Bismillahirrahmanirrahim
MENYIAPKAN BEKAL PERJALANAN
Bila kita hendak pergi berbelanja kebutuhan sehari-hari ke pasar terdekat,
seperti apakah persiapan yang kita buat? Perlukah membawa baju ganti satu koper
penuh? Haruskah mengucapkan salam perpisahan serta mohon doa keselamatan dari segenap kerabat dan kawan? Berapa ratus
jutakah uang yang perlu kita sediakan? Apakah kita
memerlukan peta dan kompas agar tidak tersesat? Sejak berapa lama sebelumnya
kita menabung, mempersiapkan diri, dan bahkan memesan tiket kendaraan?
Ya, kita tahu.
Semua itu tidak diperlukan. Bahkan, memikirkan persiapan sedetail itu adalah
gagasan paranoid dan kurang waras. Sebab, jarak yang kita tempuh dekat, waktu
yang kita habiskan di sana sekejap, dan keperluan kita pun sangat sederhana.
Bisa jadi, kita hanya berpakaian asal-asalan dan membawa uang sekedarnya. Naik
kendaraan apa saja juga tidak masalah, bahkan jalan kaki pun oke. Bukankah
demikian?
Sekarang, mari
beralih kepada perjalanan kita yang sesungguhnya, yakni perjalanan hidup
sebagai hamba Allah. Kita tahu, Allah menciptakan manusia untuk dua kehidupan:
dunia dan akhirat. Kita juga tahu, bahwa akhirat itu lebih baik dan kekal,
sebagaimana diceritakan oleh banyak ayat Al-Qur’an. Sebaliknya, dunia ini tidak
abadi dan pasti ditinggalkan. Bila kita mau berpikir secara adil dan obyektif,
manakah yang seharusnya dipersiapkan lebih terperinci?
Sepanjang-panjangnya
usia manusia di dunia ini, suatu saat nanti pasti berujung pada kematian. Di
zaman para Nabi terdahulu, walaupun manusia diberi umur sampai ratusan tahun, ternyata
sekarang tidak tersisa seorang pun diantara mereka. Terlebih-lebih lagi dewasa
ini, ketika menemukan orang yang hidup diatas 100 tahun sudah menjadi kejadian
langka. Dunia adalah perjalanan yang sangat singkat dan cepat berlalu.
Sepertinya, belum hilang dari ingatan masa-masa dimana kita bermain sebagai
bocah kecil, berlarian mengejar layang-layang putus atau bermain petak umpet.
Namun, sekarang kita bahkan telah menjadi orangtua yang mengasuh anak-anak
pula. Sepertinya, belum lama berselang kita menimang anak-anak itu dan
mengganti popoknya. Sekarang, tiba-tiba saja mereka telah memberi kita cucu
yang lucu-lucu. Sedemikian cepatnya semua ini bergerak, sehingga tanpa terasa uban
dan kerutan sudah menyebar rata.
Bila selalu
demikian kenyataan hidup di dunia, mengapa kita justru jauh lebih sibuk
menyiapkan bekalnya dibanding perjalanan menuju akhirat yang abadi?
Bertahun-tahun kita habiskan usia, energi, sumberdaya, kreatifitas,
produktifitas, untuk menyongsong kesejahteraan duniawi. Sejak kecil kita sangat
fokus menyiapkan karir-karir duniawi. Bahkan, anak-anak kita pun telah belajar
melafalkan aneka rupa cita-cita duniawi sejak mereka belajar bicara. Banyak
orang bersedia “menyumbang” ratusan juta agar bisa masuk fakultas tertentu atau
untuk menjadi pegawai negeri, demi menyongsong kesejahteraan duniawinya.
Tetapi, bagaimana dengan akhirat? Sesibuk apa kita mempersiapkan bekalnya?
Sebanyak apa yang telah kita “belanjakan” untuknya? Sejak kapan kita telah
merencanakannya? Misalnya, berapakah ayat Al-Qur’an yang sudah kita pelajari, sebagai
petunjuk jalan keselamatan, pengobat hati yang gelisah, dan peneguh jiwa
menghadapi guncangan hidup? Seberapa waktu yang kita alokasikan untuk mendengar
hadits-hadits Rasulullah, agar hidup ini lurus dan terarah dengan benar? Apakah
shalat dan puasa kita terpelihara dengan baik? Bagaimana dengan nikmat-nikmat
Allah lainnya: harta, kekuatan fisik, waktu, kesehatan, dsb; kemana kita
habiskan?
Sungguh, Allah dan
Rasul-Nya banyak menegur kita dengan sangat keras atas kelalaian-kelalaian ini.
Dengarkanlah apa yang difirmankan-Nya dalam surah an-Najm: 29-31, “Maka
berpalinglah engkau (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan
Kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi. Itulah batas terjauh
pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling mengetahui siapa
yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang
mendapat petunjuk. Hanya milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang
ada di bumi, supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat
terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang
yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga).”
Demikian juga firman-Nya
dalam surah al-A’la: 14-17, “Sungguh beruntunglah orang yang membersihkan
diri (dengan beriman), dan dia mengingat nama Tuhannya, lalu dia mengerjakan
shalat. Tetapi kalian lebih mengutamakan kehidupan duniawi. Padahal kehidupan
akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.”
Rasulullah pun
bersabda, “Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang keras-kasar-angkuh
tabiatnya, gemar mengumpulkan harta namun pelit, suka berteriak-teriak di
pasar-pasar, seperti bangkai di malam hari dan seperti keledai di siang hari,
sangat mengerti urusan dunia tetapi tidak tahu-menahu urusan akhirat.”
(Riwayat Ibnu Hibban dan al-Baihaqi. Sanad-nya shahih ‘ala syarthi
muslim).
Beliau bahkan
tidak khawatir jika kita menjadi fakir. Beliau justru cemas jika dunia ini dihamparkan
seluas-luasnya bagi kita. Beliau bersabda, “Bergembiralah, dan harapkanlah
apa saja yang menyenangkan kalian. Demi Allah, bukan kemelaratan yang aku
khawatirkan atas kalian. Namun, aku khawatir jika dunia ini dihamparkan
seluas-luasnya untuk kalian, sebagaimana dulu pernah dihamparkan kepada
umat-umat sebelum kalian. Lalu, kalian berlomba-lomba memperebutkannya
sebagaimana mereka dulu memperebutkannya, sehingga dunia itu membinasakan
kalian sebagaimana ia dulu membinasakan mereka.” (Riwayat Ibnu Majah.
Hadits shahih).
Kekhawatiran
beliau terbukti di zaman ini. Mengapa ada korupsi, suap-menyuap, dan
penyelewengan anggaran? Mengapa para penipu dan maling tega memakan harta orang
lain secara batil? Mengapa ada kelicikan dalam pembagian warisan dan
pengelolaan harta anak yatim? Dari mana benih money politics dan black
campaign dalam Pemilu dan Pilkada? Ayat-ayat dan hadits diatas telah menunjukkannya:
“kerakusan pada dunia dan kecintaan yang berlebihan terhadapnya”.
Inilah yang
disebut ghurur (ketertipuan). Karena ghurur-lah manusia salah memilih.
Maka, sebaiknya kita lebih berhati-hati dan bijak dalam menentukan prioritas. Yahya bin Mu'adz ar-Razi (w. 258 H) berkata, “Seandainya dunia adalah bijih emas yang fana sedangkan akhirat adalah
keramik yang kekal, maka sudah sepantasnya bagi orang yang berakal untuk lebih memilih
keramik yang kekal dibanding bijih emas yang fana.
Bagaimana jika kenyataannya dunia adalah keramik yang fana sedangkan akhirat
adalah bijih emas yang kekal?” (Dikutip dari: Adabul ‘Ulama’ wal
Muta’allimin).
Maka, sangat wajar
jika Rasulullah pernah mengajari ‘Ali bin Abi Thalib sebuah doa, “Ya Allah,
berilah aku petunjuk dan tepatkanlah aku (dalam memilih).” (Riwayat
Muslim). Semoga kita pun diberi-Nya hidayah dan ketepatan, dalam menyiapkan
bekal perjalanan ini. Amin. Wallahu a’lam.
[*] Alimin Mukhtar, 11 Syawwal 1433 H. Pernah dipublikasikan dalam Lembar Jumat Al-Qolam.