Terjemah "Adabul Mu'allimin", karya Ibnu Sahnun - Bag. 2

[ "gambar ini sekedar hiasan" ]




[ Sambungan dari Bag. 1 ]



[ 6 ]
PENETAPAN HADIAH-HADIAH PADA HARI RAYA
Saya bertanya, “Apakah pemberian pada Hari Raya itu (boleh) ditetapkan?” Dijawab, “Tidak, kecuali jika mereka – yakni, para murid – bersedia secara sukarela untuk itu.”
Beliau berkata, “Tidak halal bagi guru untuk membebani murid-muridnya dengan sesuatu –selain upahnya – semisal hadiah, dan lain-lain. Dia pun tidak boleh meminta hal itu kepada mereka. Jika dia diberi hadiah dikarenakan (pembebanan yang dibuatnya) itu, maka haram. Kecuali, jika mereka memberi hadiah tanpa diminta; kecuali jika permintaan itu – dari pihak guru – berada dalam batasan yang wajar. Jika mereka tidak mau melakukannya, maka guru tidak boleh memukul mereka. Jika guru mengancam murid (bila tidak mau memberinya hadiah), maka hal itu tidak boleh baginya. Atau, dia membiarkan – yakni, tidak memukul – mereka bila mereka mau memberinya hadiah, maka hal itu pun juga tidak boleh. Sebab, tindakan membiarkan itu akan menjadi preseden bagi pemberian hadiah, dan itu adalah makruh. [*]

[ 7 ]
BERAPA LAMA SEBAIKNYA MURID DIBERIKAN LIBUR?
Saya bertanya kepada beliau, “Menurut Anda, berapa lama murid diizinkan (berlibur) pada Hari-hari Raya?” Dijawab, “Untuk ‘Idul Fitri sehari saja, namun tidak masalah untuk memberinya izin selama tiga hari. Untuk ‘Idul Adhha tiga hari, namun tidak masalah untuk memberinya izin sampai lima hari.”
Saya bertanya, “Apakah seorang murid boleh dikirim untuk mencari temannya?” Dijawab, “Saya memandang hal itu tidak diperbolehkan, kecuali jika orangtua atau wali mereka menyetujuinya, atau tempat (yang dituju) adalah dekat sehingga tidak merepotkan si murid untuk melakukannya. Hendaklah guru sendiri yang memperhatikan murid-muridnya pada saat kepulangan mereka, dan memberitahukan kepada orangtua mereka bahwa mereka tidak datang.” – yakni, untuk kasus anak yang membolos.
Beliau berkata: saya lebih suka jika guru tidak menyerahi salah seorang murid (tugas) untuk memukul. Jangan pula guru menjadikan (salah seorang murid) sebagai tutor bagi teman-temannya, kecuali jika anak itu telah mengkhatamkan Al-Qur’an, sudah mengenal Al-Qur’an, dan dia tidak memerlukan (tambahan) pengajaran lagi; (bila demikian) maka tidak masalah; dan hendaklah guru selalu membantunya, sebab hal itu sangat bermanfaat bagi anak yang bersangkutan dalam mematangkan pelajarannya; atau bila orangtuanya mengizinkan hal itu. Hendaklah guru menangani sendiri tugas itu, atau mengupah orang lain untuk membantunya, jika orang lain itu memiliki (kualifikasi) yang sepadan dengannya. [*]

[ 8 ]
KEWAJIBAN GURU UNTUK SELALU MENDAMPINGI MURIDNYA
Guru tidak boleh sibuk sendiri sehingga tidak memperhatikan murid, kecuali pada waktu-waktu tertentu dimana dia tidak melalaikan (untuk mengawasi) mereka di saat itu. Namun, tidak masalah bila dia bercakap-cakap sementara pada saat bersamaan dia melihat dan memperhatikan mereka.
Saya bertanya, “Bagaimana dengan “pengumuman” atau pesta yang dibuat oleh orang-orang itu pada saat khatam, semisal buah-buahan yang dilemparkan kepada orang-orang, apakah diperbolehkan?” Dijawab, “Tidak boleh, sebab hal itu merupakan tindakan merampas (milik orang lain). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah melarang makan makanan hasil rampasan.”
Beliau berkata, “Hendaklah seorang guru selalu bersungguh-sungguh dan total mencurahkan perhatian kepada murid-muridnya. Dia tidak boleh menshalati jenazah, kecuali pada kasus dimana (jenazah) itu termasuk orang yang harus mendapatkan perhatian darinya. Sebab, dia adalah pekerja profesional, sehingga tidak boleh meninggalkan pekerjaannya, tidak boleh mengiringkan jenazah, dan tidak boleh pula menjenguk orang yang sakit.”
Seyogyanya seorang guru menetapkan suatu waktu tertentu dimana dia mengajari mereka menulis, dan membuat mereka saling membandingkan kualitas (kerjanya) masing-masing, sebab itu termasuk hal yang akan memperbaiki dan mematangkan mereka. Seyogyanya pula ia membolehkan mereka untuk memberi sanksi satu sama lain, namun jangan lebih dari tiga kali. Dia tidak boleh memukul kepala maupun wajahnya. Dia tidak boleh menghalanginya dari makanan dan minuman yang dikirimkan untuknya.
Saya bertanya, “Apakah menurut Anda seorang guru boleh menyalin sebuah kitab fiqh untuk dirinya sendiri atau orang lain?” Dijawab, “Jika itu (dilakukan) pada waktu senggangnya ketika tidak (sedang menghadapi) murid-murid, maka tidak masalah jika dia menyalinnya; baik untuk dirinya sendiri atau orang lain. Misalnya, bila dia telah mengizinkan mereka untuk pulang. Namun, selama mereka masih ada di sekitarnya, maka jangan (lakukan). Hal itu tidak boleh. Bagaimana mungkin ia diperbolehkan untuk keluar dari hal yang harus ia perhatikan (untuk beralih) kepada hal yang tidak harus (ia perhatikan)? Tidakkah engkau melihat bahwa ia tidak boleh memasrahi salah seorang dari mereka untuk mengajari temannnya, maka bagaimana mungkin (ia boleh) tersibukkan oleh selain mereka?”
Saya bertanya, “Lalu, apakah guru boleh mengizinkan muridnya untuk menulis surat kepada orang lain?” Dijawab, “Tidak masalah. Bila seorang murid menulis surat-surat, maka itu termasuk hal yang akan mematangkan mereka. Hendaklah ia mengajari mereka Ilmu Hitung, namun hal itu tidak menjadi keharusan baginya, kecuali jika dia memang dipersyaratkan untuk itu. Demikian pula dengan syair, gharib (kata-kata sulit), bahasa Arab, khath (menulis indah), dan Ilmu Nahwu secara lengkap. Itu semua sifatnya sukarela saja baginya.”
Seyogyanya ia mengajari mereka I’rab Al-Qur’an, dan itu menjadi suatu keharusan baginya; juga syakal (tanda baca), mengeja huruf, menulis yang bagus, membaca yang bagus, mengetahui tempat-tempat waqf (menghentikan bacaan), dan membaca secara tartil, semua itu menjadi keharusan baginya. Tidak masalah bila dia mengajari mereka syair, diambilkan dari perkataan dan kisah-kisah bangsa Arab yang tidak mengandung hal-hal yang keji/jorok. Namun, hal ini tidak menjadi suatu kewajiban baginya.
Ia harus mengajari mereka Qira’at Al-Qur’an yang baik, yaitu Qira’at Nafi’. Namun, tidak masalah bila dia mengajarkan Qira’at lainnya, selama tidak mengandung kesan tidak pantas di dalamnya, seperti yabsyuruka ( يبشرك ), wulduhu ( ولده ), dan hirmun ‘ala qaryatin ( حرم على قرية ); namun ia membacanya dengan: yubasysyiruka, waladuhu, dan haraamun ‘ala qaryatin, dan contoh-contoh lain yang serupa dengannya. (Ajarkan juga) semua Qira’at para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Seorang guru hendaknya mengusahakan sendiri susu dan roti (bagi dirinya), dan itu bukan kewajiban murid-muridnya. Ia wajib membayar sewa kios, dan itu bukan kewajiban murid-muridnya. Ia pun wajib memeriksa mereka, baik dengan memberi pelajaran maupun menyimak setoran/sorogan. Ia wajib menetapkan waktu tertentu untuk menyimak setoran/sorogan Al-Qur’an, seperti hari Kamis dan Rabu sore, dan memberi izin mereka (yakni, untuk istirahat) pada hari Jum’at. Inilah tradisi para guru , yakni selama mereka tidak dikritik atas tradisi ini.
Tidak masalah bila ia mengajarkan retorika/pidato kepada mereka, jika mereka mau. Namun, saya tidak berpandangan (untuk membolehkan) pelajaran melagukan Al-Qur’an, sebab Malik berkata, “Al-Qur’an tidak boleh dibaca dengan dilagu-lagukan.” Saya juga tidak berpandangan (untuk mengizinkan) pengajaran irama-irama tertentu dalam membaca Al-Qur’an, sebab hal itu akan mengarah kepada nyanyian, padahal ia dimakruhkan. Hendaklah guru melarang hal ini dengan sangat keras.
Ia berkata: Sahnun berkata: “Malik pernah ditanya tentang majlis-majlis dimana orang-orang berkumpul untuk membaca (Al-Qur’an), maka beliau menjawab: ‘Bid’ah.’ Saya berpandangan bahwa wali harus melarang anak-anaknya dari hal itu, dan memberikan sanksi yang tepat.”
Hendaklah ia mengajarkan adab kepada murid-muridnya, sebab hal itu merupakan salah satu kewajiban kepada Allah. Hendaklah ia menasihati, memelihara dan memperhatikan mereka.
Hendaklah ia menjadikan pelajaran baca-tulis dimulai pada waktu Dhuha sampai mereka pulang. Tidak masalah bila ia mengatur mereka agar saling mendikte satu sama lain, sebab hal itu bermanfaat bagi mereka. Hendaklah ia memeriksa pendiktean yang mereka lakukan itu.
Guru tidak boleh memindahkan mereka dari sebuah surah kepada surah yang lain, sampai mereka benar-benar menghafalnya dengan I’rab-nya dan tatacara penulisannya, kecuali jika orangtua mereka memberi kelonggaran dalam masalah ini. Jika mereka tidak mempunyai orangtua lagi, sedangkan ia mempunyai wali atau orang yang diberi wasiat (untuk merawatnya), apabila ia mengupah guru dari harta yang bukan hak milik si anak, namun dari hartanya sendiri, maka ia berhak memberi kelonggaran kepada guru sebagaimana hak yang dimiliki orangtua kandungnya. Jika dia mengupah guru dari harta milik si anak itu sendiri, maka dia tidak berhak memberi kelonggaran kepada guru untuk meluluskan si anak dari suatu surah sampai ia benar-benar menghafalnya, sebagaimana yang sudah engkau ketahui. Hal yang sama berlaku jika orangtua mengupah guru dari harta milik si anak sendiri.
Beliau berkata: “Saya berpandangan bahwa yang menjadi keharusan si anak untuk (mencukupi kebutuhan hidup) gurunya (yang diambilkan) dari hartanya sendiri – jika dia mempunyai harta – adalah sama dengan pakaian (yang dia kenakan) dan nafkah (yang dia keluarkan).”
Saya bertanya, “Bagaimana dengan seorang anak yang masuk (untuk belajar) kepada seorang guru , padahal ia sudah hampir khatam, maka apakah ia boleh menetapkan (upah) untuknya dalam pengkhataman itu, sementara guru sebelumnya sudah tidak menuntut (upah)nya?” Dijawab, “Jika anak itu mulai belajar darinya pada tempat (yakni, batas pencapaian) yang belum mengharuskannya untuk dinyatakan khatam oleh guru sebelumnya, atau misalnya dia telah menyelesaikan lebih dari sepertiga surah Yunus, Hud, dan sejenisnya, maka (upah) atas pengkhataman itu pasti menjadi haknya. Sebab, guru sebelumnya itu, andai memang sudah mengajar, maka dia tidak berhak mendapatkan hak apa-apa. Akan tetapi, jika masuknya si anak itu kepadanya (yakni, guru yang baru) dalam suatu situasi dimana – andai guru sebelumnya benar-benar telah mengajar – murid itu sudah harus dinyatakan khatam, maka tidak bisa ditetapkan (hak upah) sedikit pun bagi guru baru. Sebab, guru pertama itu seakan-akan menyisakan sebagian kecil pelajaran untuk (dituntaskan oleh) ayahnya atau si anak itu sendiri, kecuali jika guru pertama itu merelakannya. Untuk masalah ini, alangkah lebih baiknya jika dia merelakannya saja, sebagai sebuah kebajikan. Namun, ini bukan qiyas (analogi hukum).”
Saya bertanya, “Menurut Anda, bagaimana jika orangtuanya mengeluarkan si anak (dari asuhan sang guru), dan berkata: ‘Dia tidak usah mengkhatamkannya kepada Anda’ – padahal anak itu sudah hampir khatam, sedangkan upah diberikan secara bulanan?” Dijawab, “Saya menetapkannya sebagai sudah khatam, dan setelah itu saya tidak perduli apakah orangtuanya akan mengeluarkannya atau membiarkannya.”
Saya bertanya, “Apa yang harus guru katakan, jika (orangtua) berkata: ‘Anak saya ini (ternyata) tidak mengerti Al-Qur’an.’ Apakah guru berhak mendapat (upah) atas pengkhataman?” Dijawab, “Jika anak itu bisa membaca Al-Qur’an dari Mushhaf, dia mengerti huruf-hurufnya dan tepat dalam membaca I’rab-nya, maka guru wajib mendapatkan (upah) pengkhataman, meskipun dia tidak bisa membacanya dengan hafalan di luar kepala. Sebab, jarang sekali ada anak kecil yang sejak dini telah bisa membaca Al-Qur’an dengan hafalan di luar kepala.” Saya bertanya lagi, “Jika anak itu keliru dalam membaca Mushhaf?” Dijawab, “Jika hanya sedikit (salahnya), sementara sebagian besarnya adalah benar, maka tidak masalah.”
Sahnun berkata, “Guru tidak boleh menyuruh anak-anak untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadinya. Seyogyanya ia menyuruh mereka untuk mengerjakan shalat bila telah mencapi usia tujuh tahun, dan memukul mereka bila tidak mengerjakan shalat pada umur sepuluh tahun. Demikian pulalah pandangan Malik. Yang memceritakan hal itu kepada kami adalah ‘Abdurrahman, ia berkata: Malik berkata: “Anak umur sepuluh tahun (boleh) dipukul bila tidak mengerjakan shalat, dan tempat tidur mereka harus dipisahkan.” Saya bertanya, “(Dipisah) antara anak laki-laki dan perempuan?” Dijawab, “Ya.”
Sahnun berkata, “Ia harus mengajari mereka wudhu’ dan shalat, sebab itu merupakan (inti) agama mereka. Demikian pula jumlah rakaat, sujud, bacaan-bacaan di dalamnya, takbir, bagaimana tatacara duduk, takbiratul ihram, dan salam. Juga apa yang harus mereka kerjakan dalam shalat, tasyahhud, dan Qunut Shubuh, sebab hal itu merupakan sunnah shalat dan menjadi kewajiban yang senantiasa dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sampai Allah mewafatkannya. Kemudian, para imam sepeninggal mereka pun senantiasa mengerjakannya. Tidak seorang pun diantara mereka yang diketahui meninggalkan Qunut dalam shalat Fajar karena mereka membencinya. Mereka adalah para (khalifah) yang bijaksana dan mendapatkan hidayah, yaitu Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali. Mereka semua mengerjakan Qunut, juga orang-orang yang mengikuti di belakang mereka.”
Hendaklah ia selalu memperhatikan murid dengan mengajarkan doa-doa, agar mereka mencintai Allah; dan mengenalkan mereka kepada keagungan serta kemuliaan-Nya, agar mereka membesarkan Allah karenanya. Jika masyarakat tertimpa kekeringan dan Imam (yakni, pemimpin negeri) memohon turunnya hujan bersama masyarakat, lalu guru ingin keluar bersama sebagian diantara murid-muridnya yang sudah mengerti tatacara shalat; agar mereka bisa bersungguh-sungguh memohon kepada Allah dengan berdoa, berharap kepada-Nya. Sebab, telah sampai berita kepadaku bahwa kaum Nabi Yunus ‘alaihis salam – tatkala mereka telah melihat siksa Allah dengan mata kepala mereka sendiri – maka mereka pun keluar bersama dengan anak-anak mereka, lalu tunduk memohon kepada Allah dengan (perantaraan) mereka.
Hendaklah ia mengajarkan kepada mereka shalat-shalat sunnah, seperti dua rakaat (sebelum) shubuh, witir, shalat dua Hari Raya, istisqa’, dan khusuf; sehingga dia mengajari mereka agama yang akan mereka pergunakan untuk mengabdi kepada Allah, juga Sunnah-sunnah Nabi mereka.
Beliau berkata, “Seorang guru tidak boleh mengajarkan Al-Qur’an maupun baca-tulis kepada anak-anak orang Kristen.”
Beliau berkata: Malik berkata, “Tidak masalah bila guru menulis di buku catatan tanpa berwudhu’. Tidak masalah pula bagi anak-anak, jika mereka belum mencapai usia baligh, untuk membaca papan catatan mereka tanpa berwudhu’, ketika sedang belajar. Demikian pula dengan gurunya. Seorang anak kecil tidak boleh menyentuh Al-Qur’an kecuali telah berwudhu’. Hendaklah guru menyuruh mereka berbuat seperti itu sehingga mereka memahaminya.”
Beliau berkata, “Hendaklah mereka mempelajari shalat jenazah dan cara mendoakannya, sebab itu adalah bagian dari agama mereka. Hendaklah ia memperlakukan mereka secara sama rata dalam pembelajaran, entah bangsawan atau rakyat jelata. Jika tidak, maka ia telah menjadi seorang pengkhianat.”
Malik pernah ditanya perihal mengajari anak-anak kecil di dalam masjid, maka beliau menjawab, “Saya berpendapat bahwa hal itu tidak boleh, sebab mereka tidak bisa memelihara diri dari najis, dan masjid itu sendiri tidak didirikan untuk tempat mengajar.”
Malik berkata, “Saya juga berpandangan bahwa tidak boleh tidur di masjid atau makan di dalamnya, kecuali karena darurat, dan tidak bisa tidak memang harus disana, seperti orang asing, musafir, dan orang yang membutuhkan sementara ia tidak mendapati tempat yang lain.”
Muhammad berkata: Sahnun menyampaikan kepada saya: dari ‘Abdullah bin Nafi’, ia berkata: saya mendengar Malik berkata, “Saya tidak berpandangan bahwa seseorang boleh membaca Al-Qur’an sambil berjalan di jalanan, kecuali jika dia seorang guru . Saya juga tidak berpandangan bahwa seseorang boleh membacanya di kamar mandi.”
Malik berkata, “Bila seorang guru melewati ayat sajdah, dan ia dibacakan di hadapannya oleh seorang anak kecil, maka ia tidak wajib bersujud, sebab anak itu bukan imam, kecuali jika ia sudah baligh, maka tidak masalah bila guru itu bersujud. Jika dia tidak bersujud, maka tidak apa-apa, sebab hal itu tidak wajib. Demikian pula jika ia membacanya sendiri, kalau mau boleh bersujud, kalau tidak mau tidak usah. Tidakkah engkau mengetahui, bahwa ‘Umar pernah membaca ayat sajdah diatas mimbar, lalu beliau turun dan bersujud. Pada kesempatan lain beliau membacanya lagi, namun beliau tidak bersujud, lalu berkata, “Sesungguhnya sujud (tilawah) itu tidak diwajibkan kepada kita.”
Malik berkata, “Demikian pula seorang wanita. Jika dia membaca ayat sajdah (dengan disimak) seorang laki-laki, maka laki-laki itu tidak perlu bersujud bersamanya, sebab wanita itu bukan imam.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada seseorang yang membaca Al-Qur’an di hadapan beliau, “Kamu adalah imam. Maka, andai saja kamu bersujud, pasti aku bersujud bersamamu.”
Sahnun berkata, “Saya tidak menyukai bila guru mengajari anak-anak perempuan dengan mencampurnya bersama anak-anak lelaki, sebab hal itu akan merusak mereka.” – yakni, merusak anak laki-laki.
Sahnun ditanya: apakah seorang guru boleh menghukum muridnya – dalam kasus ada yang menyakiti temannya – berdasarkan pengaduan salah seorang dari mereka? Dijawab, “Saya tidak melihat ini dari sudut pandang hukum. Yang menjadi kewajiban guru hanyalah memberi sanksi kepada mereka bila ada yang menyakiti sesamanya. Hal itu, menurut saya, jika tanda-tanda tindakan menyakiti itu bisa diketahui dari sebagian besar mereka, atau berdasarkan pengakuan (dari pelakunya sendiri); kecuali jika (pengaduan) itu dari anak-anak yang ia kenal sebagai anak yang jujur, maka pengaduannya bisa diterima dan sanksi bisa dijatuhkan berdasarkan hal itu. Namun, guru tidak boleh berlebihan dalam menjatuhkan sanksi, sebagaimana telah saya beritahukan kepadamu. Ia menyuruh mereka untuk menghentikan tindakan menyakiti (orang lain), dan ia mengembalikan apa saja yang sudah diambil salah seorang dari mereka kepada pemiliknya. Akan tetapi, ini tidak dipandang dari segi hukum. Demikian pulalah yang saya dengar dari beberapa orang kolega kami. Sebab, persaksian mereka (yakni, anak-anak) bisa diterima dalam masalah pembunuhan dan penganiayaan, apalagi dalam masalah ini.” Wallahu a’lam. [*]

[ 9 ]
MENGUPAH GURU DAN KAPAN HAL ITU DIWAJIBKAN?
Muhammad berkata: Syajarah bin ‘Isa menulis surat kepada Sahnun untuk bertanya perihal seorang guru yang dikontrak untuk mengajari beberapa anak, lalu salah seorang dari mereka jatuh sakit atau orangtuanya ingin mengajaknya keluar bepergian atau untuk tujuan lain. Beliau menjawab, “Jika dia dikontrak untuk masa dengan hitungan tahun tertentu, maka orangtua mereka harus memberikan upah, entah mereka bepergian atau tidak. Hanya saja, upah yang dikenakan disini ditetapkan sesuai dengan kondisi masing-masing anak, sebab mereka ada yang berkecukupan dan ada pula yang berkekurangan. Ada anak yang memiliki cukup biaya untuk belajar, dan ada pula yang tidak memiliki biaya untuk (diberikan) kepada gurunya. Dalam hal ini, perlu dilihat per kasus.”
Ia berkata: Sahnun berkata: “Batal (yakni, gugur) tanggungan upah di pundak orangtua si anak pada sisa masa kontrak yang dipersyaratkan, dan itu tidak lagi menjadi kewajibannya. Demikian pula jika ayahnya meninggal, maka gugurlah kewajiban upah untuk sisa masa kontraknya. Sisa masa kontrak itu sekarang ditanggung oleh harta si anak.”
Muhammad berkata, “Sama dengan penyusuan bayi (radha’). Jika seorang laki-laki mengupah seseorang untuk menyusui anaknya, kemudian si ayah atau bayi itu meninggal, maka ‘Abdurrahman meriwayatkan dari Malik, bahwa kontrak sewa itu batal. Upah yang masih harus dibayarkan pada sisa masa kontrak itu menjadi tanggungan harta si anak, jika dia memiliki harta, dan itu adalah harta yang diwarisinya dari si mayyit (yakni, ayahnya). Jika si bayi meninggal, maka ayah mengambil kembali upah untuk sisa masa kontraknya. Asyhab meriwayatkan dari Malik, bahwa pemberian itu sudah sah menjadi hak milik si anak. Jika sang ayah meninggal, maka menjadi hak anak, dan jika si anak yang meninggal maka upah untuk masa kontrak selebihnya itu menjadi harta yang diwariskan, seolah-olah itu adalah harta si anak. Upah seorang guru adalah sama dengannya. Wallahu a’lam.” Muhammad berkata, “Inilah pendapat saya, dan ini adalah qiyas (analogi hukum).”
Sahnun berkata: sebagian ulama’ Hijaz pernah ditanyai – diantaranya Ibnu Dinar, dll – bagaimana jika seorang guru dikontrak oleh sekumpulan orang, dan guru itu menetapkan nilai upah yang menjadi tanggungan mereka masing-masing? Dijawab, “Boleh, jika para orangtua itu bersedia, sebab hal itu (yakni, pendidikan) merupakan suatu kebutuhan yang tidak bisa dihindari oleh umat manusia.” Tampaknya, inilah yang paling tepat.
Beliau berkata, “Tindakan ini serupa dengan jika seseorang mengontrak jasa dua orang budak milik dua orang yang berbeda, masing-masing majikan memiliki satu budak. Namun, ini kedudukannya sama dengan jual beli, sedangkan ‘Abdurrahman tidak memperbolehkan kontrak sewa semacam ini, sebab beliau tidak memperbolehkan hal itu dalam transaksi jual beli.” Wallahu a’lam.
Beliau berkata, “Tidak masalah jika seorang guru membeli sendiri segala sesuatu yang ia butuhkan, jika ia tidak mempunyai orang yang bisa melakukan tugas itu untuknya. Tidak masalah juga bila ia memeriksa pembelajaran pada waktu-waktu dimana para murid sebenarnya tidak memerlukan kehadirannya, misalnya ketika mereka sedang berlatih baca-tulis dan saling mendikte satu sama lain, bila hal ini mendatangkan manfaat bagi mereka. Sebagian kolega kami memberi kelonggaran dalam masalah seperti ini.”
Malik ditanya perihal seorang guru yang mengangkat tutor untuk murid-muridnya, maka beliau menjawab, “Jika dia sepadan dengan dirinya dalam penguasaan ilmu, maka hal itu bisa ditolelir, jika ada manfaat bagi para murid dengan tindakan ini.”
Saya jufa mendengar beliau berkata: al-Mughirah Ibnu Syu’bah dan Ibnu Dinar – keduanya adalah ulama’ Hijaz – berbeda pendapat tentang seorang anak yang telah mengkhatamkan Al-Qur’an pada seorang guru, lalu ayahnya berkata, “Dia tidak hafal (Al-Qur’an).” Al-Mughirah berkata, “Jika anak itu telah mengambil bacaan Al-Qur’an secara keseluruhan dari guru itu, dan si anak telah membaca seluruhnya dari Mushhaf dan dia bisa membaca huruf-hurufnya secara tepat, lalu dia melakukan kesalahan kecil yang bisa dimaafkan semisal satu dua huruf atau yang semisalnya, maka guru itu benar-benar telah berhak untuk mendapat (upah) pengkhataman Al-Qur’an. Upah itu bagi yang kaya ada kadarnya sendiri, dan bagi yang miskin ada kadarnya pula. Inilah yang saya ingat dari pernyataan Malik.”
Ibnu Dinar berkata, “Saya mendengar Malik berkata: ‘Guru berhak mendapatkan (upah) pengkhataman sesuai dengan kelapangan maupuan kesempitan materi milik seseorang. Pejabat yang bertugas untuk memperhatikan masalah ini wajib mengusahakannya untuk kaum muslimin.”
Menurut saya, jika seorang ayah berselisih dengan guru dalam masalah seorang anak, bahwa (menurut si ayah) anak itu tidak mengerti Al-Qur’an, maka jika anak itu bisa membaca dari Mushhaf dari tempat dimana jika si anak itu mempelajarinya dari si guru secara terpisah maka ia wajib mendapatkan upahnya, maka ditetapkanlah hak itu baginya. Saya tidak perduli bahwa sebenarnya anak itu tidak bisa membaca yang lainnya. Sebab, jika anak itu tidak mempelajari (bagian lain) itu dari guru tersebut, maka si guru tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atasnya. Mereka (yakni, para ulama’) sepakat bahwa jika seorang anak mempelajari sepertiga dari surah al-Baqarah, maka hak (upah) pengkhataman itu sudah wajib (diberikan), jika diketahui ia bisa membaca sebagaimana yang saya deskripsikan kepadamu tadi. Murid itu tidak boleh ditanyai perihal bagian selainnya, yang belum pernah dia pelajari dari guru yang bersangkutan.
Beliau pernah ditanya perihal seorang guru yang dikontrak untuk mengajari anak-anak lalu dia meninggal dunia, beliau menjawab, “Bila dia meninggal, maka kontrak itu tidak berlaku lagi. Demikian pula jika salah seorang anak itu meninggal, maka gugurlah kewajiban membayar upah itu seukuran dengan kewajiban membayar upah pada masa selebihnya yang ditanggung oleh anak lain yang semisalnya. Namun, ada yang mengatakan bahwa kontrak sewa itu tidak gugur, dan menjadi kewajiban guru untuk terus mengajar dalam masa kontrak yang masih tersisa sampai jatuh temponya. Ayah dari si anak yang meninggal itu wajib untuk mendatangkan anak lain yang harus diajari oleh si guru sampai penuh satu tahun (yang disepakati dalam kontrak). Jika tidak, maka guru berhak memperoleh upahnya secara utuh.”
Muhammad berkata, “Yang pertama itu adalah pendapat ‘Abdurrahman, dan itulah yang menjadi dasar praktik/amal. Itu semata-mata sama kedudukannya dengan (penyewaan) binatang tunggangan. Jika hewan itu mati, maka gugurlah kontrak sewanya dan tidak boleh untuk mendatangkan hewan lain yang semisalnya, dan hal itupun tidak dipersyaratkan.” Wallahu a’lam.
Saya mendengar beliau berkata, “Seluruh kolega kami berpendapat – yakni, Malik, al-Mughirah, dsb – bahwa seorang guru wajib mendapat upah pengkhataman, meskipun dia dikontrak secara bulanan, atau dikontrak untuk mengajarkan Al-Qur’an dengan sejumlah kompensasi tertentu. Tidak ada kewajiban lain (untuk diberikan) kepadanya di luar itu. Mereka juga berkata, bahwa jika si anak bisa membaca seluruh Al-Qur’an secara langsung dari ingatannya, maka pemberian yang diberikan kepada guru lebih banyak dibanding jika si anak membacanya dengan melihat Mushhaf. Jika anak tidak bisa mengeja dengan benar apa yang didiktekan kepadanya dan tidak mengerti huruf-huruf Al-Qur’an, maka guru tidak diberi apa-apa. Guru itu harus diberi sanksi dan dilarang mengajar lagi, jika dia diketahui seperti itu. Tampak jelas bahwa ia sembrono (dalam mengajar).” [*]

[ 10 ]
MENYEWAKAN MUSHHAF AL-QUR’AN, BUKU-BUKU FIQH DAN LITERATUR LAIN YANG SEMACAMNYA
Sahnun berkata: saya bertanya kepada Ibnu al-Qasim, “Apakah menurut Anda Mushhaf Al-Qur’an itu sah untuk disewakan, dengan tujuan untuk dibaca?” Dijawab, “Tidak masalah, sebab Malik berkata: ‘Tidak masalah untuk memperjual-belikannya.’”
Ibnu Wahb meriwayatkan dari Ibnu Luhai’ah, dan Yahya bin Ayyub meriwayatkan dari ‘Umarah bin ‘Arafah: dari Rabi’ah: “Tidak masalah memperjual-belikan Mushhaf. Yang diperjual-belikan itu hanyalah tinta, kertas dan jasa (penyalinannya).”
Ibnu Wahb: dari ‘Abdul Jabbar bin ‘Umar: sesungguhnya Ibnu Mushih menulis Mushhaf-mushhaf pada zaman itu dan memperjual-belikannya.” Saya yakin, maksudnya adalah pada zaman ‘Utsman bin ‘Affan, dan tidak seorang pun yang mengingkarinya. Saya juga tidak melihat seorang pun di Madinah yang mengingkarinya. Beliau berkata, “Seluruhnya memandang hal itu tidak apa-apa.”
Beliau berkata, “Saya tidak berpandangan untuk memperbolehkan penyewaan buku-buku fiqh, sebab Malik tidak menyukai (kariha) penjualannya. Sebab di dalamnya mengandung perbedaan pendapat diantara para ulama’: sebagian kalangan memperbolehkan apa yang dinilai batal oleh kalangan lainnya.” Saya bertanya, “Anda memperbolehkan kontrak sewa terhadap orang merdeka, padahal dia tidak boleh diperjual-belikan, lalu bagaimana bisa Anda tidak memperbolehkan penyewaan buku-buku fiqh?” Dijawab, “Sebab, kontrak sewa terhadap orang merdeka itu bisa diketahui secara pasti, yakni pelayanan jasa yang dia berikan bisa dimiliki (oleh penyewanya). Akan tetapi untuk kitab-kitab fiqh yang terjadi hanyalah (hak) membaca, dan membaca itu tidak bisa dimiliki (oleh penyewanya).”
Muhammad berkata, “Tidak masalah untuk menyewakan dan memperjual-belikannya, jika bisa diketahui siapa yang menyewa dan membelinya.”
Muhammad berkata, “Tidak masalah bila seseorang mengontrak seorang guru untuk mengajari anaknya Al-Qur’an dengan upah tertentu dan batas waktu tertentu, atau sepanjang bulan. Demikian juga setengah atau seperempat Al-Qur’an, atau bagian lain yang secara khusus ditunjuknya.”
Ia berkata, “Jika seorang guru dikontrak untuk mengajari beberapa anak tertentu, maka ia boleh mengajari anak-anak lain bersama anak-anak itu, bila tindakannya itu tidak menyibukkannya dari mengajari anak-anak yang dia telah dikontrak untuk mengajarinya.”
Ia berkata, “Jika seorang guru dikontrak (untuk mengajari) anak-anak tertentu selama setahun, maka para wali dari anak-anak tersebut berkewajiban membayar biaya tempat tinggal bagi si guru. Jika kepada seorang guru dikatakan: ‘Ajari budak pelayan ini, dan engkau berhak memiliki setengahnya,” maka ini tidak diperbolehkan.
Ia berkata, “Jika seorang guru menjatuhkan sanksi kepada murid yang berada di bawah wewenangnya, lalu dia melakukan kesalahan sehingga anak itu buta sebelah matanya, atau dia ditindak sedemikian rupa sampai terbunuh, maka si guru wajib menanggung kaffarat dalam kasus pembunuhan. Diyat pun dikenakan atasnya jika dia melampau batas dalam menjatuhkan sanksi. Jika dia tidak melampaui batas, dan hanya melakukan sebatas apa yang diperbolehkan baginya, maka dia tidak wajib menanggung diyat. Hanya saja, ia harus menjamin hal itu jika mencapai sepertiga. Jika tidak sampai mencapai sepertiga, maka diambilkan dari hartanya.
Ia berkata, “Tidak masalah bila seseorang mengontrak orang lain untuk mengajari menulis dan membaca huruf hija’iyah. Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah menerima tebusan seorang (tawanan) yang bersedia mengajarkan menulis.”
Ia berkata, “Saya tidak berpandangan untuk memperbolehkan jual-beli buku-buku syair, nahwu, dan yang sejenisnya. Tidak boleh juga membayar orang yang mengajarkan hal itu. Malik berkata: ‘Saya tidak berpandangan (yang membolehkan) mengontrak jasa orang yang mengajarkan fiqh dan fara’idh (ilmu pembagian waris).” Ia berkata, “Sahnun juga berpendapat (seperti itu).”
Jika seorang guru memukul anak disebabkan hal-hal yang ia boleh memukul karenanya, jika anak yang sepadan dengannya kuat untuk menerima pukulan itu, akan tetapi dia kemudian meninggal atau tertimpa malapetaka (misal, cacat), maka tidak ada kewajiban apapun atas si guru, selain kaffarat jika anak itu meninggal. Jika dia melampaui batas dalam menjatuhkan sanksi, maka diyat ditanggungkan kepada hartanya dengan diserati penjatuhan sanksi (kepada guru itu). Ada yang berpendapat bahwa bersama tanggungan diyat itu dikenakan pula kewajiban membayar kaffarat. Jika dia melampaui batas dalam memberi sanksi, lalu si anak jatuh sakit karena (pukulan) itu dan kemudian meninggal, jika tindakannya mencapai level tertentu dimana hal itu diketahui sebagai keinginan untuk membunuh, maka para walinya bersumpah dan guru itu dibunuh oleh mereka karenanya. [yakni, melalui prosedur pengadilan]. Namun, jika ia tidak mencapai level yang dengan itu bisa diketahui bahwa ia memang berkehnginan membunuh, dan semata-mata hanya ingin menjatuhkan sanksi, namun ia sendiri tidak mengerti (batasan) pemberian sanksi, maka guru itu yang diminta bersumpah dan para walinya berhak mendapatkan diyat dan guru itu menerima kewajiban membayarnya, dan ia pun berkewajiban membayar kaffarat. Jika guru itu bukan yang melakukannya sendiri, namun ada orang lain yang dia tugasi untuk menanganinya, maka kasusnya seperti yang sudah aku jelaskan kepadamu, dan orang yang ditugasi itu tidak menanggung kewajiban apa-apa. Jika orang yang ditugasi itu sudah baligh, maka ada sebagian kolega kami yang berpandangan bahwa diyat itu menjadi tanggungan si pelaku sedangkan guru menanggung kaffarat-nya. Sebagian kolega kami ada yang berpandangan bahwa diyat itu menjadi tanggungan guru , sedangkan si pelaku menanggung kaffarat-nya.” Wallahu a’lam.
Ia berkata: saya mendengar Sahnun berkata, “Saya tidak berpandangan untuk membolehkan seorang guru mengajarkan teknik Aba-Jad (yakni, meramal dengan menggunakan bobot-bobot huruf abjad). Saya berpandangan bahwa hal itu perlu diajukan kepada para guru. Saya mendengar Hafsh bin Ghiyats bercerita bahwa Aba-Jad adalah nama-nama syetan yang mereka sampaikan kepada bangsa Arab di zaman jahiliyah, lalu mereka mencatatnya.” Ia berkata, “Saya mendengar sebagian ulama’ mengklaim bahwa Aba-Jad adalah nama-nama anak Sabur, raja Persia. Ia menyuruh bangsa Arab yang tunduk kepadanya untuk mencatatnya. Maka, saya berpandangan bahwa tidak seorang pun boleh mencatatnya, sebab hal itu haram. Sahnun bin Sa’id telah memberitahu saya: dari ‘Abdullah bin Wahb: dari Yahya bin Ayyub: dari ‘Abdullah Ibnu Thawus: dari ayahnya: dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata, “Kaum-kaum yang memperhatikan bintang-bintang, mereka itu menuliskan Aba-Jad. Mereka itu tidak akan mendapat bagian apa-apa (di akhirat kelak).”
Ia berkata: Malik ditanya perihal seorang guru yang memukul seorang anak lalu membutakan sebelah matanya, atau mematahkan tangannya, maka beliau menjawab, “Jika dia memukul dengan cambuk karena ingin memberi sanksi, lalu anak itu terkena gagangnya sehingga tangannya patah, atau sebelah matanya menjadi buta, maka diyat dikenakan kepada pelakunya itu jika dia melakukan (dalam batasan) yang diizinkan baginya. Jika anak itu meninggal, maka diyat dikenakan kepada pelakunya dengan disertai sumpah dan ia wajib pula membayar kaffarat. Jika ia memukulnya dengan papan catatan atau tongkat, lalu anak itu meninggal, maka ia dikenakan qishash, sebab ia tidak diizinkan untuk memukul dengan tongkat atau papan catatan.
Saya bertanya, “Sebagian ulama’ Andalusia meriwayatkan bahwa tidak masalah untuk mengontrak jasa pengajaran fiqh, fara’idh, syair, dan nahwu, karena ia semisal dengan Al-Qur’an?” Dijawab, “Malik dan kolega-kolega kami memakruhkannya. Bagaimana bisa dia menyamakannya dengan Al-Qur’an, padahal Al-Qur’an itu mempunyai batasan yang disitu (pengajaran) bisa diakhiri, sementara apa-apa yang kamu sebutkan itu tidak memiliki batasan dimana (pengajaran) bisa diakhiri padanya. Ini semua tidak diketahui (batasannya). Fiqh dan ilmu-ilmu lainnya itu merupakan perkara yang mengandung perselisihan di dalamnya, sedangkan Al-Qur’an itu kebenaran yang tidak diragukan lagi. Fiqh tidak dihafalkan di luar kepala seperti Al-Qur’an, sehingga fiqh tidak serupa dengannya, tidak ada batasannya, dan tidak ada pula masa yang padanya (pembelajaran) bisa diakhiri.” [*]

***

Selesailah kitab Adabul Mu’allimin, oleh Muhammad bin Sahnun, dari ayahnya, semoga Allah meridhai mereka berdua.
Yang menulis naskah ini adalah seorang hamba Allah, untuk dirinya sendiri, yang mengharapkan keluasan karunia dan rahmat-Nya, yaitu Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Bariy al-Muradiy, semoga Allah mengampuninya dan bagi kedua orangtuanya. Amin.

***

Naskah ini selesai dialihbahasakan oleh M. Alimin Mukhtar, guru di Pesantren Hidayatullah Malang, pada hari Senin, 18 Rabi’ul Awwal 1432 H. Semoga Allah menjadikannya bermanfaat, ikhlas di sisi-Nya, dan dimasukkan dalam catatan amal kebaikannya, juga bagi kedua orangtua dan guru-gurunya. Amin.
Wal-hamdu lillahi rabbil ‘alamin.

[*]
--- selesai ---

Bagian pertama, klik disini
Untuk mendapatkan naskah lengkap versi PDF, cek halaman DOWNLOAD, atau klik disini