Bismillahirrahmanirrahim
Kitabul 'Ilmu
Karya: Al-Hafizh Abu Khaytsamah Zuhair bin Harb an-Nasa'i
Bagian 2; sambungan dari Bagian 1.
75 — Dari Abul Bakhtari: Hudzaifah radhiyallahu
‘anhu berkata, “Sesungguhnya sahabat-sahabatku mempelajari kebaikan,
sedangkan aku mempelajari keburukan.” Ada yang bertanya, “Apa yang mendorong
Anda melakukan hal ini?” Beliau menjawab, “Karena sesungguhnya seseorang yang
mempelajari (dimana) tempat-tempat keburukan itu berada, maka dia akan
berhati-hati terhadapnya.”
76 — Dari Musa bin ‘Ali: dari ayahnya,
“Dulu, apabila seseorang bertanya kepada Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu
(tentang suatu masalah), maka beliau berkata, ‘Demi Allah, apakah ini
benar-benar sudah pernah terjadi?’ Jika dia mengatakan, ‘Ya (sudah terjadi),’
maka beliau mau menjawab, jika tidak maka beliau tidak menjawabnya.”
77 — Masruq berkata, “Saya bertanya kepada
Ubayy bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu tentang suatu masalah, maka beliau
balik bertanya, ‘Apakah ini sudah pernah terjadi?’ Saya menjawab, ‘Tidak.’ Maka
beliau berkata, ‘Lepaskan kami sampai ia benar-benar terjadi. Jika ia
benar-benar terjadi, maka kami akan kerahkan kemampuan pemikiran kami untuk
(menjawab pertanyaan)-mu.”
78 — Dari az-Zuhri: Sahl bin Sa’ad
berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyukai terlalu
banyak pertanyaan dan beliau mencelanya.”[1]
79 — Zubaid berkata, “Saya tidak pernah
menanyakan suatu masalahpun kepada Ibrahim melainkan saya melihat ada
ketidaksenangan pada beliau.”
80 — ‘Atha’ berkata, “Kami pernah duduk
di sisi Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, kemudian beliau
menyampaikan hadits kepada kami. Apabila kami telah keluar dari sisi beliau,
maka kami saling mengingatkan hadits (yang beliau sampaikan). Diantara kami,
Abu az-Zubair lah yang paling baik hafalannya terhadap hadits.”
81 — Qabus bin Abi Zhubyan bercerita,
“Suatu hari kami pernah shalat shubuh di belakang Abu Zhubyan. Kami masih
muda-muda (syabab), dan semua berasal dari satu kampung, kecuali si mu’adzin
yang adalah seorang sudah tua. Seusai salam, beliau berbalik ke arah kami dan
menanyai kami para pemuda satu persatu, ‘Kamu siapa? Kamu siapa?’ Selesai
menanyai mereka semua, beliau berkata, ‘Sesungguhnya tidak seorang Nabi pun
yang diutus melainkan ia masih muda, dan tidak ada yang diberi ilmu yang lebih
baik melainkan ketika ia masih muda.’”
82 — ‘Atha’ bin Yasar berkata, “Tiada
sesuatu yang ditambahkan kepada sesuatu yang lain kemudian menjadi lebih indah,
melainkan kesantunan (al-hilm) yang ditambahkan kepada ilmu (al-’ilm).”
83 — Dari Suhail: dari ayahnya: Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Adalah – Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam – pernah bersabda, “Mendekatlah kemari wahai Bani
Farroukh! Seandainya ilmu itu tergantung pada bintang kejora, niscaya diantara
kalian akan ada yang mampu menggapainya.”[2]
84 — Suhail berkata, “Apabila Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu melihat Abu Shalih maka beliau berkata,
‘Belum tentu ada diantara keturunan Abdi Manaf yang bisa seperti orang ini.’”
85 — Abu Shalih berkata, “Aku tidak
pernah berangan-angan (memperoleh sesuatu) dari dunia ini melainkan dua lembar
pakian putih yang akan aku kenakan untuk duduk belajar kepada Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu.”
86 — Dari Qabus: dari ayahnya: Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhu menjelaskan firman Allah kuunuu qawwamiina
bil-qisthi syuhadaa’a sampai fa-innallaaha kaana bi ma ta’maluuna
khabiiraa, beliau berkata, “Ada dua orang duduk menghadap hakim, kemudian
cara menghadap dan berpalingnya hakim itu hanya kepada salah satu darinya tidak
kepada lainnya.”[3]
87 — Dari Qabus: Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhu berkata, “Tatkala Rabb berbicara kepada Musa, maka beliau bertanya
kepada-Nya, ‘Wahai Rabb-ku, siapakah hamba yang paling Engkau cintai?’ Maka Dia
menjawab, ‘Yang paling banyak mengingat-Ku.’ Musa bertanya lagi, ‘Wahai
Rabb-ku, siapakah hamba-Mu yang paling bijak?’ Maka Dia menjawab, ‘Yang
mengadili dirinya sendiri sebagaimana ia mengadili orang lain.’ Musa bertanya
lagi, ‘Wahai Rabb-ku, siapakah hamba-Mu yang paling kaya?’ Maka Dia menjawab,
‘Yang puas dengan apa yang Aku berikan kepadanya.’
88 — Thawus berkata, “Suatu saat Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhu ditanyai tentang sesuatu masalah, kemudian
beliau menjawab, ‘Ini sudah disebutkan dalam kitab-kitab terdahulu.’”
89 — ‘Ashim bercerita, “Aku katakan
kepada Abu ‘Utsman, ‘Anda menyampaikan suatu hadits kepada kami. Kadangkala
Anda menyampaikannya sama seperti dulu, dan kadang Anda menguranginya.’ Beliau
menjawab, ‘Kalian sebaiknya berpegang kepada (riwayat) yang didengar lebih
awal.”‘
90 — Dari ash-Shanabahiy: Mu’adz radhiyallahu
‘anhu berkata, “Tidak akan bergeser tapak kaki seorang anak Adam pada hari
kiamat sampai ia selesai ditanya tentang empat perkara: usianya dihabiskan
untuk apa, jasadnya dipakai untuk apa; hartanya didapat dari mana; dan ilmunya
apa yang sudah diamalkan.”[4]
91 — Yahya bin Sa’id berkata: aku
mendengar al-Qasim bin Muhammad berkata, “Hidup sebagai orang bodoh lebih baik
bagi seseorang dibandingkan jika ia berfatwa mengenai sesuatu yang tidak
diketahuinya.”
92 — Dari Hisyam bin ‘Urwah: ayahnya
berkata, “Dikatakan bahwa orang yang paling zuhud adalah seseorang yang
mengajari sendiri istri/keluarganya.”
93 — Al-A’masy berkata, “Mujahid berkata
kepadaku, ‘Andai aku bisa berjalan, pasti aku akan mendatangimu.’”
94 — Dari Ibnu ‘Aun: “Sesungguhnya
Muhammad tidak menyukai penulisan hadits diatas tanah.”[5]
95 — Asy-Sya’bi berkata, “Ilmu itu
diambil dari enam orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Antara ‘Umar, ‘Abdullah (bin Mas’ud) dan Zaid (bin Tsabit) ilmunya serupa satu
sama lain, dan mereka pun saling mengutip satu sama lain. Antara ‘Ali, Ubayy
(bin Ka’ab) dan (Abu Musa) al-Asy’ari ilmunya serupa satu sama lain, dan mereka
pun saling mengutip satu sama lain.”
Saya – asy-Syaibani – bertanya kepada
asy-Sya’bi, “(Apakah Abu Musa) al-Asy’ari termasuk kelompok mereka?” Beliau
menjawab, “Abu Musa termasuk salah seorang fuqaha’.”
96 — Abu Nadhrah bercerita, “Saya
berkata kepada Abu Sa’id (al-Khudriy) radhiyallahu ‘anhu, ‘Sesungguhnya
Anda menyampaikan kepada kami hadits-hadits yang mengagumkan, sementara kami
takut jika kami menambah-nambahinya atau Anda justru menguranginya. Bagaimana
jika Anda menuliskannya untuk kami?’ Maka beliau menjawab, ‘Kami tidak akan
menuliskannya untuk kalian, dan kami tidak akan menjadikannya sebagai
Al-Qur’an. Akan tetapi, hafalkanlah (hadits) dari kami sebagaimana kami pun
menghafalkannya.’”
97 — Dari al-A’raj: “Saya mendengar Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Sesungguhnya kalian menganggap Abu
Hurairah terlampau banyak menyampaikan hadits dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, dan Allah lah yang berjanji. Saya adalah seorang pria
miskin yang melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dapat
mengisi perut saya. Kaum Muhajirin sibuk dengan bisnis mereka di pasar,
sementara kaum Anshar sibuk mengurus harta-benda mereka. Maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabada, ‘Siapa yang mau membentangkan bajunya maka dia
tidak akan melupakan apa yang didengarnya dariku.’ Saya pun menggelar baju saya
sampai beliau selesai berbicara, kemudian (baju itu) saya tempelkan ke tubuh
saya. Maka saya tidak melupakan sesuatupun yang saya dengar (dari beliau)
setelah itu.’”
98 — Ayyub bercerita, “Ada seseorang
yang berkata kepada Mutharrif, ‘Apakah Anda menginginkan sesuatu yang lebih
utama dari Al-Qur’an?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, akan tetapi kami menginginkan
seseorang yang lebih mengetahui Al-Qur’an dibanding kami.’”
99 — Abu Khaladah memberitahu kami:
“Saya mendengar Abu ‘Aliyyah berkata, ‘Sampaikan hadits kepada orang-orang
selama mereka mampu menerimanya.’ Saya bertanya, ‘(Apa yang dimaksud) selama
mereka mampu menerimanya?’ Beliau menjawab, ‘Selama mereka bersemangat (untuk
mendengarkan).’”
100 — Dari Abu Ishaq: “Saya mendengar
Abu al-Ahwash berkata, ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhu pernah berkata,
‘Jangan kau buat orang lain menjadi bosan.’”
101 — Dari Sammak: Jabir bin Samurah radhiyallahu
‘anhu berkata, “Apabila kami datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam maka kami akan duduk dimana saja yang kami temukan.”[6]
102 — ‘Amr bin Syu’aib berkata, “Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam tidak suka dilangkahi pundaknya, akan tetapi dari kanan
dan kiri.”[7]
103 — ‘Atha’ bin as-Sa’ib berkata, “Abu
‘Abdurrahman – yakni, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu – tidak suka
ditanyai pada saat beliau sedang berjalan.”
104 — Ibnu Munabbih berkata,
“Sesungguhnya (kepemilikan terhadap) ilmu itu ada yang melampaui batas,
sebagaimana halnya harta.”
105 — Wa’ilah berkata, “Ketika kami
menyampaikan hadits kepada kalian berdasarkan maknanya saja, maka hal itu sudah
cukup bagi kalian.”
106 — Dari Rabi’ah bin Yazid, yang
menceritakan tentang Abu ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu, bahwa setiap kali
beliau selesai menyampaikan suatu hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam maka beliau berkata, “Ya Allah, jika tidak begitu (maka begini),
atau yang mirip dengan itu.”
107 — Az-Zuhri berkata, “Apabila kalian
mendapati maknanya sudah tepat, maka tidak mengapa.”[8]
108 — ‘Atha’ memberitahu, bahwa dia
mendengar Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, dimana saat itu
orang-orang sedang bertanya kepada beliau, “Andai bukan karena satu ayat yang
diturunkan dalam surat al-Baqarah, niscaya saya tidak akan memberitahukan
apapun (kepada kalian). Andai bukan karena ayat ini, dimana Allah berfirman, “Sesungguhnya
orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa
keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya
kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula)
oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati.”[9]
109 — Ibnu Fudhail memberitahu kami:
ayahnya bercerita, “Kami pernah duduk —
yaitu saya, Ibnu Syabramah, al-Harits al-’Akaly, al-Mughirah dan
al-Qa’qa’ bin Yazid — pada suatu malam untuk me-mudzakarah fiqh, dan
sepertinya kami tidak bangkit berdiri sampai kami mendengar seruan adzan untuk
shalat Shubuh.”
110 — Dari Kumail bin Ziyad: ‘Abdullah radhiyallahu
‘anhu berkata, “Sesungguhnya kalian berada pada suatu masa dimana banyak
terdapat ulama’ di dalamnya dan sedikit para penceramahnya (khuthabaa’), dan
sesungguhnya setelah kalian (akan datang) suatu masa dimana banyak terdapat
para penceramah di dalamnya sementara para ulama’nya hanya sedikit.”
111 — Mujahid berkata, “Tidak apa-apa
begadang untuk mengkaji fiqh.”[10]
112 — Al-Hasan bin ‘Amr dan Ibrahim
an-Nakha’iy berkata, “Barangsiapa yang mencari suatu ilmu yang dengan itu dia
mengharapkan ridha Allah U maka dengan itu Allah akan mencukupi
(kebutuhannya).”
113 — Abu Yazid al-Muradi bercerita,
“Ketika maut menjelang ‘Ubaidah, maka beliau menyuruh agar buku-buku
(catatan)nya didatangkan, kemudian beliau menghapusnya.”
114 — Dari Ibnu ‘Abdillah: ‘Abdullah radhiyallahu
‘anhu berkata, “Semoga Allah merahmati orang yang mendengar suatu hadits
dari kami kemudian dia meriwayatkannya sebagaimana yang ia dengar. Bisa jadi
orang yang menerima periwayatan hadits itu lebih bisa memahami dibanding yang
mendengarnya.”[11]
115 — Dari Raja’ bin Haywah: Abu
ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ilmu itu (didapat) dengan belajar
dan kesantunan itu (didapat) dengan melatih diri. Barangsiapa yang selalu
berusaha dalam suatu kebaikan, maka ia akan mendapatkannya. Dan, barangsiapa
yang berupaya melindungi dirinya dari suatu keburukan, maka dia akan
terlindungi.”[12]
116 — Dari Abu al-Ahwash: ‘Abdullah radhiyallahu
‘anhu berkata, “Sesungguhnya seseorang itu tidak dilahirkan sebagai seorang
‘alim, dan ilmu itu (diperoleh) dengan belajar.”
117 — Dari Sahl al-Fazari: ‘Abdullah radhiyallahu
‘anhu berkata, “Pergilah di pagi hari sebagai seorang pengajar (‘alim),
atau pelajar (muta’allim), atau pendengar (mustami’), dan jangan
sampai kamu menjadi orang keempat, sehingga engkau binasa.”[13]
118 — Abu as-Salil bercerita, “Ada salah
seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang
menyampaikan hadits kepada orang-orang, kemudian jumlah mereka membengkak
berlipat-lipat sehingga beliau naik ke atap rumahnya dan menyampaikan hadits
kepada mereka (dari sana).”
119 — Dari Yahya bin ‘Umair: saya
mendengar ayah menyampaikan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
bahwa beliau berkata, “Ilmu akan diangkat, kebodohan merajalela dan fenomena al-haraj
akan meningkat.” Orang-orang bertanya, “Apakah fenomena al-haraj itu?”
Beliau menjawab, “Pembunuhan.”[14]
120 — Al-Hasan berkata, “Ilmu yang
paling utama adalah wara’ dan tafakkur.”
121 — Dari Tsumamah bin ‘Abdillah: Anas radhiyallahu
‘anhu berkata kepada anak-anaknya, “Wahai anakku, ikatlah ilmu itu dengan
buku (catatan).”
122 — Dari Hisyam bin ‘Urwah: dari
ayahnya: dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu: Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan
cara mencabutnya langsung dari manusia. Akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan
cara mencabut para ulama’, sehingga tatkala tidak ada lagi seorang ‘alim pun
maka manusia akan mengangkat para pemimpin yang jahil. Mereka ini kemudian
ditanyai (tentang berbagai persoalan), lalu mereka berfatwa dengan tanpa
landasan ilmu sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan.”[15]
123 — Dari Shalih dan Hamran: bahwa pada
suatu hari, setelah selesai berwudhu ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Demi Allah, sungguh akan aku sampaikan kepada kalian satu hadits, dimana kalau
bukan karena adanya satu ayat dalam Kitabullah maka aku tidak akan
menyampaikannya kepada kalian. Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, ‘Tidaklah seseorang itu berwudhu, kemudian ia
membaguskan wudhu’nya, lalu ia mengerjakan shalat, melainkan akan diampuni
baginya dosa-dosa (yang ia kerjakan) diantara wudhu’ itu dengan shalat yang
dikerjakannya.’
Menurut ‘Urwah: ayat yang dimaksud
adalah: “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami
turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami
menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan
dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati.”[16]
124 — ‘Ashim bin Dhamrah melihat
beberapa orang mengikuti Sa’id bin Jubair kemana-mana, maka beliau mencegahnya
seraya berkata, “Sesungguhnya perbuatan kalian ini akan merendahkan orang yang
mengikuti dan menjadi fitnah bagi yang diikuti.”
125 — Dari Agharr: Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu berkata, “Sesungguhnya Allah dan para malaikatnya membacakan shalawat
untuk Abu Hurairah dan orang-orang yang duduk bersamanya.”
126 — Dari Thawus: dari ayahnya: ‘Umar radhiyallahu
‘anhu berkata, “Sesungguhnya kami tidak memperbolehkan bertanya tentang apa
yang belum terjadi, karena sesungguhnya Allah telah menjelaskan apa yang telah
terjadi.”
127 — Ghaylan berkata, “Saya pernah
mengatakan kepada al-Hasan, ‘Seseorang yang menyampaikan suatu hadits maka
hendaklah ia teliti dan tidak lengah, sebab (kalau lengah maka ia) akan
menambahi atau mengurangi.’ Al-Hasan menanggapi, ‘Siapa yang bisa seperti
itu?’”
128 — ‘Abdush-Shamad bin Ma’qil
bercerita, “Saya mendengar Wahb berkata, ‘Para penganggur tidak akan bisa
menjadi ahli hikmah (hukama’), dan para pezina tidak akan bisa mewarisi
Kerajaan Langit.’”
129 — ‘Abdush-Shamad bin Ma’qil
bererita: ‘Ikrimah – bekas budak Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu – tiba
di al-Jund, lalu Thawus menghadiahkannya kepada salah seorang bangsawan dengan kompensasi
sebesar 60 dinar. Ada yang bertanya kepada Thawus, “Apa yang bisa diperbuat
budak seharga 60 dinar ini kepada bangsawan itu?” Thawus menjawab, “Tidakkah
engkau tahu bahwa saya sendiri tidak akan membeli ilmu Ibnu ‘Abbas untuk
‘Abdullah bin Thawus – anak saya – dengan harga enam puluh dinar?”[17]
130 — Nasir bin Da’luq berkata: apabila
orang-orang mendatangi ar-Rabi’ bin al-Khaytsam maka beliau berkata, “Aku
berlindung kepada Allah dari keburukan kalian.”
131 — Abu ‘Abdirrahman bercerita, “Suatu
saat ‘Ali radhiyallahu ‘anhu berjumpa dengan seorang tukang cerita (al-qaashsh),
maka beliau bertanya, ‘Apakah engkau bisa membedakan mana an-nasikh dan
mana al-mansukh?’ Orang itu menjawab, ‘Tidak.’ Maka, ‘Ali berkata,
‘Celakalah engkau, dan engkau pun mencelakakan (orang lain).’”[18]
132 — Abu Hushain bercerita, “Saya
menemui Ibrahim untuk menanyakan suatu masalah, maka beliau berkata, ‘Tidak
layak antara aku dan engkau ada orang lain yang engkau tanya selain aku.’”
133 — Dari Al-Qasim bin ‘Abdurrahman:
‘Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya pikir, seseorang sering lupa
terhadap suatu ilmu yang dipelajarinya disebabkan suatu dosa yang pernah ia
kerjakan.”
134 — Dari Abu Salamah: Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhu berkata, “Saya memperoleh sebagian besar ilmu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dari salah satu perkampungan Anshar. Saya pernah sampai
tertidur siang hari (qayluulah) di depan pintu salah seorang dari
mereka. (Sebenarnya), kalau saja saya mau minta izin masuk, pasti akan
diizinkan. Namun, dengan tindakan saya itu, saya ingin memperoleh simpati
darinya.”
135 — Ibnu ‘Aun berkata, “Al-Qasim bin
Muhammad, Ibnu Sirin dan Raja’ bin Haywah menyampaikan hadits huruf demi huruf;
sedangkan al-Hasan, Ibrahim dan asy-Sya’bi menyampaikan hadits sesuai maknanya
saja.”[19]
136 — Ibnu ‘Aun berkisah, “Saya masuk
menemui Ibrahim, lalu Hammad juga masuk dan mulai bertanya ini-itu kepada beliau,
sementara dia membawa athraf. Ibrahim kemudian bertanya kepadanya, ‘Apa
(yang kaubawa) ini?’ Hammad pun menjawab, ‘Ini hanyalah athraf.’ Ibrahim
menukas, ‘Bukankah saya telah melarangnya?’”[20]
137 — Ibrahim berkata, “Athraf
itu tidak mengapa.”
138 — Basyir bin Nahik berkata, “Saya
pernah mencatat hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Ketika saya
hendak berpisah dengannya, maka saya tunjukkan catatan itu dan saya katakan,
‘Ini adalah (hadits) yang saya dengar dari Anda.’ Beliau menjawab, ‘Ya.’”
139 — Al-Asy’ats memberitahu kami: dari
al-Hasan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Termasuk
bentuk sedekah adalah jika seseorang mempelajari suatu ilmu kemudian dia
beramal dengannya dan mengajarkannya (kepada orang lain).”
Al-Asy’ats berkata, “Lihat, bukankah
beliau mendahulukan ilmu sebelum amal?”
140 — Al-Qasim bin Muhammad berkata,
“Sungguh kalian bertanya kepada kami tentang apa yang tidak kami ketahui. Demi
Allah, seandainya kami tahu pastilah tidak kami sembunyikan dan kami pun tidak
memperbolehkan penyembunyian (ilmu).”
141 — Abu Katsir bercerita, “Saya
mendengar Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Sesungguhnya Abu
Hurairah tidak menyembunyikan (hadits) dan tidak pula menuliskannya.’”
142 — Dari Mujahid: Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhu berkata — saya pikir beliau me-marfu’-kannya kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam — “Ada dua orang yang tercekam kerakusan
dimana kerakusannya itu tidak akan bisa dipuaskannya; orang yang dicekam
kerakusan mencari ilmu, kerakusannya itu tidak akan bisa dia puaskan; dan orang
yang dicekam kerakusan memburu dunia, kerakusannya itu pun tidak akan berhasil
dia puaskan.”[21]
143 — Dari ‘Atha’: Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu berkata, “Barangsiapa yang menyembunyikan suatu ilmu yang bisa
diambil manfaatnya maka (mulutnya) akan dijejali dengan kekang dari api neraka
(di akhirat kelak).”[22]
144 — Dari Yahya: ‘Ali radhiyallahu
‘anhu berkata, “Maukah kamu kuberitahu seorang faqih yang
sebenar-benarnya? Dialah orang yang tidak membuat manusia berputus asa dari
Allah; tidak bersikap permisif-toleran terhadap seseorang dalam hal maksiat
kepada Allah; dan tidak menelantarkan Al-Qur’an karena ia lebih gandrung kepada
yang selainnya. Sungguh tidak ada kebaikan dalam ibadah yang tidak didasari
ilmu; tidak ada kebaikan dalam ilmu yang tidak disertai pemahaman yang mendalam
(fiqh); dan tidak ada kebaikan dalam membaca Al-Qur’an yang tidak
disertai tadabbur.”[23]
145 — Dari Mujahid: Ibnu ‘Umar radhiyallahu
‘anhu berkata, “Wahai manusia, janganlah kalian bertanya tentang sesuatu
yang belum terjadi, karena sesungguhnya ‘Umar radhiyallahu ‘anhu melaknat
atau mencela seseorang yang bertanya tentang sesuatu yang belum terjadi.”
146 — Habib bin Abi Tsabit berkata,
“Termasuk bagian dari sunnah adalah jika seseorang berbicara dengan
sekelompok orang maka dia akan menghadap kepada mereka semuanya dan tidak
mengkhususkan sebagian dari mereka dengan mengabaikan sebagian yang lain.”
147 — Dari Abu Kayraan: “Saya mendengar
asy-Sya’bi berkata, ‘Bila engkau mendengar sesuatu, maka catatlah meskipun
diatas tembok.’”
148 — ‘Abdullah bin Hanasy bercerita,
“Sungguh saya telah melihat mereka menulis diatas telapak tangannya dengan
sepotong buluh, ketika berada di dekat al-Bara’.”[24]
149 — Dari Yahya bin Abi Katsir: Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ikatlah ilmu dengan catatan. Siapa
yang mau membeli ilmu dari saya seharga satu dirham?”
150 — Dari ‘Alba’: ‘Ali radhiyallahu
‘anhu berkata, “Siapa yang mau membeli ilmu dari saya dengan harga satu
dirham?”
Abu Khaytsamah berkata: maksudnya
“membeli selembar kertas seharga satu dirham untuk mencatat ilmu”.
151 — Muhammad bercerita, “Saya katakan
kepada ‘Ubaidah, ‘Bolehkah saya menuliskan apa yang saya dengar?’ Beliau
menjawab, ‘Tidak.’ Saya katakan lagi, ‘Jika saya menemukan suatu buku, bolehkah
saya membacanya?’ Beliau menjawab, ‘Tidak.’”[25]
152 — Syuraik berkata, “Saya mendengar
seorang syaikh — kemudian saya menyebutkan kelebihan-kelebihannya, maka
orang-orang berkomentar, ‘Orang itu pasti Abu Dhamrah’ — beliau berkata, ‘Saya
melihat Hammad sedang mencatat di samping Ibrahim, dan dia mengenakan baju anbijani,
seraya berkata, ‘Demi Allah, kami tidak mengharapkan dunia dengan semua ini.’”[26]
153 — Ibnu Sirin berkata, “Mereka
berpendapat bahwa Bani Israil menjadi sesat disebabkan kitab-kitab yang mereka
wariskan secara turun-temurun.”[27]
154 — Abu Burdah berkata, “Saya mencatat
(apa-apa yang saya dengar) dari ayah saya pada sebuah buku, yang kemudian
beliau pergoki. Beliau kemudian meminta diambilkan bak cuci pakaian, lalu
menyuruh agar buku-buku saya dimasukkan ke dalamnya, dan kemudian beliau
mencucinya.”[28]
155 — Basyir bin Nahik berkata, “Saya
mencatat (apa-apa yang saya dengar) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
pada sebuah buku, maka tatkala saya hendak berpisah dengan beliau saya katakan,
‘Wahai Abu Hurairah, sesungguhnya saya mencatat (apa-apa yang saya dengar) dari
Anda pada sebuah buku, kemudian saya akan meriwayatkannya (kepada orang lain
hadits-hadits yang bersumber) dari Anda.’ Beliau menjawab, ‘Ya, riwayatkanlah
dari saya.’”
156 — Dari Ibrahim: ‘Abdullah radhiyallahu
‘anhu berkata, “Kalian akan selalu dalam kondisi baik selama ilmu masih
berada di kalangan orang-orang yang lebih tua. Apabila ilmu sudah berada di
kalangan orang-orang yang lebih muda, maka akan merasa terhinalah orang-orang
yang lebih tua untuk belajar dari yang lebih muda.”
157 — ‘Alqamah berkata, “Apa yang saya
dengar pada saat saya masih muda, maka (sekarang ini) seolah-olah saya sedang
melihat ke selembar kertas atau salinan catatan.”
158 — ‘Abdullah bin ‘Ubaid berkata,
“Ilmu adalah sesuatu yang terhilang dari seorang mukmin. Setiap kali dia
menemukan sebagian darinya, maka dia akan memungutnya dan segera mencari barang
yang terhilang lainnya.”
159 — Ibrahim berkata, “Mereka tidak
senang jika diikuti di belakangnya.”[29]
160 — Ibrahim berkata: mereka biasa
duduk bersama dan me-mudzakarah ilmu serta kebaikan. Kemudian mereka
berpisah dan tidak saling memintakan ampun satu sama lain, dan tidak ada pula
yang berkata, “Hai fulan, tolong doakan saya.”
161 — Ibrahim berkata, “Mereka tidak
menyukai buku catatan.”[30]
162 — Ibrahim berkata, “Athraf
itu tidak mengapa.”
163 — Dari Ibnu Hujairah: Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Perumpamaan seseorang yang menguasai suatu ilmu kemudian tidak
menyampaikannya (kepada orang lain) adalah seperti seseorang yang dianugerahi
rezeki oleh Allah berupa harta kemudian dia tidak membelanjakannya.”[31]
164 — ‘Alqamah berkata, “Upayakanlah
penyebutan hadits, (supaya) ia tidak menjadi hilang dan terlantar.”
165 — Dari az-Zuhri: Anas radhiyallahu
‘anhu berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki Makkah dan
beliau mengenakan al-mighfar diatas kepalanya. Ketika beliau telah
melepaskannya, ada yang mengatakan kepada beliau, “Ini ada Ibnu Khathall
bergantung di kain penutup Ka’bah.” Beliau bersabda, “Bunuh dia!”[32]
166 — Dari Qatadah: dari Anas radhiyallahu
‘anhu: sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
berdoa, “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat;
amal yang tidak diterima (di sisi-Mu); hati yang tidak bisa khusyu’; dan
juga perkataan yang tidak didengarkan.”[33]
167 — Dari Abu Shalih: ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha bercerita bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
keluar untuk shalat shubuh sementara dari kepala beliau masih menetes air
karena hubungan suami istri, bukan karena mimpi, kemudian beliau berpuasa.[34]
168 — Humaid menuturkan: dari Anas radhiyallahu
‘anhu: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jangan
sampai kalian mengangan-angankan kematian, sebab setiap harinya kalian
senantiasa mendapat tambahan kebaikan.”[35]
169 — Dari Sa’id bin Maysarah al-Bakri:
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bercerita bahwa jika Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam menyalatkan jenazah maka beliau bertakbir empat kali.[36]
[*] Demikian akhir dari Kitab
al-’Ilmi karya al-Hafizh Abu Khaytsamah. Diterjemahkan oleh M. Alimin Mukhtar, seorang guru di Pesantren Hidayatullah Malang, Jawa Timur. Alhamdulillah, awwalan wa akhiran.
--- selesai ---
Untuk membaca Bagian 1, silakan klik disini
[1] Sanad hadits ini shahih.
[2] Hadits ini diriwayatkan secara marfu’
kepada Rasulullah r melalui jalur yang mengandung cacat (ma’luulah),
dengan tanpa menyebutkan Bani Farroukh di dalamnya, yakni bangsa Persia. Istilah
ini pada mulanya merujuk kepada Salman al-Farisi.
[3] Terjemah ayat: “Wahai orang-orang
yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi
saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum
kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya.
Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari
kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi
saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu
kerjakan.” (QS an-Nisa’: 138).
[4] “Mu’adz” disini adalah Mu’adz bin Jabal, seorang
sahabat terkenal. Hadits shahih-marfu’.
[5] “Muhammad” disini Ibnu Sirin, seorang tabi’in termasyhur.
[6] Hadits shahih. Maksudnya adalah
tidak memilih-milih tempat duduk, akan tetapi mengambil tempat di mana saja
yang masih kosong, atau langsung di bagian terluar halaqah yang
dijumpainya.
[7] Hadits shahih. Maksud dari
riwayat diatas adalah: jika datang lebih akhir dalam suatu majlis atau halaqah,
maka carilah tempat di sebelah kanan atau kiri yang kosong, bukan di bagian
depan sehingga melangkahi pundak orang-orang yang sudah hadir lebih dulu.
[8] Tiga riwayat terakhir diatas
mencerminkan salah satu kaidah periwayatan hadits, dimana dikenal periwayatan
secara lafzhi atau kosakata yang sama persis dengan sabda Rasulullah r, dan ada pula yang diriwayatkan secara ma’nawi
yakni hanya sama dalam maksudnya namun bukan persis seperti itu bunyi ucapan
Rasulullah r sebenarnya. Kedua bentuk ini bisa diterima. Khusus untuk
periwayatn ma’nawi maka ia hanya bisa diterima jika berasal dari perawi
terpercaya yang diyakini mampu menangkap makna sebenarnya dari ucapan
Rasulullah r lalu menyampaikannya kepada orang lain, walau tidak dalam
kalimat yang persis sama. Keterangan selengkapnya ada dalam kitab-kitab Ilmu Hadits.
[9] QS al-Baqarah: 159.
[10] “Begadang” atau as-samr maksudnya
berbincang-bincang dan berdiskusi sepanjang malam. “Fiqh” disini tidak
terbatas pada disiplin ilmu hukum, tetapi mencakup seluruh pemahaman yang
mendalam terhadap aspek-aspek ajaran Islam. Secara bahasa, al-fiqh
identik dengan ilmu (al-’ilm) dan pemahaman (al-fahm). Abu
Hanifah menyebut ilmu tauhid atau pembahasan pokok-pokok agama dengan fiqh
akbar (fiqh besar), sedang pembahasan tentang hukum-hukum cabang disebut fiqh
ashghar (fiqh kecil). Di masa-masa awal Islam,
kata fiqh selalu bermakna pengetahuan tentang akhirat, penyakit-penyakit
jiwa, serta memahami keutamaan akhirat dan remehnya dunia ini. Ia mencakup
segala sesuatu dalam Islam yang bersifat keyakinan (i’tiqadiyah),
perasaan (wijdaniyah) maupun amal perbuatan (‘amaliyah). Bagian
pertama kemudian berkembang menjadi Ilmu Kalam (teologi), bagian kedua menjadi
Ilmu Akhlaq dan Tashawwuf, sedang yang terakhir menjadi Ilmu Fiqh dan
Mushthalah yang kita kenal sekarang.
[11] Hadits shahih-marfu’.
[12] Hadits shahih-marfu’.
[13] “Orang yang keempat” maksudnya bukan guru,
pelajar, atau pendengar. Penjelasan serupa dapat ditemukan
dalam Sunan ad-Darimi.
[14] Hadits shahih-marfu’.
[15] Hadits shahih.
[16] QS al-Baqarah: 159.
[17] “Al-Jund”, jika dibaca demikian maka ia merupakan
satu dari lima kawasan di Syam yang dinamai begitu, yakni Jund Qinasrin,
Jund Filisthin, Jund Himsh, Jund Dimasyq, dan Jund Urdun, yang kelimanya
disebut Ajnad. Konon, nama ini artinya kumpulan perkampungan, sebab kata
al-jund berarti al-jam’u (kumpulan); atau sebuah wilayah yang
ditentukan untuk kelompok pasukan tertentu dimana gaji mereka secara khusus
diambilkan dari hasil buminya, karena kata al-jund juga berarti al-jaisy
(sepasukan tentara). Tetapi jika dibaca “al-Janad” maka ini adalah
satu dari tiga propinsi Yaman pada zaman permulaan Islam, selain Shan’a dan
Hadhramaut; berjarak 48 farsakh dari Shan’a. Makna pertama lebih mungkin.
Nilai 60 dinar kira-kira setara dengan Rp 78.900.000, per
Desember 2009.
[18] “Abu ‘Abdirrahman” yakni ‘Abdullah bin Habib
bin Rabi’ah as-Sulami, seorang tabi’in terkenal. An-nasikh (yang
menghapus) dan al-mansukh (yang dihapus), merupakan istilah baku
berkenaan dengan ayat maupun hadits yang bentuk atau isi perintahnya mengalami
perubahan tertentu sesuai dengan hikmah yang dikehendaki oleh Allah.
Selengkapnya silakan mengkaji bab ini dalam buku-buku pengantar ‘ulumul
Qur’an, ‘ulumul hadits maupun ushul fiqh.
[19] Riwayat ini menjadi penjelas bahwa ada
dua kecenderungan dalam metode periwayatan yang berlaku dan bisa diterima di
masa lalu di kalangan para perawi hadits, sebagaimana pernah disinggung sekilas
pada riwayat sebelumnya.
[20] Secara bahasa athraf berarti
tepi, pinggir atau ujung. Secara istilah, athraf adalah cara penulisan
di kalangan para pelajar maupun ulama’ ahli hadits dengan menyebutkan sebagian
teks hadits yang merupakan kata kunci dari suatu riwayat secara keseluruhan,
masing-masing disertai dengan sanad-nya, baik dengan disebutkan secara
utuh maupun mencukupkan diri dengan menunjuk kepada kitab tertentu yang memuat
riwayatnya secara lengkap. Ada banyak karya yang
ditulis dengan metode ini, misalnya Athrafu ash-Shahihain karya
al-Hafizh Abu Mas’ud ad-Dimasyqi (w. 401 H) dan Athrafu al-Kutub al-Khamsah
karya al-Hafizh Abu al-‘Abbas ath-Tharqiy al-Azdiy.
[21] “Kerakusan” atau an-nahmah, yaitu keinginan
yang sangat kuat kepada sesuatu, yang memuncak tak tertahankan. Hadits ini shahih
dengan syawahid-nya.
[22] Hadits shahih-marfu’.
[23] “Membuat manusia berputus asa dari
Allah”
yakni menimbulkan pesimisme dan menutup harapan terhadap rahmat serta
ampunan-Nya.
[24] “Buluh” atau al-qashab, yaitu sejenis
tumbuhan yang batangnya berongga seperti pipa, semacam bambu; atau bisa juga
tulang yang berongga; biasa dipergunakan sebagai pena di masa silam dengan
tinta cair dalam botol kaca atau logam (ad-dawat).
[25] “Muhammad” disini adalah Ibnu Sirin. Bagian akhir
riwayat ini berbicara tentang salah satu metode periwayatan hadits yang
dianggap lemah dan tidak diakui, yakni wijadah, dimana seseorang
menemukan sebuah catatan atau kitab lalu ia membaca dan meriwayatkannya, tanpa sanad
yang jelas yang menyambungkannya dengan penulis asli atau orang lain yang punya
otoritas meriwayatkannya. Kepastian sanad dari sebuah karya tertulis
sangat penting untuk menjaga keotentikannya, juga untuk memastikan bahwa karya
tersebut benar-benar merupakan pemikiran pengarang yang namanya dinisbatkan
kepada karya dimaksud. Selain itu, secara teknis, naskah berbahasa Arab di masa
lalu tidak semudah sekarang untuk dibaca, karena sering ditulis tanpa titik
maupun tanda baca samasekali, dan acapkali menggunakan teknik pemenggalan
kosakata yang tidak lazim. Kondisi ini sangat rawan menimbulkan salah baca dan
salah tafsir, yang dapat memicu beragam masalah ilmiah. Dengan adanya sanad,
maka setiap kata dalam suatu naskah dapat dipastikan bagaimana cara membacanya
sehingga sama persis dengan maksud penulisnya. Demikian pula setiap kalimat, nama
dan istilah tidak akan salah dimengerti. Dengan ini Islam terjaga dari
pemalsuan, penyelewengan, penyimpangan dan penyusupan oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggungjawab. Bandingkan dengan sekumpulan naskah Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru di kalangan Yahudi-Nasrani, yang secara ilmiah tidak dapat
dipastikan siapa pengarang sebenarnya dari masing-masing naskah itu; dan tidak
terdapat sanad pasti yang mentransmisikannya secara akurat dari generasi ke
generasi. Belakangan, setiap sarjana yang menemukan suatu naskah kemudian
membacanya menurut interpretasi mereka masing-masing, baik dilandasi kejujuran
maupun maksud jahat yang tersembunyi, sehingga pada akhirnya lahirlah sangat
banyak versi “kitab suci” yang saling bertentangan.
[26] “Baju anbijani” adalah baju berbahan bulu binatang,
merupakan pakaian paling rendah dan kasar di masa itu, dinamai sesuai daerah
asalnya yaitu Anbijan.
[27] “Mereka” disini kemungkinan besar adalah
sahabat, sebab Ibnu Sirin adalah tabi’in.
[28] Abu Burdah, yakni putra Abu Musa al-Asy’ari.
[29] Ibrahim an-Nakha’iy adalah tabi’in,
sehingga yang beliau maksud dengan “mereka” kemungkinan besar adalah
sahabat Nabi r, sebagaimana dalam kasus riwayat Ibnu Sirin diatas (no.
153), juga riwayat Ibrahim jauh sebelumnya (no. 37). “Diikuti di
belakangnya” maksudnya diiringi banyak orang di belakangnya ketika sedang
berjalan.
[30] Riwayat ini mencerminkan keengganan
ulama’ di masa itu terhadap pencatatan diatas kertas atau buku. Mereka khawatir
jika catatan-catatan itu mengalahkan Al-Qur’an atau dianggap bagian darinya.
Terlebih, teknologi percetakan belum ada saat itu, sehingga semua buku ditulis
tangan dan sulit dibedakan dengan mushaf Al-Qur’an yang juga ditulis tangan.
Ketika kekhawatiran itu hilang, maka pencatatan menjadi sesuatu yang lazim. Di
sisi lain, pada prinsipnya, ilmu harus ditransfer melalui medium guru, yakni
figur yang hidup dan aktif, bukan semata-mata lewat buku dan catatan seperti yang
berkembang di kalangan Yahudi-Nasrani. Inilah hakikat sanad dalam
tradisi ilmiah kaum muslimin. Bahkan, sebuah naskah tertulis tidak bisa dirujuk
secara mandiri tanpa disertai otoritas guru yang ahli dan menguasai
periwayatannya secara utuh, kata per kata, dari awal sampai akhir. Selain untuk
menjaga otentisitas ajaran Islam yang diwariskan dari generasi ke generasi, sanad
juga menekankan keharusan menyeleksi secara ketat figur guru yang layak
dijadikan sebagai bagian dari matarantai tersebut. Ketika pemeliharaan sanad
beserta adab-adabnya ini diabaikan, maka beragam dampak negatif timbul dan
menularkan kerusakannya ke segala bidang.
[31] Hadits hasan.
[32] Hadits shahih. “Al-mighfar”
adalah rantai atau jaring baja yang dirangkai sedemikian rupa sebagai lapisan pelindung
kepala, dikenakan di bawah topi baja.
[33] Hadits shahih.
[34] Hadits shahih. “Menetes air”
maksudnya bekas mandi karena junub.
[35] Hadits ini isnad-nya shahih.