Nasihat para ulama

  
Bismillahirrahmanirrahim

NASIHAT PARA ULAMA'


Dalam bahasa Arab, hati disebut “al-qalbu”, artinya berbolak-balik, tidak menetap pada satu keadaan. Demikianlah kenyataan hati manusia. Ia bisa menjadi sangat lembut dan mudah diarahkan, tetapi bisa juga menjadi lebih keras dari batu. Sejenak trenyuh dan berduka, kemudian melonjak kegirangan. Pada dua keadaan ini, sebenarnya hati punya kebutuhan yang sama, yaitu nasihat. Dengannya maka berbolak-baliknya hati senantiasa terarah kepada kebaikan, tidak liar dan menyeretnya ke jurang kebinasaan.



Oleh karenanya, di dalam khazanah literatur Islam berkembang satu jenis kitab yang disebut Raqa’iq atau Riqaq. Istilah ini dapat dimaknai sebagai cerita ringan, atau kisah pelembut hati. Karya seperti ini umumnya pendek, dan di dalamnya banyak disitir kisah-kisah singkat yang menarik, juga nasihat-nasihat ringkas yang penuh makna. Wejangan dan wasiat para ulama’ besar dapat kita jumpai dengan mudah dalam karya-karya seperti ini, apalagi dalam karya-karya yang lebih detil dan panjang.
Mengapa nasihat ulama’ itu penting? Sebab – menurut Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani – ia merupakan saripati pengalaman dan interaksi mereka dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu, sepanjang hidupnya mereka hanya mengabdikan diri kepada Allah, bukan kepada materi dan kenikmatan duniawi. Tentu saja, mata air hikmah akan mengalir deras dari hati dan lisan mereka. Adapun kata-kata orang yang tidak beriman kepada Allah, apalagi yang memusuhi-Nya, jelas tidak akan steril dari polusi keyakinan mereka. Bukankah keyakinan yang mewarnai setiap hati pasti terefleksikan melalui kata-kata dan tindakan pemiliknya? Maka, kita harus hati-hati memilih nasihat, sebelum teracuni tanpa sadar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya para ulama’ adalah pewaris Nabi-nabi. Sesungguhnya para Nabi itu tidak mewariskan dinar maupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Maka, barangsiapa yang mengambilnya, dia telah mengambil bagian yang banyak.” (Riwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dari Abu Darda’).
Pertanyaannya adalah: jika kita ingin mendengar nasihat ulama’, maka siapakah mereka? Sebab, di zaman ini, kita sering dibuat kecewa oleh perilaku tokoh-tokoh yang dikenal sebagai ulama’. Di media massa sebagian dari mereka tampil sangat menawan dan sempurna. Namun, tiba-tiba hati kita menjadi miris manakala mengetahui fakta sebagian dari mereka yang sesungguhnya. Maka, ada baiknya kita mendahulukan untuk merujuk pada ulama’ generasi awal kaum muslimin, yakni Salafus Shalih, sebelum ulama’ dari generasi lebih akhir. Mereka adalah generasi yang telah menyelesaikan misi serta perannya di dunia ini, dan kita pun telah melihat prestasi mereka. Sampainya dakwah dan ajaran Islam ke negeri dan zaman kita secara utuh merupakan salah satu bukti amal mereka. Selain itu, Rasulullah sendiri telah menyatakan mereka sebagai generasi terbaik (khairun qurun).
‘Imran bin Hushain bercerita: bahwa Nabi bersabda, “Yang terbaik diantara kalian adalah generasiku, kemudian yang datang setelah mereka, kemudian yang datang setelah mereka.” – ‘Imran berkata, “Aku tidak tahu, apakah Nabi menyebut setelah generasi beliau dua generasi lagi ataukah tiga.” – Nabi bersabda, “Sesungguhnya setelah kalian akan ada kaum yang suka berkhianat dan tidak bisa dipercaya, suka memberikan persaksian padahal tidak diminta bersaksi, suka bernadzar namun tidak dipenuhi, dan kegemukan merajalela di tengah-tengah mereka.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Hadits ini menyatakan tiga lapisan generasi terbaik tersebut, yaitu Sahabat, Tabi’in, dan Atba’ Tabi’in. Kepada merekalah semestinya kita merujuk dan mencari nasihat, supaya hati kita senantiasa terbimbing. Masalah pilihan sumber ini penting. Sebab, di zaman sekarang, ketika media massa dan buku-buku beredar sangat bebas di masyarakat, tentu tidak sulit untuk mengakses nasihat dari sumber mana pun. Apalagi bagi pengguna piranti-piranti telekomunikasi yang telah dimuati fitur-fitur untuk sharing (berbagi), semisal SMS, MMS, chatting, email, BBM, twitter, facebook, skype, youtube, wikipedia, dsb. Di saat bersamaan, buku-buku digital juga semakin lazim dipergunakan, termasuk audiobook (buku bersuara). Maka, yang sangat dibutuhkan adalah filter diri yang mantap, juga kecerdasan untuk memilih.
Sayangnya, kita menyaksikan banyak orang rela merogoh koceknya dalam-dalam hanya untuk membeli novel dan komik, bahkan mengoleksi serial lengkapnya dari awal sampai akhir. Padahal isinya belum tentu penting dan hanya khayalan. Tidak sedikit pula orang yang berulangkali menonton film tertentu, padahal seluruhnya hanya ilusi. Sebagian orang juga sangat sibuk menghibur diri dari waktu ke waktu, bersenang-senang, dan berusaha melupakan masalah-masalah. Padahal, di depan kita semua ada masalah sangat besar yang pasti datang, tanpa seorang pun bisa menghindar, yakni kehidupan akhirat. Sebenarnya, kita lebih perlu memikirkan masalah akhirat ini, dan justru jangan sampai melupakannya; bukannya menghabiskan waktu untuk mengikuti imajinasi orang lain yang tidak jelas keterkaitannya dengan akhirat, bahkan justru memalingkan kita darinya.
Mengapa kita tidak mengalokasikan sebagian dana untuk mengakses nasihat dan kisah para ulama’ yang nyata, pasti bermanfaat, dan dijiwai nilai-nilai Islam? Maka, menjelang Tahun Baru Islam 1434 Hijriyah ini, mari bertekad dan menata amal, dengan mendengarkan kisah dan nasihat para ulama’. Semoga dengan meneladani mereka, kita terpacu untuk beramal seperti amal mereka, dan akhirnya dikumpulkan oleh Allah bersama mereka di akhirat kelak. Amin.

[*] Alimin Mukhtar, 01 Dzulhijjah 1433 H. Pernah dipublikasikan di www.hidayatullah.com dan Lembar Tausiyah BMH Malang.