Terjemah "Adabul Mu'allimin", karya Ibnu Sahnun - Bag. 1

[ "gambar ini hanya hiasan" ]


Bismillahirrahmanirrahim




PENGANTAR PENERJEMAH

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam bagi Muhammad Rasulillah, keluarga dan sahabatnya. Semoga Allah memberi kita ilmu yang bermanfaat dan menjauhkan kita dari kesalahan.

Ya Allah, mudahkan dan bantulah!

Naskah ringkas ini merupakan pengalihbahasaan dari kitab Adabul Mu’allimin, sebuah catatan atas pandangan-pandangan Sahnun bin Sa’id at-Tanukhi seputar pendidikan, khususnya pendidikan anak-anak dan pengajaran Al-Qur’an. Pandangan-pandangan beliau dicatat oleh putranya sendiri, Muhammad, dan sebagian besarnya berisi tanya jawab yang berlangsung diantara mereka.

Nama lengkap Sahnun adalah Abu Sa’id Sahnun bin Sa’id bin Habib at-Tanukhi, seorang qadhi, mufti dan faqih Qairuwan, Afrika Utara pada masanya. Nama aslinya adalah ‘Abdussalam, sementara Sahnun adalah gelar yang berarti “martil pemecah batu”, karena sangat kuatnya akal beliau dalam memecahkan aneka persoalan. Beliau mengembara untuk mencari ilmu dari Ibnul Qasim, Ibnu Wahb, Asyhab, Sufyan bin ‘Uyainah, ‘Abdurrahman bin Mahdi, Hafsh bin Ghiyats, Abu Dawud ath-Thayalisi, Yazid bin Harun, Ibnul Majisyun, Mutharrif, dan lain-lain. Banyak riwayat pula yang dikutip dari beliau. Beliau wafat pada bulan Rajab tahun 240 H.

Menurut Muhammad bin Ahmad bin Tamim, Sahnun adalah ulama’ yang tsiqah, kuat ingatannya, dan sangat faqih. Pada diri beliau menyatu berbagai kelebihan yang sangat jarang dimiliki orang lain, yaitu kefaqihan yang cemerlang, sikap wara’ yang sungguh-sungguh, tegas dalam membela kebenaran, zuhud terhadap dunia, gemar memakai pakaian kasar, memakan makanan kasar, dan sangat dermawan. Beliau tidak mau menerima sedikit pun hadiah dari penguasa. Sekali waktu, beliau pernah mengirim uang untuk temannya sejumlah tigapuluh dinar (kira-kira, 50 juta lebih), atau sekitar itu. Menurut Abu Bakr al-Maliki, beliau seorang yang berhati lembut, mudah sekali menangis, tampak khusyu’ dan rendah hati, jarang sekali dibuat-buat sikapnya, berakhlak mulia, baik adabnya, bersih hatinya, sangat keras kepada penganut bid’ah, dan tidak khawatir celaan orang dalam membela agama Allah. Kedudukannya sebagai imam diakui di belahan timur maupun barat Dunia Islam pada masa itu. Orang-orang yang hidup sezaman dengan beliau menerima keimaman beliau, sepakat mengakui keutamaannya dan mendahulukan beliau dibanding ulama’ lain. Ibnu Wadhdhah berkata, “Saya tidak pernah melihat seorang pun yang lebih mengerti hadits dibanding Muhammad bin Mas’ud, dan saya tidak pernah menemukan pernyataan berdasarkan ra’yu dari Sahnun.” Asyhab pernah ditanya, “Siapakah orang yang (paling hebat) yang datang kepada Anda dari wilayah Maghrib?” Dijawab, “Sahnun.” Beliau ditanya lagi, “Bagaimana dengan Asad?” Beliau menjawab, “Sahnun sembilan puluh sembilan kali lebih faqih dibanding Asad.” Asyhab juga berkata, “Tidak ada yang datang kepada kami dari wilayah Maghrib yang semisal dengan dia (Sahnun). Ibnul Qasim mendorongnya agar bermukim bersamanya untuk mencari ilmu, dan tidak keluar untuk berperang, dikarenakan beliau telah mendapatkan suatu firasat perihal dirinya (Sahnun).”

Diantara nasihat Sahnun adalah, sbb: “Saya tidak menyukai penghidupan seseorang kecuali jika setimbang dengan kemampuannya. Jangan memaksakan diri melebihi apa yang dimilikinya. Jika dia membutuhkan seorang istri, maka carilah yang sesuai dengan kadar kemampuan yang dimilikinya, dalam hal biaya untuk menghidupinya dan sikap qana’ah-nya, sehingga masih tersisa di tangannya sesuatu yang mencukupi bagi dirinya sendiri. Jika dia memiliki harta yang halal, maka jadikan ia sandaran, lalu berkonsentrasilah untuk beribadah. Jika tidak ada, maka hendaklah ia bersandar pada apa yang diusahakannya sendiri. Itu jauh lebih baik baginya dibanding meminta-minta kepada orang lain. Jika dia tidak membutuhkan istri, maka tidak menikah itu lebih saya sukai. Makan dari harta orang lain karena kemiskinan dan (menerima) sedekah itu lebih baik dibanding jika dia makan dari (mengajarkan) ilmu dan Al-Qur’an.”

Sedangkan putra beliau, Muhammad, adalah seorang faqih dari Madzhab Maliki, dan juga menjadi mufti Qairuwan seperti ayahnya. Beliau adalah seorang imam yang sangat produktif dan memiliki banyak karya tulis, sangat dihormati di Qahruwan, mendidik sejumlah tokoh Malikiyah yang termasyhur, dan tidak ada lagi ulama’ seperti beliau sepeninggalnya. Beliau wafat pada tahun 265 H.

Adapun kitab Adabul Mu’allimin sendiri, aslinya berukuran kecil saja, terdiri dari 64 halaman, dan 38 diantaranya merupakan muqaddimah yang ditulis oleh al-ustadz Hasan Hasani ‘Abdul Wahhab, seputar masalah pendidikan. Buku ini diterbitkan di Tunis pada tahun 1348 H. Jadi, karya Ibnu Sahnun ini sendiri hanya berkisar 26 halaman saja tebalnya, dalam format kecil. Karya ini dibagi menjadi 10 pasal pendek, dan sebagian diantaranya berupa dialog antara Sahnun dengan putranya, atau kutipan-kutipan riwayat yang disertai komentar-komentar singkat.

Adapun 10 pasal dimaksud adalah, sbb:

1.       Pengajaran Al-Qur’an yang mulia

2.       Perlakuan yang adil kepada murid

3.       Dzikir-dzikir yang makruh untuk dihapus, dan apa yang sebaiknya dilakukan terhadapnya

4.       Adab (sanksi dan hukuman): apa yang boleh dan apa yang dilarang?

5.       Mengkhatamkan (pelajaran) dan hal yang wajib (diberikan) kepada guru dalam hal ini

6.       Penetapan hadiah-hadiah pada Hari Raya

7.       Berapa lama sebaiknya murid diberikan libur?

8.       Kewajiban guru untuk selalu mendampingi muridnya

9.       Mengupah guru dan kapan hal itu diwajibkan?

10.   Menyewakan mushhaf Al-Qur’an, buku-buku fiqh dan literatur lain yang semacamnya

Namun, untuk edisi bahasa Indonesia ini, kami mengambil naskah aslinya dari lampiran buku lain berjudul at-Tarbiyah fil Islam, karya Dr. Ahmad Fu’ad al-Ahwani, seorang Profesor Filsafat pada Fakultas Sastra Universitas Kairo, Mesir. Buku terakhir ini diterbitkan oleh Darul Ma’arif, Kairo, tahun 1968, setebal 380 halaman, dalam format sedang, dan diberi kata pengantar Syaikh al-Azhar, yaitu (alm.) Syekh Mushthafa ‘Abdur Raziq. Dalam buku ini, penulis menganalisis metode pendidikan yang diajarkan para ulama generasi awal berdasarkan karya penulis abad ke-3 H, yaitu Muhammad bin Sahnun; dan Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Khalaf al-Qabisi, al-faqih, al-Qairuwani, seorang ulama’ abad ke-4/5 Hijriyah. Ulama’ terakhir ini lahir pada tahun 324 H, dan wafat tahun 403 H. Kitab Adabul Mu’allimin sendiri terdapat pada halaman 353 sampai 368 dari buku at-Tarbiyah fil Islam.

Akhirnya, kami cukupkan sampai disini pengantar ini, dan sekarang mari kita mulai menelaah terjemahan naskah aslinya. Semoga bermanfaat. Amin. [*]



Bismillahirrahmanirrahim



[ 1 ]

PENGAJARAN AL-QUR’AN YANG MULIA

Abu ‘Abdillah Muhammad bin Sahnun berkata: ayah saya, Sahnun, menyampaikan kepada saya: dari ‘Abdullah bin Wahb: dari Sufyan ats-Tsauri: dari ‘Alqamah bin Martsad: dari Abu ‘Abdirrahman as-Sulami: dari ‘Utsman bin ‘Affan: sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang paling utama diantara kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.”

Muhammad: dari Abu Thahir: dari Yahya bin Hassan: dari ‘Abdul Wahid bin Ziyad: dari ‘Abdurrahman bin Ishaq: dari an-Nu’man bin Sa’ad: dari ‘Ali bin Abi Thalib: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang paling baik diantara kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.”

Muhammad: dari Ya’qub bin Kasib: dari Yusuf bin Abi Salamah: dari ayahnya: dari ‘Abdurrahman bin Hurmuz: dari ‘Abdullah bin Abi Rafi’: dari ‘Ali bin Abi Thalib: sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah mengangkat (derajat) beberapa kaum dengan Al-Qur’an.”

Dari Sahnun: dari ‘Abdullah bin ‘Abdullah bin Nafi’, ia berkata: Husain menyampaikan kepada saya: dari ‘Abdullah bin Hamzah: dari ayahnya: dari kakeknya: dari ‘Ali: sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hendaklah kalian (mempelajari) Al-Qur’an, sebab ia akan menghapus kemunafikan, sebagaimana api menghilangkan kotoran/karat pada besi.”

Musa: dari ‘Abdurrahman bin Mahdi: dari ‘Abdurrahman bin Naufal: dari ayahnya: dari Anas bin Malik: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mempunyai “keluarga-keluarga” di kalangan manusia.” Ada yang bertanya, “Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mereka adalah para pengemban Al-Qur’an. Merekalah keluarga Allah dan orang-orang spesial bagi-Nya.”

Dari Malik: dari Ibnu Syihab: dari ‘Urwah bin az-Zubair: dari ‘Abdurrahman Ibnu ‘Abdil Qariy: dari ‘Umar bin al-Khaththab, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah mana saja yang terasa ringan bagimu.”

Ia berkata: Musa bin Mu’awiyah ash-Shamadihiy menyampaikan kepada saya: dari Sufyan: dari al-A’masy: dari Tamim bin Salamah: dari Hudzaifah, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang membaca Al-Qur’an dengan disertai (ketepatan) I’rab-nya, maka baginya pahala seorang syahid.”

Ahmad bin Abu Bakar juga menyampaikan kepada saya: dari az-Zuhri: dari Muhammad bin Thalhah: dari Sa’id Ibnu Sa’id al-Maghribi: dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa mempelajari Al-Qur’an pada usia mudanya, maka Al-Qur’an itu akan menyatu dengan daging dan darahnya, dan barangsiapa yang mempelajarinya pada usia tua sedangkan Al-Qur’an itu mudah terlepas darinya, namun dia tidak meninggalkannya, maka baginya pahala dua kali.”

Abu Musa menyampaikan kepada saya: dari Ibnu Wahb: dari Mu’awiyah bin Shalih: dari Asad Ibnu Wada’ah: dari ‘Utsman bin ‘Affan, tentang firman Allah (yang artinya): “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami…” (Qs. Fathir: 32), beliau berkata, “Setiap orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya, maka dia termasuk orang-orang yang dipilih Allah diantara anak cucu Adam.”

Mereka menyampaikan kepada kami, dari Sufyan ats-Tsauri: dari al-‘Ala’ bin as-Sa’ib, ia berkata: Ibnu Mas’ud berkata, “Ada tiga (jenis orang) dimana umat manusia pasti membutuhkan mereka. (Pertama), harus ada seorang pemimpin yang menegakkan hukum diantara umat manusia. Jika tidak, pasti mereka akan saling memakan satu sama lain. (Kedua), manusia harus memperjual-belikan Mushhaf (Al-Qur’an). Jika tidak, niscaya Kitabullah akan menjadi langka. (Ketiga), manusia harus mempunyai guru yang mengajari anak-anak mereka, dan ia berhak mengambil upah atas profesinya itu. Jika tidak, pasti manusia akan menjadi buta huruf (ummiy).”

Ibnu Wahb: dari ‘Umar bin Qays: dari ‘Atha’, bahwa dulu beliau mengajarkan al-kitab (yakni, baca-tulis) pada zaman Mu’awiyah, dan mempersyaratkan (upah tertentu).

Ibnu Wahb: dari Ibnu Juraij, ia berkata: saya bertanya kepada ‘Atha’, “Apakah saya boleh mengambil upah dikarenakan mengajarkan baca-tulis?” Beliau balik bertanya, “Apakah engkau pernah tahu ada seseorang yang tidak menyukainya?” Beliau menjawab sendiri, “Tidak.”

Ibnu Wahb: dari Hafsh bin Maysarah: dari Yunus: dari Ibnu Syihab: sesungguhnya Sa’ad bin Malik – yakni, Sa’ad bin Abi Waqqash – datang dari Iraq dengan membawa seorang laki-laki yang mengajari anak-anak mereka baca-tulis di Madinah, dan mereka (yakni, para Sahabat) memberi upah pada orang itu.

Ibnu Wahb berkata, dan Malik berkata, “Tidak masalah dengan (upah) yang diambil oleh seorang guru atas pengajaran Al-Qur’an. Jika dia mensyaratkan sesuatu (upah yang) tertentu, maka hal itu halal dan boleh.”

Tidak masalah mempersyaratkan (upah tertentu) dalam hal ini. Dan, hak untuk mengkhatamkan pengajaran Al-Qur’an adalah menjadi kewajiban baginya, baik ia mempersyaratkannya atau tidak. Demikianlah pandangan para ulama’ di negeri kami tentang (profesi) guru. [*]



[ 2 ]

PERLAKUAN YANG ADIL KEPADA MURID

Muhammad bin ‘Abdul Karim al-Barqy menyampaikan kepada saya, ia berkata: Ahmad bin Ibrahim al-‘Umary menyampaikan kepada saya: Adam bin Bahram bin Iyas menyampaikan kepada kami: dari ar-Rabi’: dari Shubaih: dari Anas bin Malik, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Pendidik (mu’addib) mana saja yang menangani (pendidikan) tiga orang anak kecil dari umat ini, lalu ia tidak mengajari mereka secara sama, yang fakir bersama yang kaya diantara mereka, dan yang kaya bersama yang fakir diantara mereka, kelak pada Hari Kiamat ia akan digiring bersama para pengkhianat.”

Dari Musa: dari Fudhail bin ‘Iyadh: dari Layts: dari al-Hasan, beliau berkata, “Jika telah ditetapkan (bagian) upah seorang guru , lalu ia tidak bersikap adil diantara mereka – yakni, anak-anak didiknya – maka ia dicatat termasuk golongan orang-orang zhalim.” [*]



[ 3 ]

DZIKIR-DZIKIR YANG MAKRUH UNTUK DIHAPUS, DAN APA YANG SEBAIKNYA DILAKUKAN TERHADAPNYA

Muhammad bin ‘Abdurrahman menceritakan kepada saya: dari ‘Abdullah bin Mas’ud: dari Zaid bin Rabi’: dari Basyar bin Hakim: dari Sa’id bin Harun: dari Anas bin Malik, beliau berkata, “Jika seorang bocah kecil menghapus tulisan: tanziilun min rabbil ‘alamin – yakni, ayat Al-Qur’an – dari papan catatan mereka dengan menggunakan kaki mereka, maka guru itu telah melemparkan ke-Islam-annya ke belakang punggungnya, kemudian dia tidak perduli diatas (kondisi) macam apa kelak ia akan menjumpai Allah.”

Pernah ditanyakan kepada Anas, “Bagaimana dulu keadaan para pendidik di zaman para Imam: Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali, semoga Allah meridhai mereka?” Beliau menjawab, “Dulu, seorang pendidik memiliki sebuah bak cuci. Setiap hari, setiap anak secara bergiliran membawa air yang suci, kemudian ia menuangkannya ke dalam bak itu. Dengan air itulah mereka menghapus papan-papan catatan mereka.” Anas melanjutkan, “Mereka kemudian menggali sebuah lubang di tanah, lalu menumpahkan air itu kesana, sehingga meresap dan kering.”

Saya bertanya, “Apakah menurut Anda (tulisan) itu boleh dibasahi dengan ludah?” – yakni, untuk menghapusnya. Dijawab, “Tidak masalah. Tetapi, jangan dihapus dengan kaki, dan boleh dihapus dengan sapu tangan atau yang semisalnya.”

Saya bertanya, “Menurut Anda, bagaimana dengan masalah-masalah yang dicatat oleh anak-anak pada buku catatan?” Dijawab, “Bila ia termasuk dzikrullah, maka dia tidak boleh menghapusnya dengan kakinya. Dan, tidak masalah untuk menghapus (dengan kaki) untuk yang bukan bagian dari Al-Qur’an.”

Beliau menyampaikan kepada kami: dari Musa bin Juwaibir bin Manshur, ia berkata: Ibrahim an-Nakha’iy pernah berkata, “Termasuk bagian dari muru’ah adalah bila terlihat noda tinta pada pakaian dan bibir seseorang.” Beliau berkata, “Ini menunjukkan bahwa tidak apa-apa untuk membasahinya dengan ludah, yakni menjilatnya.” [*]



[ 4 ]

ADAB (SANKSI DAN HUKUMAN): APA YANG BOLEH DAN APA YANG DILARANG?

Dia berkata: beliau menyampaikan kepada kami, dari ‘Abdurrahman: dari ‘Ubaid bin Ishaq: dari Yusuf bin Muhammad, ia berkata: saya pernah duduk di samping Sa’ad al-Khaffaf, lalu anaknya datang sambil menangis. Beliau bertanya, “Nak, apa yang membuatmu menangis?” Dia menjawab, “Pak guru memukulku.” Beliau pun berkata, “Jika demikian, demi Allah, sungguh akan aku sampaikan kepada kalian sebuah hadits. ‘Ikrimah menyampaikan kepadaku: dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seburuk-buruk umatku adalah para guru anak-anak kalian. Mereka itu paling sedikit rasa sayangnya kepada anak yatim dan paling kasar kepada kaum miskin.”

Muhammad berkata: hal itu semata-mata karena dia (yakni, guru anak-anak) memukul murid-muridnya bila dia marah, dan bukan demi kebaikan mereka. Namun, tidak masalah untuk memukul mereka demi kebaikan mereka sendiri. Jangan memberi sanksi – yakni, pukulan – lebih dari tiga kali, kecuali jika ayahnya mengizinkan lebih dari itu, tatkala si anak menyakiti orang lain. Guru boleh memberi sanksi mereka karena bermain-main dan melakukan hal sia-sia, namun tidak boleh memberi sanksi lebih dari sepuluh kali. Adapun untuk (pengajaran) baca Al-Qur’an, maka jangan memberi sanksi lebih dari tiga kali.

Saya bertanya, “Mengapa Anda menentukan batasan sepuluh kali saja untuk sanksi di luar (pengajaran) Al-Qur’an, dan untuk (pengajaran) Al-Qur’an hanya tiga kali?” Dijawab, “Sebab, sepuluh kali itu adalah batas maksimal sanksi. Demikianlah, saya mendengar Malik berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian memukul lebih dari sepuluh kali cambukan, kecuali dalam hudud.” – yakni, sanksi untuk zina, minum khamer, dsb.

Muhammad berkata: Ya’qub bin Humaid menyampaikan kepada kami: dari Waki’: dari Hisyam bin Abu ‘Abdillah bin Abi Bakar: dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk memukul lebih dari sepuluh kali cambukan, kecuali dalam hudud.”

Rabah menyampaikan kepada kami: dari Tsabit: dari ‘Abdurrahman bin Ziyad: dari Abu ‘Abdirrahman al-Habaliy: telah sampai kabar kepadaku, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sanksi untuk anak kecil itu tiga kali cambukan, lalu yang lebih dari itu akan dibalas secara setimpal (qishash) pada Hari Kiamat. Sanksi untuk seorang muslim di luar hudud adalah sepuluh sampai lima belas kali (cambukan), lalu yang lebih dari itu sampai dua puluh kali, maka akan dipukul (sebagai balasannya) pada Hari Kiamat.”

Muhammad berkata: demikianlah, menurut saya seseorang tidak boleh memukul budaknya lebih dari sepuluh kali. Apa yang lebih dari itu maka akan dibalas secara setimpal pada Hari Kiamat kelak, kecuali dalam masalah hudud. Kecuali, jika kesalahannya semakin menjadi-jadi, maka tidak masalah bila ia dipukul lebih dari sepuluh kali, yakni bila ia tidak memelihara diri dari (kesalahan) yang pernah diperbuatnya. [Maksudnya, bila dia mengulangi lagi kesalahan yang sama]. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah mengizinkan untuk memberi sanksi kepada wanita. Diriwayatkan bahwa Ibnu ‘Umar pernah memukul istrinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seorang laki-laki yang menghukum anaknya – yakni, karena suatu kesalahan – itu lebih baik dibanding bila ia bersedekah.” Sebagian ulama’ ada yang berkata, “Sesungguhnya sanksi itu tergantung kadar kesalahannya.” Sekali waktu, ada yang memberi sanksi melebihi (takaran) hudud, seperti Sa’id bin al-Musayyab, dan lain-lain. [*]



[ 5 ]

MENGKHATAMKAN (PELAJARAN) DAN HAL YANG WAJIB (DIBERIKAN) KEPADA GURU DALAM HAL INI

Saya bertanya kepada beliau, “Kapankah khataman itu diwajibkan?” Dijawab, “Jika sudah mendekati (khatam) dan telah melampaui dua pertiga.” Saya bertanya kepadanya tentang mengkhatamkan (pada saat baru mencapai) setengah, beliau menjawab, “Menurut saya, itu bukan sebuah keharusan.”

Sahnun berkata, “Untuk selain Al-Qur’an, tidak diharuskan khatam secara keseluruhan; tidak juga setengah, sepertiga atau seperempat; kecuali jika mereka memang secara sukarela (menghendakinya).”

Muhammad berkata: saya hadir ketika Sahnun menetapkan (upah) untuk mengkhatamkan (pelajaran) seseorang; dan hal itu disesuaikan dengan kemampuannya, apakah dia termasuk kalangan berada atau miskin.

Pernah ditanyakan kepada beliau, “Apakah menurut Anda seorang guru memiliki keleluasaan untuk memberikan izin (yakni, liburan) bagi anak-anak, selama sehari atau yang semisalnya?” Dijawab, “Itu sudah menjadi kebiasaan orang banyak, semisal (memberi izin libur) sehari atau sebagian hari. Namun, dia tidak boleh mengizinkan murid untuk (libur) lebih dari itu, kecuali atas persetujuan seluruh orang tua mereka, sebab ia (yakni, guru) diupah secara profesional oleh mereka.”

Saya bertanya, “(Bagaimana dengan) sesuatu yang dihadiahkan oleh murid kepada gurunya, atau murid memberi gurunya sesuatu, apakah guru boleh mengizinkannya atas hal itu?” Dijawab, “Tidak, sebab izin pada saat khatam itu hanya sehari atau yang semisalnya, juga pada Hari-hari Raya. Adapun di luar itu, maka tidak boleh baginya (untuk memberi izin), kecuali atas persetujuan orangtuanya.” Beliau berkata, “Ditinjau dari sini, maka gugurlah persaksian sebagian besar guru dikarenakan mereka tidak menunaikan apa yang seharusnya menjadi kewajiban mereka, kecuali orang-orang yang dilindungi oleh Allah.”

Beliau berkata kepada saya: hal ini berlaku jika guru itu mengajar dengan upah tertentu (yang dia terima) setiap bulan atau setiap tahun. Adapun jika dia mengajar tanpa mensyaratkan upah; jika diberi maka dia terima, dan jika tidak diberi maka dia tidak minta apa-apa; maka ia boleh melakukan apa saja yang dikehendakinya. Jika para wali murid mengetahui bahwa guru itu menelantarkan tugasnya, maka kalau mau mereka bisa memberinya (upah), namun jika tidak mau maka mereka pun tidak akan memberinya. [*]


--- bersambung ---


Bagian kedua, klik disini
Untuk mendapatkan naskah lengkap versi PDF, cek halaman DOWNLOAD, atau klik disini