Bismillahirrahmanirrahim
MENIKAHLAH DENGAN ORANG BERTAQWA!
Dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan agar mengutamakan faktor agama dan keshalihan dalam memilih calon suami/istri. Diantara empat faktor yang biasanya melatari pilihan seseorang, yaitu kecantikan/ketampanan, kekayaan, status sosial, dan agama, beliau menyarankan untuk mengedepankan sisi agama, agar kita beruntung. Apa sebenarnya keberuntungan yang beliau maksudkan?
Dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan agar mengutamakan faktor agama dan keshalihan dalam memilih calon suami/istri. Diantara empat faktor yang biasanya melatari pilihan seseorang, yaitu kecantikan/ketampanan, kekayaan, status sosial, dan agama, beliau menyarankan untuk mengedepankan sisi agama, agar kita beruntung. Apa sebenarnya keberuntungan yang beliau maksudkan?
Ibnu Qutaibah ad-Dinawari menceritakan
dalam kitab ‘Uyunul
Akhbar, bahwa seseorang berkonsultasi kepada al-Hasan al-Bashri, “Saya memiliki seorang anak gadis, dan
ia sudah dilamar orang. Kepada siapa saya harus menikahkannya?” Maka, beliau
pun menjawab, “Nikahkan dia dengan orang yang bertakwa kepada Allah. Jika orang
itu mencintai putrimu, ia akan memuliakannya; dan jika ia membencinya, ia tidak
akan menzhaliminya.”
Jadi, inilah rahasianya: perlakuan yang layak, pergaulan yang
menyenangkan, dan kehidupan yang tenang. Bukankah semua itu yang paling
dirindukan oleh setiap orang, sehingga ia berharap suatu saat bisa berkata:
“rumahku adalah surgaku”?
Nasehat al-Hasan diatas bisa juga dimaknai bahwa “agama” dan ketakwaan
bukan hanya nama dan kualifikasi akademis; namun perilaku dan tindak-tanduk. Walau
pun seseorang sangat mahir ilmu-ilmu agama, namun jika perilakunya tidak
mencerminkan orang berilmu (apalagi orang beragama), sebenarnya dia termasuk
orang bodoh dan belum beragama. Menurut Islam, ilmu dipelajari untuk diamalkan,
mengubah perilaku, dan diambil manfaatnya sehingga memberi kontribusi positif
kepada kehidupan, bukan hanya untuk dipamerkan dan dibangga-banggakan. Al-Hasan
al-Bashri berkata, “Dulu, bila seseorang telah mempelajari satu bab dari ilmu,
maka tidak lama kemudian (pengaruhnya) bisa dilihat pada kekhusyu’annya,
matanya, lisannya, tangannya, kezuhudannya, keshalihannya, dan seluruh
tubuhnya. Jika seseorang telah benar-benar mengkaji satu bab ilmu (seperti
itu), sungguh itu lebih baik dibanding dunia dan seisinya.” (Riwayat Ibnu
Batthah dalam Ibthalul Hiyal).
Dengan kata lain, agama telah menjadi “dirinya”, baik di saat sendirian
maupun bersama orang lain, susah maupun senang, kaya maupun miskin, muda maupun
tua. Ibaratnya, agama telah tercampur bersama darah, seirama dengan detak
jantung, dan merasuk hingga ke tulang sungsum. Seluruh aktivitasnya
dikendalikan oleh nilai-nilai agama yang diyakininya, sehingga hidupnya diberkahi
dan menentramkan. Bila Allah menganugerahinya kesempurnaan fisik, maka menjadi
tali pengikat yang semakin mengokohkan hubungan. Bila Allah memberinya harta,
maka dibelanjakannya di jalan kebajikan. Jika Allah menetapkan untuknya status
sosial yang baik, maka pengaruhnya dia pergunakan untuk kebenaran.
Sebagian orang memang bisa beralasan bahwa harta yang cukup akan membuat
kehidupan rumah tangga tenteram dan harmonis. Namun faktanya tidak selalu
demikian, sebab harta hanyalah sarana. Bagaimana ia digunakan, sangat tergantung
kepada pemiliknya. Benar, bahwa dengan harta itu seorang suami kaya mampu mencukupi
istri dan keluarganya secara wajar. Tetapi jika ia tidak beragama, maka dengan
kekayaannya pula ia bisa lebih mudah menyakiti istri dan keluarganya itu, misalnya
membayar wanita nakal dan berselingkuh. Hal sebaliknya juga bisa dilakukan si
istri, jika ia tidak beragama.
Oleh karenanya, Ibnul A’rabi berkata, “Jika engkau mencari wanita untuk
diperistri tanpa pernah mengenalnya sebelum itu, maka perhatikanlah siapa ayah
dan paman/bibinya (dari pihak ibu). Sebab, keduanya adalah bagian dari wanita
itu, sebagaimana dia pun bagian dari mereka; mirip sepasang tali sandal. Bila
yang kaucari darinya adalah harta, maka sungguh akan datang setelah itu
kebosanan dan malapetaka.”
Koran, televisi, dan media massa modern adalah saksi dari kebosanan dan malapetaka
tsb. Tidak sedikit suami-istri yang – menurut sebagian orang – disebut-sebut
sebagai “pasangan ideal”. Konon kekayaan, kecantikan, ketampanan, bakat, dan popularitas
mereka nyaris sempurna. Namun, tiba-tiba mereka terjerat kecanduan obat bius
dan alkohol, perselingkuhan, pertengkaran hebat, trauma kekerasan fisik dan
mental, dsb. Sepasang mantan kekasih yang dikagumi jutaan orang itu tiba-tiba
bermusuhan sangat serius di pengadilan, lalu bercerai secara tragis. Mereka
tidak menemukan kebahagiaan dan ketenangan bersama pasangan idealnya. Mengapa?
Kita juga sering mendengar orang-orang yang berpacaran dan melakukan
“penjajakan” selama bertahun-tahun, bahkan sebagian telah tinggal serumah tanpa
ikatan pernikahan. Suatu saat mereka kemudian siap menikah, namun rumah tangganya
terbukti hanya mampu bertahan dalam hitungan bulan. Sekali lagi, mengapa?
Baiklah. Sekarang, kita tidak usah meneliti kesalahan orang lain. Mari menyelisik
motif-motif kita sendiri dalam membangun rumah tangga, dan memperbaikinya
selagi masih ada kesempatan. Cara terbaik adalah sekuat tenaga menanamkan agama
agar benar-benar menjadi identitas diri. Sebab, bila tidak, kita pasti menghadapi
terlalu banyak masalah yang menyulitkan.
Allah berfirman: “Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami,
anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74).
Menurut Imam ath-Thabari, makna ayat ini adalah: memohon agar anak dan
istri kita dijadikan sebagai orang-orang yang sejuk dipandang mata, karena
selalu taat kepada Allah; dan memohon agar kita dijadikan teladan bagi
orang-orang yang bertakwa dalam kebaikan-kebaikan. Tentu saja, menjadi teladan
dan imam bagi orang bertakwa bukan perkara mudah dan tidak bisa diraih dengan
berpangku tangan, namun ia sangat layak diharapkan dan diperjuangkan. Amin. Wallahu
a’lam.
[*] Alimin
Mukhtar, 02 Dzulqa’dah 1433 H. Pernah dipublikasikan melalui Lembar Tausiyah BMH Malang dan www.hidayatullah.com