DEMAM BATU
AKIK
Beberapa
bulan terakhir, banyak orang yang tiba-tiba terobsesi oleh batu akik. Dengan
beragam jenis dan kelasnya, batu akik telah menjadi fenomena tersendiri.
Kalangan yang tertulari “demam akik” mencakup hampir semua kalangan, tidak
peduli jenis kelamin maupun status sosial. Pembicaraan tentang akik pun sangat
beragam; mulai dari yang serius mengulas keistimewaan setiap jenis akik, sampai
yang menjadikannya lelucon di media-media sosial.
Demam
akik telah ada sejak dahulu kala. Apa yang dewasa ini menggejala merupakan
perulangan dari zaman-zaman silam. Kecintaan manusia kepada kemewahan dan
barang-barang berhargalah yang menjadi biang keladinya. Kita mengingat sejarah,
dongeng, dan legenda kuno hampir selalu melukiskan kemewahan para raja dengan
menyebut-nyebut keberlimpahan batu-batu mulia di istananya. Trilogi film “The
Hobbit” barangkali juga bisa menggambarkan sisi lain dari kegemaran ini, ketika
keserakahan manusia kepada benda-benda seperti itu telah berubah menjadi
kegilaan dan pertumpahan darah.
Sebetulnya,
akik hanyalah sedikit dari sekian banyak jenis batu mulia yang dikenal manusia.
Masih ada yaqut, zamrud, zabarjad, kristal, safir, zircon, pirus, labrador,
lapis lazuli, marjan, dan lain-lain. Masing-masing memiliki varian tersendiri,
dan terkadang ditambahi dengan mitos-mitos tertentu. Keberadaan pola-pola unik
yang tercetak secara alami, dan dibantu oleh tangan-tangan terampil manusia, bisa
melejitkan nilai sebutir batu yang bobotnya hanya beberapa gram hingga
mengalahkan harga sebuah mobil termewah!
Sejarah
kaum muslimin sendiri ternyata tidak lepas dari fenomena ini. Bahkan, kegemaran
kepada akik dan batu-batu permata lain telah mengambil bentuk tersendiri, yakni
dengan mencoba mencari legitimasi melalui hadits-hadits yang dinisbatkan kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagian ulama’ Ahli Hadits pun
tergerak untuk meneliti validitas riwayat-riwayat dimaksud, misalnya al-Hafizh
Ibnul Jauzi (w. 597 H) dalam al-Maudhu’at, Burhanuddin an-Naji (w. 900
H) dalam at-Ta’liq ar-Rasyiq fit Takhattum bil ‘Aqiq, dan Syamsuddin
as-Sakhawi (w. 902 H) dalam al-Maqashid al-Hasanah.
Menurut
Abu ‘Abdirrahman as-Sulami, terdapat 20 hadits dalam bab ini dengan beragam
redaksinya. Al-Hafizh Ibnul Jauzi menyitir sebagian di antaranya, yang konon
diriwayatkan oleh empat Sahabat berbeda dari Nabi, yaitu: ‘Ali bin Abi Thalib,
Fathimah az-Zahra’, ‘Aisyah ummul mu’minin, dan Anas bin Malik, radhiyallahu
‘anhum.
Redaksi yang disitir
sangat beragam, yang intinya menggemarkan manusia kepada batu akik. Misalnya, dikatakan:
“Pakailah cincin akik, sebab ia diberkahi.” Atau, dalam redaksi lain: “Barangsiapa
mengenakan cincin akik maka ia akan selalu melihat kebaikan.” Ada lagi yang
berbunyi: “Barangsiapa mengenakan cincin akik niscaya yang ditetapkan
untuknya hanya yang paling membahagiakan(nya).” Diriwayatkan juga sebuah
hadits: “Kenakan cincin akik sebab ia bisa menghapuskan kemelaratan.”
Belum cukup sampai di
sini, sebab masih ada yang lebih hebat: “Barangsiapa mengenakan cincin akik
dan mengukir padanya kalimat: “wa ma taufiqi illa billah” (artinya: dan
ketepatanku hanya karena Allah), niscaya Allah memberinya taufik untuk setiap
kebaikan dan ia pasti dicintai oleh dua malaikat yang dikirim untuk
melindunginya.” Atau, riwayat ini: “Pakailah cincin akik, sebab Jibril
mendatangiku dengan membawa akik dari surga dan berkata: ‘Hai Muhammad,
pakailah cincin akik dan suruhlah umatmu untuk bercincin dengannya.”
Bahkan, riwayat berikut
ini pasti lebih menakjubkan lagi khasiatnya: “Barangsiapa yang memakai
cincin akik niscaya setiap hari Allah mencatat untuknya sepuluh kebaikan dan
menghapuskan darinya sepuluh keburukan.” Juga, yang ini: “Pakailah
cincin akik, sebab kesedihan tidak akan menimpa salah seorang dari kalian
selama cincin itu masih dipakainya.”
Lantas, bagaimana
status riwayat-riwayat tersebut? Setelah melakukan penelitian mendalam dan
terperinci, para Ahli Hadits berkesimpulan bahwa tidak ada satu pun riwayat
yang tsabit (valid dan bisa dipegangi) dalam bab ini. Dalam kitab Faidhul
Qadir (III/235 no. 3264), al-Munawi menukil pernyataan Ibnu Rajab, “Setiap
hadits tentang memakai cincin akik tidak satu pun yang tsabit.” Demikian
pula kesimpulan al-Hafizh al-‘Uqaili dalam adh-Dhu’afa’ al-Kabir
(IV/448) dan al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fathul Bari
(III/392).
Secara mendetail,
al-Hafizh Ibnul Jauzi juga memaparkan sumber-sumber kepalsuan riwayat yang
disitir dalam bab ini. Sanad-sanad riwayatnya ternyata tidak lepas dari perawi
pendusta (kadzdzab), tidak dikenal (majhul), bahkan berani
mencatut nama-nama perawi terpercaya untuk melariskan hadits-hadits palsu
buatannya.
Sebenarnya, tanda-tanda
kepalsuan pada sebagian riwayat di atas sudah dapat dideteksi dari lahiriah
redaksinya. Misalnya, riwayat yang menyatakan bahwa di antara khasiat cincin
akik adalah Allah akan mencatat 10 kebaikan dan menggugurkan 10 keburukan bagi
pemakainya setiap hari. Sungguh ajaib! Andai riwayat ini benar, tentu kita
tidak perlu beramal shalih atau menjauhi maksiat dan cukup memakai cincin akik
sebanyak-banyaknya! Jelas, agama hanya akan menjadi permainan dan olok-olok
belaka. Manusia pasti meliarkan diri semaunya dan berharap masuk surga dengan mengandalkan
khasiat bebatuan di jarinya!
Para ulama’ juga
menemukan banyak riwayat lain yang senada, baik terkait khasiat batu-batu
permata maupun cincin. Seluruhnya diketahui palsu atau tidak jelas asal-usulnya.
Dengan demikian, hukum memakai cincin akik dan permata jenis apa pun kembali
kepada asalnya, yaitu mubah. Tidak ada riwayat yang terpercaya perihal
khasiatnya. Bila Anda suka, silakan pakai dan tidak perlu mencari-cari
legitimasi dari hadits, sebab memang tidak ada. Adapun cincin emas, sudah
diketahui haram bagi lelaki muslim dan boleh bagi kaum wanita. Wallahu
a’lam.
[*] Alimin Mukhtar. Senin, 23 Rajab 1436
H.
(*) Artikel lama, yang ditulis saat deman akik sedang melanda negeri kita.