BELAJAR DARI KESALAHAN ABU LAHAB


Bismillahirrahmanirrahim

BELAJAR DARI KESALAHAN ABU LAHAB

Ada orang-orang yang dikaruniai segala kelebihan untuk beriman dan beramal shalih, namun mereka malah terjerumus ke jurang sebaliknya, yaitu kekufuran dan dosa-dosa. Allah memberinya kelebihan secara fisik, nasab, rezeki, pangkat, jabatan, tempat tinggal, dan lain sebagainya; akan tetapi segala karunia ini seolah-olah tidak ada pengaruhnya samasekali. Segenap kelapangan itu malah membuatnya semakin leluasa menantang Allah dan memusuhi Rasul-Nya. Bagaimana bisa?


Berkacalah kepada sejarah, karena di sana banyak terdapat pelajaran berharga. Perhatikanlah ‘Abdul ‘Uzza bin ‘Abdul Mutthalib, atau kita lebih mengenalnya sebagai Abu Lahab. Tahukah Anda, bahwa ia punya segala kelebihan dan potensi istimewa untuk menjadi seorang muslim yang baik? Namun, Allah justru murka dan memvonisnya sebagai penghuni neraka, padahal ia sendiri masih segar-bugar dan berkeliaran ke sana ke mari di muka bumi.
Allah berfirman dalam surah al-Lahab, “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya ia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak ia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, si pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut.”
Menurut berbagai riwayat, surah ini turun kurang lebih 3 tahun sesudah kenabian, sementara Abu Lahab sendiri meninggal tidak lama setelah Perang Badar, yakni pada tahun 2 H. Ada jarak tidak kurang dari 12 tahun sejak turunnya vonis tersebut dengan saat kematian Abu Lahab. Selama itu, ia masih bebas memprovokasi manusia untuk memusuhi dakwah Islam.
Konon, tokoh ini berwajah sangat tampan. Kulitnya putih bersih dan parasnya cerah bersinar, menyala penuh tenaga. Gelar Abu Lahab artinya ‘seseorang yang cahaya wajahnya laksana api sedang bergolak’, sebagaimana dikatakan Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya. Di kalangan Quraisy, ia dikenal sebagai seorang konglomerat. Kekayaan Abu Lahab antara lain berkat perkawinannya dengan Ummu Jamil binti Harb (saudari Abu Sufyan), putri sebuah keluarga bangsawan yang kaya-raya. Mereka adalah pasangan pedagang sukses di Makkah pada masa itu.
Di saat bersamaan, Abu Lahab juga tetangga dekat Rasulullah. Di mana pun, sudah lazim bila orang-orang yang berkerabat tinggal saling berdekatan. Bagaimana pun, Abu Lahab adalah saudara Abdullah, ayahanda Rasulullah. Tidak cukup sampai di situ, sebab ternyata dua putri Rasulullah adalah menantu Abu Lahab. Jadi, selain memiliki hubungan paman-keponakan, keduanya adalah besan. Ruqayyah dan Ummu Kultsum, dua orang putri Rasulullah, diperistri oleh dua anak Abu Lahab, yaitu ‘Utbah dan ‘Utaibah. Pikirkan baik-baik fakta ini: apakah seorang ayah bersedia menyerahkan dua orang putrinya untuk diambil menantu oleh satu orang yang sama, bila dia tidak percaya dan mengakui kebaikannya?
Abu Lahab dan istrinya adalah profil-profil yang “nyaris sempurna”. Rupawan, kaya-raya, bangsawan, terkenal, dan disegani masyarakat. Akan tetapi, itu dulu sebelum Rasulullah menerima wahyu. Begitu beliau menyerukan Islam, seketika Abu Lahab menantangnya, dan karena itu pula martabatnya terhinakan. Ibnu Mas’ud berkisah: tatkala Rasulullah memperingatkan kaum Quraisy dari azab yang pedih di akhirat bagi orang yang tidak beriman, Abu Lahab mengatakan, “Jika apa yang dikatakan anak saudaraku itu benar, maka aku akan menebusnya dengan seluruh harta dan anak-anakku.” (Sumber: Tafsir Zaadul Masir).
Kesalahan pertama Abu Lahab terletak dalam persepsinya terhadap kekayaan, juga kehidupan ukhrawi. Ia berpikir bahwa keberlimpahan materi akan membuatnya kekal dan bisa melakukan apa saja tanpa halangan, termasuk membebaskan diri dari azab Allah. Cara berpikir Abu Lahab ini sebenarnya mewakili pandangan umum kaum tidak beriman di mana pun. Al-Qur’an sangat sering mengecamnya dalam surah-surah yang turun di Makkah, misalnya: “Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.” (QS. Al-Humazah: 1-3). Kecaman senada dilontarkan dalam surah al-Balad: 1-7.
Tidak sedikit manusia yang terjangkiti virus serupa, termasuk sebagian kaum muslimin. Di atas segenap kelebihan dan karunia Allah yang ada padanya, mestinya ia makin mudah beriman dan beramal shalih, namun faktanya ia justru semakin kufur dan durhaka. Bisa jadi berkali-kali ia telah berlibur ke Disneyland atau shopping ke Singapura. Sayangnya, ia merasa tidak punya waktu untuk mengunjungi Baitullah di Makkah. Ia punya waktu yang cukup untuk rapat-rapat dan wawancara, namun tidak sempat memenuhi panggilan adzan meski kurang dari 15 menit. Ia memiliki anggaran milyaran rupiah untuk meraih simpati masyarakat dalam Pemilu dan Pilkada, namun enggan mengeluarkan 2,5 persen dari hartanya untuk Zakat Maal. Pesta pernikahan anaknya menelan dana ratusan juta rupiah, namun tetangganya tenggelam dalam kemelaratan.
Inilah “keturunan” Abu Lahab di zaman modern. Ia kaya, terkenal, rupawan, berpangkat, namun mentalnya keropos dan pikirannya picik. Sekilas kita menganggapnya sebagai pribadi yang “sempurna” dan pantas dicontoh. Profilnya sangat sering diliput media massa, sehingga masyarakat pun berdecak kagum. Belakangan terbukti jiwanya rapuh dan pikirannya menyimpang. Kehormatannya rusak dan martabatnya pun jatuh bahkan ketika ia masih segar-bugar, persis seperti Abu Lahab. Beberapa saat lalu ia begitu dipuja, sekarang telah meringkuk di penjara, dan entah bagaimana nasibnya di akhirat nanti. Tampaknya, Allah hendak memberi pelajaran agar kita tidak bernasib sama dengan mereka. Maka, adakah yang mau mengambil pelajaran?** Wallahu a’lam.

[*] Alimin Mukhtar. Sabtu, 28 Dzulhijjah 1434 H. Pernah dipublikasikan melalui Lembar Tausiyah, Malang.