Terjemah risalah "Mukhtashar al-Khishal al-Mukaffirah" karya as-Suyuthi - 1/2


مختصر الخصال المكفّرة
MUKHTASHAR AL-KHISHAL AL-MUKAFFIRAH
[ ringkasan tentang perkara-perkara yang bisa menghapuskan dosa ]

Penyusun           : Al-Hafizh Jalaluddin ‘Abdurrahman as-Suyuthi
Penerbit              : Darul Basya’ir al-Islamiyah, Beirut
Cet./thn.              : pertama, 1432 H / 2011 M
Muhaqqiq           : Rasyid bin ‘Amir bin ‘Abdullah al-Ghufaili


بسم الله الرحمن الرحيم

MUQADDIMAH

Sesungguhnya segala puji hanya bagi Allah. Kami memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, dan mengharap ampunan-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari keburukan-keburukan diri kami sendiri, juga dari kejelekan-kejelekan amal perbuatan kami. Siapa pun yang diberi hidayat oleh Allah, niscaya tidak ada yang bisa menyesatkannya; dan siapa pun yang telah Dia sesatkan, niscaya tidak ada yang bisa menunjukinya. Kami bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan kami pun bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Qs. Ali 'Imran: 102)
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan darinya Allah menciptakan isterinya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (Qs. an-Nisa': 1)
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Qs. al-Ahzab: 70-71)
Amma ba’du:
Sesungguhnya Allah ta’ala telah memberi karunia kepada hamba-hamba-Nya berupa pengampunan atas dosa-dosa mereka, dan Dia menyifati diri-Nya sendiri sebagai “Dzat yang mengampuni dosa dan Penerima taubat.”
Oleh karenanya, terdapat beberapa perkara yang bisa menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu maupun akan datang itu. Beberapa hadits yang dimuat dalam kitab-kitab sunnah juga memuat hal ini. Namun, hadits-hadits ini tidak bisa lepas dari cacat tertentu di dalamnya, meskipun sebagian bisa naik kepada tingkatan hasan.
Sebagian hafizh sangat serius mengumpulkan hadits-hadits yang memuat masalah ini, dan mereka pun menganalisis sanad-sanad-nya. Diantara mereka ada al-Hafizh al-Mundziri, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, as-Suyuthi, as-Samhudi, dan lain-lain.
Karya al-Hafizh Hbnu Hajar al-‘Asqalani sudah dicetak, yaitu Ma’rifatu al-Khishal al-Mukaffirah Li Adz-Dzunub Al-Mutaqaddimah Wal Muta’akhkhirah. Demikian pula karya al-Qabuni yang berjudul Bisyaratul Mahbub, kemudian nazham milik al-Hafizh as-Suyuthi, karya ‘Abdul Hamid Qudus berjudul Dhiya’us Syamsi adh-Dhahiyah, dan karya al-Kattani berjudul Syifa’ul Asqam Wal Aalam.
Saya sendiri telah men-tahqiq karya al-Haththab al-Maliki yang berjudul Tafrihu al-Qulub.
Nah, sekarang saya hendak melengkapi nazham yang diberkahi ini dengan menerbitkan karya as-Suyuthi yang berjudul al-Khishal al-Mukaffirah.
Karya ini merupakan ringkasan dari karya al-Hafizh Ibnu Hajar.
Karya as-Suyuthi ini sangat ringkas sekali. Di dalamnya beliau mencukupkan diri dengan mengutip hadits-hadits dengan disandarkan kepada ulama’-ulama’ yang meriwayatkannya. Saya memohon kepada Allah semoga karya ini bermanfaat, sebagaimana Dia telah menjadikan karya aslinya juga bermanfaat.
Segala puji bagi Allah yang dengan karunia-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Ditulis oleh,
Rasyid bin ‘Amir bin ‘Abdullah al-Ghufaili
Ahad sore, 02/11/1431 H.

[*]

بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah, rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada penghulu kita, Muhammad, juga segenap keluarga, dan seluruh sahabatnya. Wa ba’du:
Ini adalah risalah dimana saya meringkaskan perkara-perkara terpuji y`ng bisa menghapuskan dosa-dosa, baik yang telah lalu maupun akan datang.
Al-Hafizh Ibnu Hajar sudah pernah menyusun sebuah kitab (dalam tema ini) yang beliau beri judul Al-Khishal Al-Mukaffirah Li Adz-Dzunub Al-Mutaqaddimah Wal Muta’akhkhirah, artinya: “perkara-perkara terpuji yang bisa menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu maupun akan datang”. Sebelum itu, sebenarnya beliau sudah didahului oleh al-Hafizh al-Mundziri.
Saya berpikir untuk meringkaskan hadits-haditsnya, agar bisa diambil faedahnya.

1 – أَخْرَجَ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ فِى مُسْنَدِهِ وَ مُصَنَّفِهِ وَأَبُوْ بَكْرٍ المَرْوَزِيُّ فِى مُسْنَدِهِ وَالْبَزَّارُ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : لاَ يُسْبِغُ عَبْدٌ الْوُضُوْءَ إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ
1 – Ibnu Abi Syaibah mengeluarkan hadits dalam Musnad-nya dan Mushannaf-nya, juga Abu Bakar al-Marwazi dalam Musnad-nya, serta al-Bazzar, bersumber dari ‘Utsman bin ‘Affan, semoga Allah meridhainya, beliau berkata: saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah seorang hamba menyempurnakan wudhu’ melainkan diampuni dosanya yang telah lalu maupun akan datang.”[1]

2 – أَخْرَجَ أَبُوْ عَوَانَةَ فِي صَحِيْحِهِ عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رَضِيَ الله تَعَالَى عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ قَالَ حِيْنَ يَسْمَعُ الْمُؤَذِّنَ : أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله رَضِيْتُ بِاللهِ تَعَالَى رَبًّا وَبِالإِسْلاَمِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا – وَفِى لَفْظٍ : وَرَسُوْلاً – غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ
2 – Abu ‘Awanah mengeluarkan hadits dalam Shahih-nya, bersumber dari Sa’ad bin Abi Waqqash, semoga Allah meridhainya, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang berkata, pada saat ia mendengar (suara) mu’adzdzin: asyhadu alla ilaha illallah, radhitu billahi ta’ala rabban, wa bil islami dinan, wa bi muhammadin nabiyyan” – dalam redaksi lain (ada tambahan): wa rasulanniscaya diampuni dosanya yang telah lalu maupun akan datang.”[2]

3 – أَخْرَجَ اِبْنُ وَهْبٍ فِى مُصَنَّفِهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِذَا أَمَّنَ اْلإِمَامُ فَأَمِّنُوْا فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تُؤَمِّنُ فَمَنْ وَافَقَ تَأْمِيْنُهُ تَأْمِيْنَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ
3 – Ibnu Wahb mengeluarkan hadits dalam Mushannaf-nya, bersumber dari Abu Hurairah, semoga Allah meridhainya, beliau berkata: saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika imam mengucapkan ‘amin’, maka ucapkanlah ‘amin’, karena sesungguhnya para malaikat pun mengucapkan ‘amin’ pula. Barangsiapa yang ucapan ‘amin’-nya bersamaan dengan ucapan ‘amin’ para malaikat, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu maupun akan datang.”[3]

4 – أَخْرَجَ آدَمُ ابْنُ أَبِى إِيَاسٍ فِى كِتَابِ الثَّوَابِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ كَرَّمَ الله وَجْهَهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ صَلَّى سَجْدَةَ الضُّحَى رَكْعَتَيْنِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ ذُنُوْبُهُ كُلُّهَا مَا تَقَدَّمَ مِنْهَا وَمَا تَأَخَّرَ إِلاَّ الْقِصَاصَ
4 – Adam bin Abi Iyas mengeluarkan hadits dalam Kitab ats-Tsawab, bersumber dari ‘Ali bin Abi Thalib, semoga Allah memuliakan wajahnya, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersaba, “Barangsiapa yang mengerjakan shalat Dhuha sebanyak dua rakaat dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, niscaya diampuni semua dosa-dosanya, baik yang telah lalu maupun akan datang, kecuali qishash.”[4]

5 – وَأَخْرَجَ أَبُو السَّعْدِ الْقُشَيْرِيُّ فِى الأَرْبَعِيْنَ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ قَرَأَ إِذَا سَلَّمَ الإِمَامُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ قَبْلَ أَنْ يُثْنِى رِجْلَيْهِ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَ (قُلْ هُوَ الله أَحَدٌ) وَ (قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ) وَ (قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ) سَبْعًا سَبْعًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ وَمَا تَأَخَّرَ
5 – Abu as-Sa’ad al-Qusyairi mengeluarkan hadits dalam kitab al-Arba’in, bersumber dari Anas, semoga Allah meridhainya, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang membaca – ketika imam telah mengucapkan salam pada hari Jum’at, sebelum ia menyilangkan kedua kakinya – surah al-Fatihah, Qul huwallahu ahad, Qul a’udzu bi-rabbil falaq, dan Qul a’udzu bi-rabbinnas, masing-masing sebanyak 7 kali, niscaya diampuni (dosanya) yang telah lalu maupun akan datang.”[5]

6 – وَأَخْرَجَ أَحْمَدُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ
6 – Ahmad mengeluarkan hadits yang bersumber dari Abu Hurairah, semoga Allah meridhainya, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan semata-mata mengharap pahala dari Allah niscaya diampuni dosanya yang telah lalu maupun akan datang.”[6]

7 – وَأَخْرَجَ أَحْمَدُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ
6 – Ahmad mengeluarkan hadits yang bersumber dari Abu Hurairah, semoga Allah meridhainya, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan semata-mata mengharap pahala dari Allah niscaya diampuni dosanya yang telah lalu maupun akan datang.”[7]

8 – وَأَخْرَجَ النَّسَائِى فِى الْكَبِيْرِ وَقَاسِمُ بْنُ الأَصْبُغِ فِى مُصَنَّفِهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ
8 – An-Nasa’i mengeluarkan hadits dalam al-Kabir, dan Qasim bin al-Ashbugh dalam Mushannaf-nya, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan semata-mata mengharap pahala dari Allah niscaya diampuni dosanya yang telah lalu maupun akan datang. Barangsiapa yang mengerjakan shalat malam pada saat Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan semata-mata mengharap pahala dari Allah niscaya diampuni dosanya yang telah lalu maupun akan datang.”[8]

9 – وَأَخْرَجَ أَبُوْ دَاوُدَ وَالْبَيْهَقِىّ فِى الشُّعَبِ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ الله عَنْهَا أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَنْ أَهَلَّ بِحَجَّةٍ أَوْ عُمْرَةٍ مِنَ الْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى إِلَى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ وَوَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةَ
9 – Abu Dawud dan al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab mengeluarkan hadits bersumber dari Ummu Salamah, semoga Allah meridhainya, bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mengeraskan suaranya membaca Talbiyah karena berhaji atau umrah mulai dari Masjidil Aqsha sampai ke Masjidil Haram, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu maupun akan datang, dan ia pasti mendapat surga.”[9]



Bersambung, ke Bag. 2 - klik disini
Untuk memperoleh naskah lengkapnya, lihat halaman download. 



[1] Dikeluarkan oleh al-Bazzar, dalam Kasyfu al-Astar, no. 262, dan beliau berkata, “Kami tidak mengetahui hadits yang disandarkan sanad-nya oleh Muhammad bin Ka’ab, dari Hamran, kecuali hadits ini.” Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh al-Bazzar, para perawinya bisa dipercaya (muwatstsaqun), dan hadits ini hasan, insya-Allah.” Ibnu Rajab berkata, “Isnad-nya la ba’sa bihi (tidak ada masalah padanya).”
[2] Arti dari bacaan tersebut: “Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah. Aku rela Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasulku.” Lihat: Musnad Abi ‘Awanah, I/340. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Ma’rifatu al-Khishal, hal. 39, “Hadits ini juga dikeluarkan oleh Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah, namun tidak ada kalimat wa ma ta’akhkhara (maupun yang akan datang) dalam riwayat mereka.”
[3] Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Perhatian: Al-Ghazali menyitir tambahan “yang telah lalu maupun akan datang” dalam al-Wasith dan al-Wajiz, menurut Ibnu ash-Shalah: tambahan ini tidah shahih, dan tidak seperti yang dikatakannya, sebagaimana telah saya jelaskan dalam jalur-jalur periwayatan hadits yang memuat masalah ini.” Lihat: at-Talkhish al-Habir, I/239. – Setahu kami, riwayat ini juga dikeluarkan al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ahmad, dan lain-lain, namun tidak ada kalimat: wa ma ta’akhkhara (maupun yang akan datang) dalam riwayat mereka. [pen]
[4] Redaksi ini disalin dari manuskrip aslinya. Dalam riwayat lain, kata sajdah (artinya: sujud) dibaca sub-hah (artinya: shalat sunnah) dan syuf’ah (artinya: shalat penggenap). Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar, “Isnad-nya dha’if jiddan (sangat lemah).” Menurut al-Haththab dalam Tafrihu al-Qulub, hal. 53, sumber asli hadits ini terdapat dalam Sunan at-Tirmidzi dan Sunan Ibnu Majah, berasal dari hadits Abu Hurairah, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang memelihara shalat sunnah Dhuha niscaya diampuni dosa-dosanya, walau (banyaknya) bagaikan buih di lautan.”
[5] Lihat: Dha’if al-Jami’, no.  5758, dan beliau (Syaikh al-Albani) berkata: maudhu’ (hadits palsu). Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Ma’rifatu al-Khishal hal. 49, “Di dalam isnad-nya terdapat kelemahan yang sangat amat parah.”
[6] Musnad Ahmad, I/529, tetapi tanpa kalimat: wa ma ta’akhkhara. Al-Haththab berkata dalam Tafrihul Qulub hal. 70, “Hadits ini juga dikeluarkan dalam ash-Shahihain, tanpa kalimat: wa ma ta’akhkhara di dalamnya. Diriwayatkan dari Ibnu Jama’ah at-Tunisi al-Maliki, dalam kitabnya yang berjudul Fardhu al-‘Ain, tambahan wa ma ta’akhkhara ini yang bersumber dari Abu Dawud, namun tidak ada dalam Sunan karya beliau.”
[7] Musnad Ahmad, II/358. Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh Ahmad dan para perawinya bisa dipercaya (muwatstsaqun), hanya saja Hammad ragu-ragu apakah riwayat ini maushul atau mursal.” – Setahu kami, riwayat ini juga dikutip oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan an-Nasa’i, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, semuanya dari Abu Hurairah, dalam redaksi yang disatukan dengan riwayat sebelumnya (yakni, tentang shalat malam di bulan Ramadhan itu). Namun, seluruhnya tanpa tambahan kalimat wa ma ta’khkhara. Menurut Syaikh Syu’aib al-Arna’uth dalam takhrij beliau atas Musnad Ahmad, tambahan wa ma ta’akhkhara adalah syadzdzah (janggal, tidak umum), hanya diriwayatkan oleh Hammad bin Salamah, dari Muhammad bin ‘Amr. Menurut Ibnu Hajar dalam Tahdzibu at-Tahdzib, Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah al-Laitsi ini merupakan perawi yang jujur, namun terkadang tidak pas dalam mengutip riwayat (shaduq lahu awham). Mungkin, disinilah letak masalahnya. Wallahu a’lam. [pen]
[8] As-Sunan al-Kubra, II/88. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari, IV/251, “Qutaibah menambahkan kalimat wa ma ta’akhkhara, yang bersumber dari Sufyan dalam riwayat an-Nasa’i. Demikian pula Hamid bin Yahya menambahkannya dalam riwayat Qasim bin Ashbugh, lalu al-Husain bin Hasan al-Marwazi dalam kitab Shiyam-nya, Hisyam bin ‘Ammar dalam juz ke-12 dari Fawa’id-nya, dan Yusuf bin Ya’qub an-Najahi dalam Fawa’id-nya, seluruhnya dari Ibnu ‘Uyainah.”
[9] Dikeluarkan Abu Dawud dalam Sunan-nya, no. 1741. Riwayat ini dinyatakan lemah oleh Syaikh al-Albani dalam Dha’if al-Jami’ no. 5493 dan Dha’if Abi Dawud no. 1471. Adapun al-Baihaqi, beliau mengutipnya dalam Syu’abu al-Iman no. 4027. Riwayat ini juga dinilai lemah oleh Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah adh-Dha’ifah no. 211. Menurut al,Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Khishal, begitulah bunyi kalimat terakhir riwayat diatas dalam naskah asli milik beliau, dengan wawu tanpa alif sebelumnya, yakni: wa wajabat lahu al-jannah. Maksudnya, jika ada alif, yakni: aw, maka maknanya adalah: “atau”, bukan “dan”. Menurut beliau, tampaknya keraguan ini bersumber dari Ibnu Abi Fudaik, salah seorang perawinya, sebab beliau terkadang meriwayatkannya dengan “dan” terkadang dengan “atau”.