Bismillahirrahmanirrahim
HIKMAH DI BALIK KISAH NABI ADAM DAN IBLIS
Di dalam Al-Qur’an, salah satu kisah yang sering diulang adalah kisah Adam ‘alaihis salam dan Iblis. Kisah keduanya, baik terangkai maupun terpisah, dipotret dari sudut pandang berbeda-beda. Tentu saja, ada hikmah-hikmah tertentu yang hendak Allah ajarkan kepada kita, sebagaimana umumnya kisah-kisah Qur’ani. Salah satu topik yang ditonjolkan adalah kesombongan Iblis dan keputusasaannya, serta kerendahhatian Adam dan pertaubatannya. Mari kita ikuti bagaimana Al-Qur’an menggambarkannya.
Di dalam Al-Qur’an, salah satu kisah yang sering diulang adalah kisah Adam ‘alaihis salam dan Iblis. Kisah keduanya, baik terangkai maupun terpisah, dipotret dari sudut pandang berbeda-beda. Tentu saja, ada hikmah-hikmah tertentu yang hendak Allah ajarkan kepada kita, sebagaimana umumnya kisah-kisah Qur’ani. Salah satu topik yang ditonjolkan adalah kesombongan Iblis dan keputusasaannya, serta kerendahhatian Adam dan pertaubatannya. Mari kita ikuti bagaimana Al-Qur’an menggambarkannya.
Tatkala
Allah telah menciptakan Adam dan mengajarinya nama-nama, para malaikat dan
Iblis pun diperintahkan untuk bersujud kepadanya. Para malaikat tunduk,
sedangkan Iblis menolak dan menyombongkan diri. Akibatnya, Allah murka. Iblis
pun dilaknat serta diusir dari surga. Mengetahui hal ini, Iblis bukannya menyadari
kesalahan dan memohon ampunan, namun justru marah dan menyalahkan Adam. Ia
mendendam kepada Adam, bahkan kepada seluruh anak keturunannya, dan bersumpah
akan menyeret mereka ke dalam kemurkaan Allah, sama dengan dirinya. Al-Qur’an menceritakannya:
“Iblis berkata: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya
benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka (yakni, manusia) dari jalan-Mu
yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang
mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati
kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (Qs. al-A'raf: 16-17)
Allah
pun memperingatkan Adam dan istrinya agar berhati-hati terhadap permusuhan
nyata dari Iblis ini. Namun, ternyata keduanya lengah dan berhasil
digelincirkan. Mereka memakan buah pohon terlarang, dan akhirnya dimurkai Allah
serta diusir dari surga-Nya. Hanya saja, sikap mereka berdua sangat bertolak
belakang dengan Iblis. Ketika Allah menegur mereka atas pelanggaran serius ini,
mereka merendahkan diri, bertaubat dan memohon ampunan dengan sungguh-sungguh.
Al-Qur’an menyatakan: “Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah
itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah pohon itu, nampaklah
bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan
daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah Aku telah
melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan aku katakan kepadamu:
"Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?"
Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri.
Jika Engkau tidak mengampuni dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk
orang-orang yang merugi.” (Qs. al-A'raf: 22-23)
Kisah
ini menggambarkan dua sikap mental yang saling bertolak-belakang. Kepada Iblis,
Allah sebenarnya telah memberikan “perpanjangan waktu”. Tidak
tanggung-tanggung, mereka diberi tempo sampai Hari Kiamat. Tentunya, waktu selapang
ini dapat dimanfaatkan untuk mengoreksi diri dan memohon belas-kasih Allah.
Namun, Iblis keliru bersikap. Didorong oleh kemarahan, ia justru menjatuhkan
diri semakin dalam, tenggelam dalam samudera dosa, dan tersesat sangat jauh. Maka,
nama sebutan mereka sendiri telah mencerminkan sifat tersebut. Iblis artinya
putus asa, sedangkan syetan bermakna terjauh dari rahmat Allah.
Sayangnya,
dalam kenyataan hidup kita, ada manusia-manusia yang sikapnya mengekor Iblis.
Ketika melihat dirinya berada dalam satu kesalahan atau ditegur atas suatu
pelanggaran, ia justru marah dan semakin menjadi-jadi. Ia putus asa, berpikir
pendek dan tidak menyadari betapa lapangnya rahmat Allah. Oleh karenanya,
keputusasaan disebut sebagai karakter orang kafir, para pengikut Iblis. Al-Qur’an
menyitir: “…dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya
tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir." (Qs.
Yusuf: 87)
Kita
menyaksikan orang-orang berkarakter Iblis yang terbenam dalam prostitusi,
korupsi, penipuan, premanisme, atau singkatnya “kehidupan yang gelap”. Ketika menyadari
keberadaannya di jalan “berlumpur”, alih-alih insyaf dan berupaya kembali ke
jalan “yang bersih”, mereka justru sibuk mencari sejuta dalih untuk membenarkan
diri. Inilah makna pernyataan syetan yang direkam oleh Al-Qur’an: “Iblis
berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat,
pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (kemaksiatan) di muka bumi, dan
pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (Qs. al-Hijr: 39). Jika syetan
berhasil menggiring manusia untuk memandang baik kemaksiatan-kemaksiatan yang
dilakukannya, maka manusia seperti itu takkan pernah bertaubat. Dengan
demikian, ia akan menemani syetan di neraka yang menyala-nyala. Na’udzu
billah!
Alternatif
lain ditunjukkan oleh Allah dalam kisah tersebut, yakni kerendahhatian Adam dan
istrinya, serta pertaubatan mereka. Sebagai manusia, sebenarnya kita jauh lebih
layak meniru leluhur kita sendiri, bukan menuruti ajaran musuh kita. Kita
memang tidak dijamin bersih dari kesalahan maupun dosa, namun rahmat Allah teramat
luas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seandainya
orang mukmin tahu hukuman yang ada di sisi Allah niscaya tidak seorang pun
mengharapkan surga, dan seandainya orang kafir tahu rahmat yang ada di sisi
Allah niscaya tidak seorang pun berputus asa dari surga. Allah telah
menciptakan seratus rahmat, lalu Dia meletakkan satu macam rahmat diantara
makhluk-Nya dimana dengannya mereka saling mengasihi satu sama lain. Di sisi
Allah masih ada 99 rahmat lainnya.” (Riwayat Ahmad, dari Abu Hurairah. Sanad-nya
shahih ‘ala syarthi muslim). Maka,
alternatif manakah yang hendak kita pilih?** Wallahu a’lam.
[*] M. Alimin Mukhtar.
Jum’at, 05 Jum. Akhirah 1433 H. Pernah dipublikasikan oleh Lembar Tausiyah BMH Malang.