BAHASA ARAB BUKAN BAHASA ASING
Dewasa
ini, sudah jamak kita temui orang-orang
yang
belajar serta menguasai beberapa bahasa sekaligus. Bahkan, rata-rata masyarakat
perkotaan menguasai dua bahasa, yaitu Bahasa Indonesia dan bahasa daerah
asalnya semisal Jawa, Madura, Sunda, Bugis, atau Sasak. Belum lagi jika dia
juga mempelajari bahasa Arab, Inggris, atau Mandarin.
Akan tetapi, benarkah bahasa Arab adalah
bahasa asing bagi seorang muslim?
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “asing” bisa memiliki beberapa arti,
yaitu aneh, tidak biasa; belum biasa, kaku; datang dari luar
(negeri, daerah, lingkungan); tersendiri, terpisah sendiri, terpencil; lain,
berlainan, berbeda. Adapun “bahasa asing” berarti bahasa milik bangsa lain yang
dikuasai, biasanya melalui pendidikan formal dan yang secara sosiokultural
tidak dianggap sebagai bahasa sendiri. Apakah kedua pengertian ini tepat seratus
persen bila diterapkan kepada bahasa Arab?
Sebetulnya,
menyebut bahasa Arab sebagai “bahasa asing” tidak benar-benar tepat bagi
seorang muslim, baik secara
leksikal maupun istilah. Sebab, banyak aspek kehidupannya yang tidak mungkin lepas dari bahasa Arab. Nama-nama di sekitar kita seperti Muhammad, Abdurrahman, Aisyah, Fathimah, adalah khas Arab dan hampir pasti muslim. Setiap hari shalat kita kerjakan dengan bahasa Arab, dan Al-Qur’an kita baca dalam bahasa Arab pula. Demikian juga doa-doa kita, kebanyakan masih berbahasa Arab. Kalimat-kalimat dzikir dan shalawat Nabi juga berbahasa Arab. Setap kali mengawali pidato, ceramah, atau khutbah, biasanya serangkaian kalimat berbahasa Arab juga terlontar, minimal ucapan salamnya. Jadi, bahasa Arab sebenarnya tidak benar-benar asing bagi telinga kita, dalam budaya dan kultur kita, di hati dan pikiran kita. Dalam kadar tertentu, ia adalah bahasa kita sendiri, bukan milik bangsa asing.
leksikal maupun istilah. Sebab, banyak aspek kehidupannya yang tidak mungkin lepas dari bahasa Arab. Nama-nama di sekitar kita seperti Muhammad, Abdurrahman, Aisyah, Fathimah, adalah khas Arab dan hampir pasti muslim. Setiap hari shalat kita kerjakan dengan bahasa Arab, dan Al-Qur’an kita baca dalam bahasa Arab pula. Demikian juga doa-doa kita, kebanyakan masih berbahasa Arab. Kalimat-kalimat dzikir dan shalawat Nabi juga berbahasa Arab. Setap kali mengawali pidato, ceramah, atau khutbah, biasanya serangkaian kalimat berbahasa Arab juga terlontar, minimal ucapan salamnya. Jadi, bahasa Arab sebenarnya tidak benar-benar asing bagi telinga kita, dalam budaya dan kultur kita, di hati dan pikiran kita. Dalam kadar tertentu, ia adalah bahasa kita sendiri, bukan milik bangsa asing.
Bahkan,
bila kita mau sedikit bersusah payah mengingat-ingat, bahasa Indonesia sebenarnya
berhutang sangat besar kepada bahasa Arab. Betapa banyak
kosakatanya yang dipinjam dari sana, seperti abadi, badan, falak, hasil, iklan,
jasad, lafal, musyawarah, rakyat, silaturahim, terjemah, ulama, wakil, zaman, dsb.
Jadi, sekali lagi, bahasa Arab sesungguhnya tidak
benar-benar asing. Ia ada dalam perbendaharaan kita sendiri dan bukan milik orang lain.
Oleh
karenanya, mempelajari bahasa Arab merupakan suatu
keniscayaan dan lebih mudah bagi seorang muslim. Ada banyak
faedah yang bisa didapat setelah menguasainya. Dalam mukadimah Nazham Al-‘Imrithiy
(kumpulan kaidah tatabahasa Arab berbentuk bait-bait sajak) yang biasa dikaji
di sejumlah pesantren, dinyatakan: “(Ilmu) Nahwu adalah yang mula-mula harus
diketahui, sebab tanpa Nahwu maka pembicaraan tidak akan bisa dipahami. (Selanjutnya)
agar mereka bisa memahami makna-makna Al-Qur’an, juga Sunnah yang sangat detil
serta kompleks maknanya.”
Jadi,
manfaat terpenting bagi seseorang yang menguasai bahasa Arab adalah bisa
memahami Al-Qur’an dan hadits Nabi. Sebab pada
prinsipnya, setiap muslim – bahkan setiap manusia – mendapatkan tugas untuk
merenungkan ayat-ayat Allah, sebagaimana firman-Nya: “Maka apakah mereka
tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad:
24).
Dalam
ayat ini, Allah mempertanyakan kengganan sebagian manusia untuk merenungi
wahyu-Nya. Tentu saja, pada mulanya pertanyaan ini ditujukan kepada kaum kafir,
sebab mereka nyata-nyata menolak untuk beriman. Namun, walau pun kaum muslimin mengimani Al-Qur’an sebagai firman
Allah dan petunjuk menuju jalan lurus, ternyata untuk merenunginya bukanlah
perkara sepele. Ada saja halangan dan
alasannya, salah satunya adalah ketidakpahaman terhadap bahasa Arab.
Di
lain tempat, Allah mengulang-ulang satu pernyataan serupa: “Dan
sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang
yang mau mengambil pelajaran?” Kalimat ini disitir sebanyak 3 kali dalam surah al-Qamar, yaitu pada ayat 17,
22, dan 32. Memang benar, bukti-bukti menunjukkan betapa ia telah dimudahkan
sedemikian rupa bagi lidah dan hati kita, apa pun latar belakang bahasa dan
kebangsaan kita. Di Indonesia ini, coba carilah pemeluk Kristen awam yang fasih
mengumandangkan Bibel dalam bahasa Yunani. Nyaris mustahil. Demikian pula pada umat Hindu dan
Buddha. Jangankan di kalangan awam, bahkan dari kaum pendeta dan cerdik
pandainya pun tidak mudah ditemukan. Ini baru membaca lafalnya, bagaimana
dengan orang yang bisa menghafalnya di luar kepala, lengkap dari awal sampai
akhir?
Sebaliknya,
di kalangan kaum muslimin sangatlah mudah mencari para penghafal Al-Qur’an. Di
mushalla-mushalla kecil di sembarang tempat, kita bisa mendapati bocah-bocah
mungil yang tidak paham bahasa Arab sepotong pun, namun bisa membaca dan
menghafal Al-Qur’an dengan sangat fasih. Minimal, mereka sudah menghafal
beberapa surah pendek dalam bahasa aslinya. Jika di kalangan anak-anak sudah demikian
faktanya, maka jangan tanya lagi di kalangan remaja dan dewasa, apalagi kaum
terpelajar dan ulama.
Di saat
bersamaan, Al-Qur’an dibaca dan dihafalkan dalam bahasa aslinya di belahan
dunia sebelah mana pun. Bayangkan betapa beratnya bangsa Jepang untuk
melafalkan syahadat dan membaca Kitabullah, sementara dalam bahasa mereka tidak
dikenal huruf “L” atau suara yang sepadan huruf “lam”. Hanya saja, Allah hendak
menjaga keaslian firman-Nya, sehingga merekalah yang harus menyesuaikan diri.
Pada titik ini penyerahan diri manusia kepada kehendak Allah diuji, dan inilah
makna sebenarnya dari “al-islam”.
Akhir
kata, jangan lagi beranggapan bahasa Arab sebagai bahasa asing, atau Al-Qur’an
itu sukar dipahami. Sebab, bahasa Arab adalah bahasa kita sendiri, dan
Al-Qur’an pun telah sangat dimudahkan untuk dipelajari. Wallahu a’lam.
[*] Alimin Mukhtar. Ahad, 22
Dzulhijjah 1434 H. Pernah dimuat di Lembar Tausiyah BMH Malang.