Bismillahirrahmanirrahim
MEMBANGUN OPTIMISME DI TENGAH BERATNYA TANTANGAN
Diceritakan bahwa tatkala berdakwah menyebarkan Islam di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim – Wali Songo yang paling senior – sering berdoa, “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu, dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).” Mengapa beliau memilih doa ini?
Diceritakan bahwa tatkala berdakwah menyebarkan Islam di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim – Wali Songo yang paling senior – sering berdoa, “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu, dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).” Mengapa beliau memilih doa ini?
Sebenarnya, ini adalah doa yang dipanjatkan oleh para pemuda Ashhabul Kahfi setelah mereka masuk ke dalam gua, berlindung dari kejaran pasukan raja kafir, demi menyelamatkan iman. Al-Qur’an merekam permohonan mereka diatas dalam surah al-Kahfi: 10. Menurut Ibnu Katsir, yang dimaksud “berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu” adalah: berikan kepada kami rahmat-Mu, yang dengannya Engkau mengasihi kami dan menutupi kami dari kaum kami (yang kafir); lalu “sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)” bermakna: jadikanlah akhir dari urusan kami ini baik dan tepat bagi kami.
Inilah doa kepasrahan
seorang mukmin, di puncak tekanan dan ketidakberdayaan menghadapi tantangan
yang sangat besar. Secara tidak langsung, Al-Qur’an sedang mengajarkan untuk
selalu bersikap optimis dan mengharapkan kebaikan di masa depan, seberat apapun
tantangan yang sedang dihadapi. Contoh yang dikemukakan Al-Qur’an memang ekstrem, dimana segelintir pemuda mukmin harus berdiri menghadapi
kemusyrikan sebuah rezim digdaya. Namun, justru disinilah letak
hikmahnya. Bahwa, tantangan sebesar itu pun akan mendapatkan penyelesaian juga
yang terbaik, jika diserahkan kepada Allah. Begitu mereka merasakan segala jalan
manusiawi telah tertutup, mereka sadar bahwa ada kehendak Allah diatas
segalanya. Ketika mereka bersandar kepada Allah, saat itulah bantuan-Nya
datang.
Allah menjelaskan
tindakan-Nya terhadap mereka, “Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun
dalam gua itu. Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di
antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka
tinggal (dalam gua itu). Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan
benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan
mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.” (Qs. al-Kahfi: 11-13)
Melalu kisah Ashhabul Kahfi, Al-Qur’an mengajarkan
selalu bersandar kepada Allah, dan optimis bahwa selalu ada kebaikan yang tersimpan
di sisi-Nya, walaupun sekarang terkesan gelap dan tanpa harapan. Lihatlah,
persoalan sebesar yang dihadapi Ashhabul Kahfi saja Allah tuntaskan
dengan mudah; apalagi jika hanya urusan-urusan remeh dan sederhana! Bukankah Dia
penguasa semua jiwa, dan sangatlah mudah bagi-Nya untuk membalik hati dan
menghadapkan seluruh manusia ke jalan iman? Bukankah seluruh alam raya ini
adalah milik-Nya, sehingga tidak akan sukar untuk memindahtangankan karunia-Nya
dari satu orang kepada orang lain? Namun, Dia ingin menguji hamba-Nya,
melihatnya bekerja keras mencari yang terbaik, dan selalu berdoa dengan penuh
kesungguhan.
Betapa sering manusia menjadi putus asa dan jatuh karena ia hanya
mengandalkan kemampuan dirinya sendiri, atau bertumpu kepada usaha-usaha
lahiriah-manusiawi, dan lupa untuk bersandar kepada Penciptanya. Ada sebagian
orang yang terlanda keputusasaan, misalnya karena sakit atau kemiskinan, lalu
mengharapkan kematian. Padahal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarangnya.
Sebab, bagi seorang muslim, selalu ada kebaikan dalam hidup ini. Beliau bersabda,
“Jangan sampai kalian
mengangan-angankan kematian, sebab setiap harinya kalian senantiasa mendapat
tambahan kebaikan.” (Hadits shahih, riwayat
Abu Khaitsamah dalam Kitabul ‘Ilmi, dari Anas bin Malik).
Betapa seringnya pertolongan Allah terhalang untuk turun,
jelas bukan karena Allah tidak berkuasa melakukannya, akan tetapi karena hati
kita sendiri memang tidak menginginkannya. Sebab, kita tidak mau bersandar
kepada Allah, dan selalu mengharap hasil dari rekadaya kita. Tidakkah kita
mengingat bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi atau tidak terjadi di alam
ini, kecuali atas kehendak-Nya juga. Oleh karenanya, kita dilatih untuk selalu berdoa
dalam segala aktifitas. Kita dibimbing untuk memulainya dengan mengingat Allah
dan mengharapkan kebaikan, lalu mengakhirinya dengan bersyukur dan menyanjung
kebaikan-Nya.
Sunnah-sunnah Nabi dalam masalah doa memperlihatkan kepada
kita dua hal sekaligus. Pertama, kita didorong untuk bergerak dan
mengupayakan apa yang baik dalam pandangan kita, dengan sandaran ilmu dan
pengalaman, serta didukung kesungguhan. Kedua, kita dilatih untuk sadar
bahwa alam ini tidak berjalan dengan sendirinya, atau menuruti kemauan kita,
namun ia memiliki Tuan dan Penguasa yang mengaturnya. Maka, apa yang Dia
kehendaki pasth akan terjadi, meskipun kita tidak rela. Sebaliknya, apapun yang
tidak Dia inginkan, maka demikianlah adanya, walau kita mengharap sebaliknya. Rasulullah
bersabda, “Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah
dibanding mukmin yang lemah. Namun, pada masing-masing (dari keduanya) ada
kebaikan. Bersemangatlah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah
pertolongan Allah, dan jangan lemah. Jika sesuatu menimpamu, jangan katakan:
‘seandainya aku lakukan begini, pasti hasilnya begini’. Akan tetapi,
katakanlah: ‘Allah telah menetapkannya. Apa saja yang Dia kehendaki, pasti Dia
lakukan.’ Karena sesungguhnya berandai-andai itu akan membuka amalan syetan.” (Riwayat
Muslim, dari Abu Hurairah).
Jika masalahnya seperti ini, mengapa masih bermuram durja?
Tersenyumlah, karena Allah selalu punya rencana atas tindakan-tindakan-Nya. Wallahu
a’lam.
[*] Alimin Mukhtar, 15 Jumadil Ula 1433 H. Pernah diterbitkan dalam Lembar Tausiyah BMH Malang.