Bismillahirrahmanirrahim
BERSANDARLAH HANYA KEPADA ALLAH!
“Allah adalah Tuhan yang kepada-Nya segala sesuatu bergantung.” Demikianlah kurang lebih terjemahan dari kalimat singkat yang terdapat pada ayat ke-2 dari surah al-Ikhlas, yaitu ‘allahus shamad’. Kita pun pasti sudah sangat akrab dengannya. Tampaknya, surah ini bersama surah al-Fatihah dan al-Mu’awwidzatain, termasuk bacaan yang paling sering dilafalkan kaum muslimin di seluruh dunia. Makna surah ini memang luar biasa, sehingga disebut sebagai sepertiga Al-Qur’an oleh Rasulullah (Riwayat Bukhari dari Abu Sa’id, dan Muslim dari Abu Hurairah).
Menurut Abu Bakr Ibnul Anbari (seorang pakar bahasa
Arab, w. 328 H), kata ash-shamad berarti sayyid (tuan, pemimpin) yang
tidak ada lagi yang lebih tinggi di atasnya, dimana semua orang bersandar
kepadanya dalam segala urusan dan kebutuhan mereka. Demikianlah pengertiannya
secara bahasa. Alhasil, ketika sifat tersebut dilekatkan kepada Allah, berarti
tidak ada lagi siapa pun atau apa pun di atas-Nya, dimana semua makhluk melabuhkan
seluruh pengharapan dan keperluan mereka. Dialah puncak tertinggi, harapan
terakhir, satu-satunya yang senantisa bisa diandalkan pada saat semua telah
menyerah. Dan, sungguh siapa saja yang bersandar kepada-Nya tidak akan kecewa.
Ayat yang hanya terdiri dari dua kata tersebut mengajarkan
kepada kita satu nilai penting yang tidak ada duanya dalam Islam. Bahwa
semestinya hanya kepada Allah-lah kita bersandar, bergantung, menjadikan
andalan. Bukan kepada yang lain, entah yang kasat mata maupun gaib. Inilah inti
tauhid. Ini pulalah yang semestinya kita pertajam dari waktu ke waktu, dan kita
ajarkan pula kepada anak-anak dan murid-murid kita.
Mengapa pembicaraan seputar masalah ini dirasa penting?
Sebab, ada banyak fenomena memprihatinkan yang terjadi. Misalnya, anggapan bahwa
profesi dan pekerjaanlah yang menjamin rezeki seseorang, sehingga masyarakat
beramai-ramai menyerbu lowongan pekerjaan tertentu, atau pendidikan yang bisa
mengantarkan kepada pekerjaan tertentu. Sebagian mereka bahkan bersedia
membayar “biaya siluman” hingga ratusan juta rupiah, hanya untuk memastikan dirinya
diterima. Sungguh, fenomena seperti ini tidak mungkin lahir kecuali dari
lemahnya fondasi akidah tauhid, bahwa Allah-lah yang memberi rezeki, menentukan
hidup dan mati, dan satu-satunya andalan bagi segala sesuatu. Bukan pemerintah,
bukan universitas, bukan bank, bahkan bukan siapa pun atau apa pun selain Allah!
Sebetulnya, memilih pekerjaan apa saja bukanlah sebuah
dosa, sepanjang tidak mengandung maksiat di dalamnya. Yang menjadi persoalan
adalah keyakinan-keyakinan keliru yang tertanam di balik pilihan tersebut. Dengan
tanpa bermaksud untuk buruk sangka atau menggeneralisir, samar-samar sebenarnya
kita bisa mencium aroma ketidakberesan akidah itu ketika membaca berita penipuan
dan kasus suap-menyuap dalam seleksi pegawai negeri atau penerimaan siswa/mahasiswa
baru.
Diceritakan bahwa dulu setiap kali memberi pembekalan tugas
ke suatu daerah, Allahu-yarham Ustadz Abdullah Said (pendiri
Hidayatullah) sering berpesan kepada para santri, kurang lebih demikian: “Allah
di Papua adalah sama dengan Allah di Gunung Tembak!” Nama daerah yang disebut
terakhir adalah lokasi tempat Kampus Pusat Hidayatullah di Balikpapan (Kaltim) berada.
Artinya, jika doa-doa kita didengar serta dikabulkan oleh Allah di suatu
tempat, maka di tempat lain pun demikian. Sebab, Dia adalah Tuhan di sini, juga
Tuhan di sana. Bukankah seluruh jagad raya adalah milik-Nya semata? Keyakinan
inilah yang melecut semangat para santri untuk menembus rimba belantara, menyusuri
sungai-sungai berliku, dan berupaya mendakwahkan Islam ke mana pun mereka
ditugaskan.
Bekal keyakinan seperti inilah yang sesungguhnya
tertanam dalam jiwa para da’i muslim di masa silam, semisal Wali Songo. Bayangkanlah
bagaimana Wali Songo tertua, yaitu Syaikh Ibrahim Samarqandi yang berasal dari Uzbekistan
(Asia Tengah) datang ke Tanah Jawa, lalu mengajarkan Islam kepada penduduknya
yang mayoritas menganut Hindu, Buddha, atau Animisme. Bayangkanlah kendala-kendala
bahasa, budaya, makanan, iklim, dsb. Tetapi, bukankah Allah yang beliau sembah
di Asia Tengah adalah Tuhan yang juga menguasai Tanah Jawa? Jadi, beliau tidak
pernah merasa sendirian dan terasing, karena Allah selalu menyertainya,
mendengar permohonannya, mengawasi gerak-geriknya, bahkan seandainya beliau
mengembara hingga ke lubang semut sekali pun!
Oleh karenanya, betapa pentingnya menyemai serta mengukuhkan
keyakinan semacam ini dalam jiwa kita, kemudian mewariskannya kepada generasi
di belakang kita. Warisan harta bisa dengan mudah berakhir, entah karena
dipergunakan, rusak, dicuri, diberikan, dibagi, dan seterusnya. Warisan
pekerjaan pun bisa saja tamat seiring pergantian zaman. Kita semua pasti
mengerti, betapa banyak jenis pekerjaan atau usaha yang dulu ada namun kini
telah punah atau di ambang kepunahan, seperti usaha wartel, atau tukang patri
dan penjual minyak tanah. Pekerjaan dan bisnis yang kini mentereng bisa saja
diabaikan suatu saat nanti.
Namun, jika anak-anak itu mewarisi keyakinan yang
kukuh dari pendahulunya, maka kehidupan mereka tidak berguncang oleh ketiadaan orangtua,
entah karena meninggal atau terpisah jarak dan tempat. PHK atau mutasi pun tidak
akan pernah menciutkan nyalinya, sebab mereka masih memiliki Allah yang tidak
pernah mati dan selalu hadir. Sampai kapan pun mereka hidup, sejauh mana pun
mereka berkelana, sesulit apa pun persoalan yang membelit, mereka selalu bisa
menengadahkan tangan dan seketika itu pula Allah mendengar doanya. Bukankah
demikian? Wallahu a’lam.
[*] Alimin
Mukhtar. Senin, 26 Muharram 1434 H. Pernah dipublikasikan dalam Lembar Tausiyah BMH Malang