Bismillahirrahmanirrahim
MENGEJAR KESEMPURNAAN
Salah satu “industri”
yang berkembang pesat dewasa ini adalah kuliner. Kreativitas di dalamnya luar
biasa. Beragam bahan makanan diolah sedemikian rupa, baik dalam hal pemilihan
dan penyiapan bahan, meracik bumbu, proses memasak, sampai teknik penyajiannya.
Maka, apa yang semula biasa-biasa saja seketika terasa sangat istimewa. Tidak
terhitung lagi varian dari olahan beras, gandum, kedelai, susu, coklat, daging,
ikan, sayuran, buah-buahan, dsb. Jumlah penggemarnya pun semakin meningkat,
bahkan telah terbentuk komunitas-komunitas pemburu kuliner yang fanatik!
Ditinjau dari sisi
tertentu, fenomena ini memperlihatkan watak dasar manusia yang gemar mencoba
hal-hal baru dan terus-menerus menyempurnakan kehidupannya. Sangat tepat bila
Al-Qur’an menyebut manusia – salah satunya – dengan “an-naas”, dan kata
ini muncul setidaknya 240 kali. Dalam bahasa Arab, aslinya berasal
dari “nawasa”, artinya bergerak-gerak dan tidak menetap pada satu kondisi dalam keadaan menjuntai ke bawah; seperti kepang/kuncir rambut atau setandan anggur yang
menggantung dan bergerak-gerak ditiup angin. (Lisanul ‘Arab, IX/245)
Singkatnya, ketika
manusia disebut “naas”, yang ditunjuk adalah kecenderungan mereka
untuk terus berubah, bergerak, tidak menetap pada satu keadaan, atau berkembang
dan dinamis. Mungkin, ini pula yang menjadi rahasia mengapa dalam Al-Qur’an istilah
“naas” diperlawankan dengan “jinnah” (artinya: bangsa jin), sebab
jin cenderung statis dan tidak berkembang
kehidupannya. Contohnya, pada ayat terakhir surah an-Naas.
Manifestasi dari tabiat
manusiawi ini sangat nyata di era kontemporer. Misalnya, setiap bulan kita
dibombardir oleh kehadiran gadget elektronik terbaru yang menawarkan
fitur-fitur mutakhir, dengan kemampuan yang lebih baik dibanding versi sebelumnya
tetapi dengan harga yang cukup terjangkau. Semua produk terbaru yang kita kenal
pasti menghadirkan aspek-aspek penyempurna atas varian pendahulunya, seperti
televisi, mobil, motor, tablet, smartphone, komputer, dan juga software-software
yang telah ditanamkan di dalamnya. Manusia memang pemburu kesempurnaan nomor
wahid di alam semesta!
Hanya saja, tabiat seperti
ini sangat jarang dibawa ke dalam dunia religius. Kalau untuk urusan makanan
dan kendaraan, kita terus-menerus meningkatkan citarasa maupun fiturnya; namun
untuk urusan shalat kita merasa cukup dengan sekedarnya. Shalat dikerjakan
dengan cepat, asal gugur kewajiban. Shalat ditunaikan di akhir waktu, asal
terbebas dari rasa bersalah. Shalat dilakukan sendirian, tidak peduli pahala berjamaah.
Kalau pun berjamaah, barisannya renggang dan bengkok, dengan alasan rapatnya
barisan bukan rukun shalat sehingga tanpanya shalat tetap sah. Subhanallah!
Memang, shalat cepat
mungkin saja tetap sah. Dikerjakan di akhir waktu pun boleh. Ditunaikan
sendirian juga benar. Barisan yang renggang dan bengkok pun tidak membuat
shalat kita batal. Akan tetapi, tidak maukah kita mengejar kesempurnaan?
Mengapa kita sangat detil dan cerewet dalam urusan gadget atau rumah, tetapi
kurang peduli pada masalah shalat? Mengapa kita menyukai bahkan memburu
makanan-makanan yang lebih enak, meski sebenarnya berasal dari bahan yang
itu-itu juga; namun enggan mengejar kondisi shalat yang lebih sempurna?
Sejenak, mari
mendengarkan sabda-sabda Rasulullah junjungan kita, yang mendorong umatnya
untuk mengejar kesempurnaan dalam shalat; tidak asal sah, selesai, atau gugur
kewajiban. Semoga hati kita dilunakkan untuk menerima nasihat beliau, dan bukannya
membenarkan kemalasan kita dengan dalil-dalil yang sebenarnya tidak dimaksudkan
untuk itu.
PERTAMA, tentang barisan shalat berjamaah. Beliau bersabda, “Luruskan
shaf-shaf kalian, sebab lurusnya shaf sebagian dari kesempurnaan mendirikan
shalat.” (Riwayat Bukhari dan Muslim, dari Anas). Dalam riwayat lain: “…sebagian
dari kebagusan shalat.” (Riwayat Muslim, dari Abu Hurairah).
KEDUA, tentang shalat di awal waktu. Ibnu Mas’ud pernah
bertanya kepada Rasulullah, “Amal apakah yang paling dicintai Allah?” Beliau
menjawab, “Shalat pada awal waktunya.” Dia bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?”
Beliau menjawab, “Kemudian berbakti kepada kedua orangtua.” Dia bertanya lagi,
“Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Berjihad di jalan Allah.” (Riwayat
Bukhari dan Muslim).
KETIGA, tentang menyempurnakan ruku’ dan sujud. Beliau
bersabda, “Pencuri paling buruk adalah orang yang
mencuri shalatnya.” Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana bisa dia
mencuri shalatnya?” Beliau menjawab, “Dia tidak menyempurnakan ruku’ serta
sujudnya. Dan, orang yang paling pelit adalah yang pelit mengucapkan salam.” (Riwayat ath-Thabrani dalam tiga Mu’jam-nya, dari ‘Abdullah bin Mughaffal. Menurut
al-Haitsami: para perawinya bisa dipercaya).
KEEMPAT, tentang shalat berjamaah. Beliau bersabda, “Shalat
berjamaah itu keutamaannya melebihi shalat sendirian dengan (kelebihan) 27
derajat.” (Riwayat Bukhari dan Muslim, dari ‘Abdullah bin ‘Umar). Dalam
riwayat lain, “Shalat berjamaah itu lebih utama dibanding shalat kalian
sendirian dengan (keutamaan) 25 bagian.” (Riwayat Muslim, dari Abu
Hurairah). Riwayat semakna juga dinukil dari Abu Sa’id al-Khudriy dalam Shahih
al-Bukhari.
Di sini, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam sedang memotivasi kaum muslimin untuk menyempurnakan
shalatnya. Beliau tidak bicara tentang sah/batal atau syarat/rukun shalat. Semangat
inilah yang mestinya kita tangkap, dan bukannya merasa cukup dengan “asal sah
dan gugur kewajiban”. Kita juga harus sadar bahwa para Ahli Fiqh memang
berbicara dalam bahasa hukum. Sudah menjadi kewajiban mereka untuk menjelaskan
kadar minimal sebuah ibadah yang dianggap sah, bersandarkan pada dalil-dalil
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tetapi, dalam pelaksanaan, mestinya kita tidak cukup
dengan Fiqh. Harus ditambahkan pula Adab dan Mujahadah (kesungguhan). Tanpa
itu, agama ini hanya akan menjadi mainan dan senda-gurau belaka! Wallahu
a’lam.
[*] Alimin Mukhtar. Senin, 03-06-1436 H. Pernah dipublikasikan lewat Lembar Tausiyah BMH Malang.