Terjemah "Kitabul 'Ilmi" karya Abu Khaytsamah - Bag. 1/2


Bismillahirrahmanirrahim

Tamhid
Kitab al-‘Ilmi karya Al-Hafizh Abu Khaytsamah kami alihbahasakan dan sajikan seperti aslinya, tanpa perubahan sistematika dan model penulisan, kecuali dalam hal sanad yang dipangkas. Satu-satunya sanad yang kami kutip utuh adalah rangkaian periwayatan kitab ini, sejak dari penulisnya sampai pemilik naskah manuskrip yang dijadikan pegangan editor edisi Arabnya. Dari tanggal yang tercatat dalam sanad ini dapat diketahui bahwa penyalinan terakhir terjadi tahun 614 H, sekitar 380 tahun setelah penulisnya wafat. Sebagaimana diketahui, Al-Hafizh Abu Khaytsamah sendiri wafat tahun 234 H.
Dalam sanad itu, setelah nama pengarang adalah rangkaian perawi berikutnya yang menyambungkannya kepada sumber asal berita yang dikutip, entah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sahabat atau lainnya. Sanad tersebut merupakan rangkaian perawi bagi riwayat pertama dalam kitab ini, yang dimulai dari Abu Khaytsamah sampai Abu ‘Ubaidah. Untuk setiap riwayat berikutnya terdapat sanad-nya masing-masing. Namun, kami buang hampir seluruhnya demi kepraktisan dan kesederhanaan, serta mencukupkannya dengan satu, dua atau tiga nama yang berada pada ujung rangkaian, terutama sahabat dan tabi’in.
Membaca kitab klasik seperti ini, dimana ia ditulis pada zaman dan metode yang berbeda dengan kita, diperlukan kesabaran dan konsentrasi tersendiri. Kami sarankan untuk membaca secara bertahap, dengan mengelompokkan beberapa riwayat yang memiliki tema senada dan menganalisisnya, karena pada dasarnya ia diurutkan untuk mengemukakan gagasan tertentu. Jangan membaca riwayat-riwayat dalam buku ini secara utuh tanpa mengelompokkan tema-tema di dalam rangkaian riwayatnya, karena bisa membuat Anda bingung dan tidak mengerti apa maksud penulis yang sebenarnya. Begitulah kitab klasik disusun.
Berikut adalah terjemahan yang kami maksudkan, di dahului dengan biografi ringkas penyusunnya yang kami kutip dari Tahdzibu at-Tahdzib, III/296, no. 637.
Nama lengkap beliau adalah Zuhair bin Harb bin Syaddad al-Hurasyi Abu Khaytsamah an-Nasa’i, bekas budak Bani Huraisy bin Ka’ab. Nama kakeknya semula adalah Asytal, yang kemudian di-Arab-kan menjadi Syaddad. Belakangan beliau pindah dan bermukim di Baghdad.
Beliau mengambil riwayat dari ‘Abdullah bin Idris, Ibnu ‘Uyainah, Hafsh bin Ghiyats, Humaid bin ‘Abdurrahman ar-Rawasi, Juraij bin ‘Abdul Hamid, Ibnu ‘Aliyyah, ‘Abdullah bin Numair, ‘Abdurrazzaq, ‘Abdah bin Sulaiman, ‘Umar bin Yunus al-Yamami, Marwan bin Mu’awiyah, Mu’adz bin Hisyam, Husyaim, al-Qaththan, Abu an-Nadhr, dan beberapa orang lainnya.
Yang mendengar riwayat darinya adalah al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah; an-Nasa’i juga meriwayatkan darinya dengan perantaraan Ahmad bin ‘Ali bin Sa’id al-Marwazi; kemudian anaknya sendiri Abu Bakr bin Abi Khaytsamah, Abu Zur’ah, Abu Hatim, Baqiy bin Makhlad, Ibrahim al-Harbi, Musa bin Harun, Ibnu Abi ad-Dunya, Ya’qub bin Syaibah, Abu Ya’la al-Maushili dan sekelompok orang lainnya.
Mu’awiyah bin Shalih meriwayatkan dari Ibnu Ma’in, “Beliau tsiqah.” ‘Ali bin al-Junaid juga meriwayatkan dari Ibnu Ma’in, “Beliau (nilainya) setara dengan satu kabilah.” Menurut Abu Hatim, “Beliau shaduuq.” Menurut Ya’qub bin Syaibah, “Zuhair lebih kuat hafalannya (atsbat) dibanding ‘Abdullah bin Abi Syaibah. Sebab, ‘Abdullah agak kurang cermat (tahaawun) terhadap hadits, dia tidak memilah diantara lafazh-lafazhnya.”
Abu Ja’far al-Firyabi berkata, “Saya pernah bertanya kepada Ibnu Numair, ‘Siapa diantara dua orang ini – Abu Khaytsamah dan Ibnu Abi Syaibah – yang paling Anda sukai?’ Beliau menjawab, ‘Abu Khaytsamah.’ Beliau pun memuji-muji Abu Khaytsamah secara berlebihan dan merendahkan Abu Bakr (Ibnu Abi Syaibah).”
Al-Ajurri pernah berkata kepada Abu Dawud, “Abu Khaytsamah adalah seorang hujjah diantara para perawi hadits.” Maka Abu Dawud menimpali, “Alangkah bagus ilmu yang beliau miliki.” Imam an-Nasai berkata, “Beliau tsiqah ma’mun.” Al-Husain bin Fahm berkata, “Beliau tsiqah tsabat.” Abu Bakr al-Khathib berkata, “Beliau tsiqah, tsabat, hafizh dan mutqin.”
Muhammad bin ‘Abdullah al-Hadhrami dan lain-lain berkata, “Beliau wafat tahun 234 H.” Putranya, Abu Bakr, berkata, “Ayah saya dilahirkan tahun 160 H, dan wafat pada malam Kamis pada tanggal 7 Sya’ban dalam usia 74 tahun.” Al-Khathib pernah menceritakan bahwa Abu Ghalib ‘Ali bin Ahmad an-Nashr menyatakan bahwa Abu Khaytsamah wafat tahun 232 H, tetapi menurutnya hal ini tidak tepat. Yang benar, beliau wafat tahun 234 H.
Abul Qasim al-Baghawi berkata, “Saya mencatat hadits dari beliau.” Ibnu Qaani’ berkata, “Beliau tsiqah tsabat.” Penulis kitab az-Zuhrah (Abu Bakr Muhammad bin Dawud bin ‘Ali bin Khalaf al-Ashbahani, w. 296 H) berkata, “Imam Muslim meriwayatkan 1.281 hadits dari beliau.” Dalam al-Jarh wat-Ta’dil, Ibnu Abi Hatim berkata, “Ayah saya pernah ditanya tentang beliau, dan dijawabnya, ‘Beliau tsiqah shaduuq.’” Ibnu Wadhdhah berkata, “Beliau merupakan salah satu dari para ulama’ tsiqah yang sempat saya jumpai di Baghdad.” Dalam kitab at-Tsiqaat, Ibnu Hibban berkata, “Beliau tsiqat dhabith, termasuk ulama’ yang seangkatan dengan Ahmad (bin Hanbal) dan Yahya bin Ma’in.”


Kitabul ‘Ilmi
Karya: Al-Hafizh Abu Khaytsamah Zuhair bin Harb an-Nasa’i

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Tiada yang memberi petunjuk diriku selain Allah.
[Sanad] Asy-syaikh, al-imam, al-’alim, az-zahid, ‘izzuddin Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Abdul Karim al-Jazari – semoga Allah mengokohkannya – memberitakan khabar kepada kami (akhbarana), pada bulan Ramadhan tahun 614 H, bertempat di Maushil, di dalam ribath[1] milik saudaranya, beliau berkata: asy-syaikh, al-imam, al-’alim, majduddin, Abul Faraj Yahya bin Mahmud bin Sa’ad al-Ashfahani memberitakan khabar kepada kami, beliau berkata: asy-syaikh, al-imam, Abu al-Fath Isma’il bin al-Fadhl bin Ahmad bin al-Ikhsyid as-Sarraj memberitakan khabar kepada kami, pada tahun 518 H dan 522 H, beliau berkata: asy-syaikh Abu Thahir Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdurrahim memberitakan khabar kepada kami, beliau berkata: Abu Hafsh ‘Umar bin Ibrahim bin Ahmad al-Kattani al-muqri’ memberitakan khabar kepada kami: Abul Qasim ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdul ‘Aziz al-Baghawi memberitahu kami: Abu Khaytsamah Zuhair bin Harb – pengarang kitab ini – menyampaikan hadits kepada kami (haddatsana): Waki’ menyampaikan hadits kepada kami: al-A’masy menyampaikan hadits kepada kami: bersumber dari (‘an) Tamim bin Salamah: bersumber dari Abu ‘Ubaidah: .....

1 — Dari Abu ‘Ubaidah: ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Keluarlah kamu di pagi hari sebagai pengajar (‘alim) atau pelajar (muta’allim), dan jangan menjadi orang yang diantara mereka.”[2]
2 — ‘Aun bin ‘Abdillah berkata: saya mengatakan kepada ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, “Ada yang berkata begini: jika kamu bisa menjadi pengajar, maka jadilah pengajar. Jika tidak bisa, jadilah pelajar. Jika kamu tidak bisa menjadi pelajar, maka cintailah mereka. Jika kamu tidak bisa mencintai mereka, maka jangan membenci mereka.” Maka, ‘Umar pun berkata, “Subhanallah, dia telah memberi jalan keluar (untuk masalah ini).”
3 — Dari Abu ‘Ubaidah: Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan baginya, maka Dia akan membuatnya faqih dalam dien-nya.”[3]
4 — Dari Abu ‘Ubaidah: Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai manusia, belajarlah kalian; dan barangsiapa yang sudah mengetahui, maka hendaknya dia beramal.”
5 — Zirr bin Hubaisy berkata: saya mendatangi Shafwan bin ‘Assal al-Muradiy radhiyallahu ‘anhu, maka beliau bertanya, “Apa keperluanmu?” Saya jawab, “Mencari ilmu.” Maka, beliau menanggapi, “Sesungguhnya para malaikat membentangkan sayap-sayap mereka untuk pencari ilmu, karena ridha kepada apa yang dicarinya itu.”[4]
6 — Dari Sa’id bin Jubair: Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya orang yang mengajari orang lain suatu kebaikan, maka segenap makhluk melata (di muka bumi) memintakan ampun untuknya, demikian pula ikan-ikan di lautan.”[5]
7 — Dari ‘Abdul ‘Aziz bin Zhubyan: al-Masih putra Maryam u berkata, “Barangsiapa yang belajar dan mengamalkannya, maka dia dianggap sebagai seorang pembesar di kerajaan langit.”
8 — Dari Syaqiq: Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Belajarlah kalian, sebab seseorang dari kalian tentu tidak mengerti kapan orang lain akan membutuhkan apa yang diketahuinya itu.”
9 — Dari al-Ahnaf: ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Faqih-kanlah diri kalian, sebelum kalian kelak tampil menjadi pemimpin.”[6]
10 — Dari al-A’masy: dari Syaqiq: Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah, sungguh orang yang memberi fatwa terhadap segala persoalan yang ditanyakan kepadanya pastilah dia itu gila (majnun).”
Al-A’masy berkata, “Syaqiq kemudian berkata kepadaku, ‘(Maksudnya fatwa dalam masalah) hukum.’ Seandainya aku mendengar hadits ini darimu sebelum hari ini, pasti aku tidak berfatwa dalam banyak hal yang telah aku fatwakan.”
11 — ‘Abdurrahman bin Bisyr al-Azraq berkisah: ada dua orang datang dari arah Kindah sementara Abu Mas’ud al-Anshari radhiyallahu ‘anhu tengah duduk dalam suatu halaqah. Salah seorang dari keduanya berkata, “Adakah orang yang memeriksa diantara kami?” Seseorang dalam halaqah itu spontan menjawab, “Saya!” Maka, Abu Mas’ud pun meraup segenggam kerikil dan melemparkannya ke arah orang itu, seraya berkata, “Sungguh, makruh untuk terburu-buru dalam suatu masalah hukum.”[7]
12 — Dari Hushain bin ‘Uqbah: Salman radhiyallahu ‘anhu berkata, “Suatu ilmu yang tidak diucapkan adalah sama dengan simpanan harta yang tidak dibelanjakan.”[8]
13 — Al-A’masy berkata: telah sampai berita kepadaku dari Mutharrif bin ‘Abdillah bin asy-Syikhkhir, bahwa beliau berkata, “Keutamaan ilmu itu lebih aku sukai dibanding keutamaan ibadah, dan sebaik-baik bagian dari dien kalian adalah sikap wara’.”[9]
14 — Dari Salim: Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Cukuplah ilmu seseorang itu bila ia takut kepada Allah U, dan cukuplah ia berdusta bila berkata astaghfirullah (ya Allah, ampunilah aku) kemudian ia mengulangi lagi (perbuatannya).”
15 — Masruq berkata, “Cukuplah ilmu seseorang itu bila ia takut kepada Allah U, dan cukuplah kejahilannya apabila ia ‘ujub dengan ilmunya.”
16 — Abu Khalid asy-Syaikh, salah seorang sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, berkata, “Suatu ketika kami berada di masjid, ketika Khabbab bin Aratt radhiyallahu ‘anhu datang, duduk dan diam saja. Orang-orang kemudian berkata kepada beliau, ‘sahabat-sahabat Anda telah berkumpul agar Anda menyampaikan hadits atau memerintahkan sesuatu kepada mereka.’ Beliau pun menjawab, ‘Dengan apa aku harus memerintahkan mereka? Sangat boleh jadi aku memerintahkan sesuatu kepada mereka sedang aku sendiri tidak mengerjakannya.’”
17 — ‘Antarah memberitahu kami: Saya mendengar Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidak seorang pun yang menempuh suatu jalan dimana ia menutut ilmu di dalamnya, kecuali dengan itu Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.”[10]
18 — Ma’an bin ‘Abdirrahman berkata, “Jika engkau bisa menjadi penyampai hadits (muhaddits), maka lakukanlah.”
19 — Yahya bin Ja’dah berkata, “Orang-orang sering mendatangi Salman radhiyallahu ‘anhu dan mendengarkan hadits, maka beliau pun berujar, ‘Ini baik bagi kalian, tetapi buruk bagiku.’”[11]
20 — Al-Hasan berkata, “Apabila seseorang duduk bersama suatu kaum kemudian mereka menilai dia sebagai lambat berpikir, padahal sebenarnya tidak demikian, maka sungguh dia adalah seorang faqih lagi muslim.”[12]
21 — ‘Abdurrahman bin Abi Layla berkata, “Saya pernah menemui 120 orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari kalangan Anshar. Tidak seorang pun dari mereka yang ditanyakan kepadanya suatu masalah kecuali ia sangat berharap agar saudaranya saja yang menjawab. Begitu pula, tidak seorang pun dari mereka yang menghadapi suatu perkara (baru) kecuali ia sangat berharap agar saudaranya saja yang menyelesaikannya.”
22 — Az-Zuhri berkata, “‘Urwah suka men-ta’alluf orang-orang terhadap hadits-haditsnya.”[13]
23 — ‘Amr berkata, “Pada saat beliau – maksudnya, ‘Urwah – datang ke kota Makkah, maka beliau berkata, ‘Datanglah kalian kepadaku, dan ambillah riwayat dariku.’”
24 — ‘Abdurrahman bin Yazid berkata, “Pernah ditanyakan kepada ‘Alqamah: ‘Mengapa Anda tidak mau duduk di masjid, kemudian orang-orang dikumpulkan, Anda dijadikan tempat bertanya dan kami pun duduk bersama Anda, sebab sungguh (yang dijadikan tempat bertanya) sekarang adalah orang yang lebih rendah dari Anda?’ Maka beliau menjawab, ‘Saya tidak suka jika diikuti orang-orang, lalu dikatakan: ‘Ini ‘Alqamah, ini ‘Alqamah.’”[14]
25 — Dari Abu Shalih: dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dimana ia mencari ilmu di dalamnya, maka dengan itu Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Dan barangsiapa yang lambat dan kurang dalam amalnya, maka nasabnya tidak akan menolongnya (di akhirat).”[15]
26 — Yahya bin Ja’dah bercerita, “‘Umar radhiyallahu ‘anhu pernah ingin untuk mencatat sunnah, tetapi menetapkan bahwasanya siapa saja yang mempunyai catatan semacam itu supaya menghapusnya.”[16]
27 — Thawus bercerita, “Suatu saat ada seseorang mengirim surat kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu untuk menanyakan suatu masalah, maka beliau berkata kepada orang yang membawa surat itu, ‘Katakan kepada temanmu itu, bahwa jawaban pertanyaannya adalah begini begitu, sebab sesungguhnya kami tidak menuliskan apapun diatas lembaran kertas selain surat-surat dan Al-Qur’an.’”
28 — Asy-Sya’bi berkata, “Aku tidak pernah menulis diatas kertas atau mendengar suatu hadits dari seseorang, kemudian aku meminta agar dia mengulanginya untukku.”
29 — Mujahid (membaca ayat) waj’alnaa lil muttaqiina imaamaa, maka beliau berkata, “(Maksudnya) jadikanlah kami bermakmum dan meneladani mereka (orang-orang yang bertaqwa), sehingga orang-orang yang datang setelah kami dapat meneladani kami.”[17]
30 — Mujahid (membaca ayat) waja’alanii mubaarakan aynamaa kuntu, maka beliau berkata, “(Maksudnya) menjadikan aku sebagai orang yang mengajarkan kebaikan.”[18]
31 — Al-Mughirah bercerita, “Pernah ditanyakan kepada Sa’id bin Jubair, ‘Apakah Anda mengetahui ada orang yang lebih berilmu dari Anda?’ Beliau menjawab, ‘Ya, (dia adalah) ‘Ikrimah.’ Ketika Sa’id bin Jubair terbunuh, maka Ibrahim (an-Nakha’i) berkata, ‘Tidak ada lagi orang yang seperti beliau setelahnya.’ Pada saat berita wafatnya Ibrahim sampai kepada asy-Sya’bi, ‘Malang sekali dia.’ Orang-orang bertanya kepadanya, ‘Benarkah?’ Beliau menanggapi, ‘Seandainya aku katakan ‘kacau sudah ilmu’ (maka hal itu pun pantas). Tidak ada lagi orang seperti beliau setelahnya. Herannya, beliau melebihkan Ibnu Jubair atas dirinya sendiri. Aku jelaskan kepada kalian tentang hal ini. Sesungguhnya beliau (Ibrahim) dibesarkan di tengah-tengah keluarga ahli fiqh sehingga beliau dapat mempelajari fiqh mereka, kemudian beliau belajar kepada kami (ahli hadits) sehingga beliau mengambil hadits-hadits kami yang paling baik untuk (disatukan dengan) fiqh dari keluarganya, maka adakah orang yang seperti beliau?”
32 — Ayyub ath-Tha’iy berkata: aku mendengar asy-Sya’bi berkata, “Saya tidak melihat ada orang yang lebih (giat) mencari ilmu dari seluruh penjuru dunia dibanding Masruq.”
33 — Jarir bin Hayyan bercerita, “Ada seseorang yang melakukan perjalanan ke Mesir karena hadits ini, dan dia tidak melepas pelana tunggangannya sampai dia pulang kembali ke rumahnya: ‘Barangsiapa yang menutupi (aib) saudaranya di dunia ini maka Allah akan menutup (aibnya) di akhirat kelak.’”[19]
34 — Ibnu Juraij berkata, “Nafi’ mendiktekan kepada saya.”
35 — Warrad – sekretaris al-Mughirah radhiyallahu ‘anhu – berkata, “Al-Mughirah mendiktekan kepada saya, dan saya menuliskannya dengan tangan saya sendiri.”
36 — Al-A’masy bercerita, “Ibrahim menyebutkan suatu kewajiban (faridhah) atau hadits, kemudian berkata, ‘Ingat-ingatlah ini, bisa jadi engkau akan ditanyai tentangnya suatu saat nanti.’”
37 — Ibrahim berkata, “Mereka – generasi sebelum kami – tidak menyukai apabila seseorang menampak-nampakkan apa yang dimilikinya.”[20]
38 — ‘Atstsam bin ‘Ali al-’Amiri menceritakan: saya mendengar asy-Sya’bi berkata, “Aku tidak pernah mendengar Ibrahim menyatakan hukum sesuatu hanya berdasar ra’yu (rasio) semata.”
39 — Sa’id bin Jubair (membaca ayat) yabkhaluuna wa ya’muruuna an-naasa bil-bukhli, maka beliau berkata, “Ini (maksudnya) bakhil dari dimintai ilmu.”[21]
40 — Laits berkata, “Dulu, Abul ‘Aliyah itu, jika ada empat orang yang duduk – hendak mendengarkannya – maka beliau berdiri (meninggalkan majlis).”
41 — ‘Abdullah bin al-’Ala’ berkata: saya mendengar Mak-huul berkata, “Saya dulunya seorang budak milik ‘Amr bin Sa’id al-’Ashiy atau Sa’id bin al-’Ash. Beliau kemudian menghibahkan saya kepada seseorang dari Bani Hudzail di Mesir. Beliau telah memberikan kebaikan kepada saya dengan (tindakannya) menghibahkan saya itu. Maka, saya tidak keluar meninggalkan Mesir kecuali saya yakin bahwa di dalamnya sudah tidak ada lagi ilmu yang belum pernah saya dengar. Saya kemudian memasuki Madinah, dan tidak keluar meninggalkannya kecuali telah yakin bahwa di dalamnya sudah tidak ada lagi ilmu yang belum pernah saya dengar. Lalu, saya bertemu dengan asy-Sya’bi, maka sungguh saya tidak melihat ada lagi yang sehebat beliau, semoga Allah merahmatinya.”
42 — Tamim bin ‘Athiyyah al-’Ansiy berkata: saya mendengar Mak-huul berkata, “Saya mengikuti Syuraih selama berbulan-bulan, dan tidak pernah menanyakan sesuatu pun kepadanya. Saya cukup mendengarkan dia memutuskan perkara.”
43 — Mak-huul berkata, “Pada suatu malam beberapa orang saling berjanji untuk mendatangi salah satu kubah milik Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu. Mereka pun berkumpul disitu, dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu kemudian bangkit berdiri di tengah-tengah mereka untuk menyampaikan kepada mereka hadits-hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sampai pagi menjelang.”[22]
44 — Mak-huul berkata, “Jika duduk dan bergaul dengan orang lain tidak mendatangkan kebaikan, maka menyendiri (‘uzlah) itu lebih selamat.”
45 — Abu Kabsyah menceritakan: sesungguhnya ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu menceritakan kepadanya: bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sampaikanlah dariku meskipun hanya satu ayat. Ambillah riwayat dari Bani Israil dan tidak ada dosa atas kalian. Dan barangsiapa yang berdusta atas namaku maka hendaklah ia mengambil tempatnya di neraka.”[23]
46 — Masruq berkata, “Cukuplah ilmu seseorang itu bila ia takut kepada Allah U, dan cukuplah kejahilannya apabila ia ‘ujub dengan ilmunya.”
47 — Ibrahim berkata, “‘Abdullah radhiyallahu ‘anhu adalah sosok yang lembut lagi cerdik.”[24]
48 — Dari Masruq: ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Andai saja Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu mendapati zaman kami, niscaya tidak ada seorang pun dari kami yang mencapai sepersepuluh (dari ilmunya).”
49 — Masruq berkata: beliau (Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu) pernah berkata, “Sebaik-baik penafsir Al-Qur’an (tarjumaan Al-Qur’an) adalah Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu.”
50 — Dari Masruq: ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sungguh termasuk bagian dari ilmu adalah jika orang yang tidak mengetahui (tentang suatu masalah) berkata: wallahu a’lam (Allah lebih mengetahui).”
51 — Masruq berkata, “Tidak ada satu masalah pun yang kami tanyakan kepada para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melainkan ilmu tentangnya (sudah ada) di dalam Al-Qur’an, hanya saja pengetahuan kami terhadapnya sangat terbatas.”
52 — Dari Salim bin Abil Ja’di: Abu ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu berkata, “Orang yang mengajarkan kebaikan dan yang belajar (darinya) pahalanya sama, sementara orang-orang selain mereka tidak mendapatkan kebaikan apapun.”
53 — Dari Salim bin Abil Ja’di: Ibnu Labid berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan sesuatu, dan kemudian bersabda, ‘Hal itu terjadi pada masa hilangnya ilmu.’ Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin ilmu itu bisa hilang padahal kami membaca Al-Qur’an, kami membacakannya kepada anak-anak kami dan mereka pun membacakannya kepada anak-anak mereka?’ Beliau menjawab, ‘Kasihan sekali ibumu, hai Ibnu Umm Labid. Bukankah kaum Yahudi dan Nasrani masih membaca Taurat dan Injil tetapi tidak memperoleh manfaat apapun darinya?’”[25]
54 — Dari Qabus: dari ayahnya: Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tahukah kalian apa yang dimaksud dengan hilangnya ilmu dari muka bumi?” Kami menjawab, “Tidak.” Beliau pun melanjutkan, “(Yakni) hilangnya para ulama’.”
55 — Dari Ibrahim: ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ikutilah (ittiba’) dan janganlah membuat-buat bid’ah, sungguh telah cukup (agama ini) bagi kalian, dan semua bid’ah itu sesat.”
56 — Qabus berkata, “Aku bertanya kepada ayah, ‘Mengapa engkau mendatangi ‘Alqamah dan meninggalkan para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam?’ Maka beliau menjawab, ‘Anakku, sesungguhnya para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pun bertanya kepadanya.’”
57 — ‘Umarah bin al-Qa’qa’ berkata, “Ibrahim berkata kepadaku, ‘Beritakan suatu hadits kepadaku (yang bersumber) dari Abu Zur’ah, karena sesungguhnya aku bertanya kepadanya tentang suatu hadits dan aku tanyakan kembali kepadanya dua tahun kemudian, ternyata tidak berkurang satu huruf pun.’”
58 — ‘Ubaid bin ‘Umair berkata, “Barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan baginya, maka Dia akan membuatnya faqih dalam dien-nya, dan mengilhamkan kepadanya petunjuk baginya dalam dien itu.”
59 — Dari Abul Bakhtari: seorang tua dari kabilah ‘Abs bercerita kepadaku, “Aku sengaja menemani Salman radhiyallahu ‘anhu. Aku ingin membantunya, belajar darinya dan melayaninya. Tetapi ternyata aku tidak mengerjakan sesuatu pun melainkan beliau juga ikut mengerjakannya. Kami kemudian sampai di sungai Dajlah. Saat itu airnya mengalir dan meluap. Kami berujar, ‘Bagaimana kalau kita beri minum binatang tunggangan kita?’ Maka kami pun memberi mereka minum. Tiba-tiba terpikir olehku untuk minum dari air sungai itu, maka aku pun meminumnya. Tatkala kuangkat kepalaku, beliau berkata, ‘Wahai saudara Bani ‘Abs, ulangi, minumlah sekali lagi.’ Maka aku pun mengulangi minum sekali lagi. Aku turuti permintaannya karena aku tidak mau menentangnya. Beliau kemudian berkata kepadaku, ‘Menurutmu, berapa banyak (air) yang engkau kurangi (dari sungai ini)?’ Aku jawab, ‘Semoga Allah merahmati Anda, rasa-rasanya minum saya tadi tidak menguranginya.’ Beliau kemudian berkata, ‘Demikian pulalah ilmu, engkau mengambilnya tapi engkau tak menguranginya. Karena itu, hendaknya engkau mengambil ilmu yang bermanfaat saja bagimu.’”[26]
60 — Masruq berkata, “Saya duduk (untuk belajar) kepada para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka itu ibarat penimba air yang menyegarkan seorang pengendara, menyegarkan dua pengendara, menyegarkan sepuluh pengendara, dan ada pula penimba air yang seadainya seluruh penduduk bumi mampir kepada mereka niscaya dia mampu memuaskan semuanya. Dan, ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhu  termasuk diantara para penimba itu.”
61 — Dari Abu Wa’il: ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seandainya ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu diletakkan pada salah satu sisi daun timbangan dan pengetahuan seluruh penduduk bumi diletakkan pada sisi lainnya, niscaya ilmu ‘Umar bin al-Khaththab akan lebih berat.”
62 — Dari Ibrahim: ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya pikir ‘Umar radhiyallahu ‘anhu telah pergi membawa sembilan persepuluh ilmu.”
63 — Mujahid menjelaskan makna ayat wa athii’ullaaha wa athii’u ar-rasuula wa ulil amri minkum, beliau berkata, “(Yang dimaksud ulil amri adalah) orang-orang yang mempunyai kefaqihan (dalam agama) dan mempunyai ilmu.”[27]
64 — Al-A’masy berkata, “Aku dulu mendengarkan hadits, kemudian aku sebutkan kepada Ibrahim, adakalanya beliau memberitahuku hadits yang sama atau memberikan tambahan.”
65 — Dari Mas’ud bin Malik: al-Husain bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu berkata kepadaku, “Dapatkah engkau mempertemukan aku dengan Sa’id bin Jubair? Aku telah mengatakan beberapa hal yang ingin aku tanyakan kepadanya. Sungguh, orang-orang menyanjung-nyanjung kami dengan apa-apa yang tidak kami miliki.”
66 — Mujahid berkata, “Sesungguhnya ‘Umar radhiyallahu ‘anhu melarang menggunakan analogi (mukayalah).”[28]
67 — Al-Hasan berkata, “Sesungguhnya kami mempunyai buku-buku yang selalu kami rawat dan perhatikan.”
68 — Masruq bercerita, “Kami duduk-duduk di dekat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, sementara beliau berbaring diantara kami dan kami dapat melihatnya. Kemudian seseorang mendatanginya dan berkata, ‘Wahai Abu ‘Abdirrahman, ada seorang tukang cerita di gerbang Kindah mengklaim bahwa ayat dukhaan — asap — datang kemudian menyumbat pernafasan orang-orang kafir sementara orang-orang beriman bernafas seperti orang yang sedang terserang flu (buntu hidungnya).’ Maka, ‘Abdullah duduk dan berkata dengan marah, “Hai manusia, bertaqwalah kalian kepada Allah. Barangsiapa diantara kalian yang mengetahui sesuatu maka hendaklah ia berkata sesuai yang diketahuinya; dan barangsiapa yang tidak tahu maka katakanlah ‘Allah lebih mengetahui’ (Allahu a’lam), karena sesungguhnya Dia lebih mengetahui. Seseorang dari kalian hendaknya mengatakan tentang apa yang tidak diketahuinya ‘Allah lebih mengetahui’ (Allahu a’lam). Sebab, Allah U berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam: “Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas dakwahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.”[29]
69 — Saya mendengar Abu Ja’far menuturkan sesuatu yang bersumber dari ar-Rabi’ bin Anas, beliau berkata, “Ada tertulis dalam salah satu kitab terdahulu, ‘Wahai anak Adam, ajarkanlah (ilmu) dengan tanpa memungut upah, sebagaimana Aku mengajarkannya (kepadamu) dengan tanpa memungut upah.’”
70 — Mujahid berkata, “Para ulama’ telah pergi, maka tiada lagi yang tersisa selain para ahli kalam (teolog). Dan, orang yang bersungguh-sungguh diantara kalian (sekarang ini) hanyalah seperti orang yang bermain-main saja di tengah-tengah generasi sebelum kalian.”
71 — Bilal bin Sa’ad berkata, “Orang ‘alim diantara kalian (sebenarnya) jahil. Orang yang zuhud diantara kalian (sebenarnya) sangat mengharapkan dunia (raghib). Dan, orang yang ahli ibadah diantara kalian (sebenarnya) banyak bersikap sembrono.”
72 — ‘Alqamah berkata, “Lakukan saling mengingatkan (mudzakarah) hadits, karena hidupnya hadits itu adalah dengan mengingat-ingatnya.”[30]
73 — ‘Abdurrahman bin Abi Layla berkata, “Menghidupkan hadits adalah dengan mudzakarah, maka lakukanlah itu.” Saat itu ‘Abdullah bin Syaddad berkata, “Semoga Allah merahmati Anda, betapa banyak hadits yang sudah Anda hidupkan kembali di dalam dada saya, padahal sebelumnya ia telah lama mati.”
74 — Isma’il bin Raja’ berkata, “Dulu kami pernah mengumpulkan anak-anak kecil dan kami sampaikan hadits kepada mereka.”

-----
Bersambung, ke Bagian 2. Silakan klik disini





[1] Ribath adalah salah satu jenis lembaga pendidikan masyarakat muslim klasik, mirip pesantren di Indonesia, lengkap dengan sarana penginapan bagi pelajarnya. Secara harfiah, ribath artinya “menjaga, bersiaga, mengawal”, sebab pada mulanya ia dibuka di sekitar garis depan yang berbatasan dengan wilayah musuh; berfungsi sebagai lembaga pendidikan bagi mujahidin di barak mereka. Seiring menetapnya perbatasan dan stabilnya wilayah, barak-barak berubah menjadi pemukiman dan ribath berkembang menjadi lembaga pendidikan yang lebih permanen.
[2] Nama “‘Abdullah” yang disebutkan secara mutlak dalam kitab ini, juga mayoritas kitab hadits berikutnya, selalu merujuk kepada ‘Abdullah bin Mas’ud, salah seorang sahabat terkenal. “Keluarlah kamu di pagi hari” maksudnya bersegera beramal. “Orang yang diantara mereka” maksudnya bukan pengajar dan bukan pula pelajar.
[3] Hadits shahih-marfu’. “Membuatnya faqih” maksudnya mengajari, memberi pemahaman dan petunjuk kepada kebenaran.
[4] Hadits shahih-marfu’.
[5] Hadits shahih-marfu’.
[6] “Faqih-kanlah diri kalian” artinya membekali diri dengan ilmu. “Tampil menjadi pemimpin” artinya meraih kemuliaan dan kedudukan terhormat di tengah-tengah masyarakat, atau menikah dan sibuk bekerja.
[7] “Memeriksa diantara kami” maksudnya mencarikan jalan keluar dan memutuskan perkara yang kami hadapi. “Makruh”, yakni tidak disukai, dibenci, mendekati haram.
[8] Nama “Salman” dalam kitab ini, juga mayoritas kitab hadits setelahnya, merujuk kepada Salman al-Farisi, seorang sahabat terkenal. “Tidak diucapkan” maksudnya tidak diajarkan.
[9] Hadits shahih-marfu’. “Sikap wara’” aslinya adalah menahan diri dari segala yang haram dan merasa khawatir terjatuh ke dalamnya, kemudian istilah ini dipinjam untuk menyatakan sikap menahan diri dan bersahaja dalam perkara yang halal dan mubah.
[10] Hadits shahih-marfu’.
[11] Mungkin, yang dimaksud “buruk bagiku” adalah beratnya beban mengamalkan apa yang sudah disampaikan.
[12] Nama “al-Hasan” yang disebutkan secara mutlak dalam kitab ini, juga mayoritas kitab hadits lainnya, merujuk kepada al-Hasan al-Bashriy, seorang tabi’in terkenal. Dalam teks aslinya, kata “lambat berpikir” berbunyi ‘iyyan, dari kata ‘ayiya-ya’yaa, yang artinya lemah atau lambat, termasuk dalam berbicara dan mengungkapkan isi pikiran. Disini maksudnya adalah tidak buru-buru menjawab serta menanggapi segala persoalan sebelum berpikir masak-masak dan memeriksa masalahnya dengan baik. Dengan kata lain, riwayat ini berbicara tentang ciri utama seorang faqih, yakni sangat berhati-hati dalam berbicara dan memberi tanggapan.
[13] “Men-ta’alluf” maksudnya bersikap lemah lembut dan akrab agar mereka suka mendengarkan haditsnya.
[14] “Diikuti orang” bisa bermakna diiringi secara fisik ketika berjalan, atau diikuti tindakannya dan dijadikan tradisi baru setelah itu. Makna pertama lebih mungkin.
[15] Hadits shahih.
[16] “Tetapi menetapkan...” maksudnya beliau berubah pikiran dan justru menetapkan hal sebaliknya.
[17] Terjemah ayat: “jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa,” merupakan potongan doa, bagian dari sederetan sifat-sifat ‘ibaadurrahmaan (QS al-Furqan: 74).
[18] Terjemah ayat: “dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada”, merupakan potongan dari perkataan ‘Isa u ketika masih bayi (QS Maryam: 31).
[19] “Tidak melepas pelana tunggangannya” maksudnya tidak turun dari kendaraannya untuk beristirahat. Jika dilihat dari nama-nama perawi haditsnya, yang dimaksud adalah perjalanan dari Baghdad di Iraq menuju salah satu kota di Mesir. Bayangkan jauh dan sulitnya perjalanan ini, juga tekad luar biasa yang dimiliki pelakunya!
[20] “Menampak-nampakkan apa yang dimilikinya”, yakni pengetahuan.
[21] Terjemah ayat: “(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir”, yang memaparkan salah satu sifat orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri (QS an-Nisaa’: 37).
[22] “Kubah” maksudnya tenda kecil yang bagian atasnya membulat seperti kubah, atau bangunan bulat yang berongga bagian dalamnya seperti kubah masjid yang biasa kita saksikan sekarang.
[23] Hadits shahih.
[24] “Cerdik” atau fathin dalam teks aslinya, yakni cepat paham, cerdas, cerdik, dan pandai.
[25] Hadits shahih.
[26] Sungai Dajlah adalah sungai Tigris.
[27] Terjemah ayat: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS an-Nisa’: 59).
[28] Al-Mukayalah atau al-muqayasah, maksudnya: qiyas (analogi). Penjelasan lebih lengkap tentang qiyas dan kontroversi penggunaannya, silakan merujuk buku-buku ushul fiqh.
[29] QS Shaad: 86.
[30] Secara harfiah, mudzakarah berarti ‘saling mengingatkan’, namun dalam praktik hal ini merujuk kepada aktifitas beberapa orang pelajar untuk bersama-sama mendalami dan mengulang kembali materi yang telah mereka peroleh dari seorang guru dengan tanpa bimbingan langsung dari guru tersebut.