Jadilah khalifah Allah di muka bumi!


Bismillahirrahmanirrahim


JADILAH KHALIFAH ALLAH DI MUKA BUMI!

Sudah dimaklumi bahwa Allah menurunkan Nabi Adam ‘alaihis salam dan anak keturunannya ke muka bumi dengan satu amanah, yaitu menjadi “khalifah” (Qs. al-Baqarah: 30). Secara bahasa, khalifah artinya pengganti, atau yang datang setelah pendahulunya pergi. Atas dasar ini, manusia diberi kepercayaan untuk melaksanakan aneka tugas mewakili Allah dalam menebarkan maslahat dan kebaikan kepada seluruh alam raya. Di sisi lain, tugas tersebut juga diwariskan secara berantai, karena mereka adalah makhluk yang ditakdirkan tumbuh dari generasi ke generasi dimana angkatan yang lebih muda pasti terbit setelah pendahulunya terbenam.


Hanya saja, manusia ternyata juga memiliki potensi laten dalam dirinya. Potensi ini seringkali tidak terlihat, namun selalu muncul dalam aneka manifestasi. Salah satu potensi manusia adalah menjadi jahat, juga sebaliknya menjadi baik. Allah telah menginformasikan hal ini dalam surah asy-Syams: 7-10: “Demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya); Maka Allah telah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sungguh beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya.”
Dengan kata lain, walau pun manusia berstatus sebagai khalifah Allah di muka bumi, pada kenyataannya mereka tidak selalu melaksanakan amanah tersebut. Ketika potensi jahat dalam diri mereka dibiarkan tumbuh, sudah pasti kerusakan akan merajalela di muka bumi, entah di daratan, lautan, ruang angkasa, bahkan di relung-relung jiwa sesama mereka sendiri. Oleh karenanya Allah mengirim para Nabi dan Rasul secara beruntun, mulai dari zaman Adam ‘alaihis salam hingga utusan terakhir, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka terus-menerus menegur dan meluruskan kebengkokan manusia dari amanah asasinya itu, sehingga kebaikan tetap terpelihara. Bayangkanlah ketika satu generasi melakukan tindakan yang bertentangan dengan keadilan dan kebajikan, apakah kerusakan yang diakibatkannya hanya terbatas bagi generasi mereka sendiri? Ternyata, tidak demikian.
Kisah berikut ini akan menjelaskannya. Diceritakan bahwa penduduk Makkah pada mulanya menganut agama yang diajarkan oleh nenek moyang mereka, yakni Nabi Ibrahim dan Isma’il ‘alaihima as-salam. Mereka mentauhidkan Allah dan menjadi penjaga Tanah Suci selama berabad-abad, hingga pada suatu masa tampillah seseorang bernama ‘Amr bin Luhay dari suku Khuza’ah. Tokoh ini sangat dihormati oleh kaumnya, karena kedermawanan dan perilakunya yang mulia. Suatu ketika, ‘Amr mengunjungi negeri Syam dan menyaksikan penduduknya menyembah berhala-berhala. Dia menilai hal itu sebagai perbuatan baik, sehingga meminta satu berhala bernama Hubal untuk dibawanya ke Makkah. Ia lalu meletakkannya di dalam Ka’bah dan menganjurkan semua orang untuk menyembahnya. Tindakan ‘Amr ini tidak dicegah siapa pun, dengan berbagai alasan, sehingga kemudian dianggap benar dan baik. Tidak lama kemudian, seluruh Jazirah Arab terjerumus dalam penyembahan berhala, dari generasi ke generasi, hingga diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Lihatlah, betapa kesalahan satu orang manusia seringkali sangat mengerikan akibatnya.
Contoh-contoh lain dapat kita berikan dalam bidang lingkungan hidup. Sebagai misal, ketika sekelompok kecil anggota masyarakat menebang pohon sembarangan, membuang sampah di saluran air umum, atau mengotori udara dengan asap pabrik, ternyata akibatnya bisa sangat luas dan berkepanjangan. Rusaknya ekosistem, punahnya spesies flora dan fauna tertentu, terganggunya keseimbangan alam, dan banyak tragedi lingkungan lain pada era kita dewasa ini juga diakibatkan oleh ulah manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab, yaitu mereka yang mengikuti kecenderungan jahatnya.
Untuk itulah Islam mensyariatkan amar ma’ruf nahi munkar, juga jihad fi sabilillah. Dengan amar ma’ruf nahi munkar maka kebaikan dipertahankan agar dominan, tidak terbalik menjadi keburukan yang terpojok dan nista. Dengannya pula keburukan disingkirkan sehingga tidak dipersepsi sebagai kebaikan yang lazim dan mulia. Jihad juga menjamin bahwa kekuatan-kekuatan jahat yang memusuhi kebenaran tidak mungkin eksis, sehingga orang-orang baik bisa hidup dalam kedamaian dan kesejahteraan.
Wilayah amar ma’ruf nahi munkar sangatlah luas. Kebaikan yang dicakup oleh istilah ma’ruf bisa mencapai segala bidang, seperti akidah, ibadah, mu’amalah, adab, akhlak, dll. Demikian pula dengan istilah munkar. Adapun jihad fi sabilillah, Al-Qur’an sendiri berulang kali menunjukkan medannya yang beragam, tergantung tuntutan situasi dan kondisi, yaitu dengan harta dan jiwa (bi amwalikum wa anfusikum). Mengapa hal ini sangat penting? Ya, sebab diantara fungsi utama khalifah adalah menjamin eksistensi kebaikan dan menolak kemudharatan. Jika keduanya tidak dijalankan, pasti timbul kekacauan dan kehancuran.
Dalam konteks inilah al-Hasan al-Bashri pernah berkata, “Allah senantiasa memiliki para penasehat diantara hamba-hamba-Nya di muka bumi, dimana mereka selalu mengarahkan amal-amal sesamanya kepada Kitabullah. Jika umat manusia menuruti nasehat itu, mereka memuji Allah. Namun jika manusia menentangnya, maka dengan Kitabullah itu mereka bisa mengenali kesesatan orang yang tersesat dan hidayah orang yang mendapat hidayah. Mereka itulah para khalifah Allah.” (Dinukil asy-Syathibi dalam al-I’tisham).
Dengan kata lain, jika kita ingin memenuhi amanah Allah sebagai khalifah di muka bumi, maka jalankanlah fungsi “penasehat Allah” itu. Jangan segan menyiarkan kebaikan dan menegur keburukan. Bila manusia mengikutinya, berterima kasihlah kepada Allah yang telah membuka pintu-pintu hidayah-Nya. Jika mereka menolak, kita segera tahu siapa sebenarnya yang tersesat atau mendapat petunjuk. Wallahu a’lam.

[*] Alimin Mukhtar. Senin, 26 Muharram 1434 H. Sudah pernah diterbitkan dalam Lembar Tausiyah.