Terjemah "Risalah Sulthaniyah" karya al-Hafizh as-Suyuthi (2/2)



 Sambungan dari Bag. 1

 بسم الله الرحمن الرحيم

Para ulama’ dan Imam menyatakan bahwa sunnah bagi ulama’ untuk tidak bolak-balik mendatangi penguasa, sebab hadits-hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarangnya, juga mencela ulama’ yang melakukannya.
Diantaranya adalah:
1 – Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi dan beliau menilainya hasan, an-Nasa’i, al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, bersumber dari Ibnu ‘Abbas, semoga Allah meridhai keduanya, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Barangsiapa yang tinggal di daerah pedalaman, niscaya akan menjadi keras tabiatnya. Barangsiapa yang mengejar-ngejar hewan buruan, niscaya akan lalai. Barangsiapa yang mendatangi pintu-pintu penguasa, niscaya akan tertimpa fitnah.”[1]
2 – Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya, Abu Dawud, dan al-Baihaqi, dengan sanad shahih, dari Abu Hurairah, semoga Allah meridhainya, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mendatangi pintu-pintu penguasa maka ia akan tertimpa fitnah. Tidaklah seseorang semakin dekat dengan penguasa melainkan ia semakin jauh dari Allah.”[2]
3 – Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah, semoga Allah meridhainya, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Diantara Qurra’ (ahli Al-Qur’an) yang paling dibenci oleh Allah adalah mereka yang mengunjungi para pejabat (umara’).”[3]
4 – Ibnu Laal meriwayatkan dari Abu Hurairah, semoga Allah meridhainya, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya makhluk yang paling dibenci oleh Allah adalah ulama’ ketika ia mengunjungi para pejabat.”[4]
5 – Ad-Daylami meriwayatkan dalam Musnad al-Firdaus, dari Abu Hurairah, semoga Allah meridhainya, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bila engkau melihat seorang ulama’ yang sangat rapat bergaul dengan penguasa, maka ketahuilah bahwa dia itu pencuri.”[5]
6 – Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanad yang para perawinya tsiqah, bersumber dari Ibnu ‘Abbas, semoga Allah meridhai keduanya, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, (beliau bersabda), “Sungguh sekelompok orang dari umatku akan mempelajari agamanya secara mendalam, membaca Al-Qur’an, dan mereka berkata: ‘Kita datangi para pejabat lalu kita dapatkan sebagian dari (harta benda) duniawi mereka dan kita menjauhi mereka dengan agama kita.’ Hal itu tidak akan terlaksana. Sebagaimana tidak ada yang bisa dipetik dari pohon Qatad selain durinya, demikianlah tidak ada yang bisa dipetik dari kedekatan mereka itu (dengan pejabat) selain kesalahan-kesalahan.”[6]
7 – Ath-Thabrani meriwayatkan dalam al-Ausath dengan sanad yang para perawinya tsiqah, dari Tsauban, semoga Allah meridhainya, maula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata: saya berkata, “Wahai Rasulullah, apakah saya termasuk Ahli Bait?” Beliau diam. Pada pertanyaan ketiga, beliau menjawab, “Ya, selama engkau tidak berdiri di suddah (pintu rumah) penguasa, atau engkau mendatangi seorang pejabat untuk meminta-minta darinya.”[7]
Al-Hafizh al-Mundziri berkata dalam at-Targhib wat Tarhib, “Yang dimaksud dengan suddah disini adalah pintu/gerbang rumah penguasa, dan yang sejenisnya.”
8 – Al-Baihaqi meriwayatkan dari seseorang dari Bani Sulaim, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hendaklah kalian menjauhi pintu-pintu penguasa.”[8]
9 – Ad-Darimi meriwayatkan dalam Musnad-nya, dari Ibnu Mas’ud, semoga Allah meridhainya, beliau berkata, “Barangsiapa yang mencari ilmu karena empat hal, dia pasti masuk neraka: untuk membanggakan diri terhadap para ulama’, atau untuk mendebat orang-orang bodoh, atau untuk menarik perhatian orang lain kepadanya, atau ia menggunakannya untuk mendapatkan (harta benda duniawi) dari para pejabat.”[9]
10 – Al-‘Uqaili meriwayatkan dari Anas, semoga Allah meridhainya, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ulama’ adalah orang-orang kepercayaan para Rasul atas hamba-hamba Allah selama mereka tidak bergaul rapat dengan penguasa. Jika mereka melakukan hal itu, maka sungguh mereka telah mengkhianati para Rasul, maka waspadai dan jauhilah mereka.”[10]
11 – Al-‘Askari meriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib, semoga Allah meridhainya, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Fuqaha’ adalah orang-orang kepercayaan para Rasul selama mereka tidak masuk ke dalam (urusan) duniawi dan mengikuti para penguasa. Bila mereka melakukan hal itu, maka waspadailah mereka.”[11]
12 – Abu Nu’aim meriwayatkan dalam al-Hilyah, dari Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq, beliau berkata, “Fuqaha’ adalah orang-orang kepercayaan para Rasul. Jika kalian melihat fuqaha’ telah condong dan bersandar kepada penguasa, maka curigailah mereka.”[12]
13 – Ad-Dailami meriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, semoga Allah meridhainya, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak seorang ‘alim pun yang mendatangi pemegang kekuasaan secara sukarela melaikan ia akan menjadi sekutunya pula dalam setiap macam azab yang diazabkan kepadanya di neraka Jahannam.”[13]
14 – Ad-Dailami meriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab, semoga Allah meridhainya, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai para pejabat ketika mereka bergaul rapat dengan para ulama’, namun membenci para ulama’ ketika mereka bergaul rapat dengan para pejabat. Sebab, ketika para ulama’ bergaul rapat dengan para pejabat maka mereka akan tertarik menggemari dunia, sedangkan ketika para pejabat bergaul rapat dengan para ulama’ maka mereka akan tertarik menggemari akhirat.”[14]
15 – Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam Mushannaf-nya, dari Hudzaifah bin al-Yaman, semoga Allah meridhainya, beliau berkata, “Ingat, jangan sekali-kali salah seorang dari kalian melangkah sejengkal pun (untuk mendatangi) pemegang kekuasaan.”[15]
16 – Al-Baihaqi meriwayatkan dari Muhammad bin Wasi’, beliau berkata, “Memakan tepung tanah itu lebih baik dibanding berdekat-dekat dengan penguasa.”[16]
17 – Al-Baihaqi meriwayatkan dari al-Fudhail bin ‘Iyadh, beliau berkata, “Dulu kami mempelajari (bagaimana) menjauhi penguasa sebagaimana kami mempelajari salah satu surah Al-Qur’an.”[17]
18 – Al-Baihaqi meriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri, beliau berkata, “Bila engkau melihat seorang ahli Al-Qur’an (qari’) bergandengan mesra dengan penguasa maka ketahuilah bahwa dia sebenarnya pencuri. Jangan sampai engkau tertipu, lalu dikatakan kepadamu: ‘Engkau bisa mengembalikan sesuatu yang diambil secara zhalim dan membela orang yang terzhalimi’, sebab semua ini merupakan tipuan Iblis yang dijadikannya sebagai tangga untuk (menggoda) para ahli Al-Qur’an.”[18]
19 – Al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Syihab, ia berkata: saya mendengar Sufyan ats-Tsauri berkata kepada seseorang, “Jika mereka mengundangmu untuk membacakan kepada mereka Qul huwallahu ahad, maka jangan kaudatangi.” Dikatakan kepada Abu Syihab, “Siapa yang Anda maksudkan?” Ia menjawab, “Penguasa.”[19]
20 – Al-Hakim at-Tirmidzi meriwayatkan dalam Nawadirul Ushul, dari ‘Umar bin al-Khaththab, semoga Allah meridhainya, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangiku, dan aku melihat kesedihan di wajahnya. Beliau memegang jenggotnya lalu berkata: ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Jibril mendatangiku lalu berkata: ‘Sesungguhnya umatmu akan terkena fitnah sepeninggalmu, tidak lama sepeninggalmu.’ Saya bertanya: ‘Dari mana datangnya fitnah itu?’ Jibril menjawab: ‘Dari arah para ahli Al-Qur’an dan pejabat di kalangan mereka. Para pejabat itu menahan hak-hak manusia dan tidak mau menyalurkannya, sedangkan para ahli Al-Qur’an itu mengekor hawa nafsu para pejabat.’ Saya bertanya: ‘Hai Jibril, dengan apakah orang yang selamat diantara mereka bisa menyelamatkan diri?’ Jibril menjawab: ‘Dengan menahan diri dan sabar. Jika mereka diberi apa yang menjadi haknya, mereka mau menerimanya. Jika mereka dihalangi dari haknya, mereka membiarkannya.’”[20]
21 – Al-Baihaqi meriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri, beliau berkata, “Sesungguhnya di dalam neraka Jahannam terdapat sebuah sumur yang mana neraka Jahannam sendiri memohon perlindungan darinya sebanyak 70 kali setiap hari. Sumur itu disiapkan oleh Allah untuk para ahli Al-Qur’an yang suka mengunjungi para penguasa.”[21]
22 – Diriwayatkan dalam Thabaqat al-Hanafiyyin, pada biografi Abul Hasan ash-Shaidalani, bahwa Sultan Malik Syah berkata kepada beliau, “Mengapa Anda tidak mau mendatangi kami?” Beliau menjawab, “Saya ingin Anda termasuk raja-raja terbaik yang mana mereka suka mengunjungi para ulama’, dan saya tidak ingin termasuk ulama’ terburuk yang mana saya suka mengunjungi para raja.”[22]
23 – Diriwayatkan kepada kami dari ‘Abdullah bin al-Mubarak, semoga Allah meridhainya, bahwa telah sampai kabar kepada beliau perihal Ibnu ‘Ulayyah yang berhubungan dengan penguasa. Maka, Ibnul Mubarak pun menulis surat kepadanya. Beliau berkata (dalam suratnya, berbentuk syair):
Wahai orang yang menjadikan ilmu yang dimilikinya sebagai alat menonjolkan diri; ia memburu harta-benda penguasa (dengan ilmunya)
Engkau berusaha untuk mendapatkan dunia berikut segala kelezatannya; dengan usaha yang justru melenyapkan agama
Mana riwayat yang dulu engkau miliki; dari Ibnu ‘Aun dan Ibnu Sirin?
Mana riwayat yang dulu engkau miliki; agar meninggalkan pintu-pintu rumah penguasa?[23]

Hadits, atsar dan nash ulama’ dalam masalah ini tak terhitung lagi banyaknya. Saya sendiri sudah mengumpulkannya dalam satu karya terpisah. Disini, cukup sekian dulu. Wallahu a’lam bish-shawab.

[*]

[ SELESAI ]

Bagian 1, klik DISINI
Naskah lengkap versi PDF, cek laman DOWNLOAD atau klik DISINI





[1] Dikeluarkan Abu Dawud no. 5859, at-Tirmidzi no. 2256, an-Nasa’i no. 4309, al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab no. 9402, dan Ahmad I/357. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 6296. Barangsiapa yang tinggal di daerah pedalaman, dst…” maksudnya: hatinya menjadi kasar dan keras sehingga tidak melunak untuk kebaikan-kebaikan, seperti berbakti dan silaturahim dikarenakan ia jauh dari ulama dan sedikit bergaul dengan orang yang berakhlak utama, sehingga tabiatnya berubah bagaikan hewan liar. Barangsiapa yang mengejar-ngejar hewan buruan, dst…” maksudnya: makruh untuk terus menerus dan sering berburu, karena pelakunya seringkali terlalaikan dari banyak kewajiban dan hal-hal yang sunnah. “Barangsiapa yang mendatangi pintu-pintu penguasa, dst…” maksudnya: jika dia menyetujui tindakan penguasa yang zhalim maka akan membahayakan agamanya, tetapi jika dia mengingkari maka akan membahayakan nyawanya. Disinilah dia akan tertimpa fitnah besar. Dia juga akan melihat kemewahan duniawi sehingga meremehkan nikmat-nikmat Allah yang diterimanya. Bisa jadi, dia justru melayani penguasa zhalim tersebut sehingga tidak akan selamat dari azab duniawi maupun ukhrawi. Demikian keterangan al-Munawi dalam Faidhul Qadir.
[2] Riwayat Ahmad, II/371, 440; Abu Dawud no. 2860, al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra no. X/101 dan asy-Syu’ab no. 9404. Al-Albani menilainya shahih dalam Ash-Shahihah no. 1272 dan Shahih al-Jami’ no. 6124.
[3] Riwayat ini merupakan bagian akhir sebuah hadits. Selengkapnya adalah: Rasulullah bersabda, “Berlindunglah kalian dari Sumur Kesedihan!” Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah Sumur Kesedihan itu?” Beliau menjawab, “Sebuah lembah di neraka Jahannam, yang mana Jahannam sendiri memohon perlindungan darinya 400 kali setiap harinya.” Mereka bertanya lagi, “Siapakah yang akan memasukinya?” Beliau menjawab, “Ia dipersiapkan bagi para Qurra’ yang riya’ dalam beramal. Sungguh, diantara Qurra’ (ahli Al-Qur’an) yang paling dibenci Allah adalah mereka yang mengunjungi para pejabat (umara’).” Ini hadits dha’if, sebagaimana dinyatakan Ibnu ‘Ady dalam al-Kamil V/1727, dan Ibnul Jauzi dalam al-‘Ilal no. 205. Dilemahkan pula oleh al-Albani dalam Dha’if Ibnu Majah no. 52. Menurut al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, istilah Qurra’ mencakup para ulama’ dan semua orang yang taat beragama, sebab ilmu tentang Al-Qur’an merupakan pokok ilmu Islam, dan darinya bercabang semua ilmu serta amal.
[4] Imam as-Suyuthi mengisyaratkan dalam al-Jami’ ash-Shaghir bahwa riwayat ini lemah. Menurut al-Munawi dalam at-Taysir, kelemahannya terletak pada Muhammad bin as-Sayyah. Al-Albani memvonis hadits ini maudhu’ dalam Dha’if al-Jami’ no. 1357.
[5] Dikeluarkan ad-Daylami dalam Firdaus al-Akhyar no. 1077. Dinyatakan hasan oleh as-Suyuthi dalam al-Jami’ ash-Shaghir, dan dinilai jayyid isnad-nya oleh al-Munawi dalam Faidhul Qadir I/446. Al-Albani menilainya dha’if dalam Dha’if al-Jami’ no. 500. Yang dimaksud “pencuri” adalah orang yang berusaha mengeruk dunia dengan rekayasa haram dan cara-cara yang tidak dibenarkan syariat.
[6] Riwayat Ibnu Majah no. 255. Kata “kesalahan-kesalahan” sebenarnya tidak ada dalam nash asli hadits, namun merupakan penafsiran perawi sendiri, alias mudraj. Namun, kata ini disertakan begitu saja oleh Imam as-Suyuthi dalam risalah ini, juga dua karya beliau lainnya, tanpa keterangan apa-apa. Hadits ini dinyatakan dha’if oleh al-Bushiri dalam az-Zawa’id  dan al-Albani. Lihat Misykat al-Mashabih I/87. Qatad adalah sejenis tumbuhan yang memiliki banyak duri seperti jarum, terutama pada bunga dan buahnya. Nama Latinnya Astragalus, dan mencakup sekitar 3000 spesies, umumnya berupa tumbuhan belukar dan herbal dengan daun kecil-kecil. Banyak tumbuh di kawasan Timur Tengah.
[7] Dalam Majma’ az-Zawa’id VI/173, al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath dan para perawinya tsiqah.” Demikian pula pernyataan al-Mundziri dalam at-Targhib wat Tarhib III/196. Istilah ini tidak selalu berarti haditsnya shahih, karena terkadang ada ‘illat tersembunyi yang membuatnya bisa menjadi dha’if. Dengan kata lain, penilaian ini hanya sekilas berdasarkan lahiriah sanad-nya, tanpa meneliti lebih jauh dengan membandingkan jalur-jalur periwayatannya. Lihat juga Shahih at-Targhib I/43 karya al-Albani.
[8] Dikeluarkan al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab no. 9405. Tentang hadits ini, al-Haitsami berkomentar dalam Majma’ az-Zawa’id V/249, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan para perawinya adalah perawi shahih.” Hadits ini juga dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 1253, dan beliau menunjuk bahwa “seseorang dari Bani Sulaim”, yakni perawi mubham tersebut, adalah seorang Sahabat bernama Abul A’war ‘Umar bin Sufyan as-Sulami.
[9] Musnad ad-Darimi no. 379 dengan sanad lemah. Menurut Husain Salim Asad, hadits ini memiliki banyak syahid yang bisa menguatkannya. Ada juga hadits shahih dan marfu’ yang semakna, tetapi tanpa kalimat terakhir dalam atsar yang dikutip dari Ibnu Mas’ud diatas. Lihat Shahih al-Jami’ no. 6382 dan 6383.
[10] Dalam Ma Rawahu al-Asathin, as-Suyuthi juga menisbatkan hadits ini kepada al-Hasan bin Sufyan dalam Musnad-nya, al-Hakim dalam Tarikh-nya, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus, dan ar-Rafi’i dalam Tarikh-nya. Dikeluarkan pula oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi no. 1113, dan dinisbatkan kepada al-‘Uqaili. Ibnul Jauzi memvonisnya sebagai hadits maudhu’ sebagaimana disitir adz-Dzahabi dalam Talkhish al-Maudhu’at no. 167. Namun, as-Suyuthi mengkritiknya dalam al-La’ali’ I/201 dengan menyatakan, “Hadits ini mdmiliki banyak syahid yang semakna dengannya, yang shahih dan hasan, lebih dari 40 buah. Maksimal, berdasarkan disiplin Ilmu Hadits, riwayat ini bisa dihukumi hasan. Wallahu a’lam.” Al-Albani melemahkan riwayat ini dalam Dha’if al-Jami’ no. 3883.
[11] Dalam al-Maqashid al-Hasanah, as-Sakhawi juga menisbatkannya kepada al-‘Askari dan beliau menilainya dha’if. Penilaian serupa dikemukakan az-Zarqani dalam al-Mukhtashar no. 693 dan al-Albani dalam Dha’if al-Jami’ no. 4032.
[12] Al-Hilyah III/194 dan Siyar A’lami an-Nubala’ VI/262.
[13] Dalam al-Maqashid no. 983, as-Sakhawi juga menyandarkannya kepada ad-Dailami dan menilainya dha’if. Penilaian serupa diberikan al-Albani dalam Dha’if al-Jami’ no. 5193, dan menisbatkannya kepada al-Hakim dalam Tarikh-nya.
[14] Demikianlah dalam Musnad al-Firdaus no. 566, dengan sedikit perbedaan redaksi. As-Sakhawi juga menisbatkannya kepada ad-Dailami dalam al-Maqashid no. 698.
[15] Saya tidak menemukan riwayat ini dalam al-Mushannaf yang beredar diantara kita sekarang. Tidak ada dalam indeks maupun tempat-tempat yang diduga menjadi tempatnya, seperti Kitab al-Umara’, pada juz ke-7, maupun pada bab-bab lain. Wallahu a’lam. [editor] – Alhamdulillah, dengan bantuan Maktabah Syamilah, kami menemukan teks asli riwayat ini dalam al-Mushannaf, VII/487, bab man karihal khuruj fil fitnah wa ta’awwadza ‘anha, no.37448 (Maktabah ar-Rusyd, Riyadh, 1409H, editor: Kamal Yusuf al-Huut). Namun, riwayat ini tidak dikutip as-Suyuthi secara utuh. Menurut pemahaman kami – jika riwayatnya dibaca lengkap, dan konteks penempatannya dipertimbangkan pula – makna hadits ini lebih mengarah kepada larangan memberontak kepada penguasa, alias ikut keluar mengobarkan fitnah, bukan larangan mendatangi penguasa yang dimaksudkan oleh as-Suyuthi dalam risalah ini. Selengkapnya sbb, “Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian melangkah sejengkal pun kepada pemegang kekuasaan (dengan tujuan) untuk menghinakannya. Tidak! Demi Allah, suatu kaum yang menghinakan penguasa niscaya mereka selalu berada dalam kehinaan sampai Hari Kiamat.” Wallahu a’lam. [pen]
[16] Syu’abul Iman, no. 9429. Selengkapnya: “Sungguh menggigit batang tebu dan memakan tepung tanah itu lebih baik… dst.” Mungkin, maksudnya: hidup melarat sehingga diibaratkan harus memakan tanah dan menggigit tetumbuhan itu lebih baik daripada hidup sejahtera dari pemberian penguasa. Wallahu a’lam. Abu Bakr Muhammad bin Wasi’ al-Bashri adalah seorang Tabi’in yang ahli ibadah, shalih, dan zahid. Wafat tahun 123 H.
[17] Syu’abul Iman, no. 9417.
[18] Syu’abul Iman, no. 9419.
[19] Syu’abul Iman, no. 9418 dan Musnad Ibnul Ja’di no. 1821.
[20] Imam as-Suyuthi juga menisbatkan riwayat ini kepada al-Hakim at-Tirmidzi dalam al-Asathin hal. 47, namun saya tidak menemukannya disana. [editor] – Alhamdulillah, dengan menggunakan Maktabah Syamilah, kami mendapati riwayat ini dikutip ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus, no. 8284. Dikeluarkan pula oleh Ibnu Abid Dunia dalam ash-Shabr wa ats-Tsawab ‘Alaihi no. 200, dengan sedikit perbedaan redaksional. Hadits ini dinyatakan dha’if jiddan oleh al-Albani dalam adh-Dha’ifah no. 5498, dan dinisbatkan pula kepada al-Fasawi dalam al-Ma’rifah I/308-309. Dikeluarkan pula oleh al-Khathib dalam al-Muttafaq wal Muftaraq III/112 no. 1085, dengan sedikit perbedaan redaksional. Disana beliau menunjukkan beberapa nama perawi dalam isnad-nya yang lemah dan tidak dikenal. Menurut beliau, hadits ini tidak shahih. Wallahu a’lam. [pen]
[21] Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi no. 1097, dengan redaksi berbeda. Diriwayatkan pula oleh al-Ghazali dalam al-Ihya’ V/113, dan menurut az-Zabidy dalam al-Ithaf VI/692 riwayat itu miliki al-Baihaqi. Terdapat satu hadits dha’if yang semakna dengannya, yang dikeluarkan as-Suyuthi dalam al-Asathin hal. 35 dan Ibnu ‘Ady dalam al-Kamil I/468.
[22] Abul Hasan ‘Ali bin al-Hasan ash-Shaidalani – atau, ash-Shandali – adalah seorang ulama’ bermadzhab Hanafi dan penganut Mu’tazilah. Semula beliau adalah wa’izh dan memasuki Baghdad bersama Sultan Tughrul Bek, lalu kembali ke Nisabur, hidup zuhud dan samasekali tidak mau mendatangi penguasa. Suatu ketika, Sultan Malik Syah melihat beliau di Masjid Jami’ dan mengkritiknya karena tidak mau lagi berkunjung. Maka, beliau pun melontarkan pernyataan diatas. Beliau wafat tahun 484 H.
[23] Bait-bait syair ini, berikut kisah yang melatarinya, tersebar di banyak sumber lain, dengan sedikit perbedaan di dalamnya. Diantaranya adalah al-Jami’ karya Ibnu ‘Abdil Barr no. 1098 dan 1099; Tarikh Baghdad VI/236; as-Siyar IX/110 dan VIII/411. Ibnu ‘Ulyyah yang disinggung disini adalah Isma’il bin Ibrahim al-Bashri. ‘Ulayyah adalah nama ibunya. Beliau meriwayatkan dari Ahmad, Ibnu Ma’in, Ibnul Madini, dll. Disifati sebagai seorang faqih, mufti, wara’. Tatkala beliau bersedia memangku jabatan Qadhi, Ibnul Mubarak – temannya – pun mengirim teguran keras ini. Padahal, khalifah di masa itu adalah Harun Ar-Rasyid yang terkenal keagungannya. Ibnu ‘Ulayyah wafat tahun 193 H.