Jika Saja Semua Agama Benar, Tentu Nabi Muhammad adalah Orang Pertama yang Harus Disalahakan!



"...ada sekelompok orang yang mencoba memutarbalikkan kaidah ini, dan menyatakan bahwa semua agama benar, sehingga memeluk agama apa saja adalah sama baiknya di hadapan Allah, atau sama-sama merupakan jalan yang sah menuju Allah..."


Bismillahirrahmanirrahim


JIKA SAJA SEMUA AGAMA ITU BENAR, TENTU SAJA NABI MUHAMMAD ADALAH ORANG PERTAMA YANG HARUS DISALAHAKAN!

(Kajian QS Al-An’am: 122-127)


أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (122)
Artinya, “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian ia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu ia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap-gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar darinya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.”

Menurut riwayat, asbab nuzul ayat ini berkenaan dengan Hamzah bin ‘Abdul Muththalib dan Abu Jahal. Suatu ketika, Abu Jahal melempari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan kotoran hewan, dan saat itu Hamzah belum beriman. Ketika mendengar perlakuan Abu Jahal kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Hamzah sangat marah dan langsung mendatangi Abu Jahal. Saat itu beliau baru pulang dari berburu, dan langsung saja Abu Jahal dipukulnya dengan busur sehingga wajahnya berdarah-darah. Orang-orang yang ada di sekitar Abu Jahal marah dan hendak mengeroyok Hamzah, namun dilarang Abu Jahal karena Abu Jahal juga merasa bersalah telah memperlakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seburuk itu. Ia kemudian bertanya kepada Hamzah, “Tidakkah engkau tahu apa yang diajarkannya? Ia membodoh-bodohkan orang-orang bijak kita dan mencela Tuhan-tuhan kita?” Hamzah menjawab, “Siapa yang lebih bodoh dari kalian? Kalian menyembah batu-batu dan tidak menyembah Allah. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.” Maka, diturunkanlah ayat ini.

Menurut riwayat lain, ayat diatas berkenaan dengan ‘Ammar bin Yasir dan Abu Jahal; atau ‘Umar bin al-Khaththab dan Abu Jahal; atau Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Jahal; atau umum untuk seluruh kaum beriman dan kaum kafir. Namun, inti maksudnya senada, yaitu: di hadapan Allah, jelas tidak sama nilai dan kedudukan orang yang telah beriman dengan orang yang kafir. Dalam ayat ini, “orang yang mati hatinya” adalah orang-orang kafir, seperti Abu Jahal dan kawan-kawannya, sedangkan kaum beriman adalah seperti Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Hamzah, ‘Umar, ‘Ammar, dan lain-lain.

Yang dimaksud “cahaya yang terang” adalah: [a] Al-Qur’an, [b] petunjuk/hidayah, [c] ilmu.

Yang dimaksud “berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia” adalah: [a] manusia akan mendapat petunjuk dan bimbingan melaluinya, [b] ia berjalan memimpin manusia menuju surga, [c] ia menyebarluaskan agama Allah di tengah-tengah manusia.

Dewasa ini, ada sekelompok orang yang mencoba memutarbalikkan kaidah ini, dan menyatakan bahwa semua agama benar, sehingga memeluk agama apa saja adalah sama baiknya di hadapan Allah, atau sama-sama merupakan jalan yang sah menuju Allah. Ini pemikiran sesat. Ayat diatas dengan tegas menyatakan bahwa “orang yang hatinya dihidupkan oleh Allah dengan iman” tidak sama dengan “orang yang hatinya mati karena kufur”. Iman yang dimaksud tentu saja keimanan kepada ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan kepada sembarang ajaran dan agama. Jika saja semua agama itu benar, tentu saja Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak perlu memerangi kaum Quraisy Makkah, berkonfrontasi dengan kaum Yahudi Madinah, atau berdebat selama berhari-hari dengan para uskup dan pendeta Kristen Najran. Bila semua keyakinan adalah sah, maka sama artinya kita telah mengatakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menempuh jalan sia-sia dalam berdakwah. Bukankah jika semua keyakinan itu valid, maka tidak ada perlunya untuk dimusuhi dan diperangi?

Ayat diatas juga menjelaskan fenomena utama “kematian hati” tersebut, yaitu: mereka memandang baik perbuatan-perbuatannya, yakni syirik dan maksiat. Demikianlah, ketika manusia tidak merasa bersalah, maka ia tidak akan pernah menyesal dan memperbaiki diri. Mereka tidak bisa dinasehati, tidak mau ditegur, dan tidak akan bisa diubah dari kesalahannya. Itulah yang disebut “hati yang telah mati.” Na’udzu billah min dzalik!


وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا فِي كُلِّ قَرْيَةٍ أَكَابِرَ مُجْرِمِيهَا لِيَمْكُرُوا فِيهَا وَمَا يَمْكُرُونَ إِلَّا بِأَنْفُسِهِمْ وَمَا يَشْعُرُونَ (123) وَإِذَا جَاءَتْهُمْ آيَةٌ قَالُوا لَنْ نُؤْمِنَ حَتَّى نُؤْتَى مِثْلَ مَا أُوتِيَ رُسُلُ اللَّهِ اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ سَيُصِيبُ الَّذِينَ أَجْرَمُوا صَغَارٌ عِنْدَ اللَّهِ وَعَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا كَانُوا يَمْكُرُونَ (124)
Artinya, “Dan demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap negeri penjahat-penjahat yang terbesar agar mereka melakukan tipudaya dalam negeri itu. Dan mereka tidak memperdayakan melainkan dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya. [*] Apabila datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka berkata: "Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan Allah". Allah lebih mengetahui di mana dia menempatkan tugas kerasulan. Orang-orang yang berdosa, nanti akan ditimpa kehinaan di sisi Allah dan siksa yang keras disebabkan mereka selalu membuat tipu daya.”
Sebagaimana di Makkah, maka di setiap negeri akan ada para pentolan dan gembong penjahat yang mengacaukan negerinya sendiri. Para pemimpin yang fasiq (jahat dan suka bermaksiat) ini lebih dekat kepada kekufuran karena mereka memiliki kekuasaan dan sarana-prasarana yang bisa mendukung kekufurannya. Dengan kekuasaan dan sarana itulah mereka melakukan makar (tipudaya) di tengah-tengah masyarakat. Menurut Abu ‘Ubaid, yang dimaksud “tipu daya” adalah: konspirasi, penipuan, rekayasa, perbuatan durjana, ingkar janji, dan membantah kebenaran. Menurut Ibnu ‘Abbas, maksudnya adalah: kebohongan. Menurut Mujahid, maksudnya: mereka duduk di berbagai posisi yang di dalamnya mereka berusaha menghalangi dan memalingkan manusia dari jalan Islam, melalui aneka tipudaya, fitnah dan kebohongannya. Semua makna ini senada. Namun, Allah menjamin bahwa segala tipudaya (makar) mereka akan kembali kepada diri mereka sendiri. Siapa menggali lubang, dia terperosok ke dalamnya. Siapa menabur angin, dia menuai badai.
Lalu, ayat 124 menginformasikan kepada kita bahwa penyebab kekufuran mereka ternyata adalah rasa iri. Mereka menolak beriman karena enggan dan gengsi untuk menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka ingin tampil di depan dan diagungkan, tidak bersedia untuk merendahkan diri dan taat kepada pilihan Allah. Sebab, kenabian dan risalah adalah karunia Allah, bukan sesuatu yang bisa dikejar dan diperebutkan seperti kekuasaan dan pangkat.
Ayat diatas sangat dekat dengan kenyataan kaum muslimin Indonesia – juga, di seluruh dunia – saat ini. Kita tentu sangat faham, betapa seringnya ulama’-ulama’ kita dilecehkan dan dijatuhkan wibawanya dengan berbagai cara, semata-mata agar kehormatan mereka punah dan ditinggalkan umat. Dengan kekuasaan dan sarana-prasarana yang ada, kaum kafir dan “orang-orang yang hatinya sakit” selalu berupaya menyebarkan kampanye pencemaran nama baik tersebut, entah dengan media massa, bantuan-bantuan, kebijakan dan perundangan, dan lain-lain.
Setelah umat tidak lagi mempunyai teladan dan pemimpin, orang-orang jahat itulah yang akan maju ke depan dan memimpin masyarakat. Sebab, selama para ulama’ masih dihormati dan diikuti, maka para penjahat itu tidak akan mendapat kesempatan sedikit pun untuk berkuasa. Jadi, disinilah masalahnya. Mereka tahu tidak bisa memimpin karena kualitas mereka yang tidak sebanding dengan para ulama’ tersebut, tapi mereka sangat ingin memimpin. Untuk itu, mereka melakukan makar, baik dengan cara menjatuhkan kehormatan para ulama’ atau menyebarkan kesesatan dan kemaksiatan di tengah-tengah masyarakat. Jika ulama’ ternoda namanya lalu ditinggalkan umat, dan selain itu kemaksiatan juga telah merajalela, maka para penjahat itu pasti mudah untuk tampil dan diikuti.

فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ (125)
Artinya, “Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.”
Maka, setiap orang pun pada akhirnya akan berhadapan dengan pilihan-pilihan. Ada jalan sesat, dan ada petunjuk. Siapa saja yang dikehendaki menuju iman, maka Allah akan menjatuhkan cahaya ke hatinya sehingga terbuka kepada kebenaran, merasa lapang, nyaman dan tertarik. Inilah pertanda mulai tumuhnya benih petunjuk (hidayah) itu dalam diri seseorang. Namun, siapa saja yang dikehendaki kesesatannya, maka hatinya akan tertutup, menjadi sempit, benci dan marah kepada kebenaran itu. Ayat ini mengumpamakan sesaknya dada itu dengan “mendaki ke langit”, yakni tidak lagi bisa bernafas karena tidak ada oksigen disana. Ia semakin menjauhi dan tidak suka kepada apa saja yang berkaitan dengan kebenaran, dan sebisa mungkin menghindarinya.
Yang dimaksud “ar-rijsa” dalam ayat diatas adalah: [a] syetan, yakni orang itu akan dibiarkan untuk dikuasai dan dikendalikan syetan, [b] dosa, [c] perkara sia-sia dan tidak ada kebaikan di dalamnya, [d] siksa, [e] laknat Allah di dunia, dan adzab-Nya di akhirat kelak.

وَهَذَا صِرَاطُ رَبِّكَ مُسْتَقِيمًا قَدْ فَصَّلْنَا الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَذَّكَّرُونَ (126) لَهُمْ دَارُ السَّلَامِ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَهُوَ وَلِيُّهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (127)
Artinya, “Dan inilah jalan Tuhanmu; (jalan) yang lurus. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan ayat-ayat (Kami) kepada orang-orang yang mengambil pelajaran. [*] Bagi mereka (disediakan) darussalam (surga) di sisi Tuhannya, dan Dialah pelindung mereka disebabkan amal-amal saleh yang selalu mereka kerjakan.”
Yang dimaksud “jalan Tuhanmu” adalah: [a] Al-Qur’an, [b] tauhid, [c] agama yang dijarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Yang dimaksud “jalan yang lurus” adalah: ia pasti membawa siapa saja yang menelusurinya untuk sampai kepada kebahagiaan dan keberuntungan.
Wallahu a’lam.

(*) Alimin Muktar. Kamis, 18 Rabi’ul Awwal 1431 / 04 Maret 2010. Didasarkan kepada Tafsir Zaadul Masir karya al-Hafizh Ibnul Jauzi dan dilengkapi sumber-sumber lain.