Adab Umum Guru dan Murid - Bag. 2


Kedelapan

Jauhilah melihat kemaksiatan-kemaksiatan. Tahanlah anggota tubuh Anda dari maksiat, kecil maupun besar, tersembunyi maupun terbuka. Ini merupakan bagian dari hal-hal yang akan mempercepat naiknya jiwa Anda menuju kedudukan spiritual (maqam) yang lebih tinggi.
Ketahuilah, bahwa kebersihan diri dari maksiat akan membantu mempermudah penggunaan anggota badan dalam menjalankan ketaatan kepada Allah. Setiap kebajikan dalam diri Anda akan memanggil-manggil saudaranya untuk bergabung dan akhirnya menghiasi diri Anda sebagai ahli berbuat baik. Demikian pula sebaliknya dengan setiap keburukan yang ada dalam diri Anda. Ia akan berseru mengundang balatentaranya hingga akhirnya seluruh diri Anda ditaklukkannya. Na’udzu billah.
Imam asy-Syafi’i menuturkan, “Aku pernah mengeluhkan kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku, maka beliau pun membim-bingku untuk meninggalkan maksiat-maksiat. Karena sesung-guhnya ilmu itu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan-Nya kepada orang yang suka bermaksiat.”

Kesembilan
Hindari bersandar kepada sesama makhluk dalam memenuhi keperluan-keperluan pribadi Anda, baik besar maupun kecil.  Sedapat mungkin, lakukan dan penuhi sendiri keperluan Anda. Ini merupakan kehormatan yang paling paripurna bagi seorang ahli ibadah dan kemulian bagi orang yang bertaqwa. Semua ini akan memperkuat Anda dalam mengemban amar ma’ruf nahi munkar. Hendaklah Anda meminta kecukupan dari Allah dan percaya penuh kepada pemberian-Nya. Semua ini akan lebih dekat kepada pintu keikhlasan.
Hendaklah Anda memutus pengharapan dari sesama manusia. Jangan mengharap-harapkan agar mereka memberi Anda dari hartanya atau memenuhi kebutuhan pribadi Anda dengan ban-tuannya. Ini adalah kekayaan murni (al-ghina al-khalish), kehor-matan terbesar (al-‘izz al-akbar), tawakkal yang sebenarnya (at-tawakkul ash-shahih). Ini merupakan satu diantara pintu-pintu zuhud, dan dengannya pula sikap wara’ bisa diraih.
Allah memuji kaum muslimin dari kalangan muhajirin yang sebenarnya mengalami kekurangan, namun mereka tidak mau mengemis untuk memenuhi kebutuhannya. Atas hal ini, Allah menganjurkan orang yang berkecukupan untuk memperhatikan saudaranya dan memenuhi kebutuhannya sebelum mereka meminta, sebagaimana dinyatakan dalam QS al-Baqarah: 273, “(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya, karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan, apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.”
Dalam al-Musnad, Imam Ahmad mengutip kisah seorang lelaki dari kabilah Muzainah yang disuruh oleh ibunya untuk men-datangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan meminta sesuatu kepada beliau, sebagaimana yang dilakukan kebanyakan orang lainnya. Ia pun berangkat, dan bertepatan saat itu Rasu-lullah shallallahu ‘alaihi wasallam tengah berkhutbah, “Barang-siapa yang berusaha memelihara kehormatannya maka Allah pun akan memeliharanya. Barangsiapa yang memohon kecukupan maka Allah pun akan mencukupkannya. Barangsiapa yang me-minta-minta kepada orang lain sementara ia sendiri mempunyai harta senilai lima auqiyah, maka sungguh ia telah meminta kepa-da orang lain dengan cara mendesaknya.” Maka, lelaki Muzainah itu pun berkata dalam hati, “Sungguh seekor unta yang kumiliki nilainya lebih dari lima auqiyah. Pelayanku pun punya seekor unta, dan nilainya lebih dari lima auqiyah.” Maka, ia pun pulang dan tidak jadi meminta apa-apa kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
‘Auf bin Malik al-Asyja’i bercerita, “Kami pernah berada di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sekitar sembilan, delapan atau tujuh orang. Maka beliau pun bersabda, ‘Tidakkah kalian membai’at Rasulullah?’ Saat itu kami belum lama telah membai’at beliau, sehingga kami berkata, ‘Kami telah membai’at Anda, wahai Rasulullah.’ Lalu, beliau bertanya lagi, ‘Tidakkah kalian membai’at Rasulullah?’ Kami menjawab, ‘Kami telah mem-bai’at Anda.’ Kemudian, beliau bertanya lagi, ‘Tidakkah kalian membai’at Rasulullah?’ Maka, kami pun mengulurkan tangan ka-mi dan berkata, ‘Kami telah membai’at Anda, wahai Rasulullah. Lalu, untuk perihal apa lagikah kami harus membai’at Anda?’ Beliau menjawab, ‘Berbai’atlah untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, selalu mengerjakan sha-lat lima waktu, senantiasa taat, dan – beliau merendahkan suara-nya saat mengucapkan satu kalimat lagi – jangan meminta apa pun kepada siapa pun!’ Maka, sungguh saya pernah melihat salah seorang dari mereka – yang ikut berbai’at saat itu – jatuh ceme-tinya, namun ia tidak meminta siapapun untuk mengambilkan-nya.” – Hadits riwayat Muslim.

Kesepuluh
Bersikaplah rendah hati (tawadhu’) kepada siapa saja. Dengan-nyalah kedudukan Anda akan menjadi terhormat. Tawadhu’ adalah sesuatu yang menjadi landasan utama seluruh akhlaq. Dengan ini Anda akan mencapai kedudukan orang-orang shalih (manazil ash-shalihin) yang selalu ridha kepada Allah dalam kondisi senang maupun susah. Inilah kesempurnaan taqwa.
Raihlah tawadhu’ dengan cara tidak pernah “membesarkan” diri Anda di hadapan siapapun, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terbuka. Jika Anda menjumpai orang lain, siapapun dia, maka katakan dalam hati bahwa ia pasti punya suatu kelebihan diatas Anda. Jika ia masih kecil, maka katakan kepada diri Anda sendiri, “Anak ini belum bermaksiat kepada Allah, sementara aku telah bermaksiat kepada-Nya, maka tidak diragukan lagi bahwa dia lebih baik dibanding diriku.” Jika ia sudah tua, maka katakan kepada diri Anda sendiri, “Orang ini telah beribadah kepada Allah jauh sebelum aku.” Jika orang lain itu adalah seorang ‘alim, maka katakan kepada diri Anda sendiri, “Orang ini telah dikaruniai sesuatu yang aku sendiri belum bisa mencapainya, dan ia telah memperoleh apa yang aku belum memilikinya, ia mengetahui apa yang aku tidak tahu, dan dia juga mengamalkan ilmunya.” Jika orang lain itu adalah orang yang jahil, maka katakan kepada diri Anda sendiri, “Orang ini mendurhakai Allah sementara dia tidak tahu (jahil), tetapi aku mendurhakai-Nya sedangkan aku berilmu. Aku tidak tahu bagaimana kelak akhir kehidupanku dan kehidupannya.” Jika orang lain itu seorang kafir maka katakan kepada diri Anda sendiri, “Aku tidak tahu, bisa saja dia masuk Islam sehingga kehidupannya diakhiri dengan amal terbaik, dan bisa saja aku menjadi kafir sehingga kehidupanku diakhiri dengan amal terburuk.”
Tentu saja, Anda tetap tidak boleh meridhai keburukan serta maksiat yang dilakukan siapapun, dan harus selalu menguatkan diri untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar, dengan meme-nuhi segala adab dan tatacaranya. Tawadhu’ adalah pintu yang membimbing Anda menuju sikap khawatir (syafaqah) dan takut (wajal) jika tertimpa keburukan, sehingga Anda selalu waspada, tidak henti-hentinya memperbaiki diri, dan lebih jauh terhindar dari kelalaian.

Kesebelas
Berinteraksi dan bertemanlah diantara sesama Anda dengan me-nerapkan sikap itsar (mendahulukan orang lain), futuwwah (murah hati), dan lapang dada.
Hindarilah egoisme dan selalu ingin menang sendiri, sebab ia akan meretakkan persaudaraan dan menumpulkan empati.
Jangan menjadi orang yang keras kepala dan ‘tidak bisa disen-tuh’, sebab semua itu akan menjauhkan Anda dari semua orang, yang pada akhirnya menghalangi Anda dari mendapat manfaat ikatan persaudaraan serta pertemanan.
Tidak layak pula bagi Anda untuk menuntut orang lain mema-hami dan menyesuaikan diri dengan Anda, sebab ia adalah bentuk nyata dari kesombongan dan kebanggaan diri yang tercela. Akan tetapi, berusahalah untuk menerima orang lain dan berlapang dada terhadap kekurangan mereka, sehingga jiwa An-da akan longgar untuk bergaul dengan siapapun tanpa terbebani kebencian, kemarahan dan prasangka yang tidak pada tempat-nya. Ketahuilah, jika kesombongan menguasai hati, maka ilmu-ilmu yang berguna akan tersingkir pula dari dalamnya. Sungguh, sebagaimana air yang tidak pernah mengalir ke tempat yang lebih tinggi, maka demikian pula ilmu tidak akan mau memasuki hati yang diwarnai kesombongan.

Keduabelas
Agar tumbuh sikap itsar dalam jiwa, maka berusahalah melayani orang lain dalam segala hal. Berusahalah untuk membantu memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, terlebih lagi kepada guru dan kedua orangtua Anda. Jangan gampang-gampang ber-anggapan Anda mempunyai hak yang harus dipenuhi orang lain, dan sebaiknya tidak menuntut orang lain atas sesuatu hak.

Ketigabelas
Supaya bersemi sikap futuwwah dalam hati, maka berusahalah menampakkan kecocokan (muwafaqah) dengan teman-teman Anda dalam segala yang mereka katakan maupun lakukan, yakni dalam hal-hal yang baik dan mengandung maslahat.
'Aba'ah bin Kulaib bercerita, "Aku berkumpul bersama Muham-mad bin an-Nadhr al-Haritsi, 'Abdullah bin al-Mubarak, dan Fu-dhail bin 'Iyadh. Aku membuatkan makanan untuk mereka. Maka, Muhammad bin an-Nadhr al-Haritsi tidak menyelisihi kami dalam satu hal pun. Lalu, 'Abdullah bin al-Mubarak pun berkata kepada-nya, "Betapa sedikitnya perbedaanmu (dengan kami)?" Maka, Muhammad bin an-Nadhr menjawab (dengan melantunkan syair): “Jika engkau bersahabat, maka bersahabatlah dengan seseorang; yang mempunyai rasa malu, menjaga diri dan mulia; Apa yang dia katakan terhadap sesuatu adalah 'tidak' jika engkau berkata 'tidak'; dan jika engkau mengatakan 'ya' maka ia pun berkata 'ya'.” – Riwayat Ibnu Abid Dunya dalam al-Ikhwan.
Berusahalah untuk selalu menyambung hubungan dan berbuat baik kepada mereka. Jika ada kesempatan, tidak mengapa Anda mengunjungi tempat tinggal mereka, mengenal orangtua dan juga saudara-saudara mereka.
‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu 'anhu berkata, "Sungguh aku mencintai anak-anak kecil kaum muslimin semata-mata karena Allah ta'ala, semuanya aku ketahui nama mereka, nama ayahnya, nama kabilahnya, dan aku pun tahu dimana letak rumahnya." Seseorang mengomentari perkataan 'Umar “dan aku pun tahu dimana rumahnya”, ia berkata, "Aku tahu (beliau benar), sebab beliau suka mengunjungi mereka." – Riwayat Ibnu Abid Dunya dalam al-Ikhwan.
Jika Anda termasuk kaya, maka dahulukan teman yang fakir di-atas diri Anda sendiri dalam hal makanan, minuman, tempat duduk, dan dalam segala sesuatu yang lain, dengan tanpa memandang bahwa Anda mempunyai keutamaan diatasnya karena sikap Anda itu. Anda pun tidak perlu mengungkit-ungkitnya. Bahkan, seharusnya Anda bersyukur kepada Allah yang telah menjadikan Anda bisa melayani orang-orang fakir itu, sebab orang-orang fakir adalah keluarga Allah (ahlullah) dan orang-orang istimewa-Nya.
Tidak seharusnya pula Anda melarang teman-teman Anda untuk memanfaatkan peralatan yang Anda miliki. Namun, jika Anda meminjam sesuatu dari mereka maka Anda harus merawatnya dengan baik, dan kemudian mengembalikannya seperti semula. Anggap saja bahwa apa yang Anda punyai adalah milik Allah, adapun apa yang ada di tangan orang lain maka Anda berusaha untuk menerapkan hukum-hukum syari’at terhadapnya dan dengan selalu dilandasi sikap wara’.

--- bersambung ---

Artikel terkait:
Bagian 1
Bagian 3
(*) disarikan dari berbagai sumber