Bismillahirrahmanirrahim
LIMA KARAKTER ULAMA' AKHIRAT
Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali menulis dalam kitab Ihya’ ‘Ulumiddin (I/77), “Ada dikatakan: lima akhlak yang merupakan ciri-ciri ulama’ akhirat, yang disimpulkan dari lima ayat Kitabullah, yaitu khasyyah, khusyu’, tawadhu’, husnul khuluq, dan lebih mengutamakan akhirat dibanding dunia (zuhud).” Apa sajakah ayat-ayat yang beliau maksud, dan bagaimana penjelasannya? Mari kita kaji satu demi satu.
Pertama, khasyyah, yakni takut kepada Allah. Akhlak ini disimpulkan
dari firman Allah, “Sesungguhnya yang takut
kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ‘ulama’.” (Qs. Fathir: 28). Menurut Ibnu Katsir, maksudnya adalah: yang takut kepada
Allah dengan sebenar-benarnya hanyalah para ulama’ yang mengenal-Nya (al-‘ulama’
al-‘arifuuna bihi). Sebab, setiap kali pengenalan terhadap Dzat yang Maha
Agung, Maha Kuasa, Maha Mengetahui, yang disifati dengan sifar-sifat
kesempurnaan dan disifati pula dengan al-asma’ul husna; setiap kali
pengenalan terhadap-Nya lebih sempurna dan ilmu terhadap diri-Nya lebih
lengkap, maka rasa takut terhadap-Nya pun lebih besar dan lebih banyak. Oleh karenanya pula, Ar-Rabi’
bin Anas pernah berkata, “Siapa pun
yang tidak takut kepada Allah, maka dia tidak layak disebut sebagai ‘alim.” Khalifah ‘Umar juga pernah menulis surat
kepada Abu Musa al-‘Asy’ari, walinya di Kufah. Di dalamnya beliau menyatakan, “Sesungguhnya
fiqh (yakni: kedalaman ilmu) itu bukan dinilai karena banyaknya
paparan keterangan, luasnya pembicaraan, atau banyaknya riwayat yang
disampaikan. Akan tetapi, yang disebut fiqh itu adalah rasa takut kepada Allah
‘azza wajalla.”
Kedua, khusyu’, yakni terpancarnya cahaya ketenangan dan
ketundukan kepada Allah dari dirinya. Sifat ini disarikan dari firman Allah, “Sedang
mereka khusyu’ kepada Allah dan tidak menukarkan ayat-ayat-Nya dengan harga
yang sedikit.” (Qs. Ali 'Imran: 199). Dalam kitab Faidhul Qadir, al-Munawi berkata, “Ilmu yang
bermanfaat adalah ilmu yang mendatangkan kekhusyu’an.” Dengan kata lain, jika seseorang memiliki
banyak ilmu namun tidak terlihat tanda-tanda kekhusyu’an pada dirinya, ilmunya pasti
tidak bermanfaat. Maka, diantara ciri semakin sedikitnya ulama’ akhirat adalah
semakin berkurangnya kekhusyu’an di tengah-tengah umat, bahkan di masjid
sekalipun. ‘Ubadah bin ash-Shamit (salah seorang Sahabat) berkata kepada muridnya,
“Kalau mau, sungguh aku akan memberitahumu tentang ilmu pertama yang
diangkat (dari tengah-tengah manusia). Dialah kekhusyu’an. Sudah dekat
waktunya, engkau memasuki masjid sebuah komunitas namun engkau tidak melihat
seorang pun yang khusyu’.”
Ketiga, tawadhu’, yaitu
rendah hati dan tidak sombong. Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Dan
berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman.” (Qs. al-Hijr: 88,
senada juga Qs. asy-Syu’ara’: 215). Kerendahhatian adalah teladan para Nabi, sedangkan
kebalikannya merupakan ajaran Iblis. Bukankah Allah melaknat Iblis karena ia menyombongkan
diri? Oleh karenanya, Maulana al-Husain bin al-Manshur al-Yamani berkata dalam
kitab Adabul Ulama’ wal Muta’allimin, “Ketahuilah,
jika kesombongan menguasai hati, maka ilmu-ilmu yang berguna akan tersingkir
pula dari dalamnya. Sungguh, sebagaimana air yang tidak pernah mengalir ke
tempat yang lebih tinggi, maka demikian pula ilmu tidak akan mau memasuki hati
yang diwarnai kesombongan.”
Keempat, husnul khuluq, yaitu berakhlak baik. Inilah akhlak Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, sebagaimana dinyatakan Al-Qur’an, “Maka disebabkan
rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Qs. Ali 'Imran: 159). Jika
Rasulullah saja demikian lemah lembut dan santun kepada umatnya, maka mengapa “sebagian
orang” bersikap sangat keras dan kasar kepada sesama muslim? Sungguh, kekasaran
dan kerasnya sikap orang berilmu akan menjauhkan orang bodoh dari ilmu. Akibatnya,
mereka akan abadi dalam gelapnya kejahilan, tidak terterangi cahaya hidayah.
Betapa besar dosa orang-orang yang memalingkan manusia dari agama Allah dengan
sikap kasarnya itu. Nyaris saja, sikap ini menyerupai kaum kafir yang gemar
memalingkan manusia dari Islam dengan uang, intimidasi, dan rekayasanya! Al-Ashma’iy
berkata: dulu kakek dan nenek kami berpesan, “Pergaulilah manusia dengan
akhlak yang baik. Jika engkau tidak ada, mereka merindukanmu. Jika engkau
meninggal, mereka memohonkan rahmat Allah atasmu.” Beliau kemudian
bersyair: “Semua perkara akan musnah dan berakhir darimu, kecuali sanjungan
karena sesungguhnya ia akan abadi. Seandainya aku disuruh memilih semua
keutamaan, pasti aku hanya memilih akhlak-akhlak yang mulia.”
Kelima, zuhud, yaitu
mengerti dan mengutamakan akhirat dibanding dunia. Allah berfirman, “Berkatalah
orang-orang yang dianugerahi ilmu: "Kecelakaan yang besarlah bagimu!
Pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih.”
(Qs. al-Qashash: 80). Konteks utuh ayat ini sebenarnya bercerita tentang
kekaguman Bani Israil di zaman Nabi Musa ‘alaihis salam terhadap
kekayaan Qarun. Mereka menyangka bahwa kekayaan itu menjadi pertanda keridhaan
Allah dan lurusnya kehidupan. Namun, para ulama di kalangan mereka
membantahnya. Sungguh, pahala di sisi Allah itu jauh lebih baik dibanding
kemegahan duniawi. Wallahu a’lam.
Jadi, bila kita termasuk barisan orang
berilmu, mari merenung: apakah sifat-sifat tersebut sudah ada dalam diri kita?
(*) Alimin Mukhtar. Ahad, 16 Jumadil Ula 1433 H. Pernah dipublikasikan Lembar Tausiyah BMH Malang.