Terjemah risalah "Mukhtashar al-Khishal al-Mukaffirah" karya as-Suyuthi - 2/2


 
[ Sambungan dari Bag. 1 ]

10 – أَخْرَجَ أَبُوْ نُعَيْمٍ فِى الْحِلْيَةِ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَنْ جَاءَ حَاجًّا يُرِيْدُ وَجْهَ اللهِ تَعَالَى غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ

10 – Abu Nu’aim mengeluarkan hadits dalam al-Hilyah bersumber dari ‘Abdullah bin Mas’ud, semoga Allah meridhainya, beliau berkata: saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang datang untuk mengerjakan haji, seraya menginginkan wajah Allah, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu maupun akan datang.”[1]

11 – أَخْرَجَ أَحْمَدُ بْنُ مَنِيْعٍ وَأَبُوْ يَعْلَى فِى مُسْنَدَيْهِمَا عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ قَضَى نُسُكَهُ وَسَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَمِنْ يَدِهِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ
11 – Ahmad bin Mani’ dan Abu Ya’la mengeluarkan hadits dalam Musnad mereka, bersumber dari Jabir bin ‘Abdillah, semoga Allah meridhainya, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang menyelesaikan ibadah hajinya, dan kaum muslimin selamat dari gangguan lisan dan tangannya, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu maupun akan datang.”[2]

12 – أَخْرَجَ الثَّعْلَبِيُّ فِى التَّفْسِيْرِ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ قَرَأَ آخِرَ سُوْرَةِ الْحَشْرِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ
12 – Ats-Tsa’labi mengeluarkan hadits dalam At-Tafsir, bersumber dari Anas, semoga Allah meridhainya, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang membaca penghujung surah al-Hasyr niscaya diampuni dosanya yang telah lalu maupun akan datang.”[3]

13 – أَخْرَجَ عَبْدُ اللهِ بْنُ مَنْدَهْ فِى أَمَالِيْهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ الله عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ قَادَ مَكْفُوْفًا أَرْبَعِيْنَ خُطْوَةً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ
13 – ‘Abdullah bin Mandah mengeluarkan hadits dalam Amali-nya, bersumber dari Ibnu ‘Umar, semoga Allah meridhai mereka berdua, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang menuntun seorang buta (yakni, karena usia lanjut) sebanyak empat puluh langkah niscaya diampuni dosanya yang telah lalu maupun akan datang.”[4]

14 – وَأَخْرَجَ أَحْمَدُ بْنُ النَّاصِحِ فِى فَوَائِدِهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ الله عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ سَعَى ِلأَخِيْهِ الْمُسْلِمِ فِى حَاجَةٍ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ
14 – Ahmad bin an-Nashih mengeluarkan hadits dalam Fawa’id-nya, bersumber dari Ibnu ‘Abbas, semoga Allah meridhai mereka berdua, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mengusahakan (pemenuhan) suatu kebutuhan untuk saudaranya sesama muslim niscaya diampuni dosanya yang telah lalu maupun akan datang.”[5]

15 – وَأَخْرَجَ أَبُو الْحُسَيْنِ عَنْ سُفْيَانَ وَأَبِي يَعْلَى فِى مُسْنَدَيْهِمَا عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ الله عَنْهُ : عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَا مِنْ عَبْدَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ وَيُصَلِّيَانِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلاَّ لَمْ يَتَفَرَّقَا حَتىَّ يُغْفَرَ لَهُمَا ذُنُوْبُهُمَا مَا تَقَدَّمَ مِنْهَا وَمَا تَأَخَّرَ
15 – Abul Husain mengeluarkan hadits dari Sufyan, dan Abu Ya’la, dalam Musnad mereka berdua, bersumber dari Anas, semoga Allah meridhainya: dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Tidaklah dua orang hamba saling berjumpa, lalu saling berjabatan tangan dan bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, melainkan sebelum keduanya berpisah telah diampunkan dosa mereka, baik yang sudah lalu maupun akan datang.”[6]

16 – وَأَخْرَجَ أَبُوْ دَاوُدَ عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ الله عَنْهُ : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ أَكَلَ طَعَامًا ثُمَّ قَالَ : الْحَمْدُ ِللهِ الَّذِي أَطْعَمَنِي هَذَا الطَّعَامَ وَرَزَقَنِيْهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّي وَلاَ قُوَّةٍ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ وَمَنْ لَبِسَ ثَوْبًا جَدِيْدًا فَقَالَ : الْحَمْدُ ِللهِ الَّذِي كَسَانِي هَذَا مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّي وَلاَ قُوَّةٍ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ
16 – Abu Dawud mengeluarkan hadits dari Mu’adz bin Jabal, semoga Allah meridhainya: sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang memakan makanan kemudian berkata: ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberiku makanan ini dan mengaruniakannya kepadaku, tanpa daya dan kekuatan dariku’, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu maupun akan datang. Barangsiapa yang mengenakan baju baru lalu berkata: ‘Segala puji bagi Allah yang telah memakaikan padaku baju ini, dengan tanpa daya dan kekuatan dariku’, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu maupun akan datang.”[7]

Sudah tersarikan 16 perkara terpuji dari hadits-hadits ini. Segala puji bagi Allah atas kenikmatan dan karunia-Nya. Itu adalah karunia yang Dia berikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Allah adalah pemilik karunia yang besar.
Semoga shalawat dan salam senantiasa Allah limpahkan atas penghulu kita, Muhammad, juga segenap keluarga dan sahabatnya.
Selesailah (penyalinan) naskah ini di tangan al-faqir as-Sayyid Mushthafa asy-Syiblabakhi, pengajar, imam, dan pejabat hisbah di Tanah Suci Madinah, pada tahun 1221 H.

[*]

منظومة السيوطى فى الخصال المكفّرة
Berikut ini bait-bait yang diciptakan oleh Imam as-Suyuthi untuk meringkas 16 perkara diatas, yang dikutip oleh muhaqqiq edisi Arabnya dari Tanwiru al-Hawalik, I/110-111, juga karya Imam as-Suyuthi sendiri. Terjemahan bait-bait ini tidak terlalu harfiah.

قَدْ جَاءَ عَنِ الْهَادِى وَهُوَ خَيْرُ نَبِيٍّ    *        أَخْبَارٌ مَسَانِيْدٌ قَدْ رُوِيَتْ بِإِيْصَال
فِى فَضْلِ خِصَلٍ غَافِرَاتٍ ذُنُوْبَ       *        مَا قُدِّمَ أَوْ أُخِّرَ لِلْمَمَاتِ بِإِفْضَال
حَجٍّ وُضُوْءٌ قِيَامٌ لَيْلَةِ قَدْرٍ              *        وَاسْهَرْ وَصُمْ لَهُ وُقُوْفِ عَرَفَةَ إِقْبَال
آمِيْنَ وَقَارِئِ الْحَشْرِ ثُمَّ مَنْ قَادَ       *        أَعْمَى وَشَهِيْدٌ إِذَا الْمُؤَذِّنُ قَدْ قَال
سَعْيٌ ِلأَخٍ وَالضُّحَى وَعِنْدَ لِبَاسٍ      *        حَمْدٌ وَمَجِيْ مِنْ إِيْلِيَاءَ بِإِهْلاَل
فِى الْجُمُعَةِ يَقْرَأُ قَوَاقُلاً وَصِفَاحٍ       *        مَعَ ذِكْرِ صَلاَةٍ عَلَى النَّبِيِّ مَعَ اْلآل

Telah datang (riwayat) dari Sang Penunjuk jalan, dan dialah sebaik-baik Nabi; hadits-hadits yang musnad dan diriwayatkan secara bersambung.
Perihal keutamaan beberapa perkara yang bisa menghapuskan dosa-dosa; baik yang telah lalu ataupun akan datang, menjelang kematian, (semua itu) dengan karunia Allah.
(Yaitu) menunaikan haji, berwudhu, mengerjakan qiyamul lail pada saat Lailatul Qadar, dan tidak tidur saat itu (untuk beribadah) dan berpuasalah, wukuf di Arafah, menyambut…
ucapan ‘amin’, orang yang membaca surah al-Hasyr, kemudian orang yang menuntun orang yang buta, orang yang bersaksi pada saat mu’adzin mengumandangkan adzan.
Mengusahakan (pemenuhan kebutuhan) bagi saudara, mengerjakan shalat Dhuha, memuji Allah tatkala mengenakan pakaian (yang baru), berangkat dari Iliya’ (yakni, Palestina) dengan mengeraskan bacaan talbiyah
Pada hari Jum’at membaca tiga Qul (yakni, surah al-Ikhas, al-Falaq dan an-Nas), berjabatan tangan disertai berdzikir dengan membaca shalat kepada Nabi dan keluarganya.

[*]

Risalah ini selesai diterjemahkan oleh Alimin Mukhtar pada tanggal 20 Jumadil Ula 1433 H, bersamaan 12 April 2012 M. Penerjemahan ini hanya mengambil materi pokok risalah, dengan meninggalkan banyak sekali bagian yang tidak berkenaan langsung dengannya, atau merupakan perincian-perincian detil yang diperuntukkan bagi para ahli, terutama dalam catatan kaki. Naskah terjemahan ini sengaja disusun dalam bentuk yang paling sederhana dan mudah dicerna oleh kebanyakan orang. Sangat dianjurkan untuk menyebarkannya kepada sebanyak mungkin pembaca, dengan syarat tidak diperjualbelikan dan dijaga keasliannya. Edisi asli risalah ini terdiri dari 30 halaman, merupakan bagian dari serial Liqa’ ‘Asyr al-Awakhir Bil Masjidil Haram, vol. XIII, dan menempati urutan ke-156 dari 163 risalah yang termasuk dalam serial ini. Semoga Allah memberikan taufiq-Nya kepada kita semua untuk mengikuti jalan-jalan kebaikan yang telah ditunjukkan-Nya. Amin.
Alhamdulillah, awwalan wa akhiran.

[*]


Selesai. Untuk melihat Bag. 1, silakan klik disini
Untuk mendapatkan naskah lengkapnya, lihat halaman download.



[1] Hilyatu al-Auliya’, VII/235, dan ada tambahan: “dan akan diberi syafaat pada orang-orang yang didoakannya.” Beliau berkata, “Gharib, dari haditsnya Mis’ar. Kami tidak pernah mencatatnya kecuali dari sumber ini.”
[2] Al-Mathalib al-‘Aliyah, II/19. Al-Bushiri berkata dalam al-Ithaf, IV/377, “Diriwayatkan oleh Ahmad bin Mani’ dan redaksi ini miliknya, juga ‘Abd bin Humaid, Abu Bakr bin Abi Syaibah, dan Abu Ya’la.” – Setahu kami, dalam riwayat ‘Abd bin Humaid, no. 1150, tanpa kalimat wa ma ta’akhkhara. Riwayat ini dinyatakan dha’if oleh Syaikh al-Albani dalam adh-Dha’ifah no. 2281, tapi tanpa kalimat terakhirnya itu, dan beliau menisbatkannya kepada Ibnu ‘Adi dan Ibnu ‘Asakir. [pen]
[3] Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Ma’rifatu al-Khishal, hal. 66, “Di dalam sanad-nya terdapat Yazid bin Aban ar-Raqasyi. Dalam dirinya ada kelemahan, sementara Muhammad bin Yunus – perawi lain di dalamnya – banyak dibicarakan oleh para kritikus.” Al-Qabuni berkata, “Di dalamnya ada kelemahan.” – Setahu kami, tentang Yazid ar-Raqasyi ini, memang kontroversial. Beliau seorang zahid yang shalih, namun diragukan riwayatnya. Sebagian ulama’ mau mengutip riwayat darinya, seperti ‘Abdurrahman bin Mahdi; namun yang lain terang-terangan mengecamnya seperti Syu’bah bin al-Hajjaj. Jika di dalam sanad-nya juga ada perawi lain yang lemah, maka status riwayat ini sudah jelas. Wallahu a’lam.
[4] Lihat: al-La’ali’ al-Mashnu’ah, II/89 dan Kasyfu al-Khafa’, II/353. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Ma’rifatu al-Khishal hal. 71, “Ibnu Mandah berkata: ini hadits gharib.” Al-Haththab berkata dalam Tafrihu al-Qulub hal. 93, “Ibnul Jauzi mengutip hadits ini dalam al-Maudhu’at dari berbagai jalur. Jalaluddin as-Suyuthi mengkritik Ibnul Jauzi atas hal ini, dan beliau berkata: telah dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab dan beliau memvonisnya sebagai hadits dha’if. Wallahu a’lam.” Maksudnya, hadits ini hanya berstatus dha’if, bukan maudhu’ seperti yang diklaim Ibnul Jauzi. – Setahu kami, riwayat ini “bathil dari semua jalur dan versinya”, seperti disimpulkan oleh Syaikh al-Huwaini dalam al-Fatawa al-Haditsiyyah. Selain itu, riwayat yang terdapat dalam asy-Syu’ab no. 7626 ternyata tanpa kalimat wa ma ta’akhkhara, dan di dalam sanad-nya terdapat perawi yang dicap halik (celaka) oleh para kritikus. Status ini merupakan salah satu yang terburuk, sama dengan pemalsu hadits. Ibnu Hajar menilai hadits ini dha’if jiddan dalam al-Mathalib al-‘Aliyah, VII/158, dan berkata, “Tidak ada satu hadits pun yang tsabit dalam bab ini.” Wallahu a’lam. [pen]
[5] Ada kemungkinan, nama perawi yang tepat adalah Abu Ahmad bin an-Nashih, sebagaimana tertulis dalam Siyaru A’lam an-Nubala’, XVI/282. Dalam Ma’rifatu al-Khishal, ada tambahan redaksi: “baik bisa terpenuhi maupun tidak”, dan pada bagian akhirnya ada tambahan lagi: “dicatat untuknya dua pembebasan, yaitu pembebasan dari neraka dan pembebasan dari kemunafikan.” Menurut Ibnu Hajar, para perawinya tsiqah-tsabat selain Ahmad bin Bakkar. Ibnu Hibban memasukkan namanya dalam ats-Tsiqat, dan menyatakan bahwa perawi ini kadangkala keliru. Ibnu ‘Adi menilainya sebagai perawi lemah. Abul Fath al-Azdi menuduhnya telah memalsukan hadits, sementara ad-Daruquthni berkata, “Perawi lainnya lebih tsabit dibanding dia.” Wallahu a’lam.
[6] Dikeluarkan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya, V/335. Menurut Ibnu Hajar, hadits ini dikeluarkan pula oleh Ibnu Hibban dalam adh-Dhu’afa’. Ibnul Jauzi menyatakan dalam al-‘Ilal, II/725, “Hadits ini tidak shahih.” Menurut al-Haitsami dalam al-Majma’, X/275, “Di dalam sanad-nya terdapat Durust bin Hamzah, dan dia ini lemah.” – Redaksi Abu Ya’la sedikit berbeda dengan kutipan diatas, namun intinya sama. Riwayat ini dinyatakan dha’if oleh Syaikh Husain Salim Asad. [pen]
[7] Dikeluarkan Abu Dawud dalam Sunan-nya, no. 4023. Menurut Ibnu Hajar, “Ini adalah isnad yang hasan.” Abu Dawud tidak menyebutkan kalimat wa ma ta’akhkhara kecuali dalam masalah pakaian. Namun, al-Haththab menyatakan bahwa beliau pernah melihat sebuah naskah Sunan Abu Dawud yang telah diverifikasi dan di dalamnya terdapat kalimat wa ta’akhkhara sesudah masalah makanan itu. Demikian pula halnya dalam Tanwiru al-Hawalik karya as-Suyuthi, I/110.