Bismillahirrahmanirrahim
RUMUS KEMENANGAN
Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian
berjumpa dengan pasukan (musuh di
medan perang), maka teguhkanlah hati kalian dan sebutlah (nama) Allah
sebanyak-banyaknya agar kamu mendapat kemenangan. Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian
bertengkar (diantara sesama kalian) yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan kehilangan kekuatan kalian, serta bersabarlah sesungguhnya Allah bersama
orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 45-46)
Ayat
ini turun dalam momen yang berkaitan dengan rentetan jihad di zaman Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, sebagaimana isi kandungan surah al-Anfal pada umumnya.
Tentu saja, ia juga bisa berlaku di zaman kapan pun dan tempat mana pun, ketika
situasi dan kondisinya terulang, seperti di Palestina dan Suriah saat ini. Hanya
saja, bila direnungkan lebih jauh, ternyata rumus-rumus kemenangan yang Allah
beberkan di dalamnya juga bisa berlaku di luar medan perang dan dalam suasana
damai. Logikanya sederhana. Jika rumus-rumus itu bisa efektif dalam suasana
genting maka ia pasti lebih efektif lagi dalam suasana stabil. Dengan kata
lain, jika kita – sebagai pribadi, jamaah, organisasi, umat – ingin mendapat
kesuksesan dan kemenangan dalam urusan-urusan kita, maka inilah rumusnya.
Rumus pertama, teguh hati. Tidak
ada masalah yang akan selesai jika kita tidak memiliki mental tangguh untuk
menuntaskannya. Bayangkanlah suasana Mudik Lebaran, dimana jutaan orang harus
menempuh ribuan kilometer untuk mencapai kota-kota tujuannya. Banyak diantara mereka
yang menggunakan mode transportasi pribadi roda dua, mulai dari Jakarta sampai
ke kepualauan Nusatenggara atau ujung jazirah Sumatera. Lelah, cemas, panas,
debu, asap mesin, lapar, haus, ancaman kecelakaan dan kejahatan, serta stres
oleh lalu-lintas, adalah menu sepanjang jalan. Tetapi, apakah mereka berhenti?
Tidak! Mereka meneruskan perjalanan hingga sampai di tujuan, atau terhenti oleh
sebab-sebab yang di luar kendali mereka.
Mengapa
mereka terus maju diatas seluruh kesulitan yang menghadang? Itulah keteguhan
hati, yang lahir dari harapan dan keinginan kuat di dalam dada. Bagaimana aplikasinya
dalam aspek-aspek kehidupan yang lain? Seharusnya, seorang muslim memiliki
keteguhan lebih hebat dalam menghadapi persoalan-persoalan hidupnya, karena
harapannya lebih tinggi dan keinginannya lebih besar, yaitu keridhaan Allah dan
surga-Nya. Apakah keduanya bisa diraih dengan kemalasan dan tekad asal-asalan? Jelas
mustahil!
Rumus kedua, banyak berdzikir, yaitu menyebut nama Allah, membaca Al-Qur’an, dan berdoa, sebagaimana disitir
al-Hafizh Ibnul Jauzi dalam Tafsir Zaadul Masir. Dalam surah ar-Ra’du:
28 dinyatakan bahwa dengan banyak mengingat Allah maka hati akan menjadi tenang.
Ketika menafsirkan ayat ini, Imam al-Biqa’iy berkata, “(Pengertian) dzikir
adalah hadirnya suatu makna ke dalam jiwa, dan ini merupakan isyarat bahwa
siapa saja yang tidak bisa merasa tenang dengan dzikir, maka sebenarnya ia
tidak mempunyai hati, dan tentu saja tidak mungkin ada akal di dalamnya.
Bahkan, sebenarnya dia adalah benda mati belaka.” Dengan kata lain, ketika hati
seseorang tidak tenang, maka ia sebenarnya tidak memiliki akal sempurna yang
akan membimbingnya untuk berpikir secara jernih dan menimbang segala sesuatu
dengan bijak. Keputusan-keputusan yang dibuatnya hanya bersandar pada emosi dan
nafsu sesaat. Ada kemungkinan besar ia akan terjatuh dalam penyesalan
berkepanjangan. Jelasnya, jika kita tidak tenang maka kemenangan akan jauh dari
genggaman. Banyak perlombaan dan kejuaraan yang mempertemukan para jagoan di
bidangnya, dan di puncak kompetisi yang sangat ketat itu, ternyata faktor terbesar
yang menentukan kemenangan mereka adalah ketenangan, fokus, dan konsentrasi;
bukan lagi kecerdasan dan ketrampilan.
Rumus ketiga, taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah menjamin bahwa kemenangan pasti berpihak kepada
hizbullah (lihat surah al-Ma’idah: 56 dan al-Mujadilah: 22). Siapakah hizbullah
itu? Ayat-ayat lain di depan dan belakang kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa
mereka adalah orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu beriman, menegakkan
shalat, menunaikan zakat, loyal dan komit kepada agama Allah, rendah hati
kepada sesama muslim, tegas kepada kaum kafir, dst. Alhasil, semakin baik
ketaatan kita dalam menjalankan syariat Islam, maka semakin besar pula peluang
untuk sukses dan menang.
Rumus keempat, tidak bertengkar dengan teman sendiri. Akibat dari perpecahan dan perselisihan dengan kawan
sendiri sudah sangat jelas, yaitu menggentarkan hati dan melenyapkan kekuatan. Jika
umat atau organisasi mendapat tantangan dari luar, biasanya mereka cenderung
solid dan merapatkan barisan. Hasilnya: mereka semakin kokoh dan berlipat ganda
kekuatannya. Namun, ketika mereka berselisih secara internal, pasti goyah dan
bahkan hancur berantakan. Maka, kaum kafir tahu persis bahwa tidak ada yang
perlu ditakutkan dari kaum muslimin selama kita masih belum bersatu dan gemar
berselisih dengan teman sendiri. Realitas menunjukkan bahwa kita memang belum
benar-benar berpadu sebagai umat yang satu (ummatan wahidah). Kita masih
terjerat meninggikan bendera-bendera nasionalisme, kesukuan, ormas, partai, madzhab,
atau jamaah pengajian, dibanding bendera Islam. Subhanallah.
Rumus kelima, sabar.
Berulangkali Allah menyatakan bahwa Dia bersama orang-orang yang sabar (lihat
surah al-Baqarah: 153 dan 249, serta al-Anfal: 46 dan 66). Tidak perlu
dipertanyakan lagi bagaimana efektifitas rumus ini. Siapakah yang sanggup
mengalahkan pribadi atau umat yang disertai dan didukung oleh Allah, Tuhan
semesta alam? Jadi, ketika kesabaran telah tertanam, maka tidak ada lagi yang
bisa mengalahkannya. Wallahu a’lam.
[*] Alimin Mukhtar. Jumat, 09
Muharram 1434 H. Pernah dipublikasikan melalui Lembar Tausiyah BMH dan www.hidayatullah.com