Bismillahirrahmanirrahim
Tamhid
Kitab al-‘Ilmi karya Al-Hafizh
Abu Khaytsamah kami alihbahasakan dan sajikan seperti aslinya, tanpa perubahan
sistematika dan model penulisan, kecuali dalam hal sanad yang dipangkas.
Satu-satunya sanad yang kami kutip utuh adalah rangkaian periwayatan
kitab ini, sejak dari penulisnya sampai pemilik naskah manuskrip yang dijadikan
pegangan editor edisi Arabnya. Dari tanggal yang tercatat dalam sanad
ini dapat diketahui bahwa penyalinan terakhir terjadi tahun 614 H, sekitar 380
tahun setelah penulisnya wafat. Sebagaimana diketahui, Al-Hafizh Abu Khaytsamah
sendiri wafat tahun 234 H.
Dalam sanad itu, setelah nama pengarang adalah
rangkaian perawi berikutnya yang menyambungkannya kepada sumber asal berita
yang dikutip, entah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
sahabat atau lainnya. Sanad tersebut merupakan rangkaian perawi bagi
riwayat pertama dalam kitab ini, yang dimulai dari Abu Khaytsamah sampai Abu
‘Ubaidah. Untuk setiap riwayat berikutnya terdapat sanad-nya
masing-masing. Namun, kami buang hampir seluruhnya demi kepraktisan dan
kesederhanaan, serta mencukupkannya dengan satu, dua atau tiga nama yang berada
pada ujung rangkaian, terutama sahabat dan tabi’in.
Membaca kitab klasik seperti ini, dimana ia ditulis pada
zaman dan metode yang berbeda dengan kita, diperlukan kesabaran dan konsentrasi
tersendiri. Kami sarankan untuk membaca secara bertahap, dengan mengelompokkan
beberapa riwayat yang memiliki tema senada dan menganalisisnya, karena pada
dasarnya ia diurutkan untuk mengemukakan gagasan tertentu. Jangan membaca
riwayat-riwayat dalam buku ini secara utuh tanpa mengelompokkan tema-tema di
dalam rangkaian riwayatnya, karena bisa membuat Anda bingung dan tidak mengerti
apa maksud penulis yang sebenarnya. Begitulah kitab klasik disusun.
Berikut adalah terjemahan yang kami maksudkan, di dahului
dengan biografi ringkas penyusunnya yang kami kutip dari Tahdzibu at-Tahdzib, III/296, no. 637.
Nama lengkap beliau adalah
Zuhair bin Harb bin Syaddad al-Hurasyi Abu Khaytsamah an-Nasa’i, bekas budak
Bani Huraisy bin Ka’ab. Nama kakeknya semula adalah Asytal, yang kemudian
di-Arab-kan menjadi Syaddad. Belakangan beliau pindah dan bermukim di Baghdad.
Beliau mengambil riwayat dari ‘Abdullah
bin Idris, Ibnu ‘Uyainah, Hafsh bin Ghiyats, Humaid bin ‘Abdurrahman ar-Rawasi,
Juraij bin ‘Abdul Hamid, Ibnu ‘Aliyyah, ‘Abdullah bin Numair, ‘Abdurrazzaq, ‘Abdah
bin Sulaiman, ‘Umar bin Yunus al-Yamami, Marwan bin Mu’awiyah, Mu’adz bin
Hisyam, Husyaim, al-Qaththan, Abu an-Nadhr, dan beberapa orang lainnya.
Yang mendengar riwayat darinya adalah
al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah; an-Nasa’i juga meriwayatkan darinya dengan
perantaraan Ahmad bin ‘Ali bin Sa’id al-Marwazi; kemudian anaknya sendiri Abu
Bakr bin Abi Khaytsamah, Abu Zur’ah, Abu Hatim, Baqiy bin Makhlad, Ibrahim
al-Harbi, Musa bin Harun, Ibnu Abi ad-Dunya, Ya’qub bin Syaibah, Abu Ya’la
al-Maushili dan sekelompok orang lainnya.
Mu’awiyah bin Shalih meriwayatkan dari
Ibnu Ma’in, “Beliau tsiqah.” ‘Ali bin al-Junaid juga meriwayatkan dari Ibnu Ma’in,
“Beliau (nilainya) setara dengan satu kabilah.” Menurut Abu Hatim, “Beliau
shaduuq.” Menurut Ya’qub bin Syaibah, “Zuhair lebih kuat hafalannya (atsbat)
dibanding ‘Abdullah bin Abi Syaibah. Sebab, ‘Abdullah agak kurang cermat
(tahaawun) terhadap hadits, dia tidak memilah diantara lafazh-lafazhnya.”
Abu Ja’far al-Firyabi berkata, “Saya
pernah bertanya kepada Ibnu Numair, ‘Siapa diantara dua orang ini – Abu
Khaytsamah dan Ibnu Abi Syaibah – yang paling Anda sukai?’ Beliau menjawab, ‘Abu
Khaytsamah.’ Beliau pun memuji-muji Abu Khaytsamah secara berlebihan dan
merendahkan Abu Bakr (Ibnu Abi Syaibah).”
Al-Ajurri pernah berkata kepada Abu
Dawud, “Abu Khaytsamah adalah seorang hujjah diantara para perawi hadits.” Maka
Abu Dawud menimpali, “Alangkah bagus ilmu yang beliau miliki.” Imam an-Nasai
berkata, “Beliau tsiqah ma’mun.” Al-Husain bin Fahm berkata, “Beliau tsiqah
tsabat.” Abu Bakr al-Khathib berkata, “Beliau tsiqah, tsabat, hafizh dan
mutqin.”
Muhammad bin ‘Abdullah al-Hadhrami dan
lain-lain berkata, “Beliau wafat tahun 234 H.” Putranya, Abu Bakr, berkata, “Ayah
saya dilahirkan tahun 160 H, dan wafat pada malam Kamis pada tanggal 7 Sya’ban
dalam usia 74 tahun.” Al-Khathib pernah menceritakan bahwa Abu Ghalib ‘Ali bin
Ahmad an-Nashr menyatakan bahwa Abu Khaytsamah wafat tahun 232 H, tetapi
menurutnya hal ini tidak tepat. Yang benar, beliau wafat tahun 234 H.
Abul Qasim al-Baghawi berkata, “Saya
mencatat hadits dari beliau.” Ibnu Qaani’ berkata, “Beliau tsiqah tsabat.” Penulis
kitab az-Zuhrah (Abu Bakr Muhammad bin Dawud bin ‘Ali bin Khalaf al-Ashbahani,
w. 296 H) berkata, “Imam Muslim meriwayatkan 1.281 hadits dari beliau.” Dalam
al-Jarh wat-Ta’dil, Ibnu Abi Hatim berkata, “Ayah saya pernah ditanya tentang
beliau, dan dijawabnya, ‘Beliau tsiqah shaduuq.’” Ibnu Wadhdhah berkata, “Beliau
merupakan salah satu dari para ulama’ tsiqah yang sempat saya jumpai di
Baghdad.” Dalam kitab at-Tsiqaat, Ibnu Hibban berkata, “Beliau tsiqat dhabith,
termasuk ulama’ yang seangkatan dengan Ahmad (bin Hanbal) dan Yahya bin Ma’in.”
Kitabul ‘Ilmi
Karya: Al-Hafizh Abu Khaytsamah Zuhair bin Harb
an-Nasa’i
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Tiada yang memberi petunjuk diriku
selain Allah.
[Sanad] Asy-syaikh, al-imam, al-’alim,
az-zahid, ‘izzuddin Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Abdul Karim al-Jazari
– semoga Allah mengokohkannya – memberitakan khabar kepada kami (akhbarana),
pada bulan Ramadhan tahun 614 H, bertempat di Maushil, di dalam ribath[1] milik
saudaranya, beliau berkata: asy-syaikh, al-imam, al-’alim, majduddin, Abul
Faraj Yahya bin Mahmud bin Sa’ad al-Ashfahani memberitakan khabar kepada
kami, beliau berkata: asy-syaikh, al-imam, Abu al-Fath Isma’il bin
al-Fadhl bin Ahmad bin al-Ikhsyid as-Sarraj memberitakan khabar kepada
kami, pada tahun 518 H dan 522 H, beliau berkata: asy-syaikh Abu Thahir
Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdurrahim memberitakan khabar kepada kami,
beliau berkata: Abu Hafsh ‘Umar bin Ibrahim bin Ahmad al-Kattani al-muqri’
memberitakan khabar kepada kami: Abul Qasim ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdul
‘Aziz al-Baghawi memberitahu kami: Abu Khaytsamah Zuhair bin Harb – pengarang kitab
ini – menyampaikan hadits kepada kami (haddatsana): Waki’
menyampaikan hadits kepada kami: al-A’masy menyampaikan hadits kepada kami:
bersumber dari (‘an) Tamim bin Salamah: bersumber dari Abu ‘Ubaidah:
.....
1 — Dari Abu ‘Ubaidah: ‘Abdullah radhiyallahu
‘anhu berkata, “Keluarlah kamu di pagi hari sebagai pengajar (‘alim)
atau pelajar (muta’allim), dan jangan menjadi orang yang diantara
mereka.”[2]
2 — ‘Aun bin ‘Abdillah berkata: saya
mengatakan kepada ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, “Ada yang berkata begini: jika kamu
bisa menjadi pengajar, maka jadilah pengajar. Jika tidak bisa, jadilah pelajar.
Jika kamu tidak bisa menjadi pelajar, maka cintailah mereka. Jika kamu tidak
bisa mencintai mereka, maka jangan membenci mereka.” Maka, ‘Umar pun berkata, “Subhanallah,
dia telah memberi jalan keluar (untuk masalah ini).”
3 — Dari Abu ‘Ubaidah: Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu berkata, “Barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan baginya, maka
Dia akan membuatnya faqih dalam dien-nya.”[3]
4 — Dari Abu ‘Ubaidah: Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu berkata, “Wahai manusia, belajarlah kalian; dan barangsiapa yang
sudah mengetahui, maka hendaknya dia beramal.”
5 — Zirr bin Hubaisy berkata: saya
mendatangi Shafwan bin ‘Assal al-Muradiy radhiyallahu ‘anhu, maka beliau
bertanya, “Apa keperluanmu?” Saya jawab, “Mencari ilmu.” Maka, beliau
menanggapi, “Sesungguhnya para malaikat membentangkan sayap-sayap mereka untuk pencari
ilmu, karena ridha kepada apa yang dicarinya itu.”[4]
6 — Dari Sa’id bin Jubair: Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhu berkata, “Sesungguhnya orang yang mengajari orang lain suatu
kebaikan, maka segenap makhluk melata (di muka bumi) memintakan ampun untuknya,
demikian pula ikan-ikan di lautan.”[5]
7 — Dari ‘Abdul ‘Aziz bin Zhubyan:
al-Masih putra Maryam u berkata, “Barangsiapa yang belajar dan mengamalkannya, maka dia dianggap
sebagai seorang pembesar di kerajaan langit.”
8 — Dari Syaqiq: Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu berkata, “Belajarlah kalian, sebab seseorang dari kalian tentu tidak
mengerti kapan orang lain akan membutuhkan apa yang diketahuinya itu.”
9 — Dari al-Ahnaf: ‘Umar radhiyallahu
‘anhu berkata, “Faqih-kanlah diri kalian, sebelum kalian kelak
tampil menjadi pemimpin.”[6]
10 — Dari al-A’masy: dari Syaqiq: Ibnu
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah, sungguh orang yang
memberi fatwa terhadap segala persoalan yang ditanyakan kepadanya pastilah dia
itu gila (majnun).”
Al-A’masy berkata, “Syaqiq kemudian
berkata kepadaku, ‘(Maksudnya fatwa dalam masalah) hukum.’ Seandainya aku
mendengar hadits ini darimu sebelum hari ini, pasti aku tidak berfatwa dalam
banyak hal yang telah aku fatwakan.”
11 — ‘Abdurrahman bin Bisyr al-Azraq
berkisah: ada dua orang datang dari arah Kindah sementara Abu Mas’ud al-Anshari
radhiyallahu ‘anhu tengah duduk dalam suatu halaqah. Salah
seorang dari keduanya berkata, “Adakah orang yang memeriksa diantara kami?”
Seseorang dalam halaqah itu spontan menjawab, “Saya!” Maka, Abu Mas’ud
pun meraup segenggam kerikil dan melemparkannya ke arah orang itu, seraya berkata,
“Sungguh, makruh untuk terburu-buru dalam suatu masalah hukum.”[7]
12 — Dari Hushain bin ‘Uqbah: Salman radhiyallahu
‘anhu berkata, “Suatu ilmu yang tidak diucapkan adalah sama dengan simpanan
harta yang tidak dibelanjakan.”[8]
13 — Al-A’masy berkata: telah sampai
berita kepadaku dari Mutharrif bin ‘Abdillah bin asy-Syikhkhir, bahwa beliau
berkata, “Keutamaan ilmu itu lebih aku sukai dibanding keutamaan ibadah, dan
sebaik-baik bagian dari dien kalian adalah sikap wara’.”[9]
14 — Dari Salim: Hudzaifah radhiyallahu
‘anhu berkata, “Cukuplah ilmu seseorang itu bila ia takut kepada Allah U, dan cukuplah ia berdusta bila berkata astaghfirullah
(ya Allah, ampunilah aku) kemudian ia mengulangi lagi (perbuatannya).”
15 — Masruq berkata, “Cukuplah ilmu
seseorang itu bila ia takut kepada Allah U, dan cukuplah kejahilannya apabila ia ‘ujub
dengan ilmunya.”
16 — Abu Khalid asy-Syaikh, salah
seorang sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, berkata, “Suatu ketika
kami berada di masjid, ketika Khabbab bin Aratt radhiyallahu ‘anhu datang,
duduk dan diam saja. Orang-orang kemudian berkata kepada beliau,
‘sahabat-sahabat Anda telah berkumpul agar Anda menyampaikan hadits atau
memerintahkan sesuatu kepada mereka.’ Beliau pun menjawab, ‘Dengan apa aku
harus memerintahkan mereka? Sangat boleh jadi aku memerintahkan sesuatu kepada
mereka sedang aku sendiri tidak mengerjakannya.’”
17 — ‘Antarah memberitahu kami: Saya
mendengar Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidak seorang pun
yang menempuh suatu jalan dimana ia menutut ilmu di dalamnya, kecuali dengan
itu Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.”[10]
18 — Ma’an bin ‘Abdirrahman berkata,
“Jika engkau bisa menjadi penyampai hadits (muhaddits), maka
lakukanlah.”
19 — Yahya bin Ja’dah berkata,
“Orang-orang sering mendatangi Salman radhiyallahu ‘anhu dan
mendengarkan hadits, maka beliau pun berujar, ‘Ini baik bagi kalian, tetapi
buruk bagiku.’”[11]
20 — Al-Hasan berkata, “Apabila
seseorang duduk bersama suatu kaum kemudian mereka menilai dia sebagai lambat
berpikir, padahal sebenarnya tidak demikian, maka sungguh dia adalah seorang
faqih lagi muslim.”[12]
21 — ‘Abdurrahman bin Abi Layla berkata,
“Saya pernah menemui 120 orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dari kalangan Anshar. Tidak seorang pun dari mereka yang
ditanyakan kepadanya suatu masalah kecuali ia sangat berharap agar saudaranya
saja yang menjawab. Begitu pula, tidak seorang pun dari mereka yang menghadapi
suatu perkara (baru) kecuali ia sangat berharap agar saudaranya saja yang
menyelesaikannya.”
22 — Az-Zuhri berkata, “‘Urwah suka men-ta’alluf
orang-orang terhadap hadits-haditsnya.”[13]
23 — ‘Amr berkata, “Pada saat beliau –
maksudnya, ‘Urwah – datang ke kota Makkah, maka beliau berkata, ‘Datanglah
kalian kepadaku, dan ambillah riwayat dariku.’”
24 — ‘Abdurrahman bin Yazid berkata,
“Pernah ditanyakan kepada ‘Alqamah: ‘Mengapa Anda tidak mau duduk di masjid,
kemudian orang-orang dikumpulkan, Anda dijadikan tempat bertanya dan kami pun
duduk bersama Anda, sebab sungguh (yang dijadikan tempat bertanya) sekarang
adalah orang yang lebih rendah dari Anda?’ Maka beliau menjawab, ‘Saya tidak
suka jika diikuti orang-orang, lalu dikatakan: ‘Ini ‘Alqamah, ini ‘Alqamah.’”[14]
25 — Dari Abu Shalih: dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang
menempuh suatu jalan dimana ia mencari ilmu di dalamnya, maka dengan itu Allah
akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Dan barangsiapa yang lambat dan
kurang dalam amalnya, maka nasabnya tidak akan menolongnya (di akhirat).”[15]
26 — Yahya bin Ja’dah bercerita, “‘Umar radhiyallahu
‘anhu pernah ingin untuk mencatat sunnah, tetapi menetapkan
bahwasanya siapa saja yang mempunyai catatan semacam itu supaya menghapusnya.”[16]
27 — Thawus bercerita, “Suatu saat ada
seseorang mengirim surat kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu untuk
menanyakan suatu masalah, maka beliau berkata kepada orang yang membawa surat
itu, ‘Katakan kepada temanmu itu, bahwa jawaban pertanyaannya adalah begini
begitu, sebab sesungguhnya kami tidak menuliskan apapun diatas lembaran kertas
selain surat-surat dan Al-Qur’an.’”
28 — Asy-Sya’bi berkata, “Aku tidak
pernah menulis diatas kertas atau mendengar suatu hadits dari seseorang,
kemudian aku meminta agar dia mengulanginya untukku.”
29 — Mujahid (membaca ayat) waj’alnaa
lil muttaqiina imaamaa, maka beliau berkata, “(Maksudnya) jadikanlah kami
bermakmum dan meneladani mereka (orang-orang yang bertaqwa), sehingga
orang-orang yang datang setelah kami dapat meneladani kami.”[17]
30 — Mujahid (membaca ayat) waja’alanii
mubaarakan aynamaa kuntu, maka beliau berkata, “(Maksudnya) menjadikan aku
sebagai orang yang mengajarkan kebaikan.”[18]
31 — Al-Mughirah bercerita, “Pernah
ditanyakan kepada Sa’id bin Jubair, ‘Apakah Anda mengetahui ada orang yang
lebih berilmu dari Anda?’ Beliau menjawab, ‘Ya, (dia adalah) ‘Ikrimah.’ Ketika
Sa’id bin Jubair terbunuh, maka Ibrahim (an-Nakha’i) berkata, ‘Tidak ada lagi
orang yang seperti beliau setelahnya.’ Pada saat berita wafatnya Ibrahim sampai
kepada asy-Sya’bi, ‘Malang sekali dia.’ Orang-orang bertanya kepadanya, ‘Benarkah?’
Beliau menanggapi, ‘Seandainya aku katakan ‘kacau sudah ilmu’ (maka hal itu pun
pantas). Tidak ada lagi orang seperti beliau setelahnya. Herannya, beliau
melebihkan Ibnu Jubair atas dirinya sendiri. Aku jelaskan kepada kalian tentang
hal ini. Sesungguhnya beliau (Ibrahim) dibesarkan di tengah-tengah keluarga
ahli fiqh sehingga beliau dapat mempelajari fiqh mereka, kemudian
beliau belajar kepada kami (ahli hadits) sehingga beliau mengambil
hadits-hadits kami yang paling baik untuk (disatukan dengan) fiqh dari
keluarganya, maka adakah orang yang seperti beliau?”
32 — Ayyub ath-Tha’iy berkata: aku
mendengar asy-Sya’bi berkata, “Saya tidak melihat ada orang yang lebih (giat)
mencari ilmu dari seluruh penjuru dunia dibanding Masruq.”
33 — Jarir bin Hayyan bercerita, “Ada
seseorang yang melakukan perjalanan ke Mesir karena hadits ini, dan dia tidak
melepas pelana tunggangannya sampai dia pulang kembali ke rumahnya:
‘Barangsiapa yang menutupi (aib) saudaranya di dunia ini maka Allah akan
menutup (aibnya) di akhirat kelak.’”[19]
34 — Ibnu Juraij berkata, “Nafi’
mendiktekan kepada saya.”
35 — Warrad – sekretaris al-Mughirah radhiyallahu
‘anhu – berkata, “Al-Mughirah mendiktekan kepada saya, dan saya menuliskannya
dengan tangan saya sendiri.”
36 — Al-A’masy bercerita, “Ibrahim
menyebutkan suatu kewajiban (faridhah) atau hadits, kemudian berkata,
‘Ingat-ingatlah ini, bisa jadi engkau akan ditanyai tentangnya suatu saat
nanti.’”
37 — Ibrahim berkata, “Mereka – generasi
sebelum kami – tidak menyukai apabila seseorang menampak-nampakkan apa yang
dimilikinya.”[20]
38 — ‘Atstsam bin ‘Ali al-’Amiri
menceritakan: saya mendengar asy-Sya’bi berkata, “Aku tidak pernah mendengar
Ibrahim menyatakan hukum sesuatu hanya berdasar ra’yu (rasio) semata.”
39 — Sa’id bin Jubair (membaca ayat) yabkhaluuna
wa ya’muruuna an-naasa bil-bukhli, maka beliau berkata, “Ini (maksudnya)
bakhil dari dimintai ilmu.”[21]
40 — Laits berkata, “Dulu, Abul ‘Aliyah
itu, jika ada empat orang yang duduk – hendak mendengarkannya – maka beliau
berdiri (meninggalkan majlis).”
41 — ‘Abdullah bin al-’Ala’ berkata:
saya mendengar Mak-huul berkata, “Saya dulunya seorang budak milik ‘Amr bin
Sa’id al-’Ashiy atau Sa’id bin al-’Ash. Beliau kemudian menghibahkan saya kepada
seseorang dari Bani Hudzail di Mesir. Beliau telah memberikan kebaikan kepada
saya dengan (tindakannya) menghibahkan saya itu. Maka, saya tidak keluar
meninggalkan Mesir kecuali saya yakin bahwa di dalamnya sudah tidak ada lagi
ilmu yang belum pernah saya dengar. Saya kemudian memasuki Madinah, dan tidak
keluar meninggalkannya kecuali telah yakin bahwa di dalamnya sudah tidak ada
lagi ilmu yang belum pernah saya dengar. Lalu, saya bertemu dengan asy-Sya’bi,
maka sungguh saya tidak melihat ada lagi yang sehebat beliau, semoga Allah
merahmatinya.”
42 — Tamim bin ‘Athiyyah al-’Ansiy
berkata: saya mendengar Mak-huul berkata, “Saya mengikuti Syuraih selama
berbulan-bulan, dan tidak pernah menanyakan sesuatu pun kepadanya. Saya cukup
mendengarkan dia memutuskan perkara.”
43 — Mak-huul berkata, “Pada suatu malam
beberapa orang saling berjanji untuk mendatangi salah satu kubah milik
Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu. Mereka pun berkumpul disitu, dan Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu kemudian bangkit berdiri di tengah-tengah
mereka untuk menyampaikan kepada mereka hadits-hadits dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, sampai pagi menjelang.”[22]
44 — Mak-huul berkata, “Jika duduk dan
bergaul dengan orang lain tidak mendatangkan kebaikan, maka menyendiri (‘uzlah)
itu lebih selamat.”
45 — Abu Kabsyah menceritakan:
sesungguhnya ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu menceritakan
kepadanya: bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Sampaikanlah dariku meskipun hanya satu ayat. Ambillah riwayat dari
Bani Israil dan tidak ada dosa atas kalian. Dan barangsiapa yang berdusta atas
namaku maka hendaklah ia mengambil tempatnya di neraka.”[23]
46 — Masruq berkata, “Cukuplah ilmu
seseorang itu bila ia takut kepada Allah U, dan cukuplah kejahilannya apabila ia ‘ujub
dengan ilmunya.”
47 — Ibrahim berkata, “‘Abdullah radhiyallahu
‘anhu adalah sosok yang lembut lagi cerdik.”[24]
48 — Dari Masruq: ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu berkata, “Andai saja Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu mendapati
zaman kami, niscaya tidak ada seorang pun dari kami yang mencapai sepersepuluh
(dari ilmunya).”
49 — Masruq berkata: beliau (Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu) pernah berkata, “Sebaik-baik penafsir Al-Qur’an (tarjumaan
Al-Qur’an) adalah Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu.”
50 — Dari Masruq: ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu berkata, “Sungguh termasuk bagian dari ilmu adalah jika orang yang
tidak mengetahui (tentang suatu masalah) berkata: wallahu a’lam (Allah
lebih mengetahui).”
51 — Masruq berkata, “Tidak ada satu
masalah pun yang kami tanyakan kepada para sahabat Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam melainkan ilmu tentangnya (sudah ada) di dalam Al-Qur’an,
hanya saja pengetahuan kami terhadapnya sangat terbatas.”
52 — Dari Salim bin Abil Ja’di: Abu ad-Darda’
radhiyallahu ‘anhu berkata, “Orang yang mengajarkan kebaikan dan yang
belajar (darinya) pahalanya sama, sementara orang-orang selain mereka tidak
mendapatkan kebaikan apapun.”
53 — Dari Salim bin Abil Ja’di: Ibnu
Labid berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan
sesuatu, dan kemudian bersabda, ‘Hal itu terjadi pada masa hilangnya ilmu.’
Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin ilmu itu bisa
hilang padahal kami membaca Al-Qur’an, kami membacakannya kepada anak-anak kami
dan mereka pun membacakannya kepada anak-anak mereka?’ Beliau menjawab,
‘Kasihan sekali ibumu, hai Ibnu Umm Labid. Bukankah kaum Yahudi dan Nasrani
masih membaca Taurat dan Injil tetapi tidak memperoleh manfaat apapun
darinya?’”[25]
54 — Dari Qabus: dari ayahnya: Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tahukah kalian apa yang dimaksud
dengan hilangnya ilmu dari muka bumi?” Kami menjawab, “Tidak.” Beliau pun
melanjutkan, “(Yakni) hilangnya para ulama’.”
55 — Dari Ibrahim: ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu berkata, “Ikutilah (ittiba’) dan janganlah membuat-buat bid’ah,
sungguh telah cukup (agama ini) bagi kalian, dan semua bid’ah itu
sesat.”
56 — Qabus berkata, “Aku bertanya kepada
ayah, ‘Mengapa engkau mendatangi ‘Alqamah dan meninggalkan para sahabat
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam?’ Maka beliau menjawab, ‘Anakku,
sesungguhnya para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri
pun bertanya kepadanya.’”
57 — ‘Umarah bin al-Qa’qa’ berkata,
“Ibrahim berkata kepadaku, ‘Beritakan suatu hadits kepadaku (yang bersumber)
dari Abu Zur’ah, karena sesungguhnya aku bertanya kepadanya tentang suatu
hadits dan aku tanyakan kembali kepadanya dua tahun kemudian, ternyata tidak
berkurang satu huruf pun.’”
58 — ‘Ubaid bin ‘Umair berkata,
“Barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan baginya, maka Dia akan membuatnya faqih
dalam dien-nya, dan mengilhamkan kepadanya petunjuk baginya dalam dien
itu.”
59 — Dari Abul Bakhtari: seorang tua
dari kabilah ‘Abs bercerita kepadaku, “Aku sengaja menemani Salman radhiyallahu
‘anhu. Aku ingin membantunya, belajar darinya dan melayaninya. Tetapi
ternyata aku tidak mengerjakan sesuatu pun melainkan beliau juga ikut
mengerjakannya. Kami kemudian sampai di sungai Dajlah. Saat itu airnya mengalir
dan meluap. Kami berujar, ‘Bagaimana kalau kita beri minum binatang tunggangan
kita?’ Maka kami pun memberi mereka minum. Tiba-tiba terpikir olehku untuk
minum dari air sungai itu, maka aku pun meminumnya. Tatkala kuangkat kepalaku,
beliau berkata, ‘Wahai saudara Bani ‘Abs, ulangi, minumlah sekali lagi.’ Maka
aku pun mengulangi minum sekali lagi. Aku turuti permintaannya karena aku tidak
mau menentangnya. Beliau kemudian berkata kepadaku, ‘Menurutmu, berapa banyak
(air) yang engkau kurangi (dari sungai ini)?’ Aku jawab, ‘Semoga Allah
merahmati Anda, rasa-rasanya minum saya tadi tidak menguranginya.’ Beliau
kemudian berkata, ‘Demikian pulalah ilmu, engkau mengambilnya tapi engkau tak
menguranginya. Karena itu, hendaknya engkau mengambil ilmu yang bermanfaat saja
bagimu.’”[26]
60 — Masruq berkata, “Saya duduk (untuk
belajar) kepada para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Mereka itu ibarat penimba air yang menyegarkan seorang pengendara, menyegarkan
dua pengendara, menyegarkan sepuluh pengendara, dan ada pula penimba air yang
seadainya seluruh penduduk bumi mampir kepada mereka niscaya dia mampu
memuaskan semuanya. Dan, ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhu termasuk diantara para penimba itu.”
61 — Dari Abu Wa’il: ‘Abdullah bin
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seandainya ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu
‘anhu diletakkan pada salah satu sisi daun timbangan dan pengetahuan
seluruh penduduk bumi diletakkan pada sisi lainnya, niscaya ilmu ‘Umar bin
al-Khaththab akan lebih berat.”
62 — Dari Ibrahim: ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu berkata, “Saya pikir ‘Umar radhiyallahu ‘anhu telah pergi
membawa sembilan persepuluh ilmu.”
63 — Mujahid menjelaskan makna ayat wa
athii’ullaaha wa athii’u ar-rasuula wa ulil amri minkum, beliau berkata,
“(Yang dimaksud ulil amri adalah) orang-orang yang mempunyai kefaqihan
(dalam agama) dan mempunyai ilmu.”[27]
64 — Al-A’masy berkata, “Aku dulu
mendengarkan hadits, kemudian aku sebutkan kepada Ibrahim, adakalanya beliau
memberitahuku hadits yang sama atau memberikan tambahan.”
65 — Dari Mas’ud bin Malik: al-Husain
bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu berkata kepadaku, “Dapatkah engkau
mempertemukan aku dengan Sa’id bin Jubair? Aku telah mengatakan beberapa hal
yang ingin aku tanyakan kepadanya. Sungguh, orang-orang menyanjung-nyanjung
kami dengan apa-apa yang tidak kami miliki.”
66 — Mujahid berkata, “Sesungguhnya
‘Umar radhiyallahu ‘anhu melarang menggunakan analogi (mukayalah).”[28]
67 — Al-Hasan berkata, “Sesungguhnya
kami mempunyai buku-buku yang selalu kami rawat dan perhatikan.”
68 — Masruq bercerita, “Kami duduk-duduk
di dekat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, sementara beliau
berbaring diantara kami dan kami dapat melihatnya. Kemudian seseorang
mendatanginya dan berkata, ‘Wahai Abu ‘Abdirrahman, ada seorang tukang cerita
di gerbang Kindah mengklaim bahwa ayat dukhaan — asap — datang kemudian
menyumbat pernafasan orang-orang kafir sementara orang-orang beriman bernafas
seperti orang yang sedang terserang flu (buntu hidungnya).’ Maka, ‘Abdullah
duduk dan berkata dengan marah, “Hai manusia, bertaqwalah kalian kepada Allah.
Barangsiapa diantara kalian yang mengetahui sesuatu maka hendaklah ia berkata
sesuai yang diketahuinya; dan barangsiapa yang tidak tahu maka katakanlah
‘Allah lebih mengetahui’ (Allahu a’lam), karena sesungguhnya Dia lebih
mengetahui. Seseorang dari kalian hendaknya mengatakan tentang apa yang tidak
diketahuinya ‘Allah lebih mengetahui’ (Allahu a’lam). Sebab, Allah U berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu
‘alaihi wasallam: “Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah
sedikitpun padamu atas dakwahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang
mengada-adakan.”[29]
69 — Saya mendengar Abu Ja’far
menuturkan sesuatu yang bersumber dari ar-Rabi’ bin Anas, beliau berkata, “Ada
tertulis dalam salah satu kitab terdahulu, ‘Wahai anak Adam, ajarkanlah (ilmu)
dengan tanpa memungut upah, sebagaimana Aku mengajarkannya (kepadamu) dengan
tanpa memungut upah.’”
70 — Mujahid berkata, “Para ulama’ telah
pergi, maka tiada lagi yang tersisa selain para ahli kalam (teolog). Dan, orang
yang bersungguh-sungguh diantara kalian (sekarang ini) hanyalah seperti orang
yang bermain-main saja di tengah-tengah generasi sebelum kalian.”
71 — Bilal bin Sa’ad berkata, “Orang ‘alim
diantara kalian (sebenarnya) jahil. Orang yang zuhud diantara
kalian (sebenarnya) sangat mengharapkan dunia (raghib). Dan, orang yang
ahli ibadah diantara kalian (sebenarnya) banyak bersikap sembrono.”
72 — ‘Alqamah berkata, “Lakukan saling
mengingatkan (mudzakarah) hadits, karena hidupnya hadits itu adalah
dengan mengingat-ingatnya.”[30]
73 — ‘Abdurrahman bin Abi Layla berkata,
“Menghidupkan hadits adalah dengan mudzakarah, maka lakukanlah itu.”
Saat itu ‘Abdullah bin Syaddad berkata, “Semoga Allah merahmati Anda, betapa
banyak hadits yang sudah Anda hidupkan kembali di dalam dada saya, padahal
sebelumnya ia telah lama mati.”
74 — Isma’il bin Raja’ berkata, “Dulu
kami pernah mengumpulkan anak-anak kecil dan kami sampaikan hadits kepada
mereka.”
-----
Bersambung, ke Bagian 2. Silakan klik disini
[1] Ribath adalah salah satu jenis lembaga
pendidikan masyarakat muslim klasik, mirip pesantren di Indonesia, lengkap
dengan sarana penginapan bagi pelajarnya. Secara harfiah, ribath artinya
“menjaga, bersiaga, mengawal”, sebab pada mulanya ia dibuka di sekitar garis
depan yang berbatasan dengan wilayah musuh; berfungsi sebagai lembaga
pendidikan bagi mujahidin di barak mereka. Seiring menetapnya perbatasan
dan stabilnya wilayah, barak-barak berubah menjadi pemukiman dan ribath
berkembang menjadi lembaga pendidikan yang lebih permanen.
[2] Nama “‘Abdullah” yang disebutkan
secara mutlak dalam kitab ini, juga mayoritas kitab hadits berikutnya, selalu
merujuk kepada ‘Abdullah bin Mas’ud, salah seorang sahabat terkenal. “Keluarlah
kamu di pagi hari” maksudnya bersegera beramal. “Orang yang diantara
mereka” maksudnya bukan pengajar dan bukan pula pelajar.
[3] Hadits shahih-marfu’. “Membuatnya
faqih” maksudnya mengajari, memberi pemahaman dan petunjuk kepada
kebenaran.
[4] Hadits shahih-marfu’.
[5] Hadits shahih-marfu’.
[6] “Faqih-kanlah diri kalian” artinya membekali diri
dengan ilmu. “Tampil menjadi pemimpin” artinya meraih kemuliaan dan
kedudukan terhormat di tengah-tengah masyarakat, atau menikah dan sibuk
bekerja.
[7] “Memeriksa diantara kami” maksudnya mencarikan
jalan keluar dan memutuskan perkara yang kami hadapi. “Makruh”, yakni
tidak disukai, dibenci, mendekati haram.
[8] Nama “Salman” dalam kitab ini, juga
mayoritas kitab hadits setelahnya, merujuk kepada Salman al-Farisi, seorang
sahabat terkenal. “Tidak diucapkan” maksudnya tidak diajarkan.
[9] Hadits shahih-marfu’. “Sikap
wara’” aslinya adalah menahan diri dari segala yang haram dan merasa
khawatir terjatuh ke dalamnya, kemudian istilah ini dipinjam untuk menyatakan
sikap menahan diri dan bersahaja dalam perkara yang halal dan mubah.
[10] Hadits shahih-marfu’.
[11] Mungkin, yang dimaksud “buruk bagiku”
adalah beratnya beban mengamalkan apa yang sudah disampaikan.
[12] Nama “al-Hasan” yang disebutkan
secara mutlak dalam kitab ini, juga mayoritas kitab hadits lainnya, merujuk
kepada al-Hasan al-Bashriy, seorang tabi’in terkenal. Dalam teks
aslinya, kata “lambat berpikir” berbunyi ‘iyyan, dari kata ‘ayiya-ya’yaa,
yang artinya lemah atau lambat, termasuk dalam berbicara dan mengungkapkan isi
pikiran. Disini maksudnya adalah tidak buru-buru menjawab serta menanggapi
segala persoalan sebelum berpikir masak-masak dan memeriksa masalahnya dengan
baik. Dengan kata lain, riwayat ini berbicara tentang ciri utama seorang faqih,
yakni sangat berhati-hati dalam berbicara dan memberi tanggapan.
[13] “Men-ta’alluf” maksudnya bersikap lemah lembut dan
akrab agar mereka suka mendengarkan haditsnya.
[14] “Diikuti orang” bisa bermakna diiringi secara fisik
ketika berjalan, atau diikuti tindakannya dan dijadikan tradisi baru setelah
itu. Makna pertama lebih mungkin.
[15] Hadits shahih.
[16] “Tetapi menetapkan...” maksudnya beliau berubah
pikiran dan justru menetapkan hal sebaliknya.
[17] Terjemah ayat: “jadikanlah kami imam
bagi orang-orang yang bertakwa,” merupakan potongan doa, bagian dari
sederetan sifat-sifat ‘ibaadurrahmaan (QS al-Furqan: 74).
[18] Terjemah ayat: “dan Dia menjadikan
aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada”, merupakan potongan
dari perkataan ‘Isa u ketika masih bayi (QS
Maryam: 31).
[19] “Tidak melepas pelana tunggangannya” maksudnya tidak turun
dari kendaraannya untuk beristirahat. Jika dilihat dari nama-nama perawi
haditsnya, yang dimaksud adalah perjalanan dari Baghdad di Iraq menuju salah
satu kota di Mesir. Bayangkan jauh dan sulitnya perjalanan ini, juga tekad luar biasa yang dimiliki pelakunya!
[20] “Menampak-nampakkan apa yang
dimilikinya”,
yakni pengetahuan.
[21] Terjemah ayat: “(yaitu) orang-orang
yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir”, yang memaparkan salah
satu sifat orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri (QS an-Nisaa’: 37).
[22] “Kubah” maksudnya tenda kecil yang bagian
atasnya membulat seperti kubah, atau bangunan bulat yang berongga bagian
dalamnya seperti kubah masjid yang biasa kita saksikan sekarang.
[23] Hadits shahih.
[24] “Cerdik” atau fathin dalam teks aslinya,
yakni cepat paham, cerdas, cerdik, dan pandai.
[25] Hadits shahih.
[26] Sungai Dajlah adalah sungai Tigris.
[27] Terjemah ayat: “Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.” (QS an-Nisa’: 59).
[28] Al-Mukayalah atau al-muqayasah, maksudnya: qiyas (analogi). Penjelasan
lebih lengkap tentang qiyas dan kontroversi penggunaannya, silakan
merujuk buku-buku ushul fiqh.
[29] QS Shaad: 86.
[30] Secara harfiah, mudzakarah
berarti ‘saling mengingatkan’, namun dalam praktik hal ini merujuk kepada
aktifitas beberapa orang pelajar untuk bersama-sama mendalami dan mengulang kembali
materi yang telah mereka peroleh dari seorang guru dengan tanpa bimbingan
langsung dari guru tersebut.