Sambungan dari Bag. 1
بسم الله الرحمن الرحيم
Para ulama’ dan Imam menyatakan bahwa sunnah
bagi ulama’ untuk tidak bolak-balik mendatangi penguasa, sebab hadits-hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam telah melarangnya, juga mencela ulama’ yang melakukannya.
Diantaranya adalah:
1 – Hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud, at-Tirmidzi dan beliau menilainya hasan, an-Nasa’i, al-Baihaqi
dalam Syu’abul Iman, bersumber dari Ibnu ‘Abbas, semoga Allah
meridhai keduanya, dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Barangsiapa yang
tinggal di daerah pedalaman, niscaya akan menjadi keras tabiatnya. Barangsiapa
yang mengejar-ngejar hewan
buruan, niscaya akan lalai. Barangsiapa yang mendatangi pintu-pintu penguasa, niscaya akan tertimpa fitnah.”[1]
2 – Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya, Abu Dawud, dan
al-Baihaqi, dengan sanad shahih, dari Abu Hurairah, semoga Allah
meridhainya, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Barangsiapa yang mendatangi pintu-pintu penguasa maka ia akan
tertimpa fitnah. Tidaklah seseorang semakin dekat dengan penguasa melainkan ia semakin
jauh dari Allah.”[2]
3 – Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah, semoga Allah
meridhainya, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Diantara Qurra’ (ahli Al-Qur’an) yang paling dibenci oleh Allah
adalah mereka yang mengunjungi para pejabat (umara’).”[3]
4 – Ibnu Laal meriwayatkan dari Abu Hurairah, semoga Allah meridhainya,
ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya
makhluk yang paling dibenci oleh Allah adalah ulama’ ketika ia mengunjungi para
pejabat.”[4]
5 – Ad-Daylami meriwayatkan dalam Musnad al-Firdaus, dari Abu
Hurairah, semoga Allah meridhainya, ia berkata: Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Bila engkau melihat seorang ulama’ yang
sangat rapat bergaul dengan penguasa, maka ketahuilah bahwa dia itu pencuri.”[5]
6 – Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanad yang para perawinya tsiqah,
bersumber dari Ibnu ‘Abbas, semoga Allah meridhai keduanya, dari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, (beliau bersabda), “Sungguh sekelompok orang dari
umatku akan mempelajari agamanya secara mendalam, membaca Al-Qur’an, dan mereka
berkata: ‘Kita datangi para pejabat lalu kita dapatkan sebagian dari (harta
benda) duniawi mereka dan kita menjauhi mereka dengan agama kita.’ Hal itu
tidak akan terlaksana. Sebagaimana tidak ada yang bisa dipetik dari pohon Qatad
selain durinya, demikianlah tidak ada yang bisa dipetik dari kedekatan mereka
itu (dengan pejabat) selain kesalahan-kesalahan.”[6]
7 – Ath-Thabrani meriwayatkan dalam al-Ausath dengan sanad
yang para perawinya tsiqah, dari Tsauban, semoga Allah meridhainya,
maula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata: saya
berkata, “Wahai Rasulullah, apakah saya termasuk Ahli Bait?” Beliau diam. Pada
pertanyaan ketiga, beliau menjawab, “Ya, selama engkau tidak berdiri di suddah
(pintu rumah) penguasa, atau engkau mendatangi seorang pejabat untuk
meminta-minta darinya.”[7]
Al-Hafizh al-Mundziri berkata dalam at-Targhib wat Tarhib, “Yang
dimaksud dengan suddah disini adalah pintu/gerbang rumah penguasa, dan
yang sejenisnya.”
8 – Al-Baihaqi meriwayatkan dari seseorang dari Bani Sulaim, ia berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hendaklah kalian
menjauhi pintu-pintu penguasa.”[8]
9 – Ad-Darimi meriwayatkan dalam Musnad-nya, dari Ibnu Mas’ud, semoga
Allah meridhainya, beliau berkata, “Barangsiapa yang mencari ilmu karena
empat hal, dia pasti masuk neraka: untuk membanggakan diri terhadap para
ulama’, atau untuk mendebat orang-orang bodoh, atau untuk menarik perhatian
orang lain kepadanya, atau ia menggunakannya untuk mendapatkan (harta benda duniawi)
dari para pejabat.”[9]
10 – Al-‘Uqaili meriwayatkan dari Anas, semoga Allah meridhainya,
ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ulama’
adalah orang-orang kepercayaan para Rasul atas hamba-hamba Allah selama mereka
tidak bergaul rapat dengan penguasa. Jika mereka melakukan hal itu, maka
sungguh mereka telah mengkhianati para Rasul, maka waspadai dan jauhilah
mereka.”[10]
11 – Al-‘Askari meriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib, semoga Allah
meridhainya, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Fuqaha’ adalah orang-orang kepercayaan para Rasul selama mereka
tidak masuk ke dalam (urusan) duniawi dan mengikuti para penguasa. Bila mereka
melakukan hal itu, maka waspadailah mereka.”[11]
12 – Abu Nu’aim meriwayatkan dalam al-Hilyah, dari Ja’far bin
Muhammad ash-Shadiq, beliau berkata, “Fuqaha’ adalah orang-orang
kepercayaan para Rasul. Jika kalian melihat fuqaha’ telah condong dan
bersandar kepada penguasa, maka curigailah mereka.”[12]
13 – Ad-Dailami meriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, semoga Allah
meridhainya, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Tidak seorang ‘alim pun yang mendatangi pemegang kekuasaan secara
sukarela melaikan ia akan menjadi sekutunya pula dalam setiap macam azab yang
diazabkan kepadanya di neraka Jahannam.”[13]
14 – Ad-Dailami meriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab, semoga Allah
meridhainya, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai para pejabat ketika mereka bergaul
rapat dengan para ulama’, namun membenci para ulama’ ketika mereka bergaul
rapat dengan para pejabat. Sebab, ketika para ulama’ bergaul rapat dengan para
pejabat maka mereka akan tertarik menggemari dunia, sedangkan ketika para
pejabat bergaul rapat dengan para ulama’ maka mereka akan tertarik menggemari
akhirat.”[14]
15 – Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam Mushannaf-nya, dari
Hudzaifah bin al-Yaman, semoga Allah meridhainya, beliau berkata,
“Ingat, jangan sekali-kali salah seorang dari kalian melangkah sejengkal pun (untuk
mendatangi) pemegang kekuasaan.”[15]
16 – Al-Baihaqi meriwayatkan dari Muhammad bin Wasi’, beliau berkata,
“Memakan tepung tanah itu lebih baik dibanding berdekat-dekat dengan penguasa.”[16]
17 – Al-Baihaqi meriwayatkan dari al-Fudhail bin ‘Iyadh, beliau berkata,
“Dulu kami mempelajari (bagaimana) menjauhi penguasa sebagaimana kami
mempelajari salah satu surah Al-Qur’an.”[17]
18 – Al-Baihaqi meriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri, beliau berkata, “Bila
engkau melihat seorang ahli Al-Qur’an (qari’) bergandengan mesra dengan
penguasa maka ketahuilah bahwa dia sebenarnya pencuri. Jangan sampai engkau
tertipu, lalu dikatakan kepadamu: ‘Engkau bisa mengembalikan sesuatu yang
diambil secara zhalim dan membela orang yang terzhalimi’, sebab semua ini
merupakan tipuan Iblis yang dijadikannya sebagai tangga untuk (menggoda) para
ahli Al-Qur’an.”[18]
19 – Al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Syihab, ia berkata: saya mendengar
Sufyan ats-Tsauri berkata kepada seseorang, “Jika mereka mengundangmu untuk
membacakan kepada mereka Qul huwallahu ahad, maka jangan
kaudatangi.” Dikatakan kepada Abu Syihab, “Siapa yang Anda maksudkan?” Ia menjawab,
“Penguasa.”[19]
20 – Al-Hakim at-Tirmidzi meriwayatkan dalam Nawadirul Ushul, dari
‘Umar bin al-Khaththab, semoga Allah meridhainya, beliau berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangiku, dan aku melihat
kesedihan di wajahnya. Beliau memegang jenggotnya lalu berkata: ‘Inna
lillahi wa inna ilaihi raji’un. Jibril mendatangiku lalu berkata: ‘Sesungguhnya
umatmu akan terkena fitnah sepeninggalmu, tidak lama sepeninggalmu.’ Saya
bertanya: ‘Dari mana datangnya fitnah itu?’ Jibril menjawab: ‘Dari arah para
ahli Al-Qur’an dan pejabat di kalangan mereka. Para pejabat itu menahan hak-hak
manusia dan tidak mau menyalurkannya, sedangkan para ahli Al-Qur’an itu
mengekor hawa nafsu para pejabat.’ Saya bertanya: ‘Hai Jibril, dengan apakah
orang yang selamat diantara mereka bisa menyelamatkan diri?’ Jibril menjawab:
‘Dengan menahan diri dan sabar. Jika mereka diberi apa yang menjadi haknya,
mereka mau menerimanya. Jika mereka dihalangi dari haknya, mereka
membiarkannya.’”[20]
21 – Al-Baihaqi meriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri, beliau berkata,
“Sesungguhnya di dalam neraka Jahannam terdapat sebuah sumur yang mana neraka
Jahannam sendiri memohon perlindungan darinya sebanyak 70 kali setiap hari.
Sumur itu disiapkan oleh Allah untuk para ahli Al-Qur’an yang suka mengunjungi
para penguasa.”[21]
22 – Diriwayatkan dalam Thabaqat al-Hanafiyyin, pada biografi Abul
Hasan ash-Shaidalani, bahwa Sultan Malik Syah berkata kepada beliau, “Mengapa
Anda tidak mau mendatangi kami?” Beliau menjawab, “Saya ingin Anda termasuk
raja-raja terbaik yang mana mereka suka mengunjungi para ulama’, dan saya tidak
ingin termasuk ulama’ terburuk yang mana saya suka mengunjungi para raja.”[22]
23 – Diriwayatkan kepada kami dari ‘Abdullah bin al-Mubarak, semoga
Allah meridhainya, bahwa telah sampai kabar kepada beliau perihal Ibnu
‘Ulayyah yang berhubungan dengan penguasa. Maka, Ibnul Mubarak pun menulis
surat kepadanya. Beliau berkata (dalam suratnya, berbentuk syair):
Wahai
orang yang menjadikan ilmu yang dimilikinya sebagai alat menonjolkan diri; ia
memburu harta-benda penguasa (dengan ilmunya)
Engkau berusaha
untuk mendapatkan dunia berikut segala kelezatannya; dengan usaha yang justru melenyapkan
agama
Mana
riwayat yang dulu engkau miliki; dari Ibnu ‘Aun dan Ibnu Sirin?
Mana
riwayat yang dulu engkau miliki; agar meninggalkan pintu-pintu rumah penguasa?[23]
Hadits, atsar dan nash ulama’ dalam masalah ini tak
terhitung lagi banyaknya. Saya sendiri sudah mengumpulkannya dalam satu karya
terpisah. Disini, cukup sekian dulu. Wallahu a’lam bish-shawab.
[*]
[ SELESAI ]
Bagian 1, klik DISINI
Naskah lengkap versi PDF, cek laman DOWNLOAD atau klik DISINI
[1] Dikeluarkan Abu Dawud no. 5859,
at-Tirmidzi no. 2256, an-Nasa’i no. 4309, al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab
no. 9402, dan Ahmad I/357. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Albani
dalam Shahih al-Jami’ no. 6296. “Barangsiapa yang
tinggal di daerah pedalaman, dst…” maksudnya: hatinya menjadi kasar dan keras
sehingga tidak melunak untuk kebaikan-kebaikan, seperti berbakti dan
silaturahim dikarenakan ia jauh dari ulama dan sedikit bergaul dengan orang
yang berakhlak utama, sehingga tabiatnya berubah bagaikan hewan liar. “Barangsiapa
yang mengejar-ngejar hewan
buruan, dst…” maksudnya: makruh untuk terus menerus dan sering berburu, karena
pelakunya seringkali terlalaikan dari banyak kewajiban dan hal-hal yang sunnah.
“Barangsiapa yang mendatangi pintu-pintu penguasa, dst…” maksudnya: jika
dia menyetujui tindakan penguasa yang zhalim maka akan membahayakan agamanya, tetapi
jika dia mengingkari maka akan membahayakan nyawanya. Disinilah dia akan
tertimpa fitnah besar. Dia juga akan melihat kemewahan duniawi sehingga
meremehkan nikmat-nikmat Allah yang diterimanya. Bisa jadi, dia justru melayani
penguasa zhalim tersebut sehingga tidak akan selamat dari azab duniawi maupun
ukhrawi. Demikian keterangan al-Munawi dalam Faidhul Qadir.
[2] Riwayat Ahmad, II/371, 440; Abu
Dawud no. 2860, al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra no. X/101 dan asy-Syu’ab
no. 9404. Al-Albani menilainya shahih dalam Ash-Shahihah no. 1272
dan Shahih al-Jami’ no. 6124.
[3] Riwayat ini merupakan bagian akhir
sebuah hadits. Selengkapnya adalah: Rasulullah bersabda, “Berlindunglah
kalian dari Sumur Kesedihan!” Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah,
apakah Sumur Kesedihan itu?” Beliau menjawab, “Sebuah lembah di neraka
Jahannam, yang mana Jahannam sendiri memohon perlindungan darinya 400 kali
setiap harinya.” Mereka bertanya lagi, “Siapakah yang akan memasukinya?”
Beliau menjawab, “Ia dipersiapkan bagi para Qurra’ yang riya’ dalam beramal.
Sungguh, diantara
Qurra’ (ahli Al-Qur’an) yang paling dibenci Allah adalah mereka yang
mengunjungi para pejabat (umara’).” Ini hadits dha’if, sebagaimana dinyatakan Ibnu
‘Ady dalam al-Kamil V/1727, dan Ibnul Jauzi dalam al-‘Ilal no.
205. Dilemahkan pula oleh al-Albani dalam Dha’if Ibnu Majah no. 52.
Menurut al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, istilah Qurra’ mencakup para
ulama’ dan semua orang yang taat beragama, sebab ilmu tentang Al-Qur’an
merupakan pokok ilmu Islam, dan darinya bercabang semua ilmu serta amal.
[4] Imam as-Suyuthi mengisyaratkan dalam
al-Jami’ ash-Shaghir bahwa riwayat ini lemah. Menurut al-Munawi dalam at-Taysir,
kelemahannya terletak pada Muhammad bin as-Sayyah. Al-Albani memvonis hadits
ini maudhu’ dalam Dha’if al-Jami’ no. 1357.
[5] Dikeluarkan ad-Daylami dalam Firdaus
al-Akhyar no. 1077. Dinyatakan hasan oleh as-Suyuthi dalam al-Jami’
ash-Shaghir, dan dinilai jayyid isnad-nya oleh al-Munawi dalam Faidhul
Qadir I/446. Al-Albani menilainya dha’if dalam Dha’if al-Jami’
no. 500. Yang dimaksud “pencuri” adalah orang yang berusaha mengeruk dunia
dengan rekayasa haram dan cara-cara yang tidak dibenarkan syariat.
[6] Riwayat Ibnu Majah no. 255. Kata
“kesalahan-kesalahan” sebenarnya tidak ada dalam nash asli hadits, namun
merupakan penafsiran perawi sendiri, alias mudraj. Namun, kata ini
disertakan begitu saja oleh Imam as-Suyuthi dalam risalah ini, juga dua karya
beliau lainnya, tanpa keterangan apa-apa. Hadits ini dinyatakan dha’if oleh
al-Bushiri dalam az-Zawa’id dan
al-Albani. Lihat Misykat al-Mashabih I/87. Qatad adalah sejenis
tumbuhan yang memiliki banyak duri seperti jarum, terutama pada bunga dan
buahnya. Nama Latinnya Astragalus, dan mencakup sekitar 3000 spesies,
umumnya berupa tumbuhan belukar dan herbal dengan daun kecil-kecil. Banyak
tumbuh di kawasan Timur Tengah.
[7] Dalam Majma’ az-Zawa’id
VI/173, al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath
dan para perawinya tsiqah.” Demikian pula pernyataan al-Mundziri dalam at-Targhib
wat Tarhib III/196. Istilah ini tidak selalu berarti haditsnya shahih,
karena terkadang ada ‘illat tersembunyi yang membuatnya bisa menjadi dha’if.
Dengan kata lain, penilaian ini hanya sekilas berdasarkan lahiriah sanad-nya,
tanpa meneliti lebih jauh dengan membandingkan jalur-jalur periwayatannya.
Lihat juga Shahih at-Targhib I/43 karya al-Albani.
[8] Dikeluarkan al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab
no. 9405. Tentang hadits ini, al-Haitsami berkomentar dalam Majma’
az-Zawa’id V/249, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan para perawinya adalah
perawi shahih.” Hadits ini juga dinyatakan shahih oleh al-Albani
dalam ash-Shahihah no. 1253, dan beliau menunjuk bahwa “seseorang dari
Bani Sulaim”, yakni perawi mubham tersebut, adalah seorang Sahabat
bernama Abul A’war ‘Umar bin Sufyan as-Sulami.
[9] Musnad ad-Darimi no. 379 dengan sanad
lemah. Menurut Husain Salim Asad, hadits ini memiliki banyak syahid yang
bisa menguatkannya. Ada juga hadits shahih dan marfu’ yang
semakna, tetapi tanpa kalimat terakhir dalam atsar yang dikutip dari
Ibnu Mas’ud diatas. Lihat Shahih al-Jami’ no. 6382 dan 6383.
[10] Dalam Ma Rawahu al-Asathin,
as-Suyuthi juga menisbatkan hadits ini kepada al-Hasan bin Sufyan dalam Musnad-nya,
al-Hakim dalam Tarikh-nya, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, ad-Dailami
dalam Musnad al-Firdaus, dan ar-Rafi’i dalam Tarikh-nya.
Dikeluarkan pula oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi
no. 1113, dan dinisbatkan kepada al-‘Uqaili. Ibnul Jauzi memvonisnya sebagai
hadits maudhu’ sebagaimana disitir adz-Dzahabi dalam Talkhish
al-Maudhu’at no. 167. Namun, as-Suyuthi mengkritiknya dalam al-La’ali’
I/201 dengan menyatakan, “Hadits ini mdmiliki banyak syahid yang semakna
dengannya, yang shahih dan hasan, lebih dari 40 buah. Maksimal,
berdasarkan disiplin Ilmu Hadits, riwayat ini bisa dihukumi hasan. Wallahu
a’lam.” Al-Albani melemahkan riwayat ini dalam Dha’if al-Jami’ no.
3883.
[11] Dalam al-Maqashid al-Hasanah, as-Sakhawi
juga menisbatkannya kepada al-‘Askari dan beliau menilainya dha’if.
Penilaian serupa dikemukakan az-Zarqani dalam al-Mukhtashar no. 693 dan
al-Albani dalam Dha’if al-Jami’ no. 4032.
[12] Al-Hilyah III/194 dan Siyar
A’lami an-Nubala’ VI/262.
[13] Dalam al-Maqashid no. 983,
as-Sakhawi juga menyandarkannya kepada ad-Dailami dan menilainya dha’if.
Penilaian serupa diberikan al-Albani dalam Dha’if al-Jami’ no. 5193, dan
menisbatkannya kepada al-Hakim dalam Tarikh-nya.
[14] Demikianlah dalam Musnad
al-Firdaus no. 566, dengan sedikit perbedaan redaksi. As-Sakhawi juga
menisbatkannya kepada ad-Dailami dalam al-Maqashid no. 698.
[15] Saya tidak menemukan riwayat ini
dalam al-Mushannaf yang beredar diantara kita sekarang. Tidak ada dalam
indeks maupun tempat-tempat yang diduga menjadi tempatnya, seperti Kitab
al-Umara’, pada juz ke-7, maupun pada bab-bab lain. Wallahu a’lam. [editor]
– Alhamdulillah, dengan bantuan Maktabah Syamilah, kami menemukan
teks asli riwayat ini dalam al-Mushannaf, VII/487, bab man karihal
khuruj fil fitnah wa ta’awwadza ‘anha, no.37448 (Maktabah ar-Rusyd, Riyadh,
1409H, editor: Kamal Yusuf al-Huut). Namun, riwayat ini tidak dikutip
as-Suyuthi secara utuh. Menurut pemahaman kami – jika riwayatnya dibaca
lengkap, dan konteks penempatannya dipertimbangkan pula – makna hadits ini
lebih mengarah kepada larangan memberontak kepada penguasa, alias ikut keluar
mengobarkan fitnah, bukan larangan mendatangi penguasa yang dimaksudkan oleh
as-Suyuthi dalam risalah ini. Selengkapnya sbb, “Jangan sekali-kali salah seorang dari
kalian melangkah sejengkal pun kepada pemegang
kekuasaan (dengan tujuan) untuk menghinakannya. Tidak! Demi Allah, suatu kaum
yang menghinakan penguasa niscaya mereka selalu berada dalam kehinaan sampai
Hari Kiamat.” Wallahu a’lam. [pen]
[16] Syu’abul Iman, no. 9429.
Selengkapnya: “Sungguh menggigit batang tebu dan memakan tepung tanah itu lebih
baik… dst.” Mungkin, maksudnya: hidup melarat sehingga diibaratkan harus
memakan tanah dan menggigit tetumbuhan itu lebih baik daripada hidup sejahtera
dari pemberian penguasa. Wallahu a’lam. Abu Bakr Muhammad bin Wasi’
al-Bashri adalah seorang Tabi’in yang ahli ibadah, shalih, dan zahid.
Wafat tahun 123 H.
[17] Syu’abul Iman, no. 9417.
[18] Syu’abul Iman, no. 9419.
[19] Syu’abul Iman, no. 9418 dan Musnad
Ibnul Ja’di no. 1821.
[20] Imam as-Suyuthi juga menisbatkan
riwayat ini kepada al-Hakim at-Tirmidzi dalam al-Asathin hal. 47, namun
saya tidak menemukannya disana. [editor] – Alhamdulillah, dengan
menggunakan Maktabah Syamilah, kami mendapati riwayat ini dikutip
ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus, no. 8284. Dikeluarkan pula oleh Ibnu
Abid Dunia dalam ash-Shabr wa ats-Tsawab ‘Alaihi no. 200, dengan sedikit
perbedaan redaksional. Hadits ini dinyatakan dha’if jiddan oleh
al-Albani dalam adh-Dha’ifah no. 5498, dan dinisbatkan pula kepada
al-Fasawi dalam al-Ma’rifah I/308-309. Dikeluarkan pula oleh al-Khathib
dalam al-Muttafaq wal Muftaraq III/112 no. 1085, dengan sedikit
perbedaan redaksional. Disana beliau menunjukkan beberapa nama perawi dalam isnad-nya
yang lemah dan tidak dikenal. Menurut beliau, hadits ini tidak shahih. Wallahu
a’lam. [pen]
[21] Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jami’
Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi no. 1097, dengan redaksi berbeda. Diriwayatkan
pula oleh al-Ghazali dalam al-Ihya’ V/113, dan menurut az-Zabidy dalam al-Ithaf
VI/692 riwayat itu miliki al-Baihaqi. Terdapat satu hadits dha’if yang
semakna dengannya, yang dikeluarkan as-Suyuthi dalam al-Asathin hal. 35
dan Ibnu ‘Ady dalam al-Kamil I/468.
[22] Abul Hasan ‘Ali bin al-Hasan
ash-Shaidalani – atau, ash-Shandali – adalah seorang ulama’ bermadzhab Hanafi
dan penganut Mu’tazilah. Semula beliau adalah wa’izh dan memasuki
Baghdad bersama Sultan Tughrul Bek, lalu kembali ke Nisabur, hidup zuhud dan
samasekali tidak mau mendatangi penguasa. Suatu ketika, Sultan Malik Syah
melihat beliau di Masjid Jami’ dan mengkritiknya karena tidak mau lagi
berkunjung. Maka, beliau pun melontarkan pernyataan diatas. Beliau wafat tahun
484 H.
[23] Bait-bait syair ini, berikut kisah
yang melatarinya, tersebar di banyak sumber lain, dengan sedikit perbedaan di
dalamnya. Diantaranya adalah al-Jami’ karya Ibnu ‘Abdil Barr no. 1098
dan 1099; Tarikh Baghdad VI/236; as-Siyar IX/110 dan VIII/411.
Ibnu ‘Ulyyah yang disinggung disini adalah Isma’il bin Ibrahim al-Bashri.
‘Ulayyah adalah nama ibunya. Beliau meriwayatkan dari Ahmad, Ibnu Ma’in, Ibnul
Madini, dll. Disifati sebagai seorang faqih, mufti, wara’. Tatkala
beliau bersedia memangku jabatan Qadhi, Ibnul Mubarak – temannya – pun mengirim
teguran keras ini. Padahal, khalifah di masa itu adalah Harun Ar-Rasyid yang
terkenal keagungannya. Ibnu ‘Ulayyah wafat tahun 193 H.