Adab Umum Guru dan Murid - Bag. 1

بسم الله الرحمن الرحيم

Aktifitas mencari ilmu, baik bagi guru maupun murid, pada hakikatnya adalah aktifitas spiritual. Oleh karenanya, harus dibangun matarantai ruhiyah diantara mereka, yang berpijak kepada menghormati hak-hak orang lain dan menjaga diri dari kemak-siatan. Sebab, dosa-dosa akan mengurai ikatan jiwa dan mereng-gangkan hubungan, yang menyebabkan terhalangnya manfaat il-mu. Oleh karenanya, setiap orang yang terlibat dalam aktifitas mencari ilmu harus saling menjaga adab-adab diantara mereka.

Pertama
Kuatkan komitmen dan ketekunan Anda dalam mengamalkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di setiap aspek dan kesempatan. Jauhilah perkara-perkara yang bid’ah dan tidak berguna, sebab ia akan melalaikan dan mendorong kepada maksiat.
Hassan bin ‘Athiyyah al-Muharibi berkata, “Tidaklah suatu kaum mengerjakan sebuah bid'ah dalam agama mereka melainkan Allah akan mencabut dari sunnah mereka sesuatu yang serupa dengannya, kemudian Allah tidak akan mengembalikannya kepada mereka sampai hari kiamat nanti.”
Ketahuilah, tempat ilmu adalah jiwa, dan ia hanya bisa menerima ilmu jika telah dipersiapkan dan diolah dengan baik. Karena jiwa kita berada dalam genggaman Allah, maka tidak ada yang lebih baik untuk mempersiapkannya selain dengan mengamalkan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, bagian demi bagian, tahap demi tahap.
Mulailah mengamalkan sunnah-sunnah yang terasa ringan bagi Anda, dan pertahankan agar ia menjadi bagian dari hidup Anda. Lalu, lanjutkan dengan menerapkan sunnah-sunnah yang lebih berat secara kontinyu. Jangan menjalankan sesuatu amal yang berat sekaligus, karena ia akan segera hilang sekaligus pula.

Kedua
Hiasilah diri Anda dengan ketekunan dan mujahadah, bukan permainan dan kelalaian. Perkuatlah jiwa dengan amal-amal ulul ‘azmi, yakni orang-orang yang memiliki semangat berkobar-kobar dalam meraih tujuan yang diridhai Allah.
Namun, di sepanjang perjalanan itu, tidak mengapa Anda merehatkan jiwa sesekali, seperti berbincang-bincang dengan kawan, mendatangi tempat rekreasi, atau sekedar tidur. Sebab, rehat akan membangkitkan kekuatan dan memperbaharui motivasi. Hanya saja, jangan berlebihan, sebab berkubang dalam senda-gurau dan permainan adalah bukti kelemahan serta kemalasan.
Washil, maula Abu 'Uyainah, berkata: aku pernah bersama Muhammad bin Wasi' di Marw. Lalu, 'Atha' bin Abu Muslim (al-Khurasani) mendatangi beliau bersama anaknya, 'Utsman. 'Atha' kemudian berkata kepada Muhammad, "Amal apakah yang pa-ling utama di dunia ini?" Beliau menjawab, "Menemani teman dan bercakap-cakap dengan saudara, apabila mereka saling bersaha-bat diatas kebajikan dan taqwa." Beliau melanjutkan, "Pada saat itu, Allah akan menghadirkan kemanisan di antara mereka, se-hingga mereka terhubung dan saling menyambungkan hubungan. Tidak ada kebaikan dalam menemani teman dan bercakap-cakap dengan saudara jika mereka adalah budak-budak dari perutnya masing-masing, sebab jika mereka seperti ini maka satu sama lain akan saling menghalangi dari akhirat."
Dalam suatu perjalanan diketahui bahwa Sufyan ats-Tsauri membawa bekal berupa faludzaj (sejenis makanan mewah) dan daging panggang. Kepada orang yang keheranan melihat makan-an tersebut beliau berkata, “Sungguh, binatang tunggangan itu, jika diperlakukan dengan baik, maka ia akan bekerja (dengan baik pula).” Ya, beliau menunjuk kepada dirinya sendiri, agar di-perlakukan dengan baik sehingga giat dalam menggapai cita-cita yang mulia. Sebaliknya, sebagaimana dikatakan oleh Ibrahim bin Adham, “Sesungguhnya hati itu, jika dipaksa, maka ia akan men-jadi buta.”
Disinilah Anda harus pandai-pandai menimbang dan memikir-kan setiap tindakan Anda. Memperturukan keinginan tanpa ken-dali akan menjerumuskan Anda ke dalam kehancuran, namun mengekangnya samasekali juga membawa kerusakan, menga-caukan pikiran dan melemahkan badan.

Ketiga
Agar jiwa Anda terlatih dalam mujahadah dan fokus mental yang baik, maka hindarilah bersumpah dengan nama Allah, baik sung-guhan atau bohongan, sengaja maupun tidak. Jauhi pula berbo-hong, baik main-main atau sungguhan. Bila Anda telah membia-sakan hal ini maka Allah akan melapangkan dada Anda, ilmu Anda menjadi jernih, seluruh keadaan diri Anda pun akan penuh kejujuran (shidq), yang pengaruhnya akan tampak jelas dan terasa dalam seluruh kepribadian Anda.

Keempat
Tepatilah janji yang telah Anda ucapkan, walau pada dasarnya Anda harus berusaha meninggalkan berjanji, sebab hal itu akan membuka peluang terjerumus dalam pengingkaran dan kebo-hongan. Bila Anda mampu melakukan hal ini, maka akan dibukakan bagi Anda pintu kedermawanan, pintu menuju derajat rasa malu, dan akan dikarunia rasa cinta dari orang-orang yang jujur (ash-shadiqin).

Kelima
Jauhilah melaknat apapun sesama makhluk Allah. Hindari pula menyakiti apapun, entah seukuran sebutir biji sawi atau bahkan yang lebih kecil darinya. Ini adalah akhlaq orang-orang yang hidupnya penuh kebajikan (al-abrar) dan jujur dalam iman serta jalan hidupnya (ash-shiddiqin). Sikap ini akan memelihara Anda dari jebakan-jebakan penghancur dan selamat darinya, menim-bulkan rasa kasih sayang dari sesama hamba Allah, disamping menarik karunia-Nya berupa kedudukan yang tinggi dan dekat dengan-Nya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak selayak-nya seorang teman itu menjadi orang yang suka melaknat.” – Hadits riwayat Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Beliau juga bersabda, “Orang beriman itu bukan seseorang yang suka mencela dan menuduh, suka melaknat, suka berkata kotor, dan suka berbuat keji.” – Hadits riwayat at-Tirmidzi, dan menurut beliau hasan-gharib, bersumber dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.
Beliau juga bersabda, “Sungguh seseorang itu, jika ia melaknat sesuatu, maka laknatnya akan naik ke langit, akan tetapi pintu-pintu langit tertutup tidak mau menerimanya. Lalu, ia akan kembali turun ke bumi, namun pintunya pun tertutup untuknya, sehingga ia pun berkeliling kesana-kemari. Jika ia tidak menda-pati tempat untuk berlabuh, maka ia akan kembali kepada sasar-an yang dilaknat itu. Jika ia memang layak menerimanya, maka ia akan berdiam disana. Namun jika tidak, maka ia akan kembali kepada orang yang mengucapkannya.” – Hadits hasan riwayat Abu Dawud dari Abu ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu.

Keenam
Jangan pernah mendo’akan keburukan kepada siapapun, walau ia menzhalimi Anda. Jangan memutuskannya dari rahmat Allah dengan lisan (yakni, do’a); jangan pula membalas dengan ucapan maupun tindakan. Bahkan, sebaiknya Anda mendo’akannya agar mendapat kebaikan dan segera bertaubat dari kesalahannya. Ketahuilah, agama ini tengah dilupakan dimana-mana. Anda seharusnya memanggil lebih banyak orang untuk bergabung menjayakan dan membela panji-panjinya, bukan sebaliknya mendo’akan dan mengusir mereka keluar dari barisan rahmat Allah.
Jika Anda bisa melakukan dan memastikannya sebagai salah satu adab pribadi Anda, maka Anda akan mulia di mata Allah dan akan memperoleh kecintaan dari seluruh manusia.

Ketujuh
Tidak pantas bagi Anda untuk bersaksi (yakni, memastikan) atas seorang pun dari ahli qiblat (yakni, sesama muslim) sebagai musyrik, kafir, atau munafiq. Hal ini lebih dekat kepada sifat kasih sayang dan akhlaq yang selaras sunnah, lebih jauh dari sikap sok punya ilmu, dan lebih dekat kepada keridhaan Allah. Ini adalah pintu yang sangat mulia yang akan mendorong kecintaan seluruh umat manusia kepada Anda.
Berhati-hatilah dalam menilai orang lain, dan jangan meraba-raba sesuatu yang ghaib yang ada di dalam hatinya. Perlakukan sesama muslim menurut apa yang tampak lahir dalam perila-kunya, dan serahkan apa yang ada dalam hatinya kepada Allah. Setiap orang akan diadili oleh-Nya, sesuai amal dan niatnya masing-masing.
Jangan mudah terpancing kabar burung dan gosip, terutama yang mengurai kekurangan sesama Anda. Sebuah kabar yang buruk tentang seseorang tidak selalu datang dari sumber yang bersih, dan adakalanya disertai keirian serta rasa benci yang tersembunyi. Maka, berhati-hati dan periksalah sendiri kebenar-annya. Tidak ada manusia yang sempurna, kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Acapkali, ketika sesuatu atau seseo-rang itu telah baik, maka cacat-cacat kecil pada dirinya akan mudah terlihat, padahal yang lebih besar dari itu tidak akan menjadi masalah jika ada pada selainnya. Pada kenyataannya, seperti dikatakan oleh Imam asy-Syafi’i, “Mengharap kepuasan semua orang adalah keinginan yang tidak mungkin bisa diraih.”
Dikisahkan dalam al-Khairat al-Hisan, bahwa al-Awza’i, seorang faqih termasyhur dari Syam, berkata kepada ‘Abdullah bin al-Mubarak, “Siapa dia ini, si ahli bid’ah yang muncul di Kufah, dan dikenal dengan nama Abu Hanifah?” Ibnul Mubarak diam tidak menjawab, namun beliau justru memaparkan berbagai masalah fiqh yang rumit dan sukar dipecahkan. Dijelaskannya pula ba-gaimana cara menganalisis masalah-masalah tersebut dan bagai-mana pula kesimpulan fatwanya. Mendengar uraian tersebut, al-Awza’i bertanya, “Siapakah orang yang memfatwakan seperti ini?” Ibnul Mubarak menjawab, “Seorang syaikh yang saya temui di Iraq.” Al-Awza’i berkomentar, “Dia pasti seorang syaikh yang sangat hebat. Pergilah kesana dan perbanyak belajar darinya.” Ibnul Mubarak menimpali, “Syaikh ini adalah Abu Hanifah.” Bela-kangan, al-Awza’i berkesempatan untuk berjumpa dengan Abu Hanifah di Makkah. Maka, beliau pun mendiskusikan masalah-masalah yang dulu pernah diungkapkan oleh Ibnul Mubarak. Saat itulah Abu Hanifah memaparkan sendiri fatwa-fatwanya secara langsung. Setelah keduanya berpisah, al-Awza’i pun ber-kata kepada Ibnul Mubarak, “Aku iri sekali kepada orang ini (maksudnya, Abu Hanifah), disebabkan keluasan ilmu dan kecer-dasan akalnya. Aku juga memohon ampun kepada Allah ta’ala, sungguh aku telah salah besar. Tetaplah berguru kepada orang ini, sebab ternyata ia sangat berbeda dengan kabar-kabar yang sampai kepadaku.”

--- bersambung ---

Selanjutnya:
Bagian 2
Bagian 3 
(*) disarikan dari berbagai sumber