BEKAL MENGHADAPI PASANG SURUT KEHIDUPAN
Sifat dasar dunia adalah fana’, tidak abadi. Segala yang kita temui disini
pada hakikatnya tidak pernah menetap, namun selalu berubah. Sebagai misal, betapa
banyak penguasa yang tumbang. Di masa jayanya, setiap mata mdrasa iri kepada
yang mereka miliki, namun belum lagi siang berganti malam, tiba-tiba roda nasib
melibas mereka. Sekarang, mereka tidak dilirik barang sedikit pun, bahkan
secara terbuka dicaci dan dinistakan martabatnya.
Alkisah, dulu di Jazirah Arab terdapat sebuah kerajaan bernama Hirah. “Kerajaan
bayangan” dari Kekaisaran Persia ini kemudian runtuh pada zaman ‘Umar bin
Khattab, seiring kejatuhan induknya. Suatu kali, Ziyad bin Muhallab, seorang jenderal
termasyhur pada zaman Umawiyah, berjumpa dengan Hindun binti Nu’man, putri
penguasa terakhir Hirah. Ziyad pun memintanya bercerita, lalu Hindun berkata,
“Kami memasuki waktu pagi dari hari ini, sementara tidak seorang pun dari
bangsa Arab melainkan pasti mengharapkan kami. Lalu, kami memasuki waktu senja,
sementara tidak seorang pun diantara bangsa Arab melainkan pasti merasa kasihan
kepada kami.” (Riwayat Ibnu Abi Dunia dalam al-I’tibar, no. 10).
Demikianlah faktanya. Saat ini, terlalu banyak contoh serupa untuk
disajikan. Kita bisa menderetkan kisah-kisah terbaru dari Irak, Tunisia, Mesir,
dan Libya. Negeri kita sendiri pun merupakan gudang kasus-kasus kebangunan dan kejatuhan
para penguasa, politikus serta selebritis. Masih terbayang dalam benak kita
lambaian tangan dan senyum mereka di podium-podium kehormatan, namun belum lagi
siang berganti malam, tiba-tiba perputaran nasib telah menjungkalkan mereka.
Sebagian mereka ditahan dan menghadapi dakwaan berlapis, tanpa harapan lolos. Sebagian
lagi tewas terbunuh dan diperlakukan lebih buruk dari seekor anjing. Lalu,
sebagian lainnya mati dalam keadaan putus asa, atau hidup nista dan diabaikan.
Ini baru masalah-masalah pelik yang mereka hadapi di dunia, dan entah bagaimana
nanti nasib mereka di akhirat.
Ini adalah contoh-contoh spektakuler. Bila skala kejadian dan pelakunya dikecilkan,
maka tidak terbilang lagi padanannya. Pelajaran yang mestinya diambil adalah:
jangan terlampau mendalam menyikapi dunia ini, karena segalanya mudah sekali
berganti. Kegembiraan, kekayaan, kelapangan, kesehatan, dan canda tawa, betapa
mudah berubah menjadi kesedihan, kemelaratan, kesempitan, sakit, dan dukacita. Kematian
pun bisa menghapus kehidupan dengan seribu satu macam cara.
Maka, tiada pilihan terbaik kecuali bersiaga menghadapi pasang-surutnya. Dalam
pandangan Islam, ia mestinya ditempuh pertama-tama dengan memperbaiki hati. Karena
hati adalah raja, maka dialah kunci nasib dari seluruh anggota kerajaannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ingatlah,
bahwa di dalam jasad ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh
jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah, ia adalah
hati.” (Riwayat Bukhari-Muslim, dari Nu’man bin Basyir).
Masalahnya, manusia tidak berkuasa atas hatinya sendiri. Hati sepenuhnya
berada di bawah kendali Allah. Kita mendengar Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya
hati anak Adam itu berada diantara dua jari Allah yang Maha Pengasih,
seolah-olah satu hati saja. Dia akan memalingkannya kemana saja yang Dia
kehendaki.” Beliau kemudian melanjutkan dengan berdoa, “Ya Allah, Dzat yang
kuasa memalingkan hati, palingkanlah hati-hati kami ke arah ketaatan
kepada-Mu.” (Riwayat Muslim, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash).
Jika memperbaiki hati merupakan keharusan, sementara hati berada di bawah
kuasa Allah, maka tiada cara lain kecuali menuruti kehendak-Nya. Dia paling
tahu apa yang bisa merusak atau memperbaiki hati itu. Lalu, apa yang Dia
kehendaki dari kita? Allah berfirman, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Qs. adz-Dzariyat: 56).
Tepatnya, Allah meminta kita beriman dan beramal shalih. Hanya iman dan
amallah yang bisa memperbaiki hati dan menjadikannya tangguh dalam mengarungi
samudera kehidupan. Dikatakan dalam sebuah hadits:
“Perkenalkanlah dirimu kepada Allah pada saat engkau sejahtera, niscaya Dia
mengenalimu pada saat engkau mengalami kesulitan.” (Riwayat Ahmad, dari
Ibnu ‘Abbas. Hadits shahih). Menurut Ibnu Rajab dalam Jami’ul Ulum
wal Hikam, maksudnya adalah: “Bila seorang hamba bertakwa kepada Allah,
tidak melanggar batas-batas aturan-Nya, dan senantiasa memelihara hak-hak-Nya
pada saat ia sejahtera, maka ia telah memperkenalkan dirinya kepada Allah,
sehingga ada (hubungan) perkenalan khusus diantara dirinya dengan Tuhannya. Maka,
Tuhannya pasti akan mengenalinya pada saat ia tertimpa kesulitan dan memelihara
(hubungan) perkenalan dengannya (sebagaimana) pada saat ia sejahtera. Maka,
berkat perkenalan inilah Allah menyelamatkannya dari kesulitan-kesulitan. Ini
adalah (hubungan) perkenalan khusus yang dapat diartikan sebagai telah dekatnya
hamba itu dengan Tuhannya, kecintaan-Nya kepadanya, dan dikabulkan-Nya
doannya.”
Jadi, hanya dengan menaati Allah jiwa kita
akan terbekali ketahanan untuk menghadapi pasang-surut kehidupan, sebab ia didukung
oleh Allah secara langsung. Tanpanya, jiwa akan mudah ambruk dan akhirnya
binasa. Oleh karenanya, Qatadah
bin Di’amah (seorang
Tabi’in) berkata, “Sesungguhnya amal shalih itu mengangkat (derajat) pelakunya
pada saat ia kuat, dan tatkala ia terjatuh maka ia mendapati tempat bersandar.” (Riwayat Ahmad dalam kitab az-Zuhd, no. 183). Dan, Allah-lah sebaik-baik penolong serta tempat bersandar.
Wallahu a’lam.
[*] Alimin Mukhtar, 13 Rabi’ul Awwal 1433 H. Pernah diterbitkan Lembar Tausiyah BMH Malang.