Terjemah "Adabul 'Ulama' wal Muta'allimin" karya As-Sumhudi & Maulana 'Alamul Hajar al-Yamani - Bag. 7/9

[6] ADAB MURID DALAM BELAJAR
Termasuk disini
adab ketika berada dalam halaqah atau kelas, juga hal-hal lain yang
perlu dijadikan pegangan dalam berinteraksi dengan guru dan teman, dimana di
dalamnya terdapat 13 macam adab.
Pertama
Hendaknya
seorang pencari ilmu memulai belajar dari Kitabullah, menguasai hafalannya
dengan baik, berusaha semaksimal mungkin untuk mahir dalam tafsir dan ilmu-ilmu
lain yang terkait, sebab ia adalah landasan utama dan induk ilmu serta
merupakan ilmu yang paling penting.
Kemudian
hafalkan ringkasan pokok-pokok pembahasan dalam setiap disiplin ilmu lainnya,
yang mencakup fiqh, hadits dan ilmu-ilmunya, ushul fiqh, ushuluddin
(teologi, ilmu akidah), juga nahwu dan tashrif. Namun jangan
sampai dengan mengkaji seluruh ilmu-ilmu yang disebutkan belakangan ini malah
melupakan mempelajari al-Qur'an, merawat hafalan dan membaca wirid harian,
mingguan, atau tempo lain yang sudah ditetapkannya. Hati-hati jangan sampai
melupakan al-Qur'an setelah menghafalnya, sebab ada sebuah hadits yang melarang
keras hal itu.
Sibukkan
diri untuk mendapatkan penjelasan mengenai hafalan pokok-pokok disiplin ilmu
diatas kepada para guru. Hati-hati jangan hanya berpegang kepada buku saja pada
masa permulaan belajar. Namun, dalam setiap disiplin ilmu hendaknya seorang
murid berpegang kepada seseorang yang paling mampu mengajar, paling cermat dan
mahir, lebih ahli di bidang tersebut dan lebih tahu tentang isi buku yang
dibacanya itu. Semua itu setelah murid terlebih dahulu memperhatikan gurunya
dari segi agama, kebaikan, kasih-sayang dan lain sebagainya. Jika guru tidak
berkeberatan tatkala murid belajar dari orang lain, maka itu tidak mengapa dilakukan.
Jika tidak demikian, maka lebih diutamakan untuk menjaga perasaan guru, sebab
dia adalah figur yang paling diharapkan manfaatnya. Selain itu tetap belajar
kepada guru tertentu akan lebih bermanfaat dan lebih menjaga fokus mentalnya.
Hendaknya murid menghafal – atau membaca terlebih dahulu materi yang akan
dipelajari bersama guru di halaqah dan kelas – sesuai situasi, kondisi
dan kemampuannya. Jangan terlalu banyak sehingga jenuh atau terlalu sedikit
sehingga mengurangi kualitas pencapaian belajarnya.
Kedua
Di awal-awal
masa belajar, hindari masalah perselisihan pendapat di kalangan para ulama',
juga semua orang lainnya dalam perkara yang 'aqliyaat (berdasar
penalaran) maupun sam'iyaat (berdasar wahyu). Sebab hal-hal seperti itu
akan membingungkan pikiran dan memusingkan akal. Sebaiknya kuasai dulu satu
buku pegangan pokok dalam suatu disiplin ilmu tertentu, atau – jika guru
mengizinkan – maka boleh membaca beberapa buku sekaligus tentang beberapa
disiplin ilmu yang sama metodologinya.
Jika metodologi
guru dalam mengajar adalah memaparkan berbagai pendapat dan madzhab yang
berbeda-beda, sementara dia sendiri tidak punya pegangan, maka – menurut
al-Ghazali – berhati-hatilah terhadap guru seperti ini, sebab bahaya yang
ditimbulkannya lebih besar dibanding manfaat yang diberikannya.
Demikian
pula – di awal-awal masa belajar – sebaiknya menghindari penelaahan beraneka
ragam karya tulis, sebab hal itu membuang-buang waktu dan bisa
mengacau-balaukan pikiran. Namun, selesaikan satu buku seluruhnya atau satu disiplin
ilmu yang dikajinya sampai tuntas. Demikian pula hindari berpindah-pindah dari
satu buku ke buku lainnya tanpa ada alasan yang mengharuskan, sebab hal itu
merupakan awal kejenuhan dan kegagalan.
Al-Bayhaqi
meriwayatkan bahwasanya Imam Syafi'i berjumpa dengan seorang pendidik (mu'addib),
kemudian beliau berkata kepadanya, "Hendaknya yang pertama-tama engkau
perbaiki dari orang-orang yang engkau didik adalah memperbaiki dirimu sendiri;
sebab mata mereka terpaku dengan matamu; yang baik bagi mereka adalah apa yang
menurutmu baik, yang buruk bagi mereka adalah apa yang engkau tinggalkan; ajari
mereka Kitabullah dan jangan paksa mereka sehingga engkau membuat mereka bosan
kepadanya, tetapi jangan engkau biarkan mereka dari Kitabullah itu sehingga
mereka menelantarkannya; lantunkan untuk mereka syair-syair yang paling terjaga
('iffah) isinya; riwayatkan kepada mereka hadits yang paling mulia; jangan
engkau pindahkan mereka dari suatu ilmu ke ilmu lainnya sebelum mereka
menguasainya, sebab bertumpuk-tumpuknya perkataan di telinga itu
menyesatkan."
Jika guru
benar-benar mempunyai keahlian dan cukup kuat pengetahuannya, maka lebih baik
bila ia tidak melewatkan satu disiplin ilmu pun diantara berbagai ilmu syari'ah
melainkan telah disinggung pembahasannya sedikit atau banyak. Sebab, jika murid
ditakdirkan panjang umur mungkin ia akan berkesempatan untuk lebih mendalaminya
suatu saat nanti, dan jika tidak maka ia telah mengetahui barang sedikit
darinya sehingga terbebas dari ketidaktahuan kepada ilmu itu.
Hendaknya
murid memperhatikan kedudukan (hierarki) ilmu, mana yang lebih penting dan
perlu didahulukan dibanding lainnya. Jangan lupa pula mengamalkannya sebab beramal
merupakan maksud dan tujuan dari ilmu itu sendiri.
Ketiga
Sebelum
memulai hafalan, hendaknya murid men-tashhih terlebih dahulu bacaannya
sampai benar-benar lancar, bisa kepada guru atau orang lain yang dapat membantu
untuk itu. Setelah itu mulailah menghafal dengan sebaik-baiknya, kemudian
ulangi di hadapan guru (=setor hafalan) dengan sempurna. Setelah itu, rawatlah
hafalan yang sudah diperoleh. Jangan mulai menghafal sesuatu sebelum men-tashhih-nya,
sebab bisa saja murid salah membaca. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa
ilmu tidaklah dipelajari dari buku-buku, sebab hal itu merupakan mafsadah
yang paling berbahaya.
***Kesalahan membaca dalam bahasa Arab bisa
berbentuk tashhif (keliru meletakkan tanda titik) atau tahrif
(keliru meletakkan tanda baca). Sebab, pada dasarnya huruf-huruf Arab ditulis
tanpa tanda baca, dan di masa lalu bahkan tanpa titik; misalnya pada huruf-huruf
seperti ba', ta', tsa', nun dan ya'. Sebuah
tulisan yang sama kadang bisa terbaca dengan beberapa cara yang mengakibatkan
perbedaan arti, karena banyak sebab. Contohnya, kata sittan ( ستا ) dengan sin dan ta' dalam
hadits ( من صام رمضان وأتبعه ستا من شوال ) di-tashhif oleh Abu Bakr ash-Shuli menjadi syai'an ( شيئا ) dengan syiin
dan ya'; juga ada seorang perawi bernama al-'Awwam bin Marajim ( مراجم ) dengan ra' dan jim di-tashhif
oleh Yahya bin Ma'in sehingga menjadi Muzahim ( مزاحم ) dengan za' dan ha'. Contoh lain, kata
( أُبَيّ ), yakni Ubayy bin Ka'ab, pada hadits (رمي أبي يوم
الأحزاب على أكحله فكواه رسول الله صلعم ) di-tahrif oleh
Ghundar menjadi ( أَبِيْ ) yang berarti "ayahku". Kekeliruan ini jelas telah melenceng
jauh dari fakta sejarah yang dimaksud oleh hadits. [pen.]
Pada saat
men-tashhih, hendaknya murid menyiapkan tempat tinta, pena dan pisau
guna mencatat koreksi yang diberikan. Adapun mencatat tashhih pada saat
pelajaran sedang berlangsung, maka sebagian ulama' melarangnya sebab akan
membuat murid lalai dari memperhatikan keterangan guru. Dalam keadaan ini,
sebaiknya beri tanda tertentu dengan kuku atau yang semisalnya guna diperbaiki
secara permanen setelah pelajaran usai, baik itu perbaikan bahasa (lughah)
maupun tanda baca (i'rab).
Bila guru
mengulangi kata-katanya, dan menurut murid apa yang diulangnya itu justru
bertentangan dengan yang seharusnya atau ilmu yang sudah dikenal dari guru
tersebut, maka ulangi kata yang keliru tadi berikut kata-kata sebelumnya supaya
guru menyadari kekeliruannya. Atau, ungkapkan kata yang seharusnya dengan cara
bertanya. Sebab, bisa jadi guru keliru dikarenakan lupa atau keseleo lidah.
Sebaiknya murid tidak berkata kepada guru saat itu: "bukan begitu",
namun ingatkan secara halus. Jika guru belum menyadari kekeliruannya, bisa saja
murid mengajukan alternatif dengan mengatakan: "bagaimana kalau
begini". Jika guru menerima, maka tidak usah diperpanjang masalanya. Akan
tetapi jika guru tetap menolak, maka jangan memaksa. Biarkan saja dulu. Murid
dapat mengajukan alternatif yang diyakininya itu pada kesempatan pertemuan yang
lain, sebagai bentuk kehati-hatian bahwa bisa jadi yang benar adalah pilihan
guru tersebut. Hal itu jika kekeliruan guru sudah terlihat nyata dalam menjawab
suatu persoalan, dimana untuk meluruskannya masih mungkin ditunda dan
pengoreksiannya dianggap cukup mudah. Adapun jika kekeliruan itu dituliskan
dalam lembaran fatwa sementara si penanya adalah orang asing atau tinggal di
tempat yang jauh, maka murid hendaknya mengingatkan guru pada saat itu juga,
bisa dengan isyarat atau kalimat langsung. Jika murid tidak mau mengingatkan
maka hal itu merupakan pengkhianatan kepada gurunya. Sebab, murid wajib
meluruskan kekeliruan gurunya dengan jalan mana saja yang mungkin baginya.
Keempat
Bersegera
mendengarkan dan mempelajari hadits sejak dini dan jangan mengabaikannya maupun
ilmu-ilmu yang terkait dengannya, juga memperhatikan rangkaian sanad,
para perawi, kandungan makna, hukum, faedah, bahasa dan sejarahnya. Perhatikan
pula apakah hadits tersebut shahih, hasan dan lain-lain. Sebab,
hadits adalah satu dari dua sayap ilmu syariah, serta penjelas terhadap banyak
bagian dari sayap lainnya yakni al-Qur'an.
Dalam
mempelajari hadits, jangan merasa puas hanya mendengar periwayatannya saja,
seperti kebanyakan pelajar hadits di zaman sekarang. Seharusnya perhatian
terhadap aspek dirayah suatu hadits jauh lebih besar daripada aspek riwayah-nya,
sebab aspek dirayah adalah maksud dan tujuan dari penukilan dan
penyampaian suatu hadits.
***Dalam studi hadits, dikenal dua pembagian
utama, yakni ilmu dirayah hadits dan ilmu riwayah hadits. Ilmu
Dirayah Hadits adalah ilmu yang dipergunakan untuk mengetahui keadaan sanad,
matan, cara-cara mendengar maupun meriwayatkan suatu hadits, biografi para
perawi, dan lain-lain. Objek studinya adalah sanad dan matan
suatu hadits, yakni apakah dia shahih, hasan, dha'if dan lain
sebagainya. Tujuan utama ilmu ini adalah untuk mengetahui mana hadits yang shahih
dan bisa dijadikan sandaran. Disebut juga Ilmu Mushthalah Hadits. Adapun
Ilmu Riwayah Hadits adalah ilmu yang mencakup penukilan segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam,
baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan atau sifat. Objeknya adalah hal-hal
yang secara khusus dapat dikaitkan dengan diri Rasulullah sendiri. Tujuan ilmu
ini adalah untuk menghindari kekeliruan dalam menukil segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi. [pen.]
Kelima
Jika hafalan
kaidah suatu ilmu sudah diperoleh penjelasannya dari buku-buku yang ringkas,
dan sudah diberikan pula catatan yang jelas terhadap hal-hal yang sukar
dimengerti maupun informasi lain yang terkait, maka segeralah berpindah kepada
buku-buku yang lebih luas dan rinci penjelasannya. Bersamaan dengan itu jangan
lupa untuk terus menelaah dan mencatat segala sesuatu yang ditemui atau
didengar berupa informasi-informasi berharga, masalah-masalah pelik,
cabang-cabang pembahasan yang unik, pemecahan beragam problem dan pembedaan berbagai
hukum yang tampak serupa dalam semua disiplin ilmu. Jangan menyepelekan suatu
informasi yang didengar. Jangan pula meremehkan kaidah yang sudah diverifikasi.
Segeralah memberikan catatan dan menghafalnya baik-baik.
Milikilah himmah
(motivasi, semangat) yang tinggi dalam mencari ilmu. Jangan merasa cukup dengan
ilmu yang sedikit jika memungkinkan untuk memperoleh yang banyak. Jangan merasa
puas menerima kadar yang kecil dari pembagian warisan para Nabi ini. Jangan
menunda-nunda untuk memperoleh informasi yang memungkinkan untuk didapat pada
saat sekarang. Jangan dilalaikan oleh angan-angan kosong dan perkataan
"nanti" atau "akan". Sebab, menunda-nunda itu mengandung
banyak bahaya. Bagaimanapun juga, jika suatu informasi dapat diperoleh pada
suatu waktu, maka pada waktu yang lain dapat dipergunakan untuk memperoleh
informasi lainnya.
Manfaatkan
sebaik mungkin saat-saat yang longgar dan masih penuh semangat, kondisi yang
sehat dan masa muda yang masih belia, tajamnya pikiran dan masih sedikitnya
beban kesibukan; sebelum tiba masanya ditekan oleh berbagai rintangan yang
membuatnya tidak mampu berbuat apa-apa atau terhalang oleh banyaknya tugas dan
jabatan.
'Umar
berkata, "Ber-tafaqquh-lah kalian sebelum kelak tampil sebagai
pemimpin."
Imam Syafi'i
berkata, "Ber-tafaqquh-lah sebelum nanti engkau tampil memimpin,
sebab bila engkau telah memimpin maka tidak ada lagi jalan bagimu untuk ber-tafaqquh."
Seorang
murid harus waspada dari bahaya memandang dirinya sebagai sosok yang telah
sempurna dan merasa tidak membutuhkan guru. Sebab, justru pandangan seperti
itulah yang disebut sebagai kebodohan dan ketidaktahuan; dan apa yang akan dia
peroleh sesungguhnya jauh lebih sedikit dibanding apa yang dia lewatkan.
Sa'id bin
Jubair berkata, "Seseorang itu senantiasa disebut 'alim selama ia
terus belajar. Ketika ia berhenti belajar dan menyangka bahwa dirinya telah
cukup (sempurna) maka ia pun menjadi lebih bodoh dibanding sebelumnya."
Jika seorang
murid telah memiliki keahlian yang sempurna dalam suatu disiplin ilmu dan telah
tampak pula kelebihannya dalam bidang tertentu, serta telah selesai mengulas,
menelaah dan membaca sebagian besar rujukan utama dalam disiplin ilmu yang
ditekuni, atau telah menelaah rujukan-rujukan yang paling terkenal di
bidangnya, maka mulailah untuk menulis karangan dan meneliti madzhab para
ulama' dengan menempuh jalan pertengahan serta paling berimbang ketika
mendapati perselisihan pendapat di tengah-tengah mereka. Hal ini sudah
dipaparkan dalam Adab Seorang Guru.
Keenam
Hendaknya
selalu mengikuti halaqah gurunya, baik dalam (mendengar ulasan)
pelajaran maupun membaca (materi pelajaran), juga seluruh majelis lain yang
dibimbing oleh sang guru; bila memang memungkinkan. Sebab, hal itu akan
menambah kebaikan, memperbesar peluang untuk berhasil, merupakan bentuk adab
yang baik dan penghargaan kepada keutamaan guru. Sebagaimana dikatakan oleh
'Ali dalam riwayat yang sudah disebutkan sebelum ini, "Jangan merasa bosan
karena lama berinteraksi dan sering bertemu dengan guru, sebab guru itu ibarat
sebatang pohon kurma yang selalu diharapkan kapan ada sesuatu yang jatuh
darinya untukmu."
Murid
hendaknya hadir di majelis belajar sebelum guru datang. Jangan sampai terlambat
datang sehingga guru dan semua peserta didik yang lain sudah duduk di tempatnya
masing-masing, dimana keterlambatannya akan membebani mereka untuk berdiri
(memberi tempat) dan membalas salam. Sebagian ulama' salaf berkata,
"Diantara adab kepada guru adalah jika para pelajar menunggu
(kedatangannya), dan bukannya guru yang menunggu muridnya."
Hendaknya
murid pandai-pandai menahan diri dari keinginan tidur, rasa kantuk,
bercakap-cakap dan tertawa di (majelis) gurunya. Jangan berbicara ketika guru
sudah mulai beralih untuk membahas masalah lainnya. Bersungguh-sungguhlah dalam
ber-khidmat kepada guru dan bersegera dalam melayaninya, sebab hal yang
demikian itu merupakan usahanya untuk memuliakan dan menghormati guru.
Di dalam halaqah
atau kelas, jangan mencukupkan diri untuk mendengar pemaparan pelajaran saja,
jika memungkinkan. Sebab, tindakan itu merupakan pertanda rendahnya semangat,
awal kegagalan dan kelambatan dalam berpikir. Namun, perhatikan seluruh aspek
pelajaran yang sedang dijelaskan oleh guru, baik berupa verifikasi materi,
catatan tambahan maupun nukilan yang disampaikan, yakni bila akalnya mampu
menampung. Murid dapat melibatkan dan bekerjasama dengan teman-temannya,
sehingga seakan-akan seluruh materi yang disampaikan guru tidak ada lagi yang
terluput sedikit pun. Sungguh, demikianlah seharusnya perilaku seorang pelajar
yang penuh gairah. Namun, jika murid tidak dapat "mengikat" semua yang
disampaikan guru, maka pilihlah secara cermat hal-hal yang paling penting, baru
disusul oleh prioritas di bawahnya.
Seyogyanya
seorang murid sering belajar bersama secara mandiri (mudzakarah) dengan
teman-teman sekelasnya atau yang berada dalam halaqah yang sama
dengannya. Di dalamnya bisa diisi kegiatan mengingat kembali segala hal yang
berlangsung dalam suatu pertemuan atau majelis pembelajaran, seperti
informasi-informasi, hal-hal penting, kaidah-kaidah, dan lain-lain. Bisa juga
diisi dengan mengulang kembali penjelasan yang sudah pernah diberikan oleh guru
di halaqah atau kelas. Sebab, dalam mudzakarah terdapat manfaat
yang besar sekali. Sangat dianjurkan bahwa mudzakarah dilakukan segera
setelah majelis halaqah atau kelas bubar, yakni sebelum pikiran seisi
kelas atau halaqah itu cerai-berai, konsentrasi mereka buyar kemana-mana
dan segala yang pernah didengar menjadi aneh serta janggal dalam pemahaman.
Kemudian, ulangi lagi kegiatan mudzakarah tersebut pada waktu-waktu
tertentu.
Mudzakarah yang paling
baik dilakukan di malam hari. Sebagian ulama' salaf ada yang melakukan kegiatan
mudzakarah sejak isya' dan kadang mereka baru menyudahinya ketika
mendengar seruan adzan shubuh.
Jika seorang
murid tidak mendapatkan teman yang bisa diajak untuk belajar bersama, maka
hendaklah ia melakukannya sendirian. Ulangi pengertian yang dapat ia tangkap
dalam suatu pertemuan atau kata-kata yang masih diingatnya. Cukup diulangi
dalam hati, supaya semua itu semakin tertancap di pikiran. Sebab, mengulang
suatu pengertian di dalam hati sama nilainya dengan mengulang kata-kata dengan
lidah. Jarang sekali pelajar yang bisa berhasil jika ia malas merenungkan dan
mengulang pelajarannya. Terlebih ketika masih berada di hadapan gurunya dia
hanya mendengar, bubar dan pergi, lalu tidak pernah mengulang-ulangnya.
Ketujuh
Ketika hadir
di majelis pelajaran yang diasuh oleh guru, maka murid mengucapkan salam dengan
suara yang kira-kira cukup terdengar oleh seluruh peserta yang sudah lebih dulu
hadir. Khususkan pula salam kepada guru dengan penghormatan dan pemuliaan yang
lebih. Demikian pula ketika murid hendak meninggalkan majelis pelajaran.
Bila sudah
mengucapkan salam, maka jangan melangkahi pundak peserta yang sudah lebih
dahulu hadir untuk mencapai tempat yang terdekat dengan guru, selama
kedudukannya belum sampai ke tingkatan tersebut. Duduklah di manapun yang masih
kosong, sebagaimana yang diungkapkan secara eksplisit dalam sebuah hadits. Namun
jika guru dan para hadirin mempersilakan untuk maju atau memang sudah dikenal
bahwa ia layak berada di depan, atau si murid mengetahui betul bahwa baik guru
maupun jamaah yang hadir menginginkan agar ia berada di depan, maka tidaklah
mengapa ia maju.
Jangan
sampai murid memaksa seseorang agar berdiri dan pindah dari tempat duduknya
(lalu ia duduk disitu) atau mendesak orang lain secara sengaja. Bahkan jika
seseorang mempersilakannya untuk menempati tempat duduknya dan dia justru
pindah mencari tempat yang lain, maka jangan diterima, kecuali jika dalam hal
ini terdapat maslahat yang sudah sama-sama diketahui oleh seluruh
hadirin; mungkin karena murid itu terbilang dekat dengan guru sehingga para
hadirin dapat mengambil manfaat dari diskusinya dengan sang guru, atau karena
ia sudah tua/senior, atau karena memiliki banyak kelebihan dan keshalihan.
Tidak layak bagi
seorang murid pun untuk lebih mengutamakan orang lain dalam hal mencari tempat
duduk yang terdekat dengan guru, kecuali terhadap orang yang lebih utama
darinya, baik karena faktor usia, ilmu, keshalihan, atau nasabnya yang
bersambung kepada Ahli Bait Rasulullah. Bahkan, semestinya setiap murid
berusaha untuk mendapatkan tempat yang paling dekat dengan guru, sepanjang
tidak tampak menonjolkan diri melebihi orang lain yang lebih utama darinya.
Jika posisi
guru berada di depan, maka peserta kajian yang paling utama (dilihat dari
berbagai segi seperti tersebut diatas) lebih berhak untuk duduk di samping kiri
dan kanan guru. Jika guru berada di tepian shuffah, maka orang-orang
yang paling mulia diantara hadirin dipersilakan duduk di hadapan guru di
sepanjang tembok dan di tepi shuffah.
***Shuffah adalah tempat untuk duduk
dan bernaung di dalam masjid yang diberi atap, semacam teras namun mengarah ke
ruangan dalam masjid. Teras semacam ini umum di masjid-masjid Timur Tengah,
sebab biasanya masjid dibangun tanpa atap. Rujukan paling dikenal dari tradisi
ini bermula dari zaman Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam sendiri,
dimana beliau membangun shuffah di Masjid Nabawi sebagai tempat bagi
para Muhajirin yang miskin maupun para tamu yang berkunjung ke Madinah.
Kelompok sahabat yang selalu berdiam disini disebut dengan Ahli Shuffah.
Sehari-hari, jika tidak bekerja atau keperluan lain yang mengharuskan keluar
dari masjid, mereka mengisi waktunya dengan shalat, berdzikir, atau menimba
ilmu dari Rasulullah.
Pelajar yang
seangkatan atau sedang menekuni satu atau lebih disiplin ilmu yang sama
hendaknya duduk mengelompok pada salah satu bagian halaqah, supaya guru
dapat mengarahkan pandangannya kepada mereka semua ketika menjelaskan suatu
masalah, dan bukannya memandang kepada satu dua orang sementara meninggalkan
yang lainnya.
Kedelapan
Hendaknya
murid bersikap sopan kepada seluruh peserta yang mengikuti majelis asuhan guru,
sebab sikap itu merupakan bentuk adab kepada guru dan penghormatan kepada
majelis yang diasuhnya. Pada dasarnya para hadirin adalah teman seiring bagi
seorang murid, sehingga ia mestinya menghargai rekan-rekannya dan memuliakan
yang lebih tua usianya maupun yang sebaya dengannya.
Jangan duduk
di tengah-tengah halaqah, jangan pula di depan seseorang, kecuali
terpaksa. Jangan duduk diantara dua orang teman karib sehingga memisahkan
mereka, kecuali dengan izin dan kerelaan mereka berdua. Ada hadits yang
melarang duduk diantara dua orang kecuali dengan seizin mereka. Jika mereka
berdua telah memberi tempat, maka duduklah dan jangan mendesak-desak untuk
mendapat tempat yang leluasa untuk diri sendiri, namun usahakan duduk
sedemikian rupa yang tidak mengganggu orang-orang di sekitar. Jangan pula duduk
diatas orang yang lebih utama dan lebih mulia.
Abu Muhammad
al-Yazidi bercerita, "Saya datang menemui al-Khalil bin Ahmad untuk suatu
keperluan, maka beliaupun berkata kepada saya: 'Kemarilah, wahai Abu Muhammad!'
Saya jawab, 'Saya tidak ingin berdesakan dengan Anda.' Beliau menyahut,
'Sesungguhnya dunia dan seluruh sisinya itu terasa sempit bagi mereka yang
saling bermusuhan, sementara (tempat seukuran) sejengkal kali sejengkal tidak
akan terasa sempit bagi mereka yang saling mencintai.'"
Bagi yang
sudah hadir terlebih dahulu dalam majelis, hendaknya mereka menyambut orang
yang datang bergabung, melapangkan majelis dan memberinya tempat untuk duduk.
Muliakan ia secara layak sesuai kedudukannya.
Jika murid
telah diberi tempat dalam majelis sementara kondisinya penuh sesak, maka
posisikan tubuh sedemikian rupa sehingga tidak memakan tempat secara
berlebihan. Jangan memunggungi atau menyampingi orang lain secara mencolok
sehingga menghalanginya. Jauhi yang seperti itu di sepanjang pemaparan guru.
Jangan pula condong kepada orang di kiri atau kanan. Jangan berkacak pinggang.
Jangan duduk keluar dari barisan dalam halaqah baik dengan maju atau
mundur.
(Saat guru
memberikan pelayanan pembelajaran individual), maka jangan berbicara ketika
guru sedang mengajarinya atau orang lain, dimana materi yang dibicarakan tidak
ada kaitannya dengan pelajaran atau bahkan memutus pemaparan pelajaran.
Saat seorang
teman tampil untuk mengajukan presentasi, maka jangan berbicara tentang
presentasi yang sudah lewat sebelumnya, atau hal-hal lain yang tidak urgen dan
bisa ditunda di lain kesempatan, kecuali jika guru atau teman yang akan
presentasi itu mengizinkan.
Jangan
berbicara tentang sesuatu sebelum memeriksa dengan cermat manfaat serta situasi
dan kondisinya. Hindari debat kusir dan menang-menangan dalam berdiskusi. Jika
nafsu untuk berdebat dan meraih kemenangan mulai muncul, segeralah mengekangnya
dengan diam dan sabar, serta mengamalkan hadits bahwa barangsiapa yang
meninggalkan perdebatan padahal dia benar maka Allah akan membangunkan untuknya
sebuah rumah di surga yang tertinggi. Sebab, hal itu sangat efektif untuk
mencegah terpicunya emosi dan jauh dari menimbulkan ketegangan serta
kerenggangan antar pribadi.
Jika ada
sebagian murid yang melakukan tindakan kurang beradab kepada sesamanya, maka
hanya gurulah yang paling berhak menegurnya, kecuali jika teguran (dari sesama
murid) itu melalui isyarat atau secara diam-diam yang cukup diketahui oleh
kedua belah pihak, dengan tujuan memberi nasihat. Namun jika ada seorang murid
yang bertindak kurang beradab kepada guru, maka tegur dan koreksi dia secara
bersama-sama dengan hadirin yang lain. Dalam keadaan ini, belalah guru sedapat
mungkin sebagai bentuk pemenuhan kepada haknya.
Murid tidak
boleh mengiringi dan meniru kalimat yang diucapkan oleh seseorang dalam majelis
itu, terlebih jika itu kalimat yang ducapkan oleh guru, kecuali jika guru atau
orang yang berbicara itu menyukainya.
Kesembilan
Jangan malu
untuk menanyakan sesuatu yang dirasa sulit atau minta penjelasan terhadap
hal-hal yang tidak dimengertinya. Lakukan dengan halus, sopan dan memperhatikan
adab dalam bertanya.
'Aisyah ummul
mu'minin berkata, "Semoga Allah mengasihi para wanita Anshar, dimana
rasa malu tidak menghalangi mereka untuk ber-tafaqquh dalam
agamanya."
Ada yang
mengatakan, "Barangsiapa yang gentar wajahnya saat bertanya, maka akan
terlihat kekurangannya saat berkumpul dengan banyak orang."
Jangan
menanyakan sesuatu yang tidak pada tempatnya untuk ditanyakan, kecuali sangat
perlu atau jika diketahui bahwa guru tidak akan menolaknya. Jika guru diam
tidak menjawab, maka murid tidak memaksa dan merengek untuk mendapat jawaban.
Jika guru keliru dalam menjawab, maka jangan menolaknya seketika itu juga.
Masalah ini sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya.
Sebagaimana
tidak layak bagi seorang pelajar untuk malu dalam bertanya, maka tidak layak
pula baginya untuk malu mengatakan "saya belum paham" ketika ditanya
oleh guru. Sebab, rasa malu dalam hal ini akan membuatnya terluput mendapatkan
manfaat, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek,
ia mengingat masalah yang sedang dibahas dan memahaminya, ditambah (mendapat)
kepercayaan guru kepada kejujuran, sikap wara' dan semangatnya dalam
belajar. Dalam jangka panjang, ia selamat dari kebohongan, nifaq, dan
terbiasa untuk mendapat kemantapan serta kecermatan.
Kesepuluh
Memperhatikan
giliran dan tata-tertib antrian dalam belajar. Jangan mendahului giliran orang
lain kecuali atas kerelaannya. Diriwayatkan bahwa ada seorang sahabat Anshar
yang datang bertanya kepada Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi
wasallam, dan kemudian datang pula seorang laki-laki dari kabilah Tsaqif.
Maka Rasulullah pun condong ke arah orang Tsaqif itu seraya bersabda,
"Wahai saudara Tsaqif, sesungguhnya orang Anshar ini sudah datang lebih
dulu untuk bertanya, maka sekarang duduklah supaya kami dapat memulai untuk
menyelesaikan keperluan orang Anshar ini sebelum memenuhi keperluanmu."
Al-Khathib
al-Baghdadi berkata, "Dianjurkan bagi orang yang mendapat giliran lebih
dahulu untuk mengutamakan (itsar) orang yang asing supaya tampak nyata
penghormatan kepadanya. Telah diriwayatkan dua hadits dalam masalah ini, yang
bersumber dari Ibnu 'Abbas dan Ibnu 'Umar. Dahulukan juga orang yang diketahui
mempunyai kebutuhan mendesak, atau ditunjuk oleh guru untuk maju terlebih
dahulu. (Jika memang keadaannya demikian), maka dianjurkan untuk mendahulukan
orang lain tersebut. Jika tidak demikian, maka tidak perlu mempersilakan orang
lain maju lebih dahulu. Sebab, maju lebih dahulu merupakan bentuk qurbah
(upaya mendekatkan diri). Hak orang yang lebih dahulu tidak gugur karena ia
pergi untuk buang hajat atau memperbaharui wudhu', misalnya, yakni jika ia
kembali lagi ke majelis pelajaran.
Kesebelas
Hendaknya
murid duduk di hadapan gurunya menurut adab yang sudah dipaparkan secara rinci
dalam bab Adab kepada Guru. Siapkan buku pelajaran yang hendak dibaca dan bawa
sendiri buku itu. Ketika membaca, jangan meletakkan buku itu terbuka di lantai,
namun bawalah dengan kedua tangan dan bacalah.
Jangan
membaca sebelum guru mengizinkan. Jangan pula membaca ketika hati guru sedang
diliputi kebosanan, marah, lapar, haus, dan lain-lain.
Keduabelas
Saat tiba
giliran untuk maju, mintalah izin terlebih dahulu kepada guru, sebagaimana yang
sudah kami tuturkan sebelumnya. Jika guru sudah mempersilakan, maka mulai
dengan membaca ta'awudz, basmalah, tahmid, bershalawat kepada Nabi dan
keluarganya, kemudian mendoakan guru, kedua orangtuanya, para guru dari
gurunya, dirinya sendiri serta kaum muslimin pada umumnya. Lakukan hal yang
sama setiap kali hendak membaca pelajaran, mengulang, menelaah, atau melakukan muqabalah
(semacam tes dan setoran hafalan), baik di depan guru maupun tidak.
Ketika murid
mendoakan guru maka ucapkan, "Semoga Allah meridhai Anda, para guru dan
imam kita," atau yang serupa itu, dimana yang dimaksud secara khusus
dengan doa ini adalah guru yang bersangkutan. Kemudian, guru balas mendoakan
murid sebagaimana murid telah mendoakannya.
Jika murid
tidak melakukan istiftah (pembukaan) sebagaimana mestinya, baik karena
tidak tahu atau lupa, maka hendaknya guru mengingatkan dan mengajarinya. Sebab,
hal itu merupakan salah satu adab yang paling penting. Ada hadits yang
diriwayatkan tentang anjuran memulai segala perkara penting dengan hamdalah,
dan belajar adalah salah satu perkara penting itu.
Ketigabelas
Hendaknya
seorang murid memotivasi sesamanya untuk berusaha mendapat ilmu dan menunjukkan
kepada mereka tempat-tempatnya; menyingkirkan dari mereka segala keinginan yang
melalaikan; membantu memudahkan mereka dalam urusan makan-minumnya; belajar
bersama mereka untuk mengingat kembali berbagai macam kaidah, informasi penting
dan hal-hal unik yang sudah diketahuinya; dan menasehati mereka untuk selalu
berpegang teguh kepada agamanya.
Dengan semua
itu maka hatinya akan bercahaya, amalnya bersih dan terus berkembang. Jangan
sampai seorang murid berbangga di hadapan teman-temannya dan merasa sok hebat
dengan kecemerlangan akalnya. Namun, seharusnya dia selalu memuji Allah atas
karunia itu serta mengharap tambahan dari-Nya dengan senantiasa bersyukur.[]
-- bersambung --
Link terkait:
1 - Bagian 1 : Pengantar penerjemah
2 - Bagian 2 : Adab guru kepada ilmunya
3 - Bagian 3 : Adab guru dalam mengajar
4 - Bagian 4 : Adab guru kepada murid-muridnya
5 - Bagian 5 : Adab pribadi seorang murid
6 - Bagian 6 : Adab murid kepada gurunya dan teladannya
7 - Bagian 7 : Adab murid dalam belajar
8 - Bagian 8 : Adab kepada buku sebagai sarana ilmu
9 - Bagian 9 : Penutup (Adab Ahli Bait Nabi)
-- bersambung --
Link terkait:
1 - Bagian 1 : Pengantar penerjemah
2 - Bagian 2 : Adab guru kepada ilmunya
3 - Bagian 3 : Adab guru dalam mengajar
4 - Bagian 4 : Adab guru kepada murid-muridnya
5 - Bagian 5 : Adab pribadi seorang murid
6 - Bagian 6 : Adab murid kepada gurunya dan teladannya
7 - Bagian 7 : Adab murid dalam belajar
8 - Bagian 8 : Adab kepada buku sebagai sarana ilmu
9 - Bagian 9 : Penutup (Adab Ahli Bait Nabi)