Bismillahirrahmanirrahim
JANGAN BERBISNIS TANPA ILMU AGAMA!
Media massa kita sering menyuguhi laporan-laporan yang mengagetkan. Rasanya belum pudar dari ingatan kita tentang bakso berformalin, susu bubuk yang dicampur tepung melamin, daging ayam tiren (mati kemaren), daging sapi glonggongan, dsb. Kita juga sering mendengar kasus-kasus investasi fiktif, dimana triliunan dana nasabah kemudian raib entah kemana. Meski upaya pengawasan terus ditingkatkan, sepertinya para penipu selalu menemukan modus baru untuk mengeruk keuntungan berlipat dengan cara-cara yang tidak halal. Mengapa hal ini terus berulang?
Terkait
masalah ini, Syaikh ‘Athiyyah Salim menceritakan dalam
Syarh Bulughul Maram, bahwa khalifah ‘Umar bin Khattab biasa masuk ke pasar-pasar, lalu menanyai
penjual dan memeriksa barang-barang dagangannya. Jika ditemuinya orang bodoh
dan tidak mengerti agama yang berdagang, beliau langsung mengusirnya seraya berkata, “Pergilah! Jangan rusak pasar-pasar kami!
Pergilah, jangan halangi hujan dari kami!”
Dalam riwayat lain khalifah Umar berkata, “Tidak boleh
berniaga di pasar-pasar kami kecuali orang yang benar-benar telah faqih (mengerti) terhadap aturan agamanya. Jika tidak, ia
pasti mau memakan riba.” (Riwayat al-Ajurri dalam al-Arba’un).
Demikianlah. Sebuah
pasar akan rusak bila dipenuhi para penipu dan barang-barang berkualitas
rendah. Tentu saja, para pembeli akan menjauhinya dan lambat-laun pasar itu
akan mati. Jika
sebuah negeri didominasi penipuan, penggelapan, dan riba, maka hujan akan ditahan oleh Allah sehingga meluaslah
kekurangan pangan dan paceklik. Biasanya,
wabah penyakit akan merajalela dan sumber-sumber kehidupan pun menjadi langka.
Maka,
akar persoalan dari terus merebaknya penipuan di dunia bisnis adalah tipisnya
pengetahuan agama dan pudarnya komitmen iman di hati para pelakunya. Seperti
dijelaskan oleh khalifah Umar diatas, ketika orang yang bodoh terhadap aturan
agama berdagang, ia pasti tidak merasa segan untuk memakan yang haram dengan
menipu, memungut riba, bersumpah palsu, menjual barang haram, dll. Bisa jadi karena
tidak tahu atau tidak perduli. Namun, keduanya sama-sama berbahaya.
Oleh
karena itu, Abu al-Layts as-Samarqandi berkata dalam
Adab at-Ta’lim, “Dulu, di zaman-zaman awal, mereka (generasi salaf)
mempelajari ketrampilan profesional kemudian juga mempelajari ilmu, sehingga
mereka tidak tamak kepada harta milik orang lain. Sebab, ketamakan sebenarnya
merupakan kefakiran yang paling nyata.”
Artinya,
setiap orang selayaknya memiliki ketrampilan profesional tertentu yang bisa
menjadi penopang penghidupan bagi dirinya sendiri berikut keluarganya. Namun, ia
juga harus mengerti ilmu agama. Sebab, bila seseorang tidak paham hukum-hukum
Allah terkait profesinya, adalah sangat mungkin bila ia melakukan aneka
penyimpangan dan memakan harta yang haram tanpa sadar. Atas dasar inilah,
mestinya sifat dasar seorang pedagang dan pelaku bisnis adalah Zuhud dan Wara’,
yakni tidak tamak kepada dunia dan berhati-hati dari harta yang haram.
Syaikh
az-Zarnuji menceritakan bahwa suatu ketika Muhammad bin Hasan (murid Imam Abu
Hanifah) ditanya, “Mengapa Anda tidak mengarang kitab tentang Zuhud?” Beliau
menjawab, “Saya sudah mengarang kitab tentang jual-beli.” Maksudnya, orang
Zuhud adalah seseorang yang selalu menjaga dirinya dari hal-hal yang syubhat
dan makruh dalam berniaga. Bila dia bisa berniaga dengan hati-hati, maka
sebenarnya dia sudah mempraktikkan pola hidup Zuhud dan Wara’ yang digariskan
oleh Islam. Pernyataan ini sekaligus membalik keyakinan keliru yang beredar di
sebagian kaum muslimin, bahwa praktek Zuhud adalah dengan berdiam diri di
masjid, tidak bekerja, dan semata-mata menggantungkan nafkah dirinya dari belas
kasihan orang lain. Sungguh, siapapun yang mempraktekkan pola begini tidaklah
pantas disebut Zahid (pelaku zuhud). Ia lebih pantas digolongkan sebagai orang
lemah dan pemalas.
Akan
tetapi, bagaimana jika kita sudah terlanjur terjun ke dunia bisnis namun belum
memahami agama dengan baik? Disinilah pentingnya terus menimba ilmu dan
mengaji. Tidak ada batasan usia untuk belajar, dan belajar pun tidak harus
melalui lembaga pendidikan formal. Membaca buku, mengakses internet,
mendengarkan ceramah agama, dan bertanya kepada ulama’ hanyalah sebagian kecil
jalan yang bisa dicoba, tergantung kelonggaran dan situasi-kondisi
masing-masing. Intinya, jangan sampai tidak belajar, agar dari waktu ke waktu
kehidupan kita senantiasa dibersihkan dan didekatkan ke jalan Allah.
Sebenarnya,
cukup memprihatinkan bahwa sebagian besar manusia modern bersedia mencurahkan
segenap sumberdaya yang dimilikinya untuk mempelajari dan menguasai ketrampilan
profesional tertentu, namun – pada saat bersamaan – tidak memberikan ruang bagi
pengetahuan agama. Jika demikian, kemungkinan besar ia pasti celaka di akhirat,
walaupun sangat sejahtera di dunia. Di luar hal-hal yang wajib diketahui setiap
muslim seperti akidah dan shalat, yang dimaksud “ilmu agama” disini adalah yang
selaras dengan kebutuhan profesinya, bukan seluruh ilmu. Misalnya, sebagai
pedagang ia harus paham aturan Islam dalam berniaga; sebagai dokter ia mesti
mengerti tuntunan Islam dalam pengobatan; sebagai guru ia wajib menguasai
kaidah-kaidah membimbing dan menanamkan ilmu; dst. Disini, pedagang tidak usah
belajar ilmunya dokter atau guru; dokter tidak perlu mengerti ilmunya pedagang
atau guru; dan guru tidak masalah bila awam perihal ilmunya pedagang dan
dokter; kecuali jika terjadi rangkap profesi.
Dijelaskan
dalam Ta’limul Muta’allim, bahwa ilmu yang sesuai dengan tuntutan
situasi-kondisi terkini seseorang disebut dengan ilmu al-haal,
dan kewajiban yang paling wajib diantaranya adalah menjaga situasi-kondisi
terkini agar tetap berada dalam koridor syariah. Jadi, wahai para pebisnis,
jagalah diri Anda dengan mempelajari ilmu agama, agar Anda selamat dan selamat
pula orang-orang yang bertransaksi dengan Anda. Wallahu a’lam.
(*) Alimin Mukhtar. Senin, 13
Jumadil Ula 1434 H. Pernah dipublikasikan melalui Lembar Tausiyah BMH Malang.