Bismillahirrahmanirrahim
ENGKAU AKAN BERSAMA YANG
KAUCINTAI
Anas bin Malik berkisah, bahwa seseorang mendatangi Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, kapan kiamat terjadi?” Beliau balik bertanya, “Apa yang telah
kaupersiapkan untuknya?” Dia menjawab, “Wahai Rasulullah, aku tidak menyiapkan
puasa yang banyak, tidak juga sedekah. Hanya saja, aku mencintai Allah dan
Rasul-Nya.” Beliau bersabda, “Engkau bersama yang kaucintai.” (Riwayat Bukhari
dan Muslim)
Cinta memang ajaib. Karenanya seseorang rela berkorban dan
menempuh marabahaya. Energi cinta akan mendorongnya melakukan hal-hal
menakjubkan. Hanya saja, seberapa berharga perjuangannya itu ditentukan oleh
apa dan siapa yang dicintainya. Ketika yang dicintainya hanya bagian dari dunia
yang fana, maka keajaibannya pun fana dan
mudah berubah. Lihatlah orang-orang yang jatuh cinta kepada kekasihnya, dan
betapa menakjubkan apa yang bisa mereka perbuat. Namun, belum lagi kekaguman
kita pudar, mereka telah mencaci-maki kekasihnya itu dan meninggalkannya. Bagaimana
bisa? Ya, karena seluruh unsur dalam cintanya adalah fana.
Akan tetapi, cinta seorang muslim kepada Allah dan
Rasul-Nya memiliki sifat yang khusus. Cintanya bersemi dari benih iman, dipupuk
dengan amal shalih, dan akhirnya berbuah ridha. Allah berfirman: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan
hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka, masuklah ke dalam jamaah
hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (Qs. al-Fajr: 27-30)
Dikisahkan
bahwa
Rabi’ah Al-‘Adawiyah (w. 180 H) sering mengulang-ulang bait
syair ini: “Engkau mendurhakai Tuhanmu, namun menampakkan kecintaan kepada-Nya.
Ini adalah perbuatan yang mustahil dan sangat mengherankan. Jika saja cintamu
memang tulus, pasti engkau menaati-Nya, karena sesungguhnya pecinta itu pasti
patuh kepada yang dicintainya.” (Dari: Mukhtashar
Syu’abul Iman).
Benar, setiap
pecinta pasti tunduk kepada yang dicintainya. Hatinya bergemuruh oleh keinginan
membahagiakan kekasihnya. Ia khawatir
kekasihnya marah dan bersedih. Maka, diturutinya permintaan-permintaannya,
walau berat dan butuh pengorbanan besar. Jika
seseorang tulus mencintai Tuhannya, pasti ia akan “menjinakkan diri” kepada
segala perintah dan larangan-Nya. Ada dikatakan, “Siapa mencintai sesuatu, dia
menjadi budaknya.” Maka, kecintaan seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya akan mendorongnya
mengamalkan syariat. Demikianlah, baik di dunia ini maupun
di akhirat nanti, ia selalu bersama yang dicintainya.
Lebih
jauh, hadits
diatas ternyata menyiratkan rahasia lain. Dalam riwayat Bukhari-Muslim, di belakang hadits ini Anas bin Malik berkomentar, “Kami tidak pernah bergembira – setelah
mengenal Islam – melebihi kegembiraan kami terhadap sabda Nabi: ‘engkau
bersama yang kaucintai’. Saya mencintai Allah, Rasul-Nya, Abu Bakar, dan
‘Umar. Maka, saya berharap bisa bersama mereka walau pun saya tidak bisa beramal seperti mereka.” Subhanallah!
Betapa ruginya orang-orang
yang hidupnya dibangun diatas kebencian kepada Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan
para Sahabat yang telah dipersaksikan surga oleh Rasulullah. Bersama siapakah
kelak mereka di akhirat? Dimana pulakah tempatnya? Na’udzu billah. Mereka pasti bersama orang-orang yang juga membenci
dan memusuhi para Sahabat agung itu. Bukankah Allah telah menetapkan
keridhaan-Nya kepada mereka di dalam Al-Qur’an? Allah berfirman, “Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan
Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan mereka pun ridha kepada Allah; dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, untuk selama-lamanya.
Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah:
100)
Lalu,
atas dasar apa mereka melaknatnya? Apakah mereka hendak mengatakan ayat ini
palsu dan ditambahkan belakangan untuk melegitimasi keutamaan para Sahabat?
Sekali lagi, na’udzu billah!
Ironisnya,
ada sebagian
orang yang merasa kurang afdal sebelum fasih melaknat
Abu Bakar Ash-Shiddiq dan ‘Umar bin Al-Khattab, dua mertua dan khalifah Rasulullah; atau menodai kehormatan ‘Utsman bin
‘Affan, Sahabat yang dua kali menjadi menantu Rasulullah. Mereka menyebut dirinya pecinta Ahlul Bait, namun sebenarnya justru
pelaknat Ahlul Bait. Tidakkah mereka membaca sejarah, bahwa generasi awal Ahlul
Bait sendiri menamai anak-anaknya dengan nama-nama yang sekarang dilaknat oleh para
Ahlul Bait gadungan itu? Diantara putra ‘Ali bin Abi Thalib (dari istri selain Fathimah)
terdapat nama Abu Bakar dan ‘Umar. Nama-nama ini juga terdapat diantara putra Al-Hasan
dan Al-Husain. Bahkan, ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Al-Husain menamai putrinya
dengan ‘Aisyah!
Apakah Rasulullah salah memilih sahabat dekat dan menantu? Jika benar mereka adalah orang-orang yang
hina, bagaimana mungkin Allah tidak memberitahu beliau, padahal seluruh
tanda-tanda kiamat yang jauh maupun dekat pun
telah diberitahukan-Nya? Apa pula rahasia di balik pemberian nama-nama Abu
Bakar, ‘Umar, dan ‘Aisyah, oleh Ahlul Bait sendiri kepada putra-putri mereka di
masa itu? Apakah mereka ber-taqiyyah (pura-pura) karena takut? Bagaimana
mungkin hal itu terjadi, sedangkan ‘Ali adalah orang yang paling pemberani,
demikian pula putra-putranya?
Tidak
ada jawaban lain, kecuali karena mereka cinta dan kagum kepada Abu Bakar,
‘Umar, dan ‘Aisyah. Karena setiap orang akan dikumpulkan bersama yang
dicintainya, maka bila kelak Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Aisyah dimasukkan ke surga,
kita sudah tahu kemana perginya orang-orang yang di dunia ini membenci dan
mencaci-maki mereka. Jelasnya, dua pihak yang bermusuhan ini tidak akan Allah
kumpulkan menjadi satu. Na’udzu billah.
[*] Alimin Mukhtar, 02
Dzulqa’dah 1433 H. Pernah dimuat dalam Lembar Tausiyah BMH Malang dan www.hidayatullah.com