesia memang umumnya menggunakan
Qira’at ‘Ashim, yang disalurkan melalui Riwayah Hafsh, dan sampai
kepada kita melalui Thariq Syathibiyah itu.
Sebagai tambahan
informasi, nama-nama kesepuluh Qari’ yang terkenal dan diterima qira’at-nya,
beserta Rawi atau murid yang menerima dan belajar bacaan Al-Qur’an
secara langsung dari mereka, adalah sbb:
1.
Nafi’ bin ‘Abdurrahman bin Abi Nu’aim al-Madani (w. 169 H).
Beliau mempunyai dua orang murid, yaitu Qalun dan Warasy.
2.
Ibnu Katsir, yakni ‘Abdullah bin Katsir ad-Dari al-Makki
(45-120 H). Beliau mempunyai dua orang murid, yaitu al-Bazziy dan Qunbul.
3.
Abu ‘Amr bin al-‘Ala’ al-Bashri (70-154 H). Beliau mempunyai
dua orang murid, yaitu ad-Duriy dan as-Susiy.
4.
Ibnu ‘Amir, yaitu ‘Abdullah bin ‘Amir al-Yahshubi asy-Syami
(21-118 H). Beliau mempunyai dua orang murid, yaitu Hisyam dan Ibnu Dzakwan.
5.
‘Ashim bin Abi an-Najud al-Asadi al-Kufi (w. 127 H). Beliau
mempunyai dua orang murid, yaitu Hafsh dan Syu’bah.
6.
Hamzah bin Habib az-Zayyat al-Kufi (78-156 H). Beliau mempunyai
dua orang murid, yaitu Khalaf dan Khallad.
7.
Al-Kisa’iy, yakni Abul Hasan ‘Ali bin Hamzah an-Nahwi al-Kufi
(w. 189 H). Beliau mempunyai dua orang murid, yaitu ad-Duriy dan Abu al-Harits.
8.
Abu Ja’far, yaitu Yazid bin al-Qa’qa’ al-Madani (w. 13 H).
Beliau mempunyai dua orang murid, yaitu Ibnu Wardan dan Ibnu Jammaz.
9.
Ya’qub bin Ishaq al-Hadhrami al-Kufi (w. 205 H). Beliau
mempunyai dua orang murid, yaitu Ruwais dan Rauh.
10.
Khalaf bin Hisyam (w. 229 H). Beliau mempunyai dua orang
murid, yaitu Ishaq dan Idris.
Penting diingat
pula, bahwa ad-Duriy adalah murid langsung atau Rawi dari Abu ‘Amr al-Bashri (no. 3) dan al-Kisa’iy
(no. 7) sekaligus; sedangkan Khalaf adalah murid atau Rawi dari Hamzah (no. 6), namun
sekaligus Qari’ tersendiri (no. 10). Seluruh Qari’ ini sebenarnya
mempunyai ratusan sampai ribuan murid, akan tetapi diantara mereka kemudian
dipilih masing-masing dua murid yang paling kuat riwayatnya, demi mempersedikit
kekeliruan dan menutup peluang perselisihan terhadap Kitabullah. Dari mereka inilah
ilmu bacaan Al-Qur’an kemudian tersebar ke seluruh penjuru dunia. Wallahu a’lam.
[*] Artikel ini diterjemahkan dan diolah lebih lanjut dari sumber-sumber utama berikut ini,
dengan penyesuaian dan tambahan dari sumber lainnya.