Bismillahirrahmanirrahim
TERKADANG, SEEKOR ANJING PUN LEBIH
BAIK DIBANDING MANUSIA
Allah telah memuliakan manusia dengan
berbagai karunia, seperti ilmu, bahasa, dan juga Al-Qur’an. Dengan
karunia-karunia itu, manusia merajai seluruh permukaan bumi bahkan merambah ke
ruang angkasa. Di atas kelemahan dan keterbatasan fisiknya, mereka mampu
mendesak makhluk-makhluk lain yang jauh lebih perkasa. Dibanding gajah, beruang,
singa, badak, atau ikan paus, sebenarnya manusia sangatlah ringkih. Anehnya, binatang-binatang
itu kini justru terancam punah dan kelestariannya pun tergantung pada kemurahan
hati manusia. Sungguh menakjubkan!
Hanya saja, adakalanya manusia menjadi makhluk yang
sangat hina dan tidak layak dipuji barang sedikit pun. Ketika mereka
mengabaikan karunia-karunia Allah dan tidak mempergunakannya secara tepat, mereka pun terjerembab ke peringkat terendah, di bawah hewan-hewan yang semula diunggulinya. Allah berfirman: “…Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah). Mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah). Mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A'raf: 179).
mengabaikan karunia-karunia Allah dan tidak mempergunakannya secara tepat, mereka pun terjerembab ke peringkat terendah, di bawah hewan-hewan yang semula diunggulinya. Allah berfirman: “…Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah). Mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah). Mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A'raf: 179).
Oleh karenanya, dalam khazanah klasik Islam kita mendapati sebuah risalah
kecil berjudul Tafdhilu
al-Kilab ‘ala Katsirin min man Labisa ats-Tsiyab (artinya: lebih baiknya anjing dibanding
sebagian besar makhluk yang berpakaian, yakni manusia). Risalah yang hanya setebal 10 halaman ini disusun oleh
Abu Bakr Ibnu Khalaf al-Muhawwiliy, seorang sejarawan dan penerjemah (Arab-Persia), yang wafat tahun 309 H di Baghdad.
Pada permulaan risalahnya beliau menulis, “Engkau menceritakan zaman kita ini, kerusakan kasih sayang diantara orang-orang yang hidup di dalamnya, kemerosotan akhlak
mereka, serta tercelanya tabiat mereka. Engkau ceritakan pula bahwa orang yang
harus melakukan perjalanan terjauh adalah seseorang yang hendak pergi untuk
mencari saudara yang shalih. Orang yang berusaha mencari sahabat yang bisa dihitung
kesalahannya dan dapat memotivasi untuk bersaing dalam kebaikan, adalah seperti
orang yang masuk ke dalam labirin. Semakin keras
ia berusaha, maka tujuannya pun semakin jauh. Begitulah keadaan sebenarnya. Telah
diriwayatkan dari Abu Dzarr al-Ghifari, bahwa beliau berkata, “Dulu umat
manusia itu ibarat daun saja, tidak ada durinya. Namun sekarang mereka ibarat
duri belaka, tidak ada daunnya.”
Ibnu Khalaf kemudian mengutip sejumlah syair, dan melanjutkan, “Ketahuilah, bahwa seekor anjing – bagi orang yang
memilikinya – bisa lebih penyayang dibanding seorang ayah kepada anaknya, juga
saudara sekandung terhadap saudaranya. Sebab, anjing itu akan menjaga majikannya
serta melindungi istri sang majikan baik ketika majikannya itu ada maupun
pergi, tidur maupun terjaga. Anjing itu tidak melalaikan tugasnya walaupun ia
diperlakukan dengan kasar, dan tidak menelantarkan mereka meskipun ia sendiri
diterlantarkan.”
Risalah ini sebenarnya bukan ditulis untuk
menyanjung anjing atau menganjurkan orang agar
memeliharanya, namun sebagai kritik sosial atas kemerosotan moral yang menjangkiti
umat. Karya ini merupakan satire, yakni sindiran terhadap keadaan yang tengah berlangsung. Ibnu Khalaf sebetulnya sedang
menggaris-bawahi sebuah ironi yang sangat menyedihkan. Beliau hendak mengatakan
bahwa kesetiaan, amanah, pengorbanan, rasa cinta, komitmen, kesabaran, dan
sifat-sifat terpuji lain yang biasa didapati dalam diri seekor hewan najis
seperti anjing, ternyata justru telah menguap dari makhluk suci bernama manusia.
Pada kenyataannya, seluruh pepohonan dan margasatwa tidak henti-hentinya
bertasbih memuji Allah. Demikian pula bebatuan serta segenap isi langit dan
bumi. Sebaliknya, sebagian
besar manusia justru teramat sering lalai dan abai. Allah berfirman, “Langit yang
tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada
sesuatu pun melainkan ia bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kalian tidak
mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha
Pengampun.” (QS. Al-Isra': 44).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga
bersabda, “Sesungguhnya Allah, para malaikat-Nya, serta penghuni langit dan
bumi, bahkan semut yang berada di sarangnya, juga ikan-ikan, mereka bershalawat
untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain.” (Hadits shahih,
dari Abu Umamah. Riwayat Tirmidzi).
Menurut al-Munawi dalam Faidhul Qadir, shalawat
dari Allah berarti rahmat, dari malaikat berarti permohonan ampunan, dan dari
yang lainnya berarti doa. Jadi, semut-semut dan ikan-ikan itu senantiasa berdoa
kepada Allah, padahal banyak manusia yang tidak lagi mengingat Tuhan dan
membanggakan kekuatannya sendiri.
Alhasil, ketika manusia telah menjadi kafir dan
menentang Allah, bermoral bejat dan tidak bisa dipercaya, maka seekor anjing
pun akan lebih baik darinya. Tatkala mereka enggan menengadahkan tangan dan
menundukkan hati kepada Allah, maka nilainya tidak akan lebih mulia dibanding
semut dan ikan. Allah menegaskan hal ini dalam surah at-Tiin: 4-6, “Sungguh
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami
kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal shalih; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.”
Rasulullah pun pernah mengingatkan hal ini dalam
sabdanya, “Sungguh kelak pada Hari Kiamat akan datang seseorang yang
berbadan gempal dan sangat gemuk, namun di sisi Allah dia tidak setimbang
dengan selembar sayap nyamuk.” (Riwayat Bukhari dan Muslim, dari Abu
Hurairah). Tubuh yang besar itu tidak berarti barang sedikit pun di hadapan
Allah, sebab tidak ada iman di hatinya. Na’udzu billah! Wallahu a’lam.
[*] Alimin
Mukhtar. Selasa, 06 Syawwal 1434 H.
Info: Bagi yang menginginkan kitab aslinya, silakan download dari link-link berikut (dicetak penerbit berbeda):
https://archive.org/details/tafdil_kilab
https://archive.org/details/kilabe
https://archive.org/details/71_abn.almarzuban_tafdil.alkilab
https://archive.org/details/kilabe
https://archive.org/details/71_abn.almarzuban_tafdil.alkilab