Terjemah "Ushul as-Sunnah", karya Imam Ahmad bin Hanbal - Bag. 2



[ "gambar ini hanya hiasan" ]
18 — Menyerahkan sedekah-sedekah (yakni: zakat dan yang sejenis dengannya) kepada para pemimpin itu boleh dan bisa dilaksanakan. Barangsiapa yang menyerahkannya kepada mereka maka hal itu sudah cukup (dan menggugurkan kewajibannya kepada Allah), entah pemimpin itu baik atau pendurhaka.
19 — Shalat Jum'at di belakangnya atau di belakang orang yang menjadi wali-nya adalah boleh, tetap, dan sempurna dua rakaat. Barangsiapa yang mengulanginya maka dia adalah pelaku bid'ah, meninggalkan atsar-atsar dan menentang Sunnah. Dia tidak memperoleh keutamaan Jum'at barang sedikit pun jika tidak meyakini sahnya shalat di belakang para pemimpin itu, siapa pun mereka, entah ia baik atau pendurhaka. Yang diajarkan dalam Sunnah adalah hendaknya shalat dua rakaat bersama mereka dan menerima bahwa hal itu sempurna. Jangan sampai ada sedikit pun keraguan di dadamu dalam hal ini.
20 — Barangsiapa yang keluar (dari ketaatan) kepada seorang imam (pemimpin) dari para pemimpin kaum muslimin, dimana umat sudah bersepakat kepada kepemimpinannya dan mengakuinya sebagai khalifah, baik (pengakuan itu) dengan sukarela maupun paksaan, maka orang yang keluar dari ketaatan kepadanya tersebut telah mematahkan tongkat kaum muslimin, menentang atsar-atsar Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam. Jika dia mati (dalam keadaan itu) maka dia mati dalam keadaan jahiliyah.
21 — Tidak halal bagi seorang pun dari umat ini untuk memerangi sulthan (penguasa) dan keluar menentangnya. Barangsiapa yang melakukannya maka dia adalah pelaku bid'ah dan tidak berada diatas Sunnah serta jalan (yang lurus).
22 — Memerangi para pencuri dan orang-orang Khawarij itu boleh. Jika mereka menghadang seseorang, baik dalam kaitan dengan jiwanya maupun hartanya, maka dia boleh membela jiwa dan hartanya dan melawan mereka dengan segala cara yang dimampuinya. Jika mereka lari menjauh atau meninggalkannya, maka dia tidak berhak untuk memburu mereka dan menelusuri jejaknya. Hal terakhir ini adalah hak imam (pemimpin) atau para wali (gubernur) dari kaum muslimin. Dia hanya berhak untuk membela diri di tempat kejadian perkara saja. Hendaknya ia berniat sedapat mungkin untuk tidak membunuh seorang pun dari mereka. Jika dalam perkelahian itu ada diantara mereka yang terbunuh di tangannya, saat ia berusaha membela diri, maka semoga Allah melaknat orang yang terbunuh itu. Sebaliknya, jika orang ini terbunuh pada saat itu, yakni saat ia berusaha membela diri dan hartanya, maka saya berharap ia memperoleh syahadah (status mati syahid), sebagaimana yang dikatakan dalam hadits-hadits. Semua atsar dalam masalah ini hanya memerintahkan untuk memerangi mereka, bukan membunuhnya atau memburu jejaknya, dan juga tidak membolehkan (pembunuhannya) ketika mereka sudah jatuh tersungkur atau terluka. Jika pun ada yang dijadikan tawanan, maka tidak boleh membunuhnya atau menjatuhkan hukuman kepadanya (yakni, main hakim sendiri). Akan tetapi, bawalah ia ke hadapan wali (gubernur), dan kemudian dijatuhkan hukuman kepadanya.
23 — Kepada seorang ahli qiblat, kita tidak mempersaksikan (yakni: memastikan) bahwa dia masuk surga atau neraka karena amal yang dikerjakannya. Kepada orang shalih, kita berharap (pemeliharaan dari Allah) untuknya dan juga mengkhawatirkannya. Kepada orang yang berbuat dosa, kita mengkhawatirkannya dan berharap rahmat Allah untuknya.
24 — Barangsiapa yang menjumpai Allah dengan membawa dosa yang mengakibatkannya wajib masuk neraka, namun ia telah bertaubat dan tidak terus-menerus bergelimang di dalamnya, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Allah menerima pertaubatan hamba-hamba-Nya dan memaafkan dosa-dosa (kecil).
25 — Barangsiapa yang menjumpai-Nya sementara ia telah dijatuhi hukuman hadd atas dosanya itu ketika masih di dunia, maka hal itu sudah cukup menjadi kaffarat baginya, sebagaimana yang dikatakan dalam khabar dari Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam.
26 — Barangsiapa yang menjumpai-Nya dalam keadaan bergelimang dosa dan tidak bertaubat darinya, dimana dosa-dosa itu sudah seharusnya mendapatkan hukuman, maka urusannya berada di tangan Allah. Jika mau, maka Allah akan menyiksanya, dan jika mau maka Dia akan mengampuninya.
27 — Barangsiapa yang menjumpai-Nya dari kaum kafir, maka Allah pasti menyiksanya dan tidak mengampuninya.
28 — Hukum rajam itu hak yang dikenakan kepada pelaku zina yang sudah pernah menikah, yakni bila ia mengakui perbuatannya atau ditemukan bukti-buktinya. Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam sendiri pernah menjatuhkan hukum rajam, demikian pula para pemimpin yang mendapat petunjuk (yakni: al-khulafa' ar-rasyidin, atau empat khalifah pertama sepeninggal Nabi).
29 — Barangsiapa yang menjatuhkan (kehormatan) dan melecehkan salah seorang sahabat Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam, atau membencinya karena suatu dosa yang belakangan mereka lakukan, atau dia menyebut-nyebut kejelekan-kejelekannya, maka dia adalah pelaku bid'ah. (Status itu itu tetap dia sandang) sampai dia menyayangi mereka semuanya, dan hatinya bersih tanpa prasangka buruk apapun kepada mereka.
30 — Nifaq adalah kekufuran, yaitu mengkufuri Allah dan menyembah selain-Nya namun menampakkan Islam secara terang-terangan; seperti kaum munafiq di zaman Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam.
31 — Ada tiga perkara, dimana jika ketiga-tiganya terdapat dalam diri seseorang maka dia adalah munafiq secara pasti. Kami meriwayatkan (hadits) tentang hal ini sebagaimana adanya dan tidak meng-qiyas-kannya dengan yang lain. Demikian pula hadits yang berbunyi, "Janganlah kalian kembali menjadi kafir lagi sesat sepeninggalku, sebagian kalian memenggal leher sebagian yang lain." Demikian pula hadits yang berbunyi, "Ketika dua orang muslim saling berhadapan dengan pedang mereka masing-masing, maka baik yang membunuh maupun yang dibunuh sama-sama di neraka." Demikian pula hadits yang berbunyi, "Mencaci-maki seorang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran." Demikian pula hadits yang berbunyi, "Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya (sesama muslim): 'hai, orang kafir', maka hal itu akan kembali kepada salah seorang dari keduanya." Demikian pula hadits yang berbunyi, "Adalah kekufuran kepada Allah (perbuatan) tidak mau mengakui nasabnya sendiri, meskipun hanya sedikit."
Demikian pula sikap kami kepada hadits-hadits lain yang serupa dengannya, yang (derajatnya) shahih dan terpelihara. Sesungguhnya kami menerimanya apa adanya, meskipun kami tidak mengerti bagaimana penjelasannya. Kami tidak memperbincangkan atau memperdebatkannya. Kami tidak menjelaskannya kecuali sesuai bentuk aslinya. Kami juga tidak menolaknya kecuali dengan (menggunakan riwayat lain) yang lebih benar darinya.
32 — Surga dan neraka adalah makhluk, sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam, "Aku memasuki surga, maka aku melihat ada istana di dalamnya." Juga, "Aku melihat (telaga) al-Kautsar." Juga, "Aku menjenguk ke surga, maka aku melihat bahwa mayoritas penghuninya adalah kalangan "ini", dan aku juga menjenguk ke neraka maka aku melihat mayoritas penghuninya adalah kalangan ini-itu."
Barangsiapa yang mengklaim bahwa surga neraka bukan sesuatu yang diciptakan, sungguh dia telah mendustakan Al-Qur'an dan hadits-hadits Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam. Dan, menurut hemat saya, orang ini tidak beriman kepada surga dan neraka.
33 — Barangsiapa yang meninggal dunia diantara ahli qiblat yang mentauhidkan Allah, maka dia berhak dishalati dan dimintakan ampunan kepada Allah. Permohonan ampunan tidak ter-hijab darinya. Shalat (jenazah) atasnya tidak boleh ditinggalkan hanya karena satu dosa yang dikerjakannya, baik yang kecil maupun besar, sebab urusan dirinya itu dikembalikan kepada Allah ta'ala. []
Inilah akhir risalah. Segala puji bagi Allah semata. Shalawat serta salam semoga terlimpah kepada Muhammad dan keluarganya.
"Seluruh risalah ini didengar langsung dari ucapan asy-Syaikh al-Imam Abu 'Abdillah Yahya bin Abu 'Ali al-Hasan bin Ahmad bin al-Banna, dengan riwayatnya yang berasal dari ayahnya, asy-Syaikh al-Imam al-Muhadzdzib Abu al-Muzhaffar 'Abdul Malik bin 'Ali bin Muhammad al-Hamdani. Beliau juga berkata, "Dengan seluruh (apa yang dipaparkan dalam risalah) ini aku tunduk kepada Allah." Yang mendengarkan dari beliau adalah sekretaris beliau, yakni pemilik naskah asli risalah ini. Nama sekretarisnya adalah 'Abdurrahman bin Hibatullah bin al-Mi'radh al-Harani. Peristiwa ini terjadi di penghujung bulan Rabi'ul Awwal tahun 529 H.
"Segala puji bagi Allah. Telah mendengar dari ucapanku sendiri: anakku Abu Bakr 'Abdullah, saudaranya Badruddin Hasan, ibunya Bulbul binti 'Abdullah, dan juga 'Abdul Hadi yang mendengar sebagian darinya. Hal itu adalah benar-benar terjadi, pada hari Senin tanggal 27 Jumadil Ula tahun 597 H".

--- selesai ---

Bagian sebelumnya: klik disini
Naskah lengkap versi PDF, cek laman DOWNLOAD atau klik disini

 
(*) Silakan meng-copy materi ini, dengan syarat tidak untuk diperjualbelikan dan tidak mengubah isinya. Semoga bermanfaat. Jangan lupakan kami dalam doa Anda.