Bismillahirrahmanirrahim
SEORANG MUSLIM ITU IBARAT POHON KURMA
Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam duduk berkumpul bersama sejumlah Sahabat, termasuk Abu Bakar dan Umar. Beliau bertanya, “Diantara jenis pohon, ada yang tidak pernah gugur daunnya, dan itu adalah perumpamaan seorang muslim. Beritahu aku, pohon apakah itu?” Saat itu, Abdullah bin Umar juga hadir dan terpikir bahwa jawabannya adalah kurma. Namun, karena malu dan segan kepada para Sahabat senior yang juga hadir, sementara mereka tidak bisa menjawab, maka beliau pun hanya diam. Rasulullah kemudian bersabda, “Dia adalah pohon kurma.” (Riwayat Bukhari).
Apakah karakter indah yang hendak diungkapkan oleh
Rasulullah, dan secara metaforis beliau serupakan dengan pohon kurma? Bagi para
Sahabat, juga bangsa Arab pada umumnya, sifat-sifat pohon kurma sangat jelas. Bagi
kita di Indonesia, pohon kurma dapat dianalogikan dengan pohon kelapa dan
palem.
Syaikh Abdul Hayyi al-Laknawi menjelaskan hadits diatas,
“Sebagaimana pohon kurma yang tidak pernah gugur daunnya meskipun musim
berganti-ganti, demikian pula seorang muslim tidak akan lenyap cahaya imannya
dan tidak akan pernah gugur doa-doanya.” Artinya, seorang muslim senantiasa
diterangi cahaya imannya dalam segala situasi dan kondisi. Ia tetap muslim
ketika kaya maupun miskin, sehat maupun sakit, muda maupun tua, sendirian
maupun bersama orang banyak, sebagai pemimpin maupun rakyat, masih menjabat
maupun sudah pensiun. Berubahnya zaman tidak menggoyahkan imannya, dan
pergiliran nasib tidak mengguncang keyakinannya. Ia pun tidak pernah jemu
berdoa kepada Allah, dalam segala situasi dan kondisi. Hatinya senantiasa
dipenuhi keyakinan; bahwa Allah pasti mendengar doanya; bahwa Allah berkuasa
untuk mengabulkannya, atau menggantinya dengan kebaikan lain, atau menyimpannya
untuk dibalas di akhirat kelak.
Kondisi sebaliknya terjadi pada orang munafik, kafir dan
musyrik. Hati mereka tidak pernah mantap dan teguh, bagaikan pohon yang selalu gugur,
kering dan bersemi kembali mengikuti musim. Al-Qur’an mengumpamakan mereka seperti
orang yang berdiri di tepi jurang. Dalam surah al-Hajj: 11, Allah berfirman, “Dan
di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi. Jika ia
memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh
suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat.
Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. Ia menyeru selain Allah, sesuatu
yang tidak dapat memberi mudharat dan tidak (pula) memberi manfaat kepadanya.
Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh. Ia menyeru sesuatu yang
sebenarnya mudharatnya lebih dekat dari manfaatnya. Sesungguhnya yang diserunya
itu adalah sejahat-jahat kawan.”
Ketika menceritakan keadaan iman orang munafik, Al-Qur’an
berkata, “Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau
kafir): tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula)
kepada golongan itu (orang-orang kafir). Maka, kamu sekali-kali tidak akan
mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.” (Qs. an-Nisa’: 143)
Keteguhan dan konsistensi merupakan ciri utama seorang
muslim. Ia bukan pribadi yang mudah dikacaukan lingkungan. Ia tidak latah
mengekor orang lain. Jika dewasa ini kita menyaksikan sebagian orang yang
begitu gampang diseret oleh tren dan mode, maka sebenarnya kita sedang
menyaksikan fenomena tipis dan rapuhnya iman. Belum lama demam artis Bollywood
merebak, sudah muncul lagi kegilaan kepada penyanyi Mandarin, kemudian disusul histeria
selebritis Korea. Apa lagi setelahnya? Hari ini ribut World Cup, besok Liga
Champion, setelah itu Piala Eropa, lalu disusul Copa America, dst. Mengapa
demikian mudah disetir oleh agenda-agenda “orang lain” yang sebenarnya tidak ada
hubungannya dengan statusnya sebagai muslim? Sungguh, semua ini tidak menambah
iman dan bukan pula bagian dari amal shalih, bahkan lebih dekat kepada
kesia-siaan dan maksiat!
Oleh karenanya, ketika seorang Sahabat minta diajari satu
kalimat yang dapat dijadikan pegangan dan merangkum seluruh makna Islam,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, “Katakanlah:
Tuhanku adalah Allah, kemudian istiqamahlah.” (Riwayat Tirmidzi dan Ibnu
Majah. Hadits shahih).
“Istiqamah” artinya lurus dan konsisten mengikuti
konsekuensi-konsekuensinya. Jika Allah melarang kita berzina, mestinya kita
tidak mendekat kesana. Bila Allah menyuruh kita mengerjakan shalat, seharusnya
kita melaksanakannya dengan senang hati. Tentunya tidak dapat disebut “istiqamah”
jika kita justru bersikap sebaliknya.
Keistiqamahan pulalah yang menjamin nasib akhir setiap orang
di Hari Pembalasan kelak. Dalam kitab al-Aqidah, Imam Abu Ja’far
ath-Thahawi berkata, “Sedangkan amalan-amalan itu (dinilai)
bagaimana akhirnya.” Maksudnya: patokan
amal perbuatan manusia, yang mana dengannya ditentukan apakah ia termasuk orang
yang berbahagia atau celaka di Akhirat, adalah bagaimana ia mengakhirinya di
dunia ini. Dan, kebanyakan manusia akan meninggal dalam keadaan yang
menjadi kebiasaan hidupnya. Tidak jarang petinju meninggal di ring dan pembalap
mati di trek. Sering kita dengar seorang ahli ibadah wafat saat bersujud, atau pecandu
narkoba tewas karena overdosis.
Begitulah. Sedemikian hebatnya nilai istiqamah ini sehingga
sebagian orang berkata, “Istiqamah itu lebih hebat dari seribu karamah.”
Oleh karenanya, mari berdoa semoga Allah
senantiasa meneguhkan hati kita diatas agama-Nya. Amin.
[*] Alimin Mukhtar.
Kamis, 17 Rajab 1433 H. Artikel ini pernah dipublikasikan di Lembar Tausiyah BMH Malang dan www.hidayatullah.com