Bismillahirrahmanirrahim
Ketika menyebut kaum ‘Ad dan Tsamud, dua bangsa kuno yang pernah berjaya
di Jazirah Arab, Allah melekatkan satu sifat tertentu kepada mereka. Allah berfirman, “(Juga) kaum 'Ad dan Tsamud. Sungguh
telah nyata bagi kamu (kehancuran mereka) dari (puing-puing) tempat tinggal
mereka. Syetan menjadikan mereka memandang baik perbuatan-perbuatan mereka,
lalu ia menghalangi mereka dari jalan (Allah), sedangkan mereka adalah
orang-orang yang berpandangan tajam.” (Qs. al-‘Ankabut: 38). Apa yang dimaksud dengan “berpandangan
tajam” disini?
Frasa itu tidak merujuk kepada fenomena fisik, seperti mampu melihat dalam
jarak sangat jauh atau mengamati benda-benda yang amat kecil. Akan
tetapi, ia mengarah kepada aspek pemikiran
dan ideologi. Menurut mufassirin,
kalimat ini mengindikasikan bahwa ‘Ad dan Tsamud merupakan kaum yang tersesat
namun memiliki struktur argumen dan pemikiran yang sangat mapan. Misalnya, Imam ath-Thabari
berkata,
“Mereka memiliki pandangan sangat tajam dalam kesesatannya itu, bangga
dengannya, serta yakin bahwasanya mereka berada diatas hidayah dan kebenaran,
padahal sebenarnya tersesat.”
Kita memang tidak tahu seperti apa persisnya pemikiran mereka, namun ayat-ayat
Al-Qur’an mengesankan bahwa ia tidak jauh dari paganisme (penyembahan
berhala) dan politeisme (penyembahan banyak tuhan). Dalam surah Hud:
53-54, misalnya, dinyatakan: “Kaum 'Ad berkata: "Hai Hud, kamu tidak
mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata, dan kami sekali-kali tidak
akan meninggalkan sembahan-sembahan kami hanya karena perkataanmu. Kami pun sekali-kali
tidak akan mempercayai kamu. Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian
sembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu." Hud menjawab:
"Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah dan saksikanlah olehmu sekalian
bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.”
Ayat-ayat ini merekam kebanggaan mereka terhadap keyakinan musyriknya, tanpa
sedikit pun terbersit keraguan dan perasaan rendah diri. Mereka bahkan menuduh
Nabi Hud gila. Dewasa ini, fenomena mereka sangat mirip dengan pemikiran-pemikiran
materialisme, ateisme, sekularisme, liberalisme, pluralisme, dsb; yang dibangga-banggakan, canggih
dan terkesan sangat logis,
namun sebenarnya sesat dan menyesatkan. Syetan benar-benar telah menghias kebatilan itu sehingga terlihat indah
dan menawan. Pada saat itulah mereka tidak akan bertaubat atau menyesal, karena
memang tidak pernah merasa bersalah. Na’udzu billah!
Sehubungan dengan ini, telah diriwayatkan dalam
Sunan Darimi dengan sanad shahih, bahwa Iblis bertanya kepada pasukannya, “Dari sisi mana kalian menggoda anak-cucu Adam?”
Mereka menjawab, “Dari mana saja.” Ia bertanya lagi, “Apakah kalian juga
menggoda mereka dari sisi istighfar?” Mereka menjawab, “Tidak mungkin!
Itu adalah sesuatu yang beriringan dengan tauhid.” Iblis pun berkata, “Sungguh
aku akan menyebarkan di tengah-tengah mereka sesuatu yang tidak akan mereka
mintakan ampunan kepada Allah.” Maka, ia pun menyebarkan ahwa’ (kecenderungan memperturutkan hawa nafsu) di tengah-tengah manusia.
Maksud atsar ini adalah: jarang
atau hampir tidak mungkin seorang penganut ahwa’ dan bid’ah itu
bertaubat, sebab mereka
tidak merasa bersalah. Hasan al-Bashri berkata, “Allah enggan mengizinkan
pertaubatan seorang penganut hawa.” – yakni, penganut bid’ah dan orang-orang yang hanya
memperturutkan keinginan hawa nafsunya dalam beragama.
Pada dasarnya, inti beragama adalah pasrah
kepada aturan dan kehendak Allah. Inilah makna asli dari “al-islam”. Oleh karenanya, generasi
salaf sangat serius mempelajari Al-Qur’an dan Sunnah. Sebab, mustahil bisa pasrah
secara benar tanpa berbekal ilmu, sedangkan sumber ilmu terpercaya adalah
Al-Qur’an dan Sunnah. Masruq berkata, “Tidak ada sesuatu pun yang kami tanyakan kepada para Sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam melainkan ilmu tentangnya sudah ada dalam Al-Qur’an, hanya saja
pengetahuan kami terhadapnya sangat terbatas.” (Kitabul ‘Ilmi karya Abu Khaytsamah, no. 51).
Diceritakan dalam kitab Taghliqu at-Ta’liq, bahwa Imam Bukhari berkata, “Saya tidak
mengetahui sesuatu pun yang diperlukan melainkan ia sudah ada di dalam Al-Kitab
dan As-Sunnah.” Ditanyakan kepada beliau,
“Apakah memungkinkan untuk mengetahui hal itu?” Beliau menjawab, “Ya.”
Ulama’ Salaf sangat enggan menggunakan analogi logika (ra’yu dan qiyas)
dalam urusan agamanya. Mereka berusaha semaksimal mungkin mengikuti atsar
(riwayat dari Nabi dan Sahabat). Sungguh, kisah umat-umat terdahulu mengajarkan
bahwa memperturutkan logika tanpa dinaungi wahyu adalah benih penyimpangan. ‘Urwah bin Zubair berkata, “Urusan Bani Israil tetap tegak
dan lurus, tidak ada masalah apa pun, sampai kemudian tumbuh generasi keturunan para tawanan
perang dari berbagai umat lain, yakni anak-anak para wanita yang ditawan oleh
Bani Israil dari bangsa-bangsa lain. Lalu mereka berbicara dalam urusan-urusan
Bani Israil berdasarkan ra’yu (rasio) mereka semata, sehingga akhirnya
mereka pun menyesatkan Bani Israil
secara keseluruhan.” (Riwayat Darimi no. 120. Isnad-nya jayyid).
Bahkan, dengan nada yang lebih tajam lagi Ibnu Sirin berkata, “Yang pertamakali menggunakan qiyas
(analogi) adalah Iblis. Matahari dan bulan pun tidak
disembah melainkan dengan berbagai qiyas.” (Riwayat Darimi no. 189. Isnad-nya jayyid). Tentu
saja, yang dimaksud adalah qiyas bathil. Dan, orang yang di dalam
dirinya telah bersemayam qiyas semacam ini, jelas sangat sulit bertaubat
dan pasti bangga dengan kesesatannya. Na’udzu billah. Wallahu
a’lam.
[*] Alimin Mukhtar, 06
Rabi’ul Awwal 1433 H. Pernah diterbitkan oleh BMH Malang dalam Lembar Tausiyah.