PERHATIKAN SIAPA TEMANMU!
Siapakah teman-teman kita? Apakah mereka mendatangkan ketentraman, kebahagiaan, dan semakin mendekatkan kita kepada Allah? Atau justru sebaliknya, mereka menjadi sumber kegelisahan, kesedihan, dan kelalaian terhadap akhirat? Mari sejenak merenungkan diri kita sendiri, juga orang-orang di sekitar kita, selagi Allah masih memberi kesempatan. Sebab, hidup ini hanya sekali. Tidak ada peluang kedua.
Siapakah teman-teman kita? Apakah mereka mendatangkan ketentraman, kebahagiaan, dan semakin mendekatkan kita kepada Allah? Atau justru sebaliknya, mereka menjadi sumber kegelisahan, kesedihan, dan kelalaian terhadap akhirat? Mari sejenak merenungkan diri kita sendiri, juga orang-orang di sekitar kita, selagi Allah masih memberi kesempatan. Sebab, hidup ini hanya sekali. Tidak ada peluang kedua.
Secara sederhana, Rasulullah telah mengajarkan bagaimana
cara menilai
teman-teman kita. Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
pernah bertanya kepada para Sahabat, “Maukah kalian kuberitahu siapa orang-orang terbaik diantara
kalian?” Mereka menjawab, “Mau, ya Rasulullah.” Beliau melanjutkan, “Yaitu,
orang-orang yang jika mereka terlihat (oleh kalian), maka mengingatkan kepada
Allah.” Beliau kemudian bersabda lagi, “Maukah kalian kuberitahu siapa
orang-orang terburuk diantara kalian? Yaitu, orang yang kesana-kemari menebar
fitnah, yang suka merusak kesetiaan diantara orang-orang yang saling mencintai,
dan yang mengusahakan timbulnya kerusakan serta dosa di tengah-tengah
orang-orang yang bersih (kehidupannya).” (Hadits riwayat Ahmad, sanad-nya
hasan li ghairihi).
Jadi, menurut beliau, ciri orang yang baik
adalah jika kita melihat mereka maka kita akan teringat kepada Allah. Berapa
banyak orang seperti ini di sekitar kita; yang kepribadian serta tindakannya menyejukkan hati dan meningkatkan keimanan,
menambah rasa syukur dan menenangkan jiwa? Berapa banyak orang yang membuat kita segan bermaksiat di
dekatnya, membuat kita lebih berhati-hati, dan menyemangati ibadah? Atau,
justru sebaliknya, justru lebih banyak orang yang semakin menjauhkan kita dari
Allah, menambah kegilaan kepada
dunia, merongrong jiwa dan mengotori hati, mengobarkan syahwat dan mengerdilkan
taqwa? Dan, jika
kriteria ini diterapkan kepada diri kita sendiri, sebenarnya
termasuk kelompok manakah kita?
Maka, kita harus selalu
mawas diri. Sebab, hati manusia sebenarnya sangat lemah dan mudah berubah. Oleh karenanya, hati
disebut al-qalbu dalam bahasa Arab, artinya berbolak-balik. Dan, itulah gambaran dari
hati manusia yang sesungguhnya. Bukalah surat kabar hari ini, dan bacalah.
Mungkin, awalnya Anda
geregetan oleh tingkah para koruptor; setelah itu iba menyaksikan para korban bencana alam; selanjutnya
terkagum-kagum oleh berita sains-teknologi; lalu dibuat heran oleh isu-isu
dunia selebritis; dan kemudian disuguhi ulasan-ulasan olahraga yang beraneka
ragam. Dalam sekali duduk, sudah berapa kali hati kita berubah? Bagaimana jika
sehari?
Oleh karenanya, kita perlu memperhatikan baik-baik
pengaruh macam apa yang akan memasuki hati kita. Ahmad bin Harb berkata, “Tidak
ada yang bermanfaat bagi hati seorang hamba selain bergaul dengan orang-orang shalih
dan menyaksikan amal mereka. Sebaliknya, tidak ada yang berbahaya bagi hati
seorang hamba selain bergaul dengan orang-orang fasiq (ahli maksiat) dan melihat
amal mereka.”
Artinya, kita bisa memutuskan sejak masih di dunia ini siapa saja yang
kelak menjadi teman-teman kita di akhirat. Dengan izin Allah, kita pasti akan
bersama-sama dengan mereka disana. Sebagai misal, jika di dunia ini kita selalu
bersama orang-orang yang tidak memperdulikan shalat, hidup penuh kesia-siaan,
dan tidak mengenal halal-haram, sementara kita sendiri tidak melakukan amar
ma’ruf nahi munkar dan justru larut, maka apakah yang bisa diharapkan pada Hari
Perhitungan kelak? Jelasnya, pengaruh teman memang tidak bisa diabaikan.
Ibnu Abi Dunia meriwayatkan dalam kitab al-Ikhwan, bahwa
Washil maula Abu 'Uyainah berkata: aku pernah bersama Muhammad bin Wasi'
di Marw. Lalu, 'Atha' bin Abu Muslim al-Khurasani mendatangi beliau bersama
anaknya, 'Utsman. 'Atha' kemudian berkata kepada Muhammad, "Amal apakah
yang paling utama di dunia ini?" Beliau menjawab, "Menemani teman dan
bercakap-cakap dengan saudara, apabila mereka saling bersahabat diatas
kebajikan dan taqwa." Beliau melanjutkan, "Pada saat itu, Allah akan
menghadirkan kemanisan diantara mereka, sehingga mereka terhubung dan saling menyambungkan
hubungan. Tidak ada kebaikan dalam menemani teman dan bercakap-cakap dengan
saudara jika mereka adalah budak dari perutnya masing-masing, sebab jika mereka
seperti ini maka satu sama lain akan saling menghalangi dari akhirat."
Maka, segenap persahabatan, pernikahan, organisasi, parpol, juga kehidupan
berbangsa dan bernegara, hanya akan melahirkan kebahagiaan jika masing-masing
orang di dalamnya diikat oleh nilai-nilai kebajikan dan ketakwaan. Sebaliknya,
jika mereka hanya terikat oleh “kepentingan perutnya”, maka hasilnya pasti
runyam. Setiap orang akan dengan mudah saling mengintai dan menjegal demi keuntungan pribadinya. Jangankan saling menolong, saling perduli pun tidak. Yang
ada hanyalah jiwa-jiwa oportunis. Tentu saja, semua orang akan merasa terancam
dan tidak tenang, sehingga kebahagiaan hakiki sukar didapatkan.
Oleh karenanya, Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk
mengedepankan kriteria “ketaatan beragama” dalam memilih pasangan
(suami/istri). Logika di baliknya cukup jelas, sebab ketaatan beragama
merupakan benih tanaman kebajikan, ketakwaan, dan akhlak mulia; yang seterusnya akan membuahkan kebahagiaan. Jika sebuah
pernikahan tidak memperdulikan aspek ini, maka ia hanya merupakan “kontrak”
yang menjemukan dan memenjara. Tidak lama lagi keduanya akan bosan, dan justru
sangat bersyukur jika bisa bercerai secepat mungkin. Subhanallah!
Maka, perhatikanlah siapa orang-orang di sekitar kita. Sebab, kebahagiaan
kita – baik di dunia maupun akhirat – turut ditentukan oleh mereka. Wallahu
a’lam.
[*] Alimin Mukhtar, 20
Shafar 1433 H. Pernah dipublikasikan dalam Lembar Tausiyah BMH Malang.