Cara meneladani Rasulullah



Bismillahirrahmanirrahim

Bila seorang muslim ditanya: siapakah manusia terbaik yang patut Anda teladani? Ia pasti menjawab, “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” Ini adalah jawaban yang jujur dan seharusnya, sesuai firman Allah dalam surah al-Ahzab: 21, “Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharapkan Allah dan Hari Akhir, dan dia banyak mengingat Allah.” Pertanyaannya, bagaimana cara meneladani beliau?

Dalam hal ini, Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah timbangan terbesar (al-mizan al-akbar). Terhadap beliaulah segala sesuatu dihadapkan (untuk ditimbang), berdasarkan akhlak, gaya hidup dan perilaku beliau. Apa saja yang selaras dengannya maka itulah kebenaran, sedangkan apa saja yang bertentangan dengannya maka itulah kebatilan.” (Riwayat Al-Khathib al-Baghdadi dalam Al-Jami’, no. 7).
Maka, untuk meneladani beliau, maka kita harus menghadapkan kehidupan kita dengan ajaran beliau, memperbandingkannya, kemudian mengambil tindakan yang diperlukan. Jika belum selaras, kita harus segera berbenah. Beliau bersabda, “Aku meninggalkan di tengah-tengah kalian dua perkara. Kalian tidak akan tersesat selama selalu berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (Riwayat Malik, dalam al-Muwatha’, dengan sanad yang hasan-mursal).
Mengapa demikian? Sebab, mustahil mengevaluasi sesuatu hal jika tidak ada standarnya. Ketika seorang guru memeriksa lembar jawaban yang dikerjakan muridnya, dengan mudah ia bisa memberikan penilaian, karena ia sudah mengerti jawaban yang benar dari setiap soalnya. Bayangkan, bagaimana jika setiap soal bebas dijawab sekenanya! Pasti tidak akan ada jawaban yang bisa disalahkan atau dibenarkan. Semuanya menjadi relatif. Tampaknya, inilah yang dikampanyekan oleh para penganut faham relativisme-liberalisme, dimana menurut mereka tidak ada kebenaran yang mutlak, dan setiap orang boleh mengembangkan standarnya sendiri-sendiri. Namun ajaibnya, mereka bisa dengan penuh takzim menerima “Deklarasi HAM” yang digariskan oleh PBB, misalnya, tetapi sangat sengit menolak standar yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya!
Jadi, kita harus mau mengkaji Al-Qur’an dan Sunnah. Inilah sumber terpercaya tuntunan Islam. Mempelajari agama adalah kewajiban setiap muslim, minimal dalam kadar agar bisa hidup secara benar dan lurus. Sebagai misal, seorang pedagang muslim tidak harus mengkaji semua ilmu Islam sampai tuntas, tetapi ia harus mengerti bagaimana berniaga yang benar, agar tidak terjerumus dalam riba, penipuan, syubhat, atau memakan harta orang lain secara batil. Seorang guru muslim pun tidak harus mengerti seluruh khazanah Islam, tetapi ia harus paham bagaimana menanamkan ilmu dengan tepat, agar pendidikan yang diberikannya bisa membenahi jiwa, meluruskan perilaku, dan menghantar menuju ketakwaan. Semua profesi, keadaan, kasus, status, mestinya dihadapi dengan ilmunya masing-masing, agar tidak menimbulkan kerusakan dimana-mana. Diatas semua itu, apapun profesinya, selama dia muslim, dia harus mengerti akidah yang lurus, shalat dan ibadah yang benar, juga akhlak/adab yang baik. Oleh karenanya, Imam Bukhari memberi judul salah satu bab dalam kitab Shahih-nya, “Bab : ilmu sebelum berbicara dan berbuat.”
Di sisi lain, banyak diantara kita yang seolah merasa kurang afdol jika belum membaca koran, atau merasa sayang jika melewatkan satu seri sinetron di televisi, namun tidak tergerak untuk menelaah buku-buku yang akan memandu pada kehidupan akhirat. Padahal, membaca koran bukanlah kewajiban, dan takkan berdosa jika tidak melakukannya. Adapun mengkaji Al-Qur’an dan Sunnah, maka ia adalah konsekuensi dari iman. Jika tidak dilakukan, jelas akan menjadi persoalan yang sangat sukar dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Bukankah Rukun Iman ke-3, yaitu beriman kepada kitab-kitab Allah, mewajibkan kita untuk mempelajari dan mengamalkan Al-Qur’an? Bukankah Rukun Iman ke-4, yaitu beriman kepada para Rasul, adalah tugas nyata untuk meneladani mereka dalam kehidupan? Jangan sampai kita menjadi orang yang lebih menggandrungi novel dan berita olahraga, tetapi tidak tertarik kepada Al-Qur’an dan Sunnah!
Sehubungan dengan ilmu-ilmu agama, yang pada dasarnya merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah, Ibnu Syihab az-Zuhri berkata, “Sesungguhnya ilmu ini adalah pendidikan dari Allah (adabullah) yang dengannya Allah mendidik Nabi-Nya, dan dengannya pula beliau mendidik umatnya. Ia adalah amanah Allah kepada Rasul-Nya agar ditunaikan kepada yang seharusnya menerimanya. Maka, barangsiapa yang mendengar suatu ilmu hendaklah ia menjadikan ilmu itu di depannya sebagai hujjah antara dirinya dengan Allah ta’ala.” (Riwayat Al-Khathib al-Baghdadi dalam Al-Jami’, no. 8).
Dengan pandangan seperti inilah generasi awal umat Islam meraih kejayaannya. Mereka mendidik diri dan keluarganya dengan adabullah, pendidikan dari Allah, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah, serta segala ilmu yang berputar di sekitarnya. Mereka samasekali tidak silau kepada yang lain, sebagaimana dikatakan oleh ‘Umar bin Khattab, “Kita dulu adalah kaum yang paling hina, lalu Allah memuliakan kita dengan Islam. Maka, kapan pun kita mencari kemuliaan dengan selain yang Allah gunakan untuk memuliakan kita, pasti Allah menghinakan kita.” (Riwayat al-Mundziri dalam at-Targhib wat Tarhib, no. 4393). Jadi, tidak ada cara lain meneladani beliau kecuali dengan mengerti ajarannya, lalu beramal sebaik-baiknya diatas landasan ilmu itu. Wallahu a’lam.

[*] Alimin Mukhtar, 03 Rabi’ul Awwal 1433 H. Pernah diterbitkan dalam Lembar Tausiyah BMH Malang.