Terjemah "Syuruthul A'immah", karya al-Hafizh Ibnu Mandah - Bag. 1/2


SYURUTHU AL-A’IMMAH
[ standar periwayatan para imam ahli hadits ]

Penyusun              : Al-Hafizh Muhammad bin Ishaq bin Muhammad bin Mandah
Penerbit : Darul Muslim, Riyadh
Cet./thn.                : pertama, 1414 H
Muhaqqiq             : ‘Abdurrahman ‘Abdul Jabbar al-Faryawa’iy
Jumlah juz             : 1 juz
Sumber                  : Al-Maktabah Al-Syamilah, ver. 3.15 updated [Nopember 2008]

Penerjemah           : M. Alimin Mukhtar


بسم الله الرحمن الرحيم

[ MUQADDIMAH ]

Hanya dengan-Nya lah aku mencukupkan diri!
Segala puji hanya bagi Allah, pemilik dan pemelihara alam semesta, dengan pujian yang sebenar-benarnya. Tiada ilah (yang berhak disembah) selain-Nya, yang Maha Esa. Semoga shalawat dari-Nya (senantiasa tercurah) untuk Muhammad, segenap keluarga dan sahabatnya, demikian pula salam penghormatan untuk beliau sebanyak-banyaknya.
[Ini] adalah risalah karya Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ishaq bin Muhammad bin Yahya bin Mandah bin al-Walid, berisi penjelasan tentang keutamaan akhbar, uraian perihal madzhab para ahli atsar, hakikat sunnah dan juga (metode) pen-tashhih-an riwayat.
Abu ‘Abdillah berkata:
Dengan (menyebut) nama Allah kami memulai, kepada-Nya kami mohon pertolongan, kepada-Nya pula kami mengharap taufiq, bimbingan, dan bantuan. Tiada daya dan kekuatan melainkan atas izin Allah, yang Mahaluhur lagi Mahaagung. “Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang di langit dan apa yang di bumi dan bagi-Nya (pula) segala puji di akhirat. Dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” [QS Saba’: 1].
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya; sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan (adanya) siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal shalih, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik; mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.” [QS al-Kahfi: 1-3]
Segala puji bagi Allah, dengan pujian yang paling utama, rasa syukur yang tertinggi serta terdalam; pujian yang akan bermanfaat bagi kita sendiri, yang dengannya Dia akan semakin menyempurnakan nikmat-Nya untuk kita.
Aku memuji-Nya sebagaimana yang layak untuk kemuliaan wajah-Nya dan keagungan kuasa-Nya. Aku memohon pertolongan kepada-Nya. Aku pun mengharap petujuk-Nya, suatu petunjuk yang telah dikaruniakan-Nya kepada para Nabi dan orang-orang yang tekun menaati-Nya.
Aku bersaksi bahwa tiada ilah (yang berhak disembah) selain Allah, dengan mengakui rububiyah-Nya, membenarkan janji serta ancaman-Nya, dan mengimani para malaikat dan rasul-Nya.
Aku memohon kepada-Nya agar melimpahkan shalawat kepada Muhammad, hamba dan rasul-Nya, yang terpilih untuk menerima wahyu-Nya, yang terseleksi untuk mengemban risalah-Nya, yang diistimewakan diatas segenap makhluk-Nya (yang lain), yang namanya disandingkan dengan nama Allah, yang dikenang dengan penuh keagungan di antara sesama makhluk-Nya, yang diutus-Nya kepada seluruh makhluk-Nya sebagai duta, penyampai pesan, penjelas; dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.” [QS al-Ahzab: 46] – [aku memohon kepada-Nya agar melimpahkan shalawat kepada beliau] dengan shalawat yang paling sempurna, paling mulia, dan paling tinggi. Semoga pula Allah membalaskan (rasa terima kasih) kita kepada beliau, dengan sebaik-baik balasan yang bisa dihaturkan sebuah umat kepada Nabinya. Dengannyalah Allah menyelamatkan kita dari kesesatan, memberi petunjuk kita dari kebutaan, dan mengeluarkan kita dari kegelapan menuju cahaya, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah; dan beliau adalah seseorang yang penuh belas kasih dan sayang kepada kita semua, sebagaimana yang digambarkan oleh Allah. “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” [QS at-Taubah: 128].
Allah telah menjadikan (diantara) simbol agama-Nya adalah kewajiban menaati rasul-Nya dan keharaman mendurhakainya. Allah juga telah menunjukkan keuatamaan beliau dengan menetapkan keimanan kepada risalahnya bersama dengan keimanan kepada-Nya. Allah berfirman, “Maka, berimanlah kepada Allah dan rasul-Nya...” [QS al-A’raf: 158]. Juga firman-Nya yang lain, Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya...” [QS al-Hujurat: 15].
Allah telah menurunkan kepada beliau sebuah kitab; Yang tidak datang kepadanya suatu kebatilan, baik dari depan maupun belakang, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. [QS Fushshilat: 42]. Allah juga berfirman, Dia (Al-Qur’an) dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril); ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan; dengan bahasa Arab yang jelas.” [QS asy-Syu’ara’: 193-195].
Di dalam Al-Qur’an itu Allah menyerukan keimanan kepada-Nya, bukan kepada yang lain; memastikan kewajiban-kewajiban (yang ditetapkan-Nya); merinci syari’at-syari’at-Nya dengan penuh hikmah; yang dengannya segenap makhluk bisa mengabdi kepada-Nya. Allah juga memerintahkan kewajiban-kewajiban kepada mereka secara tegas, melarang mereka dari apa yang diharamkan-Nya secara pasti, memberitahu pahala yang akan mereka dapatkan bila menaati-Nya agar mereka bersemangat; menunjukkan hukuman yang akan mereka terima jika mendurhakainya agar mereka takut; kemudian Dia mendorong mereka akan mendekatkan diri kepada-Nya melalui amal-amal nawafil, sebagai bentuk karunia dan belas kasih-Nya. Dia berfirman, “...Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun dalam Al-Kitab...” [QS al-An’am: 38]. Juga firman-Nya, “...Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” [QS an-Nahl: 89].
Lalu, Allah menjadikan nabi-Nya, pilihan-Nya, dan kepercayaan-Nya diantara segenap makhluk-Nya, sebagai penjelas dari wahyu-Nya. Allah berfirman, “...Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” [QS an-Nahl: 44]. Juga firman-Nya, “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” [QS an-Nahl: 64]. Juga firman-Nya, “Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” [QS Ibrahim: 1]. Juga firman-Nya, “...Dan sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus; (Yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.” [QS asy-Syura: 152-153].
Maka, Nabi r pun menyampaikan yang muhkam (pasti maksudnya tanpa ada kemungkinan lain), menafsirkan yang mujmal (global), menjelaskan yang musytabah (samar-samar), memperingatkan dari yang mutasyabih. Allah menyuruh beliau untuk menyampaikan (wahyu-Nya), sehingga Dia berfirman, Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” [QS al-Ma’idah: 67].
Maka, beliau pun mengajak umatnya untuk menyembah dan mentauhidkan Tuhannya, serta menyampaikan segala pesan muhkam yang dititipkan kepadanya. Allah berfirman, “…agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu…” [QS an-Nahl: 64]. Juga firman-Nya, “…agar kamu menjelaskan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka…” [QS an-Nahl: 44] – yakni, menjelaskan yang mubham (belum jelas) dan menerangkan yang mujmal. Allah juga menyatakan agar beliau menjelaskan apa-apa yang diperselisihkan oleh umatnya.
Allah mewajibkan kepada hamba-Nya untuk menaati beliau, sehingga Allah merangkaikan ketaatan kepada beliau dengan ketaatan kepada-Nya. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul...” [QS Muhammad: 33]. Juga firman-Nya, “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah...” [QS an-Nisa’: 80]. Juga firman-Nya, “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya; Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [QS an-Najm: 3-4]. Juga firman-Nya, “…Katakanlah: “Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku…” [QS Yunus: 15].
Allah juga memerintahkan kita untuk menerima ajaran yang dibawa oleh Nabi kita, Muhammad r, sehingga Dia berfirman, Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu...” [QS an-Nisa’: 170]. Juga firman-Nya, “...Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah...” [QS al-Hasyr: 7].
Allah mewajibkan hamba-Nya untuk mengikuti wahyu-Nya dan sunnah Rasul-Nya r, sehingga Dia merangkaikan sunnah itu dengan kitab-Nya. Dia berfirman, “...utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” [QS al-Baqarah: 129]. Juga firman-Nya, “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” [QS Ali ‘Imran: 164]. Juga firman-Nya, “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepadamu, mensucikanmu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui.” [QS al-Baqarah: 151]. Juga firman-Nya, “...dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al-Kitab dan Al-Hikmah (As-Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu...” [QS al-Baqarah: 231]. Juga firman-Nya, “...Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.” [QS an-Nisa’: 113]. Juga firman-Nya, “Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah nabimu)...” [QS al-Ahzab: 34].
Maka, Nabi r adalah penyampai apa yang muhkam, penerang dari ta’wil, dan penjelas dari yang mujmal, sehingga tidak tersisa sesuatu pun dari agama Allah ini yang tidak termasuk dalam Kitabullah dan sunnah Nabi-Nya r.
Setelah itu, Allah memerintahkan mereka untuk merujuk kembali kepada Kitabullah dan sunnah Nabi-Nya r dalam hal-hal yang mereka perselisihkan. Allah berfirman, Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah...” [QS asy-Syura: 10]. Juga firman-Nya, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka...” [QS al-Ahzab: 36]. Juga firman-Nya, “Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukumi (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung...” [QS an-Nur: 51]. Juga firman-Nya, “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” [QS an-Nisa’: 65]. Juga firman-Nya, “...maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul itu takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” [QS an-Nur: 63].
Allah juga memberitahukan bahwa di tengah-tengah umat ini – sepeninggal Nabi r – akan ada perselisihan dan pertengkaran. Jika hal itu terjadi, Allah menyuruh mereka untuk merujuk kepada ahl adz-dzikr dan ulil amri, yaitu para ulama’ yang dimaksudkan oleh Allah dalam firman-Nya, “...Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri) itu.” [QS an-Nisa’: 83]. Juga dalam firman-Nya, “...maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu (ahl adz-dzikr), jika kamu tiada mengetahui.” [QS al-Anbiya’: 7]. Juga dalam firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu...” [QS an-Nisa’: 59] – yaitu: para ulama’ dan fuqaha’ diantara kaum muslimin. Juga firman-Nya, “...Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” [QS az-Zumar: 9].
Adapun apa yang telah ditetapkan secara pasti oleh Al-Qur’an, maka ia bersifat muhkam yang tidak boleh ada pertengkaran maupun perbedaan pendapat di dalamnya, sementara hal-hal yang disebutkan secara mujmal di dalam Al-Qur’an, misalnya adalah: Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat...” [QS al-Baqarah: 43]. Juga firman-Nya, “...diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu...” [QS al-Baqarah: 183]. Juga firman-Nya, “...Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu…” [QS al-Baqarah: 185]. Juga firman-Nya, “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah…” [QS al-Baqarah: 196].
Rasulullah r telah menjelaskan bahwa kelima hal tersebut merupakan pilar-pilar utama agama dan diatasnyalah (bangunan) Islam ditegakkan. Beliau bersabda, “Islam ditegakkan diatas lima (perkara): persaksian bahwa tiada ilah (yang berhak disembah) selain Allah, menegakkan shalat, membayarkan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah.”
Beliau kemudian menerangkan kepada para sahabatnya perihal jumlah shalat (yang harus dikerjakan), hal-hal yang wajib dilaksanakan dalam zakat, puasa, haji, dan seluruh amalan fardhu lain yang disebutkan secara mujmal di dalam Al-Qur’an. Beliau bersabda, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku (mengerjakan) shalat.” Maka, para sahabat pun meriwayatkan masalah tersebut – baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan – dimulai dari berdiri, masuk ke dalam shalat, takbiratul ihram, niat melaksanakan shalat, tatacara berdiri, ruku’, sujud, dan seterusnya sampai nanti keluar dari shalat itu.
Demikian pula halnya, beliau menjelaskan persoalan zakat, apa saja yang wajib dizakati, berapa kadar yang wajib dikeluarkan darinya, kapan waktu pelaksanaannya tiba, dan siapa saja yang berhak menerimanya.
Juga masalah puasa, haji, umrah, thawaf dan waktu-waktu pelaksanaannya. Demikian juga seluruh hal yang diwajibkan Allah yang disebutkan secara global dan belum terang di dalam Al-Qur’an. Rasulullah r bersabda, “Aku ini tidak ubahnya seorang ayah bagi kalian, aku ajarkan kepada kalian apa saja yang tidak kalian ketahui.” Tatkala Allah telah menyempurnakan agama-Nya, menjayakan urusan-Nya, memenuhi apa yang dijanjikan-Nya kepada Nabi-Nya, dan telah diberitahukan-Nya pula kapan saat kewafatan Nabi-Nya, maka Dia pun menurunkan kepada beliau, “...Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agama bagimu...” [QS al-Ma’idah: 3]. Maka, beliau pun menyadari bahwa beliau akan segara dicabut ruhnya, sehingga beliau bertanya kepada para sahabatnya di saat itu, “Apakah aku telah menyampaikan?” Mereka menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Ya Allah, persaksikanlah! Dan, hendaklah orang hadir diantara kalian menyampaikannya kepada orang yang absen.”
Beliau juga bersabda, “Aku tinggalkan kalian diatas (agama) yang terang benderang, malamnya sama dengan siangnya, tidak ada yang menyimpang darinya sepeninggalku kecuali orang yang celaka. Siapa pun diantara kalian yang masih hidup setelahku pasti ia akan melihat perselisihan yang sangat banyak. Maka, hendaknya kalian berpegang dengan sunnahku yang telah kalian kenal, juga sunnah al-khulafa’ ar-rasyidin al-mahdiyyin. Hendaknya kalian selalu menaati (pemimpin), meskipun ia seorang budak habsyi. Gigitlah (pesanku) ini dengan gigi geraham kalian.”
Maka para sahabat pun bersungguh-sungguh (mematuhinya), menyampaikan nasihat, dan menyebarkan (pesan beliau), baik secara kolektif maupun perseorangan, baik di masa hidup beliau maupun sesudah kewafatannya, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah kepada mereka. Allah juga mewajibkan kepada hamba-Nya untuk menaati Rasul-Nya, berpegang teguh kepada apa yang diajarkannya, berhenti dari apa yang dilarangnya. Maka, kewajiban tersebut adalah sama, baik bagi orang-orang yang menyaksikan Rasulullah r dengan mata kepalanya sendiri maupun mereka yang hidup setelahnya sampai hari kiamat nanti, yaitu kewajiban menaati dan menyampaikan ajaran beliau. Dan, tidak seorang pun yang tidak sempat menjumpai beliau, baik di masa hidup beliau maupun sesudah kewafatannya, yang mengetahui berita perihal beliau, melainkan melalui pemberitaan para sahabat kepada angkatan setelahnya, yaitu tabi’in, demikian seterusnya dari generasi ke generasi, selama dunia ini masih ada dan selama umat Islam masih eksis, semoga Allah menjadikan kita bagian darinya! Amin.
Tatkala Allah “mengambil” beliau dari tengah-tengah sahabatnya, maka Allah pun menyatukan mereka di bawah kepemimpin orang terbaik dan paling utama diantara mereka – yakni, Abu Bakr ash-Shiddiq t. Maka beliau pun menegakkan perintah Allah dan berpegang teguh kepada manhaj Rasulullah r. Abu Bakr berkata, “Andai mereka tidak mau menyerahkan seutas tali yang dulu mereka serahkan kepada Rasulullah r, pasti aku perangi mereka karenanya.” – yakni, seutas tali yang dipakai mengikat hewan zakat. Sebab, zakat itu wajib. Maka, beliau pun berperang bersama orang-orang yang tetap teguh di kalangan kaum muslimin untuk menghadapi mereka yang berbalik murtad, sampai akhirnya mereka bersedia kembali kepada agamanya semula, menaati perintah Allah dan menunaikan apa yang telah diwajibkan-Nya kepada mereka. Beliau juga menerapkan hukum Allah kepada orang-orang yang enggan tunduk. Semoga Allah meridhai beliau dan para sahabat, semuanya!

Pengumpulan Al-Qur’an
Setelah urusan itu selesai, hal pertama yang menjadi perhatian para sahabat adalah pengumpulan Al-Qur’an, karena khawatir jika para pengembannya punah dan orang-orang menjadi berselisih setelahnya perihal Al-Qur’an. Allah pun melapangkan dada mereka (untuk mengumpulkannya), sebab merekalah yang menyaksikan penurunannya, memahami penakwilannya, dan mengerti tata urutannya. ‘Ali bin Abi Thalib t berkata, “Semoga Allah mengasihi Abu Bakr! Beliaulah orang pertama yang mengumpulkan Al-Qur’an diantara dua sampul.” Semoga rahmat, shalawat dan keridhaan Allah tercurah kepada mereka, semuanya!
Kemudian generasi tabi’in mempelajari Al-Qur’an dari para sahabat. Mereka membacanya, mengamalkan yang muhkam, mengimani yang mutasyabih, dan berkata, “Semua ini berasal dari Allah.” Mereka tidak berselisih dalam satu ayat pun dari Al-Qur’an itu, bahkan mereka mengkafirkan siapa pun yang mengingkari satu ayat saja darinya. Mereka juga berpandangan bahwa siapa saja yang membaca Al-Qur’an dengan bacaan yang menyelisihi kesepakatan ulama’, maka ia telah keluar dari umat ini dan juga dari ijma’ kaum muslimin. Semoga Allah menjadikan kita bagian dari orang-orang yang mengikuti mereka (tabi’in) dengan sebaik-baiknya! Sebab, mereka adalah orang-orang yang telah menyampaikan segala ajaran yang dibawa oleh para sahabat dari Allah dan Rasul-Nya, baik dari al-Kitab maupun sunnah. Mereka telah menukil segala kewajiban, batasan, perintah, larangan, nasikh, dan juga mansukh-nya. Mereka telah disifati oleh Allah dalam Al-Qur’an, Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah...” [QS Ali ‘Imran: 110]. Juga firman-Nya, “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” [QS al-Hasyr: 10]. Juga firman-Nya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” [QS at-Taubah: 100]. Merekalah orang-orang yang digambarkan oleh Nabi r dalam sabdanya, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian yang datang setelahnya, kemudian yang datang setelahnya.” Merekalah generasi at-tabi’in bil ihsan (yang mengikuti generasi sebelumnya dengan kebaikan). Semoga rahmat dan keridhaan Allah terlimpah kepada mereka!
Sungguh mereka benar-benar telah memelihara (Al-Qur’an dan sunnah), menyampaikan dan menasihati, sebagaimana yang diperintahkan kepada mereka. Allah menjadikan mereka para pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah-Nya, berkat kesabarannya dalam meraih apa yang dianjurkan kepada mereka dan juga dalam mengajarkan hikmah-Nya, semata-mata mencari kedekatan kepada-Nya. Allah juga membimbing mereka menuju jalan yang mengantarkan mereka bisa memahami apa yang diperintahkan, berhenti dari apa yang dilarang. Allah juga melebihkan sebagian mereka diatas sebagian yang lain dalam masalah ilmu yang dijarkan-Nya kepada mereka, agar ketidaksamaan tingkatan dan perbedaan pendapat itu semakin mendorong mereka untuk memperdalam kajian, menjadi penyebab keinginan memperluas pencarian ilmu, sekaligus rahmat bagi umat manusia. Allah berfirman, “...dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat…” [QS az-Zukhruf: 32]. Juga firman-Nya,…dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui.” [QS Yusuf: 76].

Kategori umat dalam mengabdikan dirinya pada Ilmu-ilmu Al-Qur’an
1.       Sebagian orang ada yang mengajarkan Al-Qur’an dan menghafalkannya, mengetahui perbedaan qira’at-nya, makna, musykilah, mutasyabih, gharib dan sumber-sumber (pengambilan riwayat)-nya.
2.       Sebagian yang lain mengajarkan hal-hal yang diwajibkan oleh Al-Qur’an, hukum, larangan, yang diperbolehkan, perintah, yang dicegah, nasikh, mansukh, juga berbagai sunnah dan atsar yang dapat dipergunakan sebagai dalil atas semua itu.
3.       Sebagian yang lain ada yang menghafal Al-Qur’an secara keseluruhan, terus menerus men-tilawah, mempelajari dan membacanya, walau tidak tahu samasekali permasalahan i’rab, macam-macam qira’ah, jumlah ayat, arti, musykilah, dan lain sebagainya.
Namun, masing-masing akan diberi balasan oleh Allah, untuk setiap ilmu dan amal mereka. Allah Mahapemurah lagi Mahamulia.


Thabaqat (tingkatan) para ahli hadits
Demikian pula halnya pemahaman para pengemban ilmu, yakni sunnah dan atsar, berbeda-beda; keinginan mereka bertingkat-tingkat; perhatian mereka untuk membedakan antara ini dan itu berlain-lainan; dan tingkatan mereka pun tidak sama dalam ilmu yang diembannya.
1.       Sekelompok orang ada yang ingin menghafalkan sanad berbagai riwayat yang bersumber dari Rasulullah r dan para sahabatnya, dimana mereka dianjurkan oleh Allah untuk meneladaninya. Maka, mereka pun tekun dalam melakukan pen-tashhih-an berita yang dikutip setiap perawi, memilah antara yang musnad dengan muttashil, mursal dengan munqathi’, tsabit (kokoh kuat) dengan ma’lul (mengandung penyakit), perawi ‘adil dengan majruh (cacat), yang benar dengan yang keliru, dan yang memberi tambahan dengan yang mengurangi. Merekalah para pemelihara ilmu dan agama, yang menghapuskan penyelewengan orang yang melampaui batas, penyamaran sumber berita oleh para mudallis (suka menyamarkan narasumbernya), fanatisme madzhab para mubthil (ingin membatalkan isinya), penakwilan para jahid (penentang), dan rekayasa para mulhid (pemikirannya menyimpang). Merekalah kelompok yang disifati dan didoakan oleh Rasulullah r. Beliau juga memerintahkan mereka untuk menyampaikan segala berita dari beliau. Mereka inilah yang layak diterima apa-apa yang mereka anggap baik, dan layak ditolak pula apa-apa yang mereka anggap cacat. Kepada pendapat merekalah kita merujuk ketika ada klaim dari orang-orang yang mau menyelewengkannya, atau penyamaran sumber oleh para mudallis dan rekayasa para mulhid. Kepada mereka pula para ahli Al-Qur’an seharusnya merujuk, untuk mengetahui isnad qira’at dan tafsir, dikarenakan mereka mengetahui orang-orang yang menyaksikan turunnya Al-Qur’an itu, yaitu para sahabat, kemudian para tabi’in yang datang setelah itu yang membaca dan mengambil Al-Qur’an dari para sahabat tsb; juga karena mereka ini bisa membedakan mana isnad yang shahih atau saqim (berpenyakit), mana perawi yang ‘adil atau majruh, serta mana yang muttashil atau mursal.
2.       Sekelompok yang lain ada yang menyibukkan diri menghafalkan perbedaan pendapat para fuqaha’ tentang halal dan haram, dan mencukupkan diri mengetahui matan (hadits) Rasulullah r dan para sahabatnya yang disebutkan oleh para imam setiap kawasan dalam kitab-kitab mereka. (Pengetahuan) mereka berada di bawah kelompok sebelumnya yang sangat mengetahui periwayatan, mana isnad yang tsabit, juga keadaan para perawi hadits tersebut baik dari segi jarh maupun ta’dil-nya. Mereka ini tidak bisa melepaskan diri dari bantuan para ahli atsar diatas ketika menyebutkan suatu berita dari Rasulullah r, para sahabat atau tabi’in, agar mereka tahu mana yang shahih atau saqim, mana yang tepat atau keliru.
3.       Kelompok ketiga memperbanyak pengumpulan dan pencatatan riwayat, namun tidak mendalami matan-nya dan tidak mengerti pula ‘illat sanad-nya. Maka, dengan pengumpulan dan pencatatan yang banyak mereka lakukan itu, insya-Allah mereka termasuk dalam pernyataan Rasulullah r, “Semoga Allah mengasihi seseorang yang mendengar perkataanku, sehingga ia menyampaikannya kepada orang lain yang lebih faqih darinya.”
Mereka semua itu, dan segala puji bagi Allah, berada diatas kebaikan yang melimpah. Mahasuci Dzat yang menjadikan perbedaan pendapat di kalangan ulama’ sebagai jalan mempermudah makhluk-Nya dan mengasihi hamba-hamba-Nya. Wal-hamdu lillahi rabbil ‘alamin.

Thabaqat penukil atsar setelah generasi sahabat dan tabi’in
Keadaan para penukil atsar setelah generasi sahabat dan tabi’in yang permulaan dapat dikategorikan dalam tiga thabaqat, masing-masing thabaqat dipecah menjadi tiga posisi dalam masalah penguasaan dan peringkatnya.
1.       Thabaqat yang diterima periwayatannya tanpa perdebatan (maqbulah bil ittifaq). Mereka terbagi dalam beberapa peringkat dan posisi. Seorang hafizh (sangat baik hafalannya) yang mutqin (sangat menguasai haditsnya) yang mengutip haditsnya sama persis dengan apa ia dengar, ia tidak sama (peringkatnya) dengan perawi yang mengutipnya berdasarkan makna, dimana ia sesekali ragu dalam sebagian hal yang ia kutip dan sampaikan. Seorang perawi tsiqah yang menyampaikan haditsnya dengan berpegang pada sebuah kitab dimana ia tidak mengerti apa yang ia sampaikan, ia tidak sama dengan seorang hafzih yang mutqin.
2.       Thabaqat yang riwayatnya diterima oleh sebagian ulama’ namun ditinggalkan oleh sebagian yang lain, karena perbedaan kondisi mereka dalam mengutip dan meriwayatkan hadits.
3.       Thabaqat yang ditinggalkan riwayatnya (matrukah), dan mereka ini bertingkat-tingkat pula kelemahannya. Seorang perawi yang sesekali ragu dan keliru, dimana kekeliruan dan keraguannya itu berasal dari hafalannya yang buruk atau suatu sebab lain yang menimpanya belakangan, sehingga haditsnya ditinggalkan para ulama’ karena banyaknya pertentangan dan ketidakpastian dalam riwayatnya; ia tidak sama dengan perawi yang dicurigai berbohong (muttaham). Perawi yang dicurigai berbohong pun tidak sama dengan perawi yang terang-terangan berdusta dan memalsukan hadits. Kami akan menguraikan keadaan dan tingkatan mereka dalam penjelasan kitab kami ini. Kami akan memaparkan persoalan mereka dengan sejelas-jelasnya, insya-Allah.

Thabaqat pertama para ahli hadits
Thabaqat pertama – dari ketiganya – adalah para imam dan huffazh, yang sudah disebut dan digambarkan sebelumnya. Kepada merekalah ilmu isnad berpuncak. Dengan merekalah sebuah hujjah akan diteguhkan ketika berhadapan dengan orang yang berbeda pendapat dengan mereka. Pendapat mereka secara sendirian pun bisa diterima, sebab merekalah yang ditokohkan (oleh umat) di masa hidupnya dikarenakan pengatahuan mereka terhadap berita yang berasal dari Rasulullah r, para sahabat, tabi’in dan generasi sesudahnya.

Poros ilmu isnad sejak zaman az-Zuhri dan yang seangkatan dengan beliau sampai zaman Ibnul Madini
‘Ali bin al-Madini berkata, “Saya telah mengkaji, dan ternyata ilmu isnad itu berporos pada enam orang.
1.       Di Madinah: Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin Syihab az-Zuhri, bergelar Abu Bakr, wafat tahun 124 H di Madinah
2.       Di Makkah: ‘Amr bin Dinar, maula Bani Jumah, bergelar Abu Muhammad, wafat tahun 126 H, dan
3.       Yahya bin Abi Katsir, maula Thayy, bergelar Abu Nashr, wafat tahun 129 H
4.       Di Bashrah: Qatadah bin Di’amah as-Sadusiy, bergelar Abu al-Khaththab, wafat tahun 126 H
5.       Di Kufah: Abu Ishaq ‘Amr bin ‘Abdillah as-Subai’iy, wafat tahun 127 H, dan
6.       Sulaiman bin Mahran al-A’masy, maula Bani Kahil cabang Bani Asad, bergelar Abu Muhammad, wafat tahun 148 H.
Semoga Allah merahmati mereka, semuanya!
Kemudian, ilmu enam orang tersebut berada di tangan duabelas orang. Mereka (yang disebut terakhir) ini termasuk orang-orang yang mempunyai karangan, yakni menyusun (kitab tentang suatu) ilmu.
1.       Diantara mereka, di kalangan penduduk Madinah, ada Malik bin Anas bin Abi ‘Amir al-Ashbahiy, termasuk keluarga (Bani) Taym, bergelar Abu ‘Abdillah, wafat tahun 177 H, dan
2.       Muhammad bin Ishaq bin Yasar, maula Bani Makhramah, bergelar Abu Bakr, wafat tahun 151 H; mereka berdua termasuk murid-murid az-Zuhri
3.       Di kalangan penduduk Makkah, ada ‘Abdul Malik bin ‘Abdul ‘Aziz bin Juraij, maula Quraisy, bergelar Abu al-Walid, sempat berjumpa dengan Ibnu Syihab (az-Zuhri), ‘Amr bin Dinar, juga menjumpai al-A’masy namun tidak sempat mengutip riwayat darinya, wafat tahun 151 H; dan
4.       Sufyan bin ‘Uyainah bin Maimun, maula Muhammad bin Muzahim – saudara adh-Dhahhak bin Muzahim – yang bergelar Abu Muhammad, wafat tahun 198 H, sempat berjumpa dengan Ibnu Syihab, ‘Amr bin Dinar, Abu Ishaq dan al-A’masy
5.       Di kalangan penduduk Bashrah, ada Sa’id bin Abi ‘Arubah, maula Bani ‘Adiy bin Yasykur, dan nama beliau adalah Sa’id bin Mahran, bergelar Abu an-Nadhr, wafat tahun 158 atau 159 H; dan
6.       Hammad bin Salamah – Ibnul Madini berkata: saya yakin beliau maula Bani Sulaim, bergelar Abu Salamah, wafat tahun 170 H; dan
7.       Abu ‘Awanah al-Wadhdhah (bin ‘Abdillah al-Yasykuri), maula Yazid bin ‘Atha’, wafat tahun 175 H; dan
8.       Syu’bah bin al-Hajjaj Abu Bistham, maula al-Asyaqir, wafat tahun 160 H; dan
9.       Ma’mar bin Rasyid, bergelar Abu ‘Urwah, maula Bani Hidan, wafat di Yaman tahun 154 H, sempat mendengar riwayat dari Ibnu Syihab az-Zuhri, ‘Amr bin Dinar, Qatadah, Yahya bin Abi Katsir dan Abu Ishaq
10.   Di kalangan penduduk Kufah, ada Sufyan bin Sa’id bin Masruq ats-Tsauri, bergelar Abu ‘Abdillah, wafat tahun 161 H
11.   Di kalangan penduduk Syam, ada ‘Abdurrahman bin ‘Amr al-Awza’iy, bergelar Abu ‘Amr, wafat tahun 151 H
12.   Dan di kalangan penduduk Wasith, ada Husyaim bin Basyir bin al-Qasim bin Dinar, maula Bani Sulaim, bergelar Abu Mu’awiyah, wafat tahun 183 H.
Kemudian ilmu duabelas orang tersebut berada di tangan enam orang (berikut ini), semoga Allah merahmati mereka!
1.       Yahya bin Sa’id al-Qaththan, bergelar Abu Sa’id, maula Bani Tamim, wafat tahun 198 H
2.       Yahya bin Zakariya bin Abi Za’idah, bergelar Abu Sa’id, maula Bani Hamadan, wafat tahun 182 H
3.       Waki’ bin al-Jarrah bin Malih bin ‘Adiy bin Fars ar-Ru’asiy, bergelar Abu Sufyan, wafat tahun 199 H
Kemudian, ilmu mereka bertiga berada di tangan ketiga orang ini:
4.       Pertama, ‘Abdullah bin al-Mubarak al-Hanzhaliy, maula Bani Hanzhalah, bergelar Abu ‘Abdurrahman, wafat tahun 181 H di Hiit
5.       Kedua, ‘Abdurrahman bin Mahdi al-Asadi, bergelar Abu Sa’id, wafat tahun 198 H; dan
6.       Ketiga, Yahya bin Adam, bergelar Abu Zakariya, maula Khalid bin ‘Abdullah, wafat tahun 203 H
Yang memberitahu kami perihal tersebut adalah Muhammad bin al-Husain Abu Thahir, ia berkata: Abu Qilabah ‘Abdul Malik bin Muhammad ar-Raqqasyi menyampaikan kepada kami; dan Salm bin al-Fadhl memberitahu kami; ia berkata: Muhammad bin ‘Utsman al-‘Absiy; semuanya bersumber dari ‘Ali bin al-Madini; sebagaimana yang kami paparkan dimuka.
Ini adalah apa yang disebutkan oleh ‘Ali bin al-Madini perihal orang-orang yang pada mereka berporos ilmu isnad, sejak zaman az-Zuhri dan orang-orang yang seangkatan dengan beliau sampai zaman Ibnul Madini sendiri. Ibnul Madini pun sebenarnya termasuk salah seorang imam yang layak dirujuk pendapatnya dalam Ilmu Hadits. Namun, Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal lebih tinggi ilmu dan agamanya dibanding beliau.
Abu Zakariya Yahya bin Ma’in, Abu Bakr bin Syaibah dan orang-orang yang seangkatan dengan Ibnul Madini tidak mengingkari kelebihan ilmu beliau dalam masalah tersebut. Demikian juga para pendahulunya seperti Sufyan bin ‘Uyainah, Yahya bin Sa’id al-Qaththan, dan ‘Abdurrahman bin Mahdi. Demikian pula ulama’ setelahnya yang sempat berguru kepadanya seperti Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Abu Hatim ar-Razi, Abu Zur’ah ar-Razi, dan orang-orang yang satu generasi dengan mereka yang sempat menjumpai Ibnul Madini dan mengambil ilmu darinya. Semoga Allah merahmati mereka semua!
Saya akan sebutkan – insya-Allah – bersama dengan nama-nama yang telah disebutkan oleh Ibnul Madini, yang kepada mereka ilmu ini diidentikkan, (saya sebutkan) sekelompok imam yang di zaman mereka masing-masing bisa diterima riwayatnya walau sendirian, dijadikan sebagai hujjah menghadapi orang-orang yang menyelisihi mereka, walaupun mereka masih berada di bawah ulama’ yang telah disebutkan oleh ‘Ali bin al-Madini dalam hal periwayatan dan perjumpaan (dengan para narasumbernya). Mereka ini, di zaman mereka masing-masing, adalah para imam, bisa diterima riwayatnya walau sendirian, dan dijadikan sebagai hujjah, yaitu empat imam Ahli Hadits yang mengutip (riwayat) shahih, memilah yang tsabit dari yang ma’lul, yang tepat dari yang keliru, yaitu:
1.       Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari
2.       Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi; kemudian
3.       Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats bin Ishaq as-Sijistani; dan
4.       Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib an-Nasa’i
Di belakang mereka, yang juga mengikuti jejak dan menapaktilasi metodenya, walau pun mereka lebih rendah pemahamannya, adalah:
1.       ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman as-Samarqandi (yakni: ad-Darimi)
2.       Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah at-Tirmidzi
3.       Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah an-Nisaburi
4.       Ahmad bin ‘Amr bin Abi ‘Ashim an-Nabil
Semoga Allah merahmati mereka, semuanya!


-- bersambung --


Link terkait: